Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Rabu, 23 Februari 2022

Nenek Moyang Orang Mandar

Menurut sumber cerita rakyat, konon sesudah terjadinya air bah yang memusnahkan seluruh manusia, sisa tujuh manusia yang berhasil hidup pada suatu puncak gunung di sekitar hulu sungai Saddang tersebut anak-beranak, bersaudara, atau masing-masing lain (tidak berfamili), tapi secara kebetulan ketemu dihulu sungai Saddang tersebut, setelah masing-masing berhasil menyelamatkan siri dari amukan air bah. Ketujuh orang tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pongkapadang menuju ke Utara menyusur gunung dan tiba/bermukim di Tabulahan (Daerah Pitu Ulunna Salu).
b. Tolombeng Susu menuju ke Timur dan tiba/bermukim di Luwu (Palopo).
c. Tolando Beluwaq menuju ke Selatan dan tiba/bermukim di Bone (Daerah Bugis).
d. Paqdorang juga menuju ke Selatan dan tiba/bermukim di Belau (Belawa).
e. Tolambeq guntuq juga menuju ke Utara dan tiba/bermukim di Lariang (Daerah Mamuju).
f. Sawerigading dan Tanriabeng, pergi berlayar entah ke mana arah perginya.

Menurut data Lontar Mandar (Lontar Pattappingan), juga mengakui adanya tujuh orang laki-laki semua di temukan di hulu sungai Saddang dan ketujuhnya bersaudara kandung, yakni anak dari Tomanurung, Tobisseditalang (laki) kawin dengan Tokombong Dibura (wanita), lahirlah anak :
a. Tobanua Pong (Tobanua Poang = Kampung tua).
b. Ilaso Kepang
c. Ilando Guntuq
d. Usuq Sababang
e. Topaqdorang
f. Pongkapadang
g. Tapalluq.

Dalam Lontar Balanipa Mandar, juga sepakat bahwa manusian pertama yang berkembang di Mandar, ditemukan di hulu sungai Saddang dan mereka adalah para Tomanurung yang bernama Tobisse Ditallang dan Tokombong Dibura. Perbedaannya dengan Lontar Pattappingan adalah; Tobisse Ditallang perempuan dan Tokombong Dibura laki-laki, juga tidak menentukan bahwa mereka beranak tujuh orang. Jelasnya adalah sebagai berikut : Tokombong Dibura kawin dengan Tobisse Ditallang, lahirlah Tobanua Pong. Tobanua Pong melahirkan Tapaqdorang, Tapaqdorang melahirkan Pongkapadang kawin dengan Sanrabone (Torijeqne) lahirlah seorang anak perempuan yang kemudian diperisterikan Topole di Makka. Maka dari perkawinan ini , lahirlah Tometeq-eng Bassi dan Tometeq-eng Bassi kawin dengan sepupunya, lahirlah Daeng Lumalleq. Daeng Lumalleq kawin sepupu lagi, lahirlah sebelas orang anak, sebagai berikut :
1. Daeng Tumana
2. Lamber Susu
3. Daeng Manganaq
4. Sahalima
5. Palao
6. To qandari
7. Daeng Palulung
8. Todipikung
9. Tolambana
10. Topaniq Bulu
11. Topaliq.

Dari sumber yang sedikit berbeda ini, sepakat menunjuk Pongkapadang sebagai nenek moyang orang Mandar, karena dari padanyalah lahir manusia sebelas bersaudara dan itulah nenek moyang manusia yang berkembang di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binang. Dari sumber cerita rakyat, ada juga manusia sebelas versi Tabulahan, yang menurut sumber ini, juga anak cucu dari Pongkapadang. Lima orang diantaranya ; Daeng Tumana, Daeng Matana, Tammiq, Taajoang dan Sahalima berkembang di Pitu Ulunna Salu dan enam orang diantaranya berkembang di Pitu Ba’bana Binanga, yakni; Daeng Mallulung di Taraqmanu, Tolaqbinna di Kalumpang, Makkedaeng di Mamuju, Tokarabatu di Simboroq, Tambulubassi di Tapalang, Tokaiyyang Pudung di Mekkattaq.

Seminar Sejarah Mandar juga di Tinambung Balanipa Polmas menetapkan bahwa nenek moyang orang Mandar berasal dari Pitu Ulunna Salu, yaitu Pongkapadang.

