Kamis, 09 Juni 2022
Minggu, 29 Mei 2022
Perjanjian ini berlatar belakang dari perseteruan antara Daeng Riosoq raja Balanipa dengan raja Pambauang yang bergelar Tomatindo di Bata. Perseteruan itu terjadi karena Daeng Riosoq (setelah wafat bergelar Tonipilong) merebut istri Tomatindo di Bata yang bernama Ipura Paraqbueq. Ipura Paraqbueq adalah cucu dari Maradia Mamuju Tomatindo di Puasana. Pada saat itu, Ipura Paraqbueq merupakan wanita tercantik di seluruh Mandar sehingga mampu menggoyahkan iman Daeng Riosoq dan merebutnya secara paksa dengan kekuatan senjata.
Akibat peristiwa ini, Tomatindo di Bata bersama para pengawalnya meninggalkan Pambauang menuju ke Ulumandaq dan meminta bantuan pada Tomakakaq Ulumandaq untuk mengambil kembali Ipura Paraqbueq istrinya. Atas saran dan petunjuk Tomakakaq Ulumandaq, Tomatindo di Bata melakukan penyamaran dengan merubah penampilannya. Dengan ditemani anjing pemburu yang bergelar Itattibayo, Tomatindo di Bata masuk di kerajaan Balanipa menyamar sebagai seorang Tomakakaq. Satu-satunya yang mengenalnya hanyalah Ipura Paraqbueq dengan melihat cincin dan mendengar suaranya.
Disaat Tomatindo di Bata meminta segelas air untuk minum, Ipura Paraqbueq menyuruh seorang nelayan mengantarkan air dalam gelas yang kemudian di bawa kembali oleh pelayan pada Ipura Paraqbueq. Melihat cincin tersebut, Ipura Paraqbueq sudah seratus persen yakin kalau itu adalah suaminya. Ipura Paraqbueq akhirnya mencari akal dan berpura-pura mengidam mau makan daging rusa hasil tangkapan suaminya sendiri. Lalu dimintanya pada Daeng Riosoq untuk pergi berburu rusa.
Daeng Riosoq yang tidak mengetahui keadaan sebenarnya, merasa sangat bersuka cita mendengar pengakuan Ipura Paraqbueq yang telah mengidam. Karena cinta dan sayangnya yang teramat dalam, Daeng Riosoq akhirnya berangkat berburu dengan meminjam anjing Tomatindo di Bata. Setelah daeng Riosoq pergi, Tomatindo di Bata tidak menyia-nyiakan kesempatan dan segera pergi membawa istrinya ke Ulumandaq.
Di Ulumandaq, Ipura Paraqbueq tidak bisa bertahan lama karena tidak terbiasa makan tanpa lauk ikan. Dengan persetujuan dan bantuan Tomakakaq Ulumandaq yang memintakan tempat di daerah pantai, maka Tomatindo di Bata bersama istrinya serta pengawal-pengawalnya tinggal dan bermukim di Malundaq.Dari usaha memintakan tempat bermukim ainilah terjadinya Perjanjian Lombong atau Assamaturuang di Lombong, karena tempat diadakannya kesepakatan ini adalah di Lombong Malundaq.
Perjanjian ini terjadi pada sekitar abad XVII masehi dengan pihak-pihak yang terlibat yaitu : Tomatindo di Bata dengan istrinya Ipura Paraqbueq, Tomakakaq Ulumandaq, Pueq di Lombong, Mosso dan Bambangang, Tomakakaq Sambawo, Pueq di Salutambung, Libaq dan Balanggitang. Secara lengkap, kesepakatan yang dihasilkan dalam perjanjian Lombong adalah sebagai berikut :
”Nawei engenang naengei mappassau nyawana mappalewa anaoang paqmaiqna Maraqdia di Pambauang sappelluq-uang tedzong ingganna naulle nakae-kaer manuqna siola palluppuinna, niwengang toi leqboq nanaengei mandoang manjala palluppuinna, ingganna lekkotang.”
Terjemahan : Diberi tempat untuk ditempati memulihkan semangatnya, menghilangkan kesedihan hatinya pada raja Pambauang, sekubangan kerbau sejauh yang dapat dijelajah ayam dan pengawal-pengawalnya, juga diberi laut untuk tempat memancing dan menjala sebatas pada kedalaman setinggi lutut.
