Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Kamis, 22 November 2018

Perlawanan Pattalunru (1863 - 1888).

Aksi Perlawanan rakyat atas pemberlakuan Kontrak Panjang (Lange Contrac) di kerajaan Tapalang ini oleh seorang bangsawan Kerajaan Tapalang oleh orang Belanda menyebutnya La Mataloengroe atau yang lebih dikenal dengan Pattalunru selama kurang lebih 31 tahun, bermula dari tahun 1863 sampai pada tahun 1888. Pattalunru adalah Putra dari Maradika Kerajaan Tapalang bernama Pabanari Daeng Natonga dan cucu dari mantan raja Tappalang Pua Caco Tamanggong To Gaggalang Patta ri-Malunda atau Cakeo Dg Marriba. Cakeo Dg Marriba pada mulanya adalah seorang bangsawan di kerajaan Tapalang sebagai Pabicara dalam Hadat Kerajaan Tapalang.

Ilustrasi gambar Pattalunru

Pattalunru adalah tokoh pemicu perlawanan di Kerajaan Tappalang dan Mamuju. Pattalunru sangat merepotkan kedudukan Belanda di Tapalang dan Mamuju, selama perlawanannya Pattalunru sering melakukan perusakan pos-pos Belanda, merampok kapal-kapal dagang yang melalui laut Mandar dan menjual budak ke perompak laut dari Sulu dan mangindano untuk ditukar dengan persenjataan dan mesiu, diduga bahwa yang melakukan perampokan di sekitar perairan Mamuju dan Tappalang. Sepak terjang perlawanan Pattalunru adalah akibat dari sikap anti penjajah yang dimilikinya dan atas penolakan Perjanjian untuk bekerjasama dengan pihak penjajah, dia merasa bekerjasama dengan pihak Belanda hanya akan menyengsarakan rakyatnya. Dan kemudian mulai mengadakan penentangan atas kesewenangan Belanda dalam kesepakatan kontrak perjanjian yang mengatur kehidupan kebebasan rakyat Tapalang dan Mamuju. Kemudian Pattalunru memutuskan untuk berpindah melakukan perlawanan menuju arah utara yaitu kekawasan hutan-hutan Karama setelah mendapat dukungan dari pamannya I Samanangi yang bergelar Tomampellei Sanjatana di wilayah sekitar hutan hutan Pangale Karama dalam perlawanannya. Di tahun 1883 Raja Mamuju Nae Sukur bersama-sama anaknya bernama Andi Calla menyerang Maradia Pangale ini yang telah mendukung perjuangan Pattalunru. Dalam penyerangan ke Karama ini pasukan kerajaan Mamuju dapat dikalahkan dan Andi Calla sendiri tewas dimedan pertempuran. 

Dan baru kemudian pada permulaan tahun 1888 Maradika Nae Sukur dipanggil oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Makassar untuk menghentikan perlawanan Pattalunru yang bersembunyi di sekitar wilayah Sungai Karama (Mamuju) bersama dengan kelompoknya yang dianggap sering melakukan kejahatan perdagangan budak dan sering melakukan perampokan oleh pihak Belanda ini telah melanggar Perjanjian yang telah disepakati sehingga oleh pihak Kerajaan Untuk menumpas pemberontakan Pattalunru yang bermarkas di hutan-hutan di sekitar Karama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian setelah Maradika Nae Sukur meminta bantuan pasukan dari Pemerintah Hindia Belanda di Makassar dengan mengirimkan satu Divisi Angkatan Laut untuk menghancurkan kedudukan Pattalunru beserta pengikutnya dengan satu kompi pasukan marinir menggunakan Kapal Perang Reinier Claszen, namun dalam gempuran pasukan ini tidak menemukan hasil apapun karena sehari sebelum kedatangan kapal perang ini, pasukan Maradia Pangale dan Pattalunru sudah meninggalkan tempat menuju masuk kehutan yang lebih jauh,  tidak lama setelah penyerangan itu Pattalunru menyerahkan diri satu bulan kemudian.

Setelah perlawanan Pattalunru berakhir baru kemudian kerajaan Mamuju mengambil alih pengawasan dan keamanan di wilayah kerajaan Mamuju kembali. Akibat ditangkapnya Pattalunru menyebabkan Pabanari Daeng Natonga (ayahanda Pattalunru) sangat menentang kepemimpinan Nae Sukur di Tapalang dengan sangat keras dengan cara menghasut para bangsawan agar Nae Sukur dilengserkan dari jabatannya, sehingga pada bulan Mei 1889 Maradia Nae Sukur menemui Gubernur Hindia Belanda di Makassar dan menyampaikan bahwa semua yang dilakukannya adalah niat baik untuk memperbaiki kekacauan di Tapalang dan meminta kepada Gubernur Hindia Belanda di Makassar bahwa beliau tidak lagi bersedia lebih lama memerintah di Tapalang, atas permintaan tersebut Gubernur Hindia Belanda melalui Asisten Residen di Mandar menyampaikan kepada Pemuka Hadat Kerajaan Tapalang melalui surat resmi untuk menyiapkan pengganti seorang raja baru.

Makam Maradia Pangale

Dan sejak saat itulah Nae Sukur turun tahta dan tidak lagi berkuasa di Kerajaan Tapalang maka terpilihlah Pabanari Daeng Natonga sebagai Maradia Tapalang yang baru dan memerintah sejak tahun 1889 sampai tahun 1892. Namun dimasa pemerintahan Pabanari Daeng Natonga yang memang anti Belanda banyak terjadi pembangkangan atas Perjanjian Kontrak Panjang yang pernah ditandatangani oleh Nae Sukur. Pabanari dianggap tidak kooperatif kepada Pemerintahan Belanda dan telah banyak melakukan pelanggaran atas Perjanjian Kontrak Panjang salah satunya adalah rakyat dibiarkan menjual hasil bumi keluar daerah tanpa diketahui oleh pihak Belanda. Setelah tiga tahun menjadi menduduki tahta, Pabanari dipanggil oleh Gubernemen Hindia Belanda di Makassar untuk memberikan pernyataan kepada pemerintah Belanda agar segera menyelesaikan konflik internal dikerajaan Tappalang, namun ultimatum pemerintah Belanda tersebut diabaikan hingga Pada tanggal 13 Juni 1892 Maradia Pabanari dan perangkat Hadatnya diberi waktu sampai dua bulan untuk mengundurkan diri dari jabatannya atau datang ke Makassar untuk memperbarui Perjanjian Panjang atau menerima konsekuensi pembangkangan tersebut. Tetapi Pabanari memilih mundur dari jabatannya.

Sebagai Raja terpilih baru di Tapalang Andi Musu Paduwa Limba menandatangani perjanjian kontrak dengan Belanda pada 31 Oktober 1892 sebagai pembaruan kontrak lama. Selama masa pemerintahan Andi Musu, penandatanganan kontrak tambahan (pertanian dan pertambangan) dengan pemerintah kolonial Belanda kembali dilakukan pada 23 Juni 1897, kemudian penandatanganan pembaharuan kontrak panjang pada 11 Juni 1905 antara Gubernemen dengan Maraqdia sebagai Zelfbeztuurder Landschaap Tapalang menurut model Celebes, dan pada 5 Oktober 1905 tambahan kontrak tentang penyerahan hak-hak bea pelabuhan dan urusan pelayaran kepada Gubernemen dengan pemberian ganti rugi.

Sampai hari ini setelah Pattalunru menyerahkan diri kemudian tidak diketahui apakah beliau ini ditangkap kemudian dihukum dibuang ketempat lain ataukah kematiannya karena hukuman eksekusi belum bisa dipastikan tapi yang jelas makam Pattalunru diyakini berada di Karama Pangale saat ini bersama makam dari Pamannya yaitu I Samanangi yang bergelar Tomampellei Sanjatana Maradika Pangale. (Arman-Husain 2018).
Login


Tidak ada komentar:

Posting Komentar