2. Kekerabatan orang Mandar dengan kerajaan lain di luar Mandar
Dengan melihat manusia tujuh di Ulu Saddang, jika data Lontar yang mengatakan bahwa manusia tujuh yang ditemukan di hulu sungai Saddang itu bersaudara kandung, maka tidak dapat diragukan lagi, adanya hubungan kekerabatan antara orang Mandar dengan keturunan Tolombeng Susu di Luwu, Tolando beluheq di Bone, Paqdorang di Belau (Belawa), serta keturunan Sawerigading dan Tanriabeng, entah dimana saja berada.

Begitu juga hubungan kekerabatan Mandar debgan Gowa, selain yang terjadi pada dimensi awal munculnya manusia dan perkembangannya di hulu sungai Saddangtersebut, lebih jelas lagi pada saat kawinnya Batara Gowa pada Rerasi putri raja Balanipa-Mandar, yang melahirkan Tomapa’risi Kallonna bersaudara, yang sempat menjadi raja gowa.

Hubungan kekerabatan lain, adalah kawinnya Bannaiq putra raja Sendana-Mandar dengan Karaeng Baine (putri raja gowa) Somba sebagai ibu kota kecamatan Sendana Kabupaten Manjene sekarang, adalah bukti sejarah dari peristiwa perkawinan Bannaiq ini dengan Karaeng Baine dari Gowa ini. Dulu daerah itu bernama Lamboriq, tapi setelah perkawinan itu terjadi, namanya berubah jadi Somba, karena pesan dari mertua Bannaiq waktu Karaeng Baine di bawa pulang ke Senadana, supaya dimana saja daerah itu disamakan dengan nama daerah Karaeng Baine, agar mudah dicari, jika orang tuanya rindu padanya. Karena mereka kawin di Somba sampai sekarang.
hubungan kekerabatan Mandar dengan Bone pun demikian halnya. Selain dari Talando Beluheq, juga diikuti oleh perkawinan yang lain sesudahnya, baik antara Balanipa dengan Bone, maupun antara Banggae, Pamboang dan Sendana. Satu contoh misalnya; Tomesaraung Bulawang isteri Daeng Palulung raja Sendana yang pertama adalah putri dari Raja Bone. Adik kandung Daeng Marituq Arayang di Sendana (cucu langsung dari Daeng Palulung) yang bernama Daeng Malonaq, juga kawin pada sepupunya di Bone.

Begitu juga antara Mandar dengan Luwu. Daeng Sirua yang bergelar Puang di Luwu, adik sepupu dari Daeng Palulung yang kawin dengan putri Puatta di Saragiang (Alu), adalah berasal dari Luwu, yang konon keturunanan Tolombeng Susu. Keturunan Daeng Sirua kelak mewarisi kerajaan Alu dan Taramanuq. Dengan demikian, maka jelas sekali adanya pertalian kekerabatan antara Mandar dengan Gowa, Bone dan Luwu, serta beberapa kerajaan lain di Sulawesi Selatan.

3. Kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga. Secara umum, kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga sudah tidak dapat diragukan, berdasarkan fakta sejarah, bahwa manusia yang berkembang di dua kelompok tersebut adalah Pongkapadang dan keturunannya. Namun penulis masih merasa perlu melukiskan perkembangan kekerabatan itu pada beberapa kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga, hingga lebih jelaslah proses perkembangan kekerabatan tersebut sebagai berikut :

Manusia yang berkembang di Balanipa
Seperti yang penulis telah uraikan terdahulu, bahwa Daeng Lumalleq (cucu Pongkapadang) melahirkan sebelas orang anak yang dalam sejarah Mandar dikenal dengan istilah manusia sebelas. Anak ke sebelas diantara manusia sebelas ini adalah Topali. Topali inilah yang kawin dengan Tosimbaqdatu, lahirlah Tobittoeng, Tobittoang yang melahirkan Tomakakaq Napo yang kawin dengan putra Tolemo, lahirlah Weapas yang diperisterikan Puang Digandang, yang melahirkan pula I Manyambungi, raja Balanipa yang pertama. Demikianlah proses keturunan itu berkembang sampai sekarang ini, dimana sesudah I Manyambungi Todilaling ini, lebih meluas dan berkembang pula peraturan kekerabatan antara Balanipa dengan seluruh Mandar.