”Napoadzaq adzaqna naporapang rapanna odzi adzaq odzi biasa di litaqna di Pambauang.”
Terjemahan :Dia bebas memakai hukum dan aturan serta adat istiadatnya sendiri, sebagaimana yang berlaku di Pambauang.
”Diapiangammi tandi akadzakeang, tandi peoqdong tandi pelango tanna olleq boning tannala pangolleq, tannande pakkira-kira tammappikkir dipettilluqna sawa dipewetona lambaru, tandi paumo dibandangang di kondo bulo. ”
Terjemahan :
Dia pada kebaikan tidak pada keburukan, terhindar dari makanan yang bertulang dan minuman yang beracun, tak terjangkau air pasang tak terkena banjir, terluput dari iri terhindar gigitan ular, juga pada sengatan ikan pari, lebih-lebih dari srangan musuh.
”Lumbang pai pasorang, reppoq pai kondo bulo maqguliling annaq nalosai muaq diang namappakkesar.”
Terjemahan : Nanti roboh benteng pertahanan, patah remuk semua tombak dan parang pusaka, baru musuh bisa menyentuh raja Pambauang bersama pengawal-pengawalnya.
”Moaq meloq-I membaliq di litaqna, tanna eloqna di nassa genainna, naiya engenanna membaliq diassalna.”
Terjemahan : Bila dia ingin kembali ke negerinya (Pambauang), terserah bila sudah merasa mampu dan sanggup. Adapun perkampungan yang ditempatinya akan kembali pada pemiliknya semula.
Pada peristiwa ini, ada yang berpendapat bahwa selama di Malunda Tomatindo di Bata masih menjadi raja Pambauang dan menjalankan roda pemerintahan di Malunda dan ada pula yang berpendapat bahwa Tomatindo di Bata telah digantikan oleh raja yang lain. Sementara perkampungan yang ditempatinya tidak pernah dikosongkan sampai masuknya Belanda dan tempat tersebut tetap diperintah oleh raja Pambauang.
Daftar Kepustakaan:
- Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.
- Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.
- H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.
- Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.
- Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982
- Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar Proyek IDKD Sulsel 1985.
- A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987
- A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.
- A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.
- Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.
Sumber Data
- Sumber tertulis ;
Lontar Balanipa Mandar
Lontar Sendana Mandar
Lontar Pattappingang Mandar
Lembar Perjanjian kuno
Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar
- Sumber Wawancara ;
H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar
Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar
Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar
Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar
Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar
Daeng Matona – Hadat Pamoseang
Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq
Rabu, 23 Februari 2022
Rabu, 19 Januari 2022
Minggu, 10 Oktober 2021
Peristiwa ini terjadi pada 28 Maret 1981, ketika sebuah pesawat Garuda DC-9 Woyla dengan rute penerbangan Jakarta – Medan dibajak saat transit di Palembang. Pembajak yang menyamar sebagai penumpang tersebut terdiri dari lima orang. Para pembajak yang menyebut dirinya sebagai Komando Jihad memaksa kapten Pilot Herman Rante dengan todongan pistol agar mengalihkan penerbangan ke Colombo, Srilangka.
Karena kehabisan bahan bakar, pesawat sempat mendarat di Bandara Penang, Malaysia untuk mengisi bahan bakar selanjutnya mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Selama empat hari drama pembajakan berlangsung di Bandara Don Muang, Bangkok. Pembajak yang dipimpin oleh Imran bin Muhammad Zein tersebut menuntut pemerintah Indonesia agar membebaskan 80 angggota kelompok Komando Jihad yang telah ditangkap karena beberapa kasus atau teror yang mereka lakukan.
Tuntutan pertama yang diajukan para pembajak, mula-mula hanya meminta 20 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981 dibebaskan. Tuntutan pembajak/ teroris tersebut tidak dipenuhi pemerintah Indonesia. Pesawat yang memiliki rute Jakarta-Medan itu dibajak pada pukul 10.10 WIB sesaat setelah tinggal landas dari Palembang.
Saat itu pesawat yang transit di bandara Talangbetutu, Palembang baru saja lepas landas menuju Bandara Polonia, Medan. Pesawat kemudian dibelokkan menuju bandara internasional Penang, Malaysia.
Awalnya, belum diketahui siapa pelaku pembajakan pesawat dengan nomor penerbangan 206 itu. Departemen Pertahanan dan Keamanan yang menangani pembajakan itu hanya mengatakan pembajak dapat berbahasa Indonesia.
Ada 48 penumpang di dalam pesawat. Sebanyak 33 orang terbang dari Jakarta, dan sisanya berasal dari Palembang. Pesawat itu diterbangkan oleh pilot Kapten Herman Rante dan kopilot Hedhy Djuantoro.
Pesawat tiba di Penang pukul 11.20 WIB, dan pesawat itu minta bahan bakar tanpa memberitahukan tujuan berikutnya. Sejatinya, pesawat yang dibajak tersebut hanya melakukan penerbangan di dalam negeri, tidak memiliki rute penerbangan internasional.
Pada waktu pesawat diisi bahan bakar, oleh para pembajak, pesawat tersebut dikunci. Sebelum berangkat pada pukul 16.07 waktu Penang, seorang perempuan bernama Panjaitan yang berusia 76 tahun, diturunkan dan pesawat terbang menuju Bangkok, Thailand.
Ketika akhirnya tuntutan disampaikan, laporan agak simpang siur tentang kemauan mereka, dan tuntutan mereka pun rupanya terus meningkat.
Tuntutan pertama yang diajukan para pembajak, mula-mula hanya meminta 20 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981 dibebaskan.
Namun, para pembajak mengajukan tuntutan baru lagi, dari yang awalnya 20 tahanan, meningkat menjadi 80 orang dan bertambah lagi menjadi 84. Tak hanya itu, pembajak juga meminta didatangkannya pesawat yang lebih besar supaya dikirim ke Bangkok dengan awak pesawat baru yang mengetahui rute-rute internasional. Batas waktu tuntutan dari pembajak tersebut adalah hingga Minggu, 29 Maret 1981 pukul 21.30 waktu Bangkok.
Tenggat waktu yang diberikan pembajak pun terlewati dan permintaan mereka belum terpenuhi. Tidak terjadi apa-apa meskipun sempat terdengar kabar bahwa para pembajak akan meledakkan pesawat jika tuntutan mereka tidak terpenuhi. Senin, 30 Maret petang, tuntutan meningkat lagi dengan tambahan uang 1,5 juta dollar AS di atas semua tuntutan sebelumnya.
Dalam upaya membebaskan para sandera, pada 29 Maret 1981 di Mako Kopassandha Cijantung, dibentuk satu tim pembebasan sandera yang dipimpin oleh Letkol Inf Sintong Pandjaitan. Salah satu prajurit terbaik dan terpilih untuk melaksanakan misi itu adalah Capa Ahmad Kirang.
Sebagai prajurit Komando, maka tugas adalah kehormatan. Tidak ada kata ragu dan terdadak bagi Capa Ahmad Kirang dan sekitar 30 prajurit Kopassandha lainnya karena sebagai prajurit satuan tempur, mereka siap ditugaskan kemanapun dan kapanpun juga bila negara membutuhkannya.
Pada 30 Maret 1981 Tim Kopassandha yang ditugaskan sebagai pasukan antiteror itu diberangkatkan menuju Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand dengan misi membebaskan sandera. Drama pembajakan penumpang pesawat Woyla yang menegangkan itupun akhirnya berakhir dengan upaya pembebasan sandera yang dilakukan Tim Kopassandha, yang dipimpin Letjen TNI (Purn) Sintong Pandjaitan yang saat itu masih berpangkat Letkol Inf pada 31 Maret 1981.
Dalam misi tersebut Ahmad Kirang yang mendapat tugas bersama rekannya Pelda Pontas Lumban Tobing dengan penuh keberanian dan tanpa keraguan melakukan aksi terobos memasuki pesawat melalui pintu utama belakang pesawat sesuai dengan instruksi komando pada jam 02.45 dini hari.
Tugas itu berhasil dilakukan dengan mendobrak pintu hingga terjadi aksi tembak menembak selama 3 menit antara teroris/pembajak dengan personel Kopassandha. Dalam waktu bersamaan tim lainnya juga menyerbu melalui pintu samping yang juga langsung terlibat dalam baku tembak dengan teroris. Dalam baku tembak tersebut Capa Ahmad Kirang dan rekannya Pelda Pontas Lumban Tobing yang awalnya sempat kesulitan membedakan mana yang teroris dan penumpang terkena terkena tembakan. Sedangkan dipihak pembajak sebanyak empat teroris berhasil dilumpuhkan dan tewas di lokasi kejadian.
Namun nahas, Capa Ahmad Kirang tertembak diperut bagian bawah yang tidak tertutup rompi antipeluru yang dikenakan sehingga tubuhnya luka bersimbah darah. Walau sempat dilarikan ke rumah sakit Bangkok namun nyawanya tidak dapat diselamatkan. Ahmad Kirang gugur dalam menjalankan tugas mulia menyelamatkan sandera. Sedangkan rekannya Pelda Tobing yang tertembak di bagian rusuk dan tangan, nyawanya masih tertolong dan selanjutnya menjalani perawatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.
Saat upaya pembebasan berlangsung ketika para penumpang diminta turun, salah seorang pembajak yang diketahui bernama Zulfikar sempat melemparkan granat tangan untuk meledakkan pesawat berikut penumpang. Namun karena pin granat tidak sempurna tercabut maka granat tidak jadi meledak, penumpang dan pesawat pun selamat.
Lettu Achmad Kirang |
Letkol Inf Sintong Pandjaitan dalam memoarnya menuturkan, Ahmad Kirang masuk melalui pintu belakang dimana tangga diturunkan secara elektrik. Proses turunnya tangga pesawat memerlukan waktu karena harus mengikuti ritme mekanik. Proses turunnya tangga pintu belakang yang memakan waktu memberikan kesempatan bagi pembajak yang duduk di bagian belakang kanan pesawat untuk bersiap menembak.
Begitu tangga turun, maka Capa Ahmad Kirang diikuti oleh penyergap 2 dengan cepat menaiki tangga pesawat untuk menyerbu. Setelah Capa Kirang muncul di dalam kabin pesawat, dia terkena tembakan pistol di bagian perut yang tidak terlindungi rompi antipeluru. Pemegang sabuk hitam Karateka Dan I itu langsung jatuh. Mungkin rompi antipeluru yang dikenakan oleh Capa Kirang bukan rompi versi militer sehingga hanya melindungi badan sampai di pinggang.
Sedangkan Pilot Herman Rante yang juga tertembak teroris sempat diupayakan pertolongan pertama dengan melarikannya ke rumah sakit Bangkok namun nyawanya tidak tertolong. Peristiwa pembebasan yang dikenal dengan sebutan Operasi Woyla telah mengharumkan nama Indonesia di hadapan dunia internasional. Dunia mengakui kehebatan prajurit TNI AD sebab pembebasan tersebut salah satu yang tercepat di dunia yakni hanya berlangsung sekitar 3 menit saja. Akan tetapi Indonesia khususnya TNI AD dihari yang penuh pujian itu juga bersedih sebab salah seorang prajurit terbaiknya gugur dalam peristiwa tersebut.
Atas keberanian dan kepahlawanannya yang ditujukkan Capa Ahmad Kirang, pemerintah menganugerahi almarhum Bintang Sakti Mahawira Ibu Pertiwi sesuai Kepres No. 013/TK/Tahun 1981 tanggal 2 April 1981 dan kenaikan pangkatnya dua tingkat secara anumerta. Sedangkan tim lainnya memperoleh Bintang Sakati Mahawira Ibu Pertiwi dan kenaikan pangkat luar biasa satu tingkat lebih tinggi dari pangkat semula. Dengan upacara militer, pada 2 April 1981 jasad Lettu Anumerta Ahmad Kirang dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Lettu Anumerta Ahmad Kirang dilahirkan di Mamuju, Sulawesi Barat, Pada 8 November 1941. Dia adalah personel Kopassus. Saat berpangkat Capa Kopassus, dia mendapat tugas dan kepercayaan dari pimpinan TNI AD sebagai salah seorang tim pembebasan sandera pesawat Garuda DC- 9 yang dibajak oleh kelompok teroris. Tanpa keraguan tugas mulia tersebut dia tunaikan. Tugas tersebut terlaksana dengan sukses, namun Capa Ahmad Kirang menjadi korban dan gugur dalam menunaikan tugas tersebut.
Sumber:
1. Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarhad)
2. Buku Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
3. Diolah dari berbagai sumber
Senin, 04 Oktober 2021
1827 – Seorang pimpinan bajak laut yang bernama Sindana mendatangi Kampung Mamuju dengan menggunakan 45 kapal dan membakar Mamuju sebahagian rumah rumah penduduk dan menangkap raja Mamuju bersama keluarganya, beberapa orang terbunuh dalam peristiwa ini dan ratusan orang ditawan baik anak anak dan perempuan dan sebagian penduduk melarikan diri ke gunung gunung dan hutan. Para perampok dan bajak laut ini beraksi menggunakan bendera Kerajaan Belanda untuk mengelabui musuhnya.
1828 – September, John Dalton tiba di Pantai kerajaan Mamuju dan selanjutnya tinggal selama 10 minggu. Dua buah kapal Belanda di rebut dan dijarah dan semua awak kapal dibunuh oleh para perompak dari Kaeili, peristiwa ini terjadi diperairan Mamuju.
1850 – 10 Juni, Penandatanganan Kontrak Panjang oleh Maradika Mamuju/ Tapalang, Abd. Malem Dg Lotong (Malloanging) di Mamuju. Setelah penandatangan kontrak oleh raja raja di Mandar lainnya pada 30 Mei 1850 di Balanipa, oleh perintah Pemerintah Hindia Belanda atas inisiatif Kapten J. Noorduyn bersama Ajun Sekertaris Urusan Pribumi Wijnmalen.
1855 – 30 Agustus, Gubernur Sulawesi mengirim surat kepada Maradika Mamuju sehubungan dengan informasi bahwa perompak TUAN LOLO telah meninggalkan Palu dan berangkat menuju Karama di Mamuju, oleh karena itu Maradia Mamuju dituntut untuk menangkap dan menyerahkan TUAN LOLO kepada pemerintah Kolonial Hindia Belanda, bersamaan surat kepada Mayor Kalangkangan di tanggal yang sama agar memberikan bantuannya untuk menangkap perompak TUAN LOLO, akan tetapi setelah kedatangan Kapal “Ambon” yang membawa surat surat itu, perompak Tuan LOLO segera meninggalkan Mamuju setelah beberapa minggu berada di Mamuju dan membawa serta beberapa orang dari Mamuju.( Arsip Makassar No. 354:125; Sinrang, 1994-37)
1856 – 14 Maret, Penduduk Tanjung Kait dan Tapalang melakukan perompakan terhadap kapal milik Abdul Rahman, Kapal bermuatan barang niaga itu berangkat dari Makassar menuju Kutai Kalimantan Timur, Namun kapal tesebut kandas dan karam di dekat pantai Tanjung Kait pada 25 Maret. Dan pada 6 April 1856 Kapal “admiraal Kingsbergen” berangkat ke Mamuju menemui Maradia Mamuju dan Tapalang, Abdul Malem Dg Lotong untuk menyampaikan surat Gubernur Sulawesi yang antara lain berisi tuntutan ganti rugi atas perompakan yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar(Arsip Makassar No.1/10; Arsip Makassar No. 354:125). Pada 16 Mei 1856 Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan surat keputusan Nomor. 2 tentang pemberian kewenangan kepada Gubernur Sulawesi untuk melakukan tindakan tegas apabila Maradia Mamuju dan Tappalang tidak mengabulkan semua tuntutan yang diminta oleh pihak pemerintah Belanda. Pada 10 Juni 1856, pasukan ekspedisi yang terdiri dari kekuatan angkatan laut dan angkatan darat yang terdiri atas kapal perang “fregat” Palembang, kapal uap “admiraal van Kingsbergen dan kapal penjelajah nomor 18 /50, dan satu kapal perang yang mengangkut 25 serdadu dan seorang perwira. Setibanya ditempat segera memberikan ultimatum jika selama 36 jam tuntutan ganti rugi tidak dikabulkan maka kedua kampung itu akan dibumi hanguskan dan dihancurkan. Karena tidak ada penyelesaian oleh pemangku hadat saat itu Nae Sukur menyatakan tidak mampu membayar ganti rugi tersebut, maka dalam jangka waktu yang sudah ditentukan telah habis penghancuran Tapalang dan Tanjung Kait dilakukan tanpa ada perlawanan yang berarti, penghancuran Tapalang dilakukan pada tanggal 19 Juni dan Tanjung Kait dilakukan pada 20 Juni 1856. (Arsip Makassar No. 354:126).
1862 – Januari Maradia Tapalang Mamuju, Malloanging Dg Lotong mengundurkan diri dari kekuasaannya karena telah berusia lanjut, kemudian dia digantikan oleh menantunya Dg Samani bergelar Tomessu Ri Atapang di Tapalang dan di Mamuju digantikan oleh anaknya bernama Abdul Rahman Nae Sukur. Dari tanggal 14 sampai 31 Oktober 1862, para raja – raja di Mandar antara lain: Binuang, Majene, Pamboang, Sendana, Tappalang dan Mamuju datang di Makassar untuk menandatangani pembaharuan kontrak panjang.
1863 – 24 Maret, Kontrak dengan Kerajaan Mamuju ditandatangani oleh Maradia Nae Sukur disetujui dan disahkan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda di Makassar. 02 Oktober, kembali terjadi perampokan dan penjarahan kapal dagang milik Belanda di Tapalang. Pemerintah Belanda kembali menuntut ganti rugi namun tidak ditanggapi oleh Maradia Tapalang Dg Samani.
1864 – Maradia Tapalang Dg Samani digulingkan oleh Hadat Kerajaan dan digantikan oleh Pua Caco Tamanggong Gagallang Patta ri Malunda. Oleh pemerintah Hindia Belanda memanggil Pua Caco untuk datang Ke Makassar untuk mendapatkan persetujuan dari pengangkatannya sebagai Maradia Tapalang dan atas tuntutan ganti rugi perampokan kapal niaga Belanda di tahun sebelumnya namun berulang kali Pua Caco menolak perintah tersebut.
1867 – Maradia Tapalang Pua Caco Tomanggong Patta ri Malunda dimaksulkan dari jabatannya sebagai Maradia Tapalang disebabkan penolakan oleh Gubernur Sulawesi karena belum mendapatkan persetujuan Pemerintah Hindia Belanda atas Pelantikannya sebagai raja Tapalang dan belum memberikan pernyataan kesiapan atas pelanggaran kontrak sebelumnya (1862).
1868 – 03 Februari, Maradia Mamuju Nae Sukur merangkap sebagai Maradia Tapalang menandatangani Kontrak Panjang dengan Pemerintah Hindia Belanda.
1874 – 03 Oktober, Setelah Daeng Mattona meninggal dunia pada 1844 sebagai penggantinya putranya bernama Baso Lapatigo baru mendapat pengakuan pemerintah kolonial sebagai Kapten Bugis Kalangkangan melalui surat keputusan tanggal 03 Oktober 1874 sementara putranya bernama Laraga diangkat sebagai pembantunya dengan pangkat Letnan.
1875 – terjadi perseteruan antara Maradia Mamuju/ Tapalang Nae Sukur dengan beberapa bangsawan kerajaan terutama perseteruan dengan Maradia Pangale ,I Samanangi karena Maradia Pangale ini dianggap melanggar Kontrak Perjanjian dengan melakukan tindakan penjualan manusia sebagai budak dan melakukan perampokan dan pembajakan diperairan kerajaan Mamuju.
1883 – Salah satu Putra Nae Sukur yaitu Andi Tjalla menentang Maradia Pangale dan Pattalunru, memeranginya dengan mengerahkan prajurit kerajaan Mamuju untuk menyerang Maradia Pangale bersama Pattalunru dan pasukannya di Karama, namun naas Andi Tjalla tewas terbunuh oleh pasukan Maradia Pangale dan Pattalunru dan sisa prajurit kerajaan Mamuju melarikan diri.
1888 – 5 Juni, atas desakan Maradia Mamuju Nae Sukur kepada Pemerintah Hindia Belanda melalui asisten residen Mandar untuk memberikan bantuan penumpasan kelompok Maradia Pangale I Samanangi dan Pattalunru di Kawasan hutan Karama, maka dikirimlah sejumlah pasukan angkatan laut dengan kekuatan tiga kapal perang MS Koning Der Nederlanden, Prins Hendrik Der Nederlanden dan MS Madura. Dan sehari setelah tiba di Karama Kapal Kapal perang Belanda mulai menggempur habis habisan pasukan Maradia Pangale dikawasan Karama namun tidak ada perlawanan dari pihak Maradia Pangale dan Pattalunru karena sebelumnya telah bersembunyi lebih jauh kedalam kawasan hutan Karama. Baru sebulan kemudian baru diterima kabar bahwa pasukan Pattalunru telah menyerahkan diri kepada pemerintah Belanda.
1889 – 03 Mei, Penandatanganan Kontrak Tambahan ( Suppletoir Contrac) oleh Maradia Mamuju Nae sukur, yang berisi tentang pengaturan hal- hal kabel telegraf dan jalur darat. Dan disaat yang sama Nae Sukur Mundur sebagai Maradia Tapalang dan digantikan oleh Andi Musu Paduwa Limba.
1890 - 18 April, Pengesahan kontrak panjang ditandatangani oleh Maradia Mamuju Nae Sukur dan disetujui oleh Gubernur Hindia Belanda. Tentang Eksplorasi dan Eksploitasi Mineral serta menegaskan agar rakyat Mamuju tunduk pada kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
1895 – 29 Juli, Maradia Nae Sukur meninggal dunia dan digantikan oleh menantunya Karanene berdasarkan keputusan Hadat Kerajaan Mamuju.
1896 – 30 September, dibuat Kontrak perjanjian pendek yang baru karena peralihan kekuasaan Maradia Mamuju yang menyerupai model kontrak sebelumnya Tahun 1894. Dan pada saat yang sama dilakukan pengukuhan Maradia Karanene sebagai raja Mamuju oleh Hadat dan atas kewenangan Pemerintah Hindia Belanda melalui asisten residen yang ditunjuk yaitu Johan Albert G. Brugman.
1899 – 15 Desember, Penandatanganan Kontrak Tambahan (Suppletoir Contract) oleh Maradia Mamuju Nae Sukur, tentang Eksplorasi dan eksploitasi pertambangan dan mineral di wilayah Mamuju.
1900 – 22 Maret, Pengesahan Kontrak Tambahan (Suppletoir Contrac) dan disetujui untuk dilaksanakan.
1905 – 08 November, Maradia Mamuju Karanene menandatangani perjanjian Kontrak Tambahan (Suppletoir Contract) yang mengatur tentang hak pajak bea masuk barang ekspor dan impor dan melaksanakan manajemen pelabuhan dan pengamanan di pelabuhan kerajaan Mamuju. – 13 Juni, Maradia Karanene kembali menandatangani kontrak politik baru yang mengikuti model kontrak Celebes yang mengacu pada model kontrak tambahan tentang pembayaran pajak jalur dagang sebagai pengganti pajak senilai 4200 f. per tahun yang belum dilunasi pihak kerajaan Mamuju.
1906 – 22 Februari, Pengesahan Kontrak Tambahan (Suppletoir Contract) tahun sebelumnya yang ditandatangani oleh Maradia Karanene.- 07 Juni, terjadi perseteruan sengit antara Andi Mattona dengan seorang kerabatnya bernama Sibakkaranna dipicu oleh keputusan Maradia Mamuju yang dianggap menyengsarakan hidup rakyatnya.
1907 - Juni, atas keputusan Gubernur Hindia Belanda untuk segera menduduki ibu kota Mamuju dan memerintahkan Komandan datasemen untuk menangani urusan sipil dibawah arahan dan pengawasan dari asisten residen di Mandar. 07 September, Beberapa anggota bangsawan Kerajaan Mamuju seperti: Sirul Alamin Daenna Maccirinnae, Pattolo Lipu, Pattana Bone dan yang lain melakukan perlawanan di Hulu Sungai Budong Budong dan membangun sebuah Benteng pertahanan yang disebut Benteng Kayu Mangiwang, 28 – September, Benteng Kayu Mangiwang takluk dan dikuasai oleh militer Belanda dibawah pimpinan datasemen Marsose Letnan Kolonel Van Der Zwaan. 20 Agustus, terjadi pertempuran di Ladang Kassa Mamuju perlawanan yang dipimpin oleh Punggawa Malolo (Tapanggujuk Dg Matinja) dan Atjo Ammana Andang.
1908 – 23 Agustus, Daenna Maccirinnae dan Mantaroso Pattana Bone yang tertangkap di pertempuran di Benteng Kayu Mangiwang muara Sungai Budong Budong, di asingkan ke Jepara, Semarang.
Arman Husain 2021
Jumat, 01 Oktober 2021
Sesuai kesepakatan yang di tandatangani oleh beberapa Kerajaan yang berada di wilayah sulawesi Tengah antara lain Kerajaan Palu, kerajaan Banawa/Donggala, Kerajaan Dolo, Kerajaan Kulawi, Kerajaan Tabaku dan Kerajaan Banau yang masing-masing di wakili oleh Rajanya.
- Dari Muara Soengai Soeroemana hingga ke goenoeng Boboe jang tingginja +/- 70 M itoelah tebing tinggi jang pertama tepi kiri dari soengai soeroemana dan itulah jang pertama tampak pada orang kalau moedik dari soeroemana didalam soengai itu.
- Dari poentjak Goenoeng Bobosoe satoe baris loeroes kepoentjaak Goenoeng Datigo/107M/,kedoea goenoeng itoe ada bahagian penghabisan sebelah oetara dari barisan soengai soeroemana dan soengai pasangkajoe ,hampir selaloe selebar kerantau, maka semoea soengai2 jnag terdapat antara kedoea soengai itoe jang mana bermoeara di selat makassar,hoeloenja dari barisan goenoeng terseboet,dengan mengetjoealikan saloe Mosanga,jang langsoeng barisan goenoeng itu.
- Barisan Goenoeng jang terseboet menoeroet keloeroesan poentjaknja sehingga ke goenoeng Boelawa jang tingginja 166M
- Dari Goenoeng Boelawa Menoeroet pemandangan satoe baris loeroes ke goenoeng Polari, teroes sehingga baris itoe bertemoe dengan soengai Pasangkajoe.
- Dari Soengai pasangkajoe Moedik hingga ke Kabalaminti, jaitoe doesoen Totjang telah di tinggikan.
- Dari kabalaminti menoeroet pemandangan satoe baris loeroes arah ke selatan betoel, hingga bertemoe dengan soengai sloeminti.
- Dari saloeminti hilir hingga ketempat mana pertemoenja dengan saloe Tobi.
- Dari Saloe Tobi moedik hingga ke hoeloenja.
- Dari sitoe satoe baris loeroes hingga dimana titik temoenja dari soengai Koro, didalam teloek Kaloekoe.
- Dari soengai Koro moedik hingga ke-ekor barisan goenoeng jang sebentar akan diseboetkan jang mana ekor barisan goenoeng itoe terdapat sebelah barat daeri saloe ampe dan oleh soengai ini terpisahkan dengan ekor barisan goenoeng dimana lembah Pantalawi di Tobakoe.
- Menoeroet poentjak dari ekor barisan goenoeng itoe teroes poela dalam pegoenoengan ditempat pertjeraian air arah ke kiri dari tepi soengai Koro.
- Itoe barisan poentjak dari pegoenoengan jang terseboet akhir ini hingga ke titik sipat dari afdeling Mandar, Midden celebes dan Loewoe
Kamis, 30 September 2021
Selasa, 21 September 2021
Selasa, 20 Juli 2021
Selasa, 13 Juli 2021
Azis Mustamin (jongkok, kedua dari kiri) bersama PSM Makassar do Divisi Utama Perserikatan 1983. Stadion Gresik Jawa Timur
Azis Mustamin (jongkok, kedua dari kiri) bersama PSM Makassar, Divisi Utama PSSI 1985. |