Manusia yang berkembang di Sendana
selain itu Daeng Palulung saudara kandung Topali (anak ke tujuh dari manusia sebelas), juga anak ke enam dari manusia sebelas yaitu Taandiri berkembang pula di Tallangbalao sendana. Tidak lama kemudian, datang pula Inuji Tokearaq alias Tosibaba Adaq di Limboro Ramburambu Sendana dan berkembang pula keturunannya sampai sekarang. Tosibaba Adaq ini juga adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Begitulah proses perbauran tali-menali kekerabatan diantara tiga sumber keturunan itu di Sendana sampai sekarang, di mana perkembangan lanjutan sesudah ketiga sumber itu jauh lebih meluas, baik diantara Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu, maupun dengan orang di luar Mandar.

Manusia yang berkembang di Banggae
Semula, Banggae dikenal dengan keturunan Tomakakaq di Salogang (Baruga). Tomamakaq di Salogang ini adalah keturunan manusia sebelas juga, yang turun kepantai bersama-sama dengan Topali dan Tosimbaqdatu. Setelah Tosimbaqdatu dengan putrinya Tobittoeng tinggal di Balanipa, tinggal pula Tomamakaq di Salogang di sebuah bukit di Baruga sekarang dan berkembang di sana. Lama kelamaan, beralihlah pusat pemerintahan kepantai yang berkedudukan di Salabose. Dari perkembangan ini, lebih mekarlah pertalian kekerabatannya dengan keturunan Tobittoeng di Balanipa dan bahkan dunia luar. Terbukti dengan kawinnya Imerruparupa Bulawang dengan Topolepole (pendatang). Demikian perkembangan keturunan yang ada di Banggae dengan dunia luar dan antar Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu lebih berkembang luas sampai sekarang.

Manusia Yang berkembang di Pamboang
Menurut Binu Aman sejarawan/budayawan Pamboang, Tomellu melluangang yang datang di Pamboang pertama kali itu, adalah orang Passokkorang. Namun data Lontar Mandar itu juga menggambarkan bahwa Tomellumelluangang adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Yang jelas sumber kedatangannya di Pamboang, adalah Tonisora, raja Pamboang pertama yang datang menyusul Tomellumelluang. Tonisora ini adalah anak dari Tomakakaq di Peurangan, juga keturunan dari manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Mula-mula Tonisora datang ke Puttaqdaq Sendana dan kawin dengan putri Maraqdia Puttanoeq di Sendana, kemudian orang Pamboang datang memintanya umtuk jadi raja di Pamboang. Berkembanglah Tonisora di Pamboang, di samping keturunan Tomellumelluangang sebagai manusia yang pertama datang di Pamboang.57 Perkembangan keturunan berikutnya, jauh lebih meluas di seluruh daerah Mandar dan juga di luar Mandar sampai sekarang ini.

Manusia yang berkembang di Tappalang
Selain Tambulubassi dan pembauran antara keturunan Tandiri dan Tokaiyyang Pudung di Makkatta, juga telah berkembang lebih luas sampai sekarang, terutama dengan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu.

Manusia yang berkembang di Mamuju
Menurut data Lontar, sebelum kehadiran Makkedaeng, Tokarabatu dan Tolaqbinna, keturunan Talambeq Guntuq yang berasal dari manusia tujuh yang ditemukan di hulu Sungai Saddang, telah berkembang di Mamuju. 

Manusia yang berkembang di Binuang
Data Lontar memberi petunjuk bahwa manusia yang berkembang di Binuang adalah juga dari cucu Tokombong Dibura. Dengan demikian, maka mereka adalah juga salah satu dari manusia sebelas, baik dari versi Tabulahan maupun dari varsi Rantebulahan (Pitu Ulunna Salu).
Labih lanjut, perkembangan hubungan kekerabatan menyeluruh di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga serta diluar Mandar, telah diurai rinci dan luas oleh H. Saharuddin dalam Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan Tahun I-4, Januari, Pebruari, Maret 1978.60 Dalam konferensi Tammajarra II, dalam dialognya dengan raja-raja di Pitu Ba’bana Bianga, Tomeppayung raja Balanipa lebih menjelaskan hubungan kekerabatan itu sebagai berikut :
"Malluluareq nasangdi tau mieq inggannana puang, mesadi nene niperruqdussi nisiolai, apaq apponadi Tokombong. Malluluareq nasangditau, apaq sambulo-bulo ditiruqdussi".

Dengan demikian, maka hubungan kekerabatan di Mandar adalah sangat jelas, bahwa orang Mandar bersumber dari satu keturunan yang sejak awal sudah bersatu karena senasib. Olehnya itu, meskipun sering berbeda pendapat sesamanya, tapi kerukunan hidup tetap terpelihara dan terjamin, karena memang suku Mandar berasal dari satu sumber keturunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar