Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Rabu, 23 Februari 2022

Nenek Moyang Orang Mandar

Menurut sumber cerita rakyat, konon sesudah terjadinya air bah yang memusnahkan seluruh manusia, sisa tujuh manusia yang berhasil hidup pada suatu puncak gunung di sekitar hulu sungai Saddang tersebut anak-beranak, bersaudara, atau masing-masing lain (tidak berfamili), tapi secara kebetulan ketemu dihulu sungai Saddang tersebut, setelah masing-masing berhasil menyelamatkan siri dari amukan air bah. Ketujuh orang tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pongkapadang menuju ke Utara menyusur gunung dan tiba/bermukim di Tabulahan (Daerah Pitu Ulunna Salu).
b. Tolombeng Susu menuju ke Timur dan tiba/bermukim di Luwu (Palopo).
c. Tolando Beluwaq menuju ke Selatan dan tiba/bermukim di Bone (Daerah Bugis).
d. Paqdorang juga menuju ke Selatan dan tiba/bermukim di Belau (Belawa).
e. Tolambeq guntuq juga menuju ke Utara dan tiba/bermukim di Lariang (Daerah Mamuju).
f. Sawerigading dan Tanriabeng, pergi berlayar entah ke mana arah perginya.

Menurut data Lontar Mandar (Lontar Pattappingan), juga mengakui adanya tujuh orang laki-laki semua di temukan di hulu sungai Saddang dan ketujuhnya bersaudara kandung, yakni anak dari Tomanurung, Tobisseditalang (laki) kawin dengan Tokombong Dibura (wanita), lahirlah anak :
a. Tobanua Pong (Tobanua Poang = Kampung tua).
b. Ilaso Kepang
c. Ilando Guntuq
d. Usuq Sababang
e. Topaqdorang
f. Pongkapadang
g. Tapalluq.

Dalam Lontar Balanipa Mandar, juga sepakat bahwa manusian pertama yang berkembang di Mandar, ditemukan di hulu sungai Saddang dan mereka adalah para Tomanurung yang bernama Tobisse Ditallang dan Tokombong Dibura. Perbedaannya dengan Lontar Pattappingan adalah; Tobisse Ditallang perempuan dan Tokombong Dibura laki-laki, juga tidak menentukan bahwa mereka beranak tujuh orang. Jelasnya adalah sebagai berikut : Tokombong Dibura kawin dengan Tobisse Ditallang, lahirlah Tobanua Pong. Tobanua Pong melahirkan Tapaqdorang, Tapaqdorang melahirkan Pongkapadang kawin dengan Sanrabone (Torijeqne) lahirlah seorang anak perempuan yang kemudian diperisterikan Topole di Makka. Maka dari perkawinan ini , lahirlah Tometeq-eng Bassi dan Tometeq-eng Bassi kawin dengan sepupunya, lahirlah Daeng Lumalleq. Daeng Lumalleq kawin sepupu lagi, lahirlah sebelas orang anak, sebagai berikut :
1. Daeng Tumana
2. Lamber Susu
3. Daeng Manganaq
4. Sahalima
5. Palao
6. To qandari
7. Daeng Palulung
8. Todipikung
9. Tolambana
10. Topaniq Bulu
11. Topaliq.

Dari sumber yang sedikit berbeda ini, sepakat menunjuk Pongkapadang sebagai nenek moyang orang Mandar, karena dari padanyalah lahir manusia sebelas bersaudara dan itulah nenek moyang manusia yang berkembang di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binang. Dari sumber cerita rakyat, ada juga manusia sebelas versi Tabulahan, yang menurut sumber ini, juga anak cucu dari Pongkapadang. Lima orang diantaranya ; Daeng Tumana, Daeng Matana, Tammiq, Taajoang dan Sahalima berkembang di Pitu Ulunna Salu dan enam orang diantaranya berkembang di Pitu Ba’bana Binanga, yakni; Daeng Mallulung di Taraqmanu, Tolaqbinna di Kalumpang, Makkedaeng di Mamuju, Tokarabatu di Simboroq, Tambulubassi di Tapalang, Tokaiyyang Pudung di Mekkattaq.

Seminar Sejarah Mandar juga di Tinambung Balanipa Polmas menetapkan bahwa nenek moyang orang Mandar berasal dari Pitu Ulunna Salu, yaitu Pongkapadang.

2. Kekerabatan orang Mandar dengan kerajaan lain di luar Mandar
Dengan melihat manusia tujuh di Ulu Saddang, jika data Lontar yang mengatakan bahwa manusia tujuh yang ditemukan di hulu sungai Saddang itu bersaudara kandung, maka tidak dapat diragukan lagi, adanya hubungan kekerabatan antara orang Mandar dengan keturunan Tolombeng Susu di Luwu, Tolando beluheq di Bone, Paqdorang di Belau (Belawa), serta keturunan Sawerigading dan Tanriabeng, entah dimana saja berada.

Begitu juga hubungan kekerabatan Mandar debgan Gowa, selain yang terjadi pada dimensi awal munculnya manusia dan perkembangannya di hulu sungai Saddangtersebut, lebih jelas lagi pada saat kawinnya Batara Gowa pada Rerasi putri raja Balanipa-Mandar, yang melahirkan Tomapa’risi Kallonna bersaudara, yang sempat menjadi raja gowa.

Hubungan kekerabatan lain, adalah kawinnya Bannaiq putra raja Sendana-Mandar dengan Karaeng Baine (putri raja gowa) Somba sebagai ibu kota kecamatan Sendana Kabupaten Manjene sekarang, adalah bukti sejarah dari peristiwa perkawinan Bannaiq ini dengan Karaeng Baine dari Gowa ini. Dulu daerah itu bernama Lamboriq, tapi setelah perkawinan itu terjadi, namanya berubah jadi Somba, karena pesan dari mertua Bannaiq waktu Karaeng Baine di bawa pulang ke Senadana, supaya dimana saja daerah itu disamakan dengan nama daerah Karaeng Baine, agar mudah dicari, jika orang tuanya rindu padanya. Karena mereka kawin di Somba sampai sekarang.
hubungan kekerabatan Mandar dengan Bone pun demikian halnya. Selain dari Talando Beluheq, juga diikuti oleh perkawinan yang lain sesudahnya, baik antara Balanipa dengan Bone, maupun antara Banggae, Pamboang dan Sendana. Satu contoh misalnya; Tomesaraung Bulawang isteri Daeng Palulung raja Sendana yang pertama adalah putri dari Raja Bone. Adik kandung Daeng Marituq Arayang di Sendana (cucu langsung dari Daeng Palulung) yang bernama Daeng Malonaq, juga kawin pada sepupunya di Bone.

Begitu juga antara Mandar dengan Luwu. Daeng Sirua yang bergelar Puang di Luwu, adik sepupu dari Daeng Palulung yang kawin dengan putri Puatta di Saragiang (Alu), adalah berasal dari Luwu, yang konon keturunanan Tolombeng Susu. Keturunan Daeng Sirua kelak mewarisi kerajaan Alu dan Taramanuq. Dengan demikian, maka jelas sekali adanya pertalian kekerabatan antara Mandar dengan Gowa, Bone dan Luwu, serta beberapa kerajaan lain di Sulawesi Selatan.

3. Kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga. Secara umum, kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga sudah tidak dapat diragukan, berdasarkan fakta sejarah, bahwa manusia yang berkembang di dua kelompok tersebut adalah Pongkapadang dan keturunannya. Namun penulis masih merasa perlu melukiskan perkembangan kekerabatan itu pada beberapa kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga, hingga lebih jelaslah proses perkembangan kekerabatan tersebut sebagai berikut :

Manusia yang berkembang di Balanipa
Seperti yang penulis telah uraikan terdahulu, bahwa Daeng Lumalleq (cucu Pongkapadang) melahirkan sebelas orang anak yang dalam sejarah Mandar dikenal dengan istilah manusia sebelas. Anak ke sebelas diantara manusia sebelas ini adalah Topali. Topali inilah yang kawin dengan Tosimbaqdatu, lahirlah Tobittoeng, Tobittoang yang melahirkan Tomakakaq Napo yang kawin dengan putra Tolemo, lahirlah Weapas yang diperisterikan Puang Digandang, yang melahirkan pula I Manyambungi, raja Balanipa yang pertama. Demikianlah proses keturunan itu berkembang sampai sekarang ini, dimana sesudah I Manyambungi Todilaling ini, lebih meluas dan berkembang pula peraturan kekerabatan antara Balanipa dengan seluruh Mandar.

Manusia yang berkembang di Sendana
selain itu Daeng Palulung saudara kandung Topali (anak ke tujuh dari manusia sebelas), juga anak ke enam dari manusia sebelas yaitu Taandiri berkembang pula di Tallangbalao sendana. Tidak lama kemudian, datang pula Inuji Tokearaq alias Tosibaba Adaq di Limboro Ramburambu Sendana dan berkembang pula keturunannya sampai sekarang. Tosibaba Adaq ini juga adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Begitulah proses perbauran tali-menali kekerabatan diantara tiga sumber keturunan itu di Sendana sampai sekarang, di mana perkembangan lanjutan sesudah ketiga sumber itu jauh lebih meluas, baik diantara Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu, maupun dengan orang di luar Mandar.

Manusia yang berkembang di Banggae
Semula, Banggae dikenal dengan keturunan Tomakakaq di Salogang (Baruga). Tomamakaq di Salogang ini adalah keturunan manusia sebelas juga, yang turun kepantai bersama-sama dengan Topali dan Tosimbaqdatu. Setelah Tosimbaqdatu dengan putrinya Tobittoeng tinggal di Balanipa, tinggal pula Tomamakaq di Salogang di sebuah bukit di Baruga sekarang dan berkembang di sana. Lama kelamaan, beralihlah pusat pemerintahan kepantai yang berkedudukan di Salabose. Dari perkembangan ini, lebih mekarlah pertalian kekerabatannya dengan keturunan Tobittoeng di Balanipa dan bahkan dunia luar. Terbukti dengan kawinnya Imerruparupa Bulawang dengan Topolepole (pendatang). Demikian perkembangan keturunan yang ada di Banggae dengan dunia luar dan antar Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu lebih berkembang luas sampai sekarang.

Manusia Yang berkembang di Pamboang
Menurut Binu Aman sejarawan/budayawan Pamboang, Tomellu melluangang yang datang di Pamboang pertama kali itu, adalah orang Passokkorang. Namun data Lontar Mandar itu juga menggambarkan bahwa Tomellumelluangang adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Yang jelas sumber kedatangannya di Pamboang, adalah Tonisora, raja Pamboang pertama yang datang menyusul Tomellumelluang. Tonisora ini adalah anak dari Tomakakaq di Peurangan, juga keturunan dari manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Mula-mula Tonisora datang ke Puttaqdaq Sendana dan kawin dengan putri Maraqdia Puttanoeq di Sendana, kemudian orang Pamboang datang memintanya umtuk jadi raja di Pamboang. Berkembanglah Tonisora di Pamboang, di samping keturunan Tomellumelluangang sebagai manusia yang pertama datang di Pamboang.57 Perkembangan keturunan berikutnya, jauh lebih meluas di seluruh daerah Mandar dan juga di luar Mandar sampai sekarang ini.

Manusia yang berkembang di Tappalang
Selain Tambulubassi dan pembauran antara keturunan Tandiri dan Tokaiyyang Pudung di Makkatta, juga telah berkembang lebih luas sampai sekarang, terutama dengan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu.

Manusia yang berkembang di Mamuju
Menurut data Lontar, sebelum kehadiran Makkedaeng, Tokarabatu dan Tolaqbinna, keturunan Talambeq Guntuq yang berasal dari manusia tujuh yang ditemukan di hulu Sungai Saddang, telah berkembang di Mamuju. 

Manusia yang berkembang di Binuang
Data Lontar memberi petunjuk bahwa manusia yang berkembang di Binuang adalah juga dari cucu Tokombong Dibura. Dengan demikian, maka mereka adalah juga salah satu dari manusia sebelas, baik dari versi Tabulahan maupun dari varsi Rantebulahan (Pitu Ulunna Salu).
Labih lanjut, perkembangan hubungan kekerabatan menyeluruh di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga serta diluar Mandar, telah diurai rinci dan luas oleh H. Saharuddin dalam Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan Tahun I-4, Januari, Pebruari, Maret 1978.60 Dalam konferensi Tammajarra II, dalam dialognya dengan raja-raja di Pitu Ba’bana Bianga, Tomeppayung raja Balanipa lebih menjelaskan hubungan kekerabatan itu sebagai berikut :
"Malluluareq nasangdi tau mieq inggannana puang, mesadi nene niperruqdussi nisiolai, apaq apponadi Tokombong. Malluluareq nasangditau, apaq sambulo-bulo ditiruqdussi".

Dengan demikian, maka hubungan kekerabatan di Mandar adalah sangat jelas, bahwa orang Mandar bersumber dari satu keturunan yang sejak awal sudah bersatu karena senasib. Olehnya itu, meskipun sering berbeda pendapat sesamanya, tapi kerukunan hidup tetap terpelihara dan terjamin, karena memang suku Mandar berasal dari satu sumber keturunan.

Rabu, 19 Januari 2022

Bajak Laut di Perairan Barat Sulawesi

Dinamika kegiatan pelayaran niaga menjadi kompleks sejak munculnya para perompak atau bajak laut dari Bugis, Makassar, Mandar, Mindanao, dan Tobelo. Mereka melakukan aktivitasnya di Perairan Gorontalo dan di kawasan Teluk Tomini. Pada 27 September 1677 dalam kunjungan Gubernur Maluku, Robertus Padtbrugge di Gorontalo, masalah perompakan menjadi pembahasan penting dalam pertemuan dengan olongia (Maha Raja Kerajaan) Gorontalo. Padtbrugge menyampaikan bahwa keamanan di Teluk Tomini dan pantai utara Sulawesi sangat rawan bagi pelayaran niaga. Hal ini menunjukkan banyaknya bajak laut berkeliaran di Teluk Tomini dan sulit ditaklukan oleh raja-raja di kawasan Teluk Tomini. Untuk mengamankan pelayarannya di Gorontalo, maka VOC mengontrol langsung kawasan Gorontalo agar mencegah timbulnya kerugian lebih besar terjadi pada perdagangannya. Selanjutnya VOC menekan olongia Gorontalo melalui perjanjian antara lain dalam Pasal 8 bahwa olongia Gorontalo wajib menjaga keamanan di wilayah perairannya dari gangguan bajak laut dan menyerahkan para bajak laut yang ditangkap kepada VOC (Juwono dan Hutagalung, 2005:74-75).

Para bajak laut Bugis dan Makassar lebih memiliki strategi serta cara kerja yang lebih baik. Sepanjang wilayah operasinya, mereka mendirikan pangkalan-pangkalan yang letaknya strategis di antara pelabuhan besar atau dekat dari transit kapal dagang. Pangkalan mereka antara lain di Kalangkangan untuk mengawasi Pelabuhan Tolitoli, dan Kwandang. Pangkalan Kalangkangan berfungsi untuk mengawasi dan mencegat kapal-kapal yang memuat barang dagangan dari Gorontalo ke Manado. Setiap pangkalan mempunyai seorang pemimpin, dan mereka membentuk jaringan dan saling membantu ketika menghadapi musuhnya (Juwono dan Hutagalung 2005:108-109).

Hubungan dagang antara bangsawan Gorontalo dengan pedagang Bugis dan Mandar tetap terjalin. Pada 1750-an, pedagang Mandar dipimpin Daeng Mapata memperluas kegiatan operasinya di daerah-daerah pesisir Gorontalo sebagai daerah produksi emas, hasil bumi, dan hutan. Daeng Mapata memiliki hubungan dagang dengan Olongia Botutihe dan bangsawan Gorontalo. Daeng Mapata membeli hasil-hasil hutan dari Gorontalo dan paling utama adalah kayu, lilin, madu, damar, getah, dan rotan (Juwono dan Hutagalung 2005:166). Selain itu, pedagang Bugis, Mandar, dan Makassar membeli barang dagangan yang dilarang diperdagangkan oleh VOC, seperti senjata, amunisi, candu, dan budak merupakan komoditas utama yang menghasilkan keuntungan besar.

Akibat hubungan kerjasama antara olongia dan bangsawan Gorontalo dengan para bajak laut Bugis dan Mandar menyebabkan VOC mengalami kerugian besar. VOC menuduh olongia melanggar perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dengan mengusir para bajak laut dari daerahnya. Sebaliknya, benteng ”Nassau” VOC yang letaknya di Muara Sungai Gorontalo dengan sejumlah pasukan untuk mengamankan kepentingan politik dan ekonominya ternyata tidak banyak membantu mencegah aktivitas para bajak laut. Begitu pula kurangnya jumlah kapal VOC di Perairan Gorontalo menyebabkan tidak efektifnya pengawasan dan kontrol terhadap para bajak laut di kawasan Gorontalo.

Pada awal abad ke-18, terjadi peningkatan jumlah perompakan kapal-kapal dagang VOC yang dilakukan bajak laut dari Bugis, Makassar, dan Mindanao. Munculnya pelaut Mandar sebagai bajak laut telah menambah semakin meningkatnya perompakan di kawasan Gorontalo. Untuk mempermudah pengawasan di Teluk Tomini, bajak laut Mandar mendirikan pangkalannya di Gorontalo. Laporan semakin banyaknya perompakan dan munculnya bajak laut Mandar menyebabkan Gubernur Maluku, Pieter Rooselaar di Ternate mengambil tindakan untuk mengusirnya. Pada 1702, Rooselaar mengirim utusannya ke olongia Gorontalo agar melarang para pelaut asing menetap di Gorontalo. Namun permintaan Rooselaar mendapat penolakan dari Olongia Walangadi. Faktor ini menyebabkan Rooselaar memerintahkan untuk menyerang basis pangkalan bajak laut Bugis, Mandar, dan bajak laut lainnya di Gorontalo. Kemudian dikirim armada VOC dibantu penduduk Tambokan ke Gorontalo, VOC berhasil mengalahkan dan mengusir para bajak laut di Gorontalo. Pada 25 Februari 1703, setelah para bajak laut tidak kembali lagi ke Gorontalo, kemudian Rooselaar memerintahkan untuk menarik kembali armadanya ke Ternate (Juwono dan Hutagalung, 2005:110-111).

Meningkatnya perompakan di kawasan Teluk Tomini, mengakibatkan VOC mengalami kerugian besar. Gubernur Maluku memerintahkan olongia Gorontalo yang mempunyai pengaruh di kawasan Teluk Tomini agar menyelesaikan keamanan di daerah itu. Walaupun olongia Gorontalo menyetujuinya, tetapi sebagian besar bangsawan menolaknya. Para bangsawan menyadari tekanan politik VOC melalui perjanjian atau kontrak yang telah disepakati sangat merugikan posisi Gorontalo. Mereka lebih suka berhubungan dengan pedagang Bugis dan Mandar yang lebih banyak memberi keuntungan daripada menjalin hubungan dagang dengan VOC. Tidak mengherankan beberapa bangsawan memberikan kemudahan bagi aktifitas para bajak laut dalam melakukan penyelundupan dan memberi perlindungan, sehingga bajak laut sulit ditangkap oleh VOC.

Pada 1820, akibat tekanan patroli kapal perang Belanda maka bajak laut Tobelo melakukan persekutuan dengan bajak laut Mindanao, mereka mempunyai persembunyian dan logistik (Velthoen 2010:204). Perahu bajak laut Tobelo memuat sampai 10 orang dan terdapat 4 atau 5 perahu dalam melakukan kegiatan ekspedisinya. Untuk ekspedisi yang lebih penting atau besar, beberapa perahu kecil diikat bersama untuk membentuk pasukan yang lebih besar di bawah perintah seorang pimpinannya. Pada 1870, terdapat 48 perahu bajak laut Tobelo beroperasi di Teluk Tomini. Kemudian dipisah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan menyebar ke perairan timur Sulawesi (Velthoen, 2010:214).

Perompakan di Teluk Tomini dan pantai utara Sulawesi sering dianggap sebagai bentuk menentang penindasan oleh pihak yang lemah terhadap mereka yang mendominasi. Para bajak laut di Teluk Tomini yang terkenal selama abad ke-19 adalah Tombolotutu seorang bangsawan yang kemudian diangkat menjadi raja Muton dan dianggap oleh penduduk setempat sebagai tokoh yang bangkit menentang dominasi ekonomi Pemerintah Belanda (Juwono dan Hutagalung, 2005:21).

Laporan umum Asisten Residen Gorontalo dalam catatanya tahun 1824, 1832, 1833, dan 1834 terjadi jumlah perompakan yang cukup besar. Kemudian Asisten Residen Gorontalo menyurat kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tentang aktifitas para bajak laut, dan meminta bantuan Gubernur Jenderal untuk secepatnya menumpas para bajak laut yang telah menggangu pelayaran dan perdagangan di wilayahnya (ANRI, 1976). Laporan Asisten Residen Gorontalo ditanggapi serius Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia dengan menempatkan sebuah kapal perang di Perairan Gorontalo (Rosemberg, 1865:15). 

Pertengahan abad ke-19, pelaut Mandar telah menempati kedudukan penting dalam kegiatan penyelundupan dan perdagangan gelap. Mereka melakukan hubungan dagang dengan orang Kaili, Bugis, dan Gorontalo. Bajak laut Mandar membawa kain, candu, dan beras ke Gorontalo. Setelah memasukkan barang dagangannya, kemudian mengangkut damar, lilin, teripang, sagu, dan kulit kerang (Juwono dan Hutagalung, 2005:322-323).

Sumber: Disadur dari tulisan Hasanuddin tentang "Pelayaran Niaga, Bajak Laut, Perkampungan Pedagang Di Gorontalo".


Selasa, 18 Januari 2022

Si Cantik Samindara (Bag. 2)

Tak berapa lama setelah tertidur Kunjung Barani lalu terbangun dan segera melangkah menuju ke tempat perahunya ditambatkan untuk segera berangkat menuju Pulau Sabakkatan. Tak lama kemudian Samindara menyusul Kunjung Barani ke perahunya untuk bersama sama berlayar ke pulau Sabakkatan. Tapi Kunjung Barani tidak mengizinkan Samindara ikut berlayar bersamanya, mungkin karena Kunjung Barani berfikir perjalanan menuju pulau Sabakkatan ini amatlah jauh dan sangat berbahaya jika Samindara ikut serta bersamanya. Namun Samindara bersikukuh untuk ikut dan tidak mau melepaskan pegangannya diperahu Kunjung Barani, hal tersebut membuat Kunjung Barani marah dan memukul tangan Samindara dengan dayungnya maka tangan Samindara pun terlepas dari perahu. 

Dan tak lama kemudian perahu Kunjung Barani segera berlayar ketengah lautan menuju pulau Sabakkatan. Samindara yang ditinggal oleh Kunjung Barani merasakan kekecewaan yang mendalam dan sangat sedih karena tidak ikut berlayar ke pulau Sabakkatan bersama Kunjung Barani. Samindara pun kembali ke tepian pantai dan dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan seorang nelayan lantas Samindara berpesan pada nelayan tersebut " Tolong sampaikan pada Kunjung Barani jika suatu hari nanti dia kembali dan aku telah meninggal dunia, sampaikan bahwa datanglah ke kuburanku dan taburilah dengan Ringgit emas dan pagari sekelilingnya dengan bunga-bunga emas". Demikianlah pesan Samindara pada nelayan tersebut. 

                      Ilustrasi Samindara

Setelah beberapa bulan berlayar akhirnya Kunjung Barani tiba di pulau Sabakkatan, dan mulai membuat sebuah tempat tinggal. Tak lama kemudian pada suatu hari Kunjung Barani tertidur dia pun bermimpi melihat dirinya memancing dilaut tapi anehnya dia bukannya mendapatkan ikan malah mendapat seekor rusa, dia juga bermimpi sedang berburu dihutan malah mendapatkan seekor ikan. Setelah mendapat mimpi yang aneh itu, Kunjung Barani berfirasat bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya, dia pun segera mengingat Samindara yang telah dia tinggalkan dan akhirnya Kunjung Barani berniat untuk segera kembali pulang untuk menemui Samindara kekasihnya. 

Setelah berselang beberapa lamanya akhirnya perahu Kunjung Barani sampai juga di tepian pantai dan dia pun mendapati nelayan yang kebetulan tinggal disitu, nelayan tersebut tiba-tiba saja teringat akan pesan Samindara beberapa waktu yang lalu, kemudian nelayan itu menanyakan siapa dirinya dan apakah mengenal Samindara dan menceritakan pesan Samindara pada Kunjung Barani. Kunjung Barani pun kaget dan sangat terpukul dengan berita kematian Samindara lantas dengan kesedihannya Kunjung Barani menanyakan kepada nelayan tadi dimana kuburan Samindara berada. Karena merasa tidak percaya dengan kematian Samindara itu, Kunjung Barani kembali bertanya pada nelayan tersebut kalau dia tidak yakin Samindara telah meninggal secepat itu. Nelayan itu kemudian berkata pada Kunjung Barani " Mengapa engkau tidak percaya semua ini, bukankah engkau yang telah meminta untuk berguru dan mendapatkan ilmu memikat hati perempuan pada seorang kakek di Toraja untuk mendapatkan cinta seorang Samindara..?" Kunjung Barani hanya terdiam dengan seribu penyesalan dalam dirinya dan akhirnya meminta untuk diantar ke lokasi kuburan Samindara berada.

Setelah mengetahui dimana kuburan Samindara berada, Kunjung Barani tak berselang lama sudah menyiapkan beberapa koin Ringgit emas dan beberapa bunga bunga terbuat dari emas demi untuk memenuhi permintaan dalam pesan Samindara sebelum meninggal. Dalam rasa duka yang menyelimuti hati Kunjung Barani ditaburkanlah koin koin emas itu dan memagari kuburan Samindara dengan bunga-bunga emas. Kunjung Barani kemudian  berniat kembali keperahunya dan melanjutkan perjalanan entah kemana diapun tidak tahu arah lagi, sebelum sampai ke tepian tempat perahunya ditambatkan, Kunjung Barani berfikir untuk membawa bekal air minum yang cukup selama perjalanannya. Dicarilah sumber air tersebut berada dan kebetulan dia menemukan sebuah sumur yang banyak airnya lagi jernih, sebuah sumur batu yang tepat berada dibawah sebuah pohon beringin besar dan lebat. Diambillah bambu dan batok pinang buat menimba air sumur itu, disaat Kunjung Barani menimba air terlihat nampak wajah Samindara diatas permukaan air sumur itu, Kunjung Barani penasaran setelah bayangan wajah Samindara yang cantik perlahan hilang dan tak lama kemudian Kunjung Barani yang sudah menimba air tak sengaja mendongak keatas pohon beringin dan tiba tiba muncul lagi sosok Samindara diatas pohon, karena rasa penasarannya Kunjung Barani berbicara pada bayangan sosok Samindara yang ada diatas pohon beringin dan mengajak Samindara untuk turun menemuinya. Jelas bahwa sosok tersebut adalah arwah Samindara atau mahluk ghaib yang menyerupai Samindara tentunya hal itu sangat menakutkan bagi siapapun yang mengalaminya tapi bagi Kunjung Barani dia tidak sedikitpun merasa takut sehingga pantaslah namanya disebut Kunjung Barani karena jiwanya yang sangat pemberani. 

Sosok Samindara yang diajak Kunjung Barani turun itupun akhirnya turun juga mendekati Kunjung Barani dibawah. Kunjung Barani yang tidak lagi berfikir jika yang bersamanya bukanlah Samindara tapi mahluk halus itu karena rasa cintanya kepada Samindara sehingga tidak lagi berfikir siapa sebenarnya yang sedang bersamanya. Setelah mereka duduk bersama sama sambil bercakap-cakap dibawah pohon itu, Kunjung Barani merasa lapar dan mengajak Samindara untuk makan bekal yang akan dibawa berlayar tadi. Merekapun berdua makan bersama, karena sangat lapar Kunjung Barani yang berapa hari lalu tidak bernafsu makan kini lahap makan dan merasa senang karena sedang ditemani Samindara. Kunjung Barani tanpa sadar sudah dua kali menambah nasinya sedangkan Samindara tidak berkurang nasinya sedikitpun malah nasi itu banyak yang berhamburan ditanah. Melihat hal tersebut Kunjung Barani bertanya pada Samindara " mengapa hanya makan sedikit sepertinya nasi yang ada di depanmu tidak pernah berkurang ?" Lantas Samindara menjawab " Itu karena saya bukan lagi manusia melainkan arwah sedangkan kamu itu manusia, kita sudah berbeda alam aku sudah meninggal dan kita tidak akan bisa hidup bersama" mendengar jawaban Samindara hatinya sangat sedih sampai sampai Kunjung Barani meneteskan air mata. Dengan nada bicara yang diliputi kesedihan Kunjung Barani kemudian kembali bertanya " bagaimana caranya agar aku bisa terus bersamamu" Samindara kemudian berkata "petiklah buah mangga untukku yang dahannya menjulang lurus keatas diseblahnya ada dahan yang menghadap ke matahari terbenam dan yang sebelahnya lagi dahan yang  menghadap kearah matahari terbit". Mendengar jawaban sekaligus permintaan Samindara tersebut akhirnya Kunjung Barani mencari pohon mangga yang ada didekat situ dan kebetulan ada pohon mangga yang berada dekat dengan kuburan Samindara yang besar dan tinggi, dipanjatlah oleh Kunjung Barani pohon itu sampai keatas dahan yang paling tinggi untuk mencari buah mangga yang ada ditengah tengah dahan yang disebutkan tadi. Setelah dicari-cari Kunjung Barani akhirnya menemukan ciri-ciri tiga dahan itu dan ditengahnya ada dahan muda yang lurus keatas disitulah ada buah mangga yang masih muda, tanpa pikir panjang lagi Kunjung Barani berusaha untuk menggapai buah mangga tersebut tanpa memikirkan resikonya dahan itu bisa patah karena masih muda dan rapuh, dan benar saja setelah tangannya bisa memetik buah mangga itu, dahan yang dipijak Kunjung Barani pun patah tidak mampu menahan berat badannya, seketika juga Kunjung Barani jatuh dan terhempas ketanah dan mati saat itu juga. Demi seorang wanita cantik yang telah menarik hatinya Kunjung Barani rela melakukan segala sesuatu yang bisa membuatnya menderita dan mati dan jasadnya konon dimakamkan berdekatan dengan Samindara. 
(Arman H-2022)

Jumat, 15 Oktober 2021

Pernikahan Dalam Adat dan Budaya Mamuju

Sebagaimana diketahui bahwa negara Republik Indonesia memiliki banyak ragam budaya, etnis dan agama. Masing-masing daerah mempunyai budaya dan adat istiadat sebagai ciri khas daerahnya. Seperti halnya dalam perkawinan, Mamuju memiliki adat tersendiri yang berbeda dengan etnis Mandar, meskipun Mamuju termasuk bagian dari etnis Mandar. Proses perkawinan adat Mamuju sama tetapi tidak serupa dengan perkawinan adat Mandar.

Ada sebuah pepatah yang mengatakan, lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalang.

Defenisi kawin ialah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri. Pengertian hakekat perkawinan menurut agama Islam ialah untuk mengikuti Sunnah Rasul Allah, Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam dalam membentuk keluarga yang sakinah warahmah, berbakti kepada Allah serta taat kepada orang tuanya.

Fase-fase perkawinan :

Untuk perkawinan yang wajar di Mamuju, dalam rangkaian pelaksanaannya melalui beberapa fase dan teknik perbincangan yang begitu halus dan sopan, baik sebelum maupun sesudahnya. Fase-fase tersebut adalah sebagai berikut :


Fase Pendahuluan Uru Pakita (Pandang Pertama)

Pada umumnya manusia yang normal pertumbuhan pada u muda akan mengalami suatu masa yang dikenal dengan mat baler (puber). Pada masa ini akan timbul beraneka raz perasaan yang melanda jiwanya antara lain berupa harap harapan dan kerinduan. Dan setelah ia menemukan dan meliha seorang gadis yang menarik perhatiannya maka ia dala menyatakan perasaannya itu terhadap sang gadis tersebut pada masa dahulu biasanya dibarengi dengan pantun atau kalinda'da.


Ma'lolang (Bertandang)

Untuk melanjutkan perkenalan, pemuda tersebut dengan gadis pandangan pertama itu sebagai akibat dari pandangan pertamanya terhadap sang gadis dan sekaligus bersilaturrahmi dengan orang tua gadis bersama keluarganya, maka pemuda tersebut melakukan kunjungan dinamai malolang (bertandang ke rumah sang gadis) pada waktu-waktu senggang terutama pada waktu malam dan sang pemuda sudah menentukan bahwa gadis inilah satu-satunya yang akan menjadi calon teman hidup d dalam suka dan duka, maka proses selanjutnya adalah sebagai berikut :


I. Ma'bisi' atau Memmanuq-manuq

Ketika dua insan yang berlainan jenis sudah saling jatuh cinta maka dengan secara rahasia pihak laki-laki mengutus seseora atau beberapa orang untuk berkunjung ke rumah p pa perempuan guna menyampaikan maksud dan niat sang pemud tersebut kepada orang tua pihak perempuan (gadis).

sebagai syarat pertama adanya sebuah harapan yang ingin disampaikan. Bingkisan tersebut dibungkus dalam beberapa buah sinto yang isinya terdiri dari rokok, sabun mandi, korek api dan lain-lain. Apabila harapan dan maksud tersebut mendapat sambutan positif, maka proses mabisi atau memanu-manu akan berkelanjutan, tetapi apabila niat dan harapan tersebut tidak mendapat sambutan atau ditolak, maka kunjungan mabisi dianggap tidak pernah ada dan bingkisan yang dibawa tidak dikembalikan yang di dalam istilah bahasa Mamuju disebut, nitibe naung di kalobo atau istilah lain tingkudu pute (di buang ke dalam lubang atau istilah lain adalah ludah yang sudah dibuang tidak mungkin dijilat kembali).


II. Mesudu atau Ma'dutá  (Pelamaran)

Pada tahap kegiatan pelamaran (mesudu/ma'duta) kedua belah pihak mempersiapkan diri dan menghadirkan sanak keluarga/famili dalam jumlah yang besar serta kedua belah pihak menunjuk juru biacara. Adapun perlengkapan atau bingkisan dari pihak keluarga orang tua laki-laki yang diantar ke rumah pihak perempuan dengan suatu rombongan yang sudah besar dengan membawa bingkisan berupa beberapa buah sinto dan balla-balla yang di dalamnya berisi rokok, sabun mandi, korek api, balla-balla berisi pisang, jeruk, nenas dan buah-buahan lainnya. Jumlah sinto dan balla-balla biasanya ditentukan dan diukur dari stratifikasi sosial seseorang yang akan melaksanakan perkawinan. Selain sinto, juga ada pakaian perempuan seperti pakaian dalam, alat make-up, sandal, handuk dan lain-lain. Barang bawaan ini diantar oleh para muda-mudi dan orang-orang tua keluarga, kerabat dan sahabat dari pihak laki-laki. Pelaksanaan ma'duta atau pelamaran ini biasanya dilakukan pada malam hari.


Bagi juru bicara pihak perempuan yang sudah dipersiapkan sudah dibekali beberapa buah amanah dan sebuah catatan perincian dan jumlah uang biaya perkawinan, uang mahar dan passorong ditambah emas, hewan dan bahan konsumsi lainnya sesuai kemampuan pihak laki-laki.


Setelah mengadakan negosiasi oleh kedua juru bicara yang b dibarengi dengan kiasan dan pantun (kalinda'da) catatan rencana perincian besarnya biaya dibungkus dalam amplop kemudian diserahkan kepada juru bicara pihak laki-laki, untuk dibawa dan dipertimbangkan oleh orang tua dan keluarga pihak laki-laki. Jika di dalam perkawinan ini stratifikasi (tingkat kebangsawanan) pihak perempuan lebih tinggi dari laki-laki, biasanya pihak orang tua perempuan meminta biaya perkawinan dalam jumlah besar yang biasa disebut mangalli rara (membeli darah). Sama halnya, bila pihak keluarga perempuan kurang setuju maka di sini juga meminta biaya perkawinan tinggi yang biasa disebut mendodo maroka (meminta dengan terpaksa). Bila keluarga pihak laki-laki menganggap permintaan keluarga perempuan sudah terlalu tinggi/besar sehingga pihak laki-laki tidak menyanggupinya, maka kembali keluarga laki-laki mengirim utusan ke rumah orang tua perempuan untuk menyampaikan permohonan maaf atas gagalnya rencana perkawinan dengan ungkapan dan kata-kata "rupanya Tuhan belum mempertemukan jodoh kedua anak tersebut dan istilah lain niala membali passolosuungang (kita kembali menjalin tali persaudaraan)".


Akibat gagalnya perkawinan tadi, maka seluruh barang bawaan dari pihak laki-laki yang sudah diterima harus dikembalikan dengan utuh kepada pihak laki-laki, tetapi sebaliknya kalau pihak laki-laki memutuskan atau membatalkan rencana perkawinan secara sepihak, maka segala macam bawaan dan rencana biaya perkawinan harus ditunaikan oleh pihak laki laki yakni membayar 50 % dari rencana semula dalam bahasa Mamuju disebut massorong sambare atau dengan istilah lain mappalumpa simbolong. Hal ini harus dilakukan karena oleh pihak keluarga perempuan sudah menanggung malu akibat batalnya rencana perkawinan.


III. Modore (Pertunangan)

Proses modore ini berlangsung mulai dari adanya kesepakatan bagi kedua belah pihak tentang biaya dan waktu pelaksanaan akad nikah dan biaya perkawinan sudah tuntas semuanya yang hal ini memakan waktu dari 1 bulan sampai 3 bulan, maka masa ini disebut modore. Selama waktu modore ini calon pengantin laki-laki diharuskan mengantar uang belanja dan bahan konsumsi ke rumah orang tua perempuan yang hal ini disebut mapakande manu artinya memberi makan ayam, karena ayam yang diikat sudah perlu diberi makan. Di daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Mandar pada khususnya ada suatu anggapan yang senantiasa dipelihara yaitu adanya suatu tanda kesungguhan hati dari kedua belah pihak untuk menepati janji dalam mewujudkan rencana pernikahan putra-putrinya, di mana hal tersebut dianggap tabu (pemali) untuk diabaikan seperti dilarangnya calon mempelai untuk bepergian jauh, umpamanya menaiki kendaraan seperti motor dan mobil serta melakukan pekerjaan yang mengakibatkan resiko tinggi, karena sangat peka (sensitive) rawan terhadap beberapa bencana. Masa inilah disebut sebagai waktu karapao-rapoanna (saat yang sensitive) bagi calon mempelai pria dan wanita.


a. Mesurobo

Beberapa hari sebelum pelaksanaan akad nikah oleh calon mempelai perempuan melakukan mandi uap yang dalam bahasa Mamuju disebut mesurobo serta pada siang dan terutama pada malam hari memakai bedak basah yang disebut tappung dengan tujuan agar badan pengantin perempuan menjadi halus dan berbau wangi semerbak. Mandi uap tujuannya juga sama yakni pengantin perempuan jika mengeluarkan keringat selalu berbau wangi/harum. Pada zaman dahulu calon pengantin perempuan dimasker atau dipercantik oleh seorang perempuan/ibu yang biasa disebut indo botting dengan cara sebagai berikut: alis dan bulu rambut yang berada di wajah/muka serta alis calon pengantin dirapikan dengan pisau yang tajam (desundu), selanjutnya di bagian bawah dan atas diratakan dengan sebuah batu gurinda yang disebut nigoso. Dijelaskan bahwa kegiatan mandi uap atau mesirobo biasanya dilakukan beberapa hari menjelang hari pernikahan. Caranya adalah sebagai berikut: calon pengantin perempuan duduk di atas bangunan yang terbuat dari bamboo setinggi kurang lebih 2 meter dengan 4 buah kaki dilengkapi tempat duduk di atasnya, sementara di tengahnya terdapat lubang yang dihubungkan dengan belanga (kurung tampo) yang berisikan ramuan-ramuan tradisional yang baunya sangat harum. Ketika air dalam belanga tersebut mendidih dan menghasilkan uap, maka uap tersebut tersalur melalui bamboo langsung ke sekujur badan calon pengantin yang sedang duduk dengan menggunakan sarung atau selimut yang dibungkus ke seluruh tubuhnya. Dengan demikian calon pengantin akan berbau harum sesuai dengan harumnya ramuan yang telah dimasukkan ke dalam belanga yang bercampur dengan air panas tadi.


b. Membaca Barzanji

Selanjutnya dalam rangka menyongsong pelaksanaan akad nikah, di rumah orang tua pengantin perempuan dilaksanakan acara pembacaan barzanji yang biasanya dilakukan pada malam hari atau ada juga yang melakukan pada pagi hari sebelum tamu-tamu umum datang. Acara ini dilakukan oleh tokoh agama yang berjumlah paling kurang 7 orang atau biasa berjumlah sampai 20 orang. Selain pembacaan barzanji sesudahnya diikuti pemukulan gendang rebana sambil menyanyi yang diikuti atau dikumandangkan oleh para penabuh rebana. Seusai pembacaan barzanji, para tokoh agama pada waktu pulang membawa bingkisan yang disebut kalu (bungkusan yang berisi pulut, telur, kado minnya dan pisang).


c. Manggantung Paleko

Di rumah orang tua pengantin perempuan dihiasi dengan berbagai macam kain warna (paleko) dan pada pintu gerbang dan sekeliling batayang digantung daun nyiur muda (daun niu). Kain warna putih (gandis) dibentangkan mulai dari pintu rumah sampai di dalam ruangan yang akan dilalui oleh pengantin laki-laki, panjang kain putih kurang lebih 10 meter bahkan ada yang lebih. Adapun arti bentangan kain ini ialah adat menerima tamu agung yang juga sama dengan adat di daerah lain seperti Bugis, Makassar bahkan Jawa. Selain kain putih biasanya juga dipakai kain merah.


d. Parrabana

Pukulan rebana dan genderang pamanca sangat perlu ada pada saat iring-iringan pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan (nitindor) bahkan dianggap tabu atau pemali jika tidak ada, karena merunut kebiasaan pada zaman dahulu kala jika ada pengantin tidak menyiapkan bunyi bunyian seperti rebana dan lain-lain. maka akibatnya anak dari pengantin tersebut tidak mendengar atau tuli dan bisu (tidak bisa bicara).


IV. Mappacci atau Mekalantigi

Sebagai rangkaian acara pernikahan adat terhadap etnis Makassar, Bugis dan Mandar, biasanya pada malam menjelang pelaksanaan pernikahan, diadakan acara mappacci atau mekalantigi. Acara ini merupakan malam bermuatan doa restu dari segenap keluarga dan handai taulan terutama bagi tokoh adat, dengan harapan kedua pasang pengantin tetap mendapat rahmat Tuhan dan tujuan selanjutnya agar pengantin mengikuti kebahagiaan tokoh adat yang mekalantigi mengikuti pecuru'na atau naola lalan basena, para orang tua dan tokoh adat yang telah sukses di dalam berumah tangga dikarunia anak serta rezeki yang halal dan banyak. Mappacci (bahasa Bugis), Mekalantigi (bahasa Mamuju) dan dalam bahasa Indonesia biasa pula disebut malam pacar, Pacar adalah daun tumbuhan yang digiling halus untuk memerahi kuku memerahi kuku bagi gadis-gadis. Tumbuhan tersebut dikenal dalam bahasa latin ialah LAWSONIA ALBA. Perkataan pacar boleh mengenai daun, boleh juga mengenai pohonnya atau kembangnya. Pacar itu mempunyai sifat-sifat magis dan dipergunakan tidak pada sembarang waktu. Mekalantigi dilaksanakan menjelang akad nikah diadakan di rumah calon mempelai perempuan atau di rumah masing-masing mempelai dan dihadiri oleh sejumlah laki-laki dewasa atau tetua dari rumpun keluarga sendiri dan tokoh adat. 


Pelaksanaan acara ini adalah berlaku bagi orang terutama Puang (bangsawan). turunan taupia (golongan adat), turunan joa/peampoan (yakni orang merdeka). Pelaksanaan mekalantigi dipandu oleh seorang orang tua yang mengerti masalah adat.


Sebelum acara mekalantigi dimulai oleh seorang perempuan tua (indo botting) terlebih dahulu mengadakan kegiatan menghiasi tempat tidur dengan cara sebagai berikut: menggantung paleko bissu, mempersiapkan lampu atau pallang yang terdiri dari pallang dan sulo langi. Selain itu mempersiapkan sia-sia dan jalappa yang dibunyikan pada saat mekalantigi dimulai, tempat tidur yang sudah dihiasi diletakkan sebuah bantal guling yang di atasnya diletakkan 7 buah sarung yang terlipat rapi, selanjutnya di atas sarung ditaruh daun pisang dan sebuah keris pusaka barangtuda' yaitu beras ditaruh pada sebuah piring besar dan di atasnya diletakkan 7 butir telur ayam dan beberapa keping uang logam. Kemudian tempat raja dan galaga'gar pitu dibuatkan pagar bambu yang dihiasi dengan rapi yang disebut balasuji. Di hadapan pengantin ada tempat yang berisikan kalantigi, ada setangkai rappa dan ada keris, ada kobokan yang berisi air. Bila acara mekalantigi mau dimulai, maka indo botting mulai membakar pallang dan sulo langi dan para orang tua yang memegang sia-sia dan jalappa mulai beraksi membunyikan musik tradisional tersebut.


- Sia sia adalah sebuah besi batangan yang menyerupai pisau. 

- Jalappa adalah dua buah besi tembaga yang berbentuk topi. Kedua benda ini adalah termasuk alat musik tradisional.


V. Akad Nikah

Upacara akad nikah ada yang dilaksanakan pada waktu siang hari sebelum matahari mencapai titik kulminasinya, ada pula yang melaksanakan pada malam hari. Dihadiri oleh keluarga dan kerabat serta handai taulan dari kedua belah pihak di rumah orang tua perempuan. Akad dilakukan oleh orang tua/wali perempuan atau yang diserahi kewalian itu. Biasanya yang diserahi kewalian orang tua perempuan. adalah kadhi/imam setempat. Selesai pelaksanaan akad nikah lalu pengantin laki-laki diantar oleh seorang keluarga pihak laki-laki melaksanakan nipasikanti (pertemuan pertama). Setelah selesai pelaksanaan akad nikah kemudian oleh salah seorang yang mewakili keluarga mempelai laki-laki mengantar dan membawa pengantin laki-laki ke suatu tempat atau kamar yang terlebih dahulu sudah disiapkan dan sebelum masuk kamar yang ditempati pengantin perempuan, maka wakil orang tua laki- laki yang mengantar tadi harus mengeluarkan uangnya membayar dengan uang ala kadarnya yang namanya kunci pembuka kamar. 


Setelah pintu terbuka, maka acara nipasikanti atau pertemuan pertama dimulai dengan memperkenankan pengantin laki-laki (suami) dengan pengantin perempuan (istri) yang sudah sah menjadi suami istri. Pada acara ini pihak pengantar pengantin laki-laki membacakan mantera (doa) dan pengantin suami istri setelah jabat tangan dengan ibu jari tangan bertemu kemudian biasanya kedua belah pihak masing-masing menggunakan cara dan taktik yang antara lain memegang anggota badan istrinya/suaminya dengan harapan istrinya tidak cepat layu atau tua, dan juga pada pertemuan kedua ibu jari tangan masing-masing berusaha tangannya lebih tinggi di atas dengan bermaksud siapa yang lebih tinggi dia akan menjadi pengendali dalam rumah tangganya. Ada pula memakai cara lain ialah menginjak kaki suami atau istrinya dengan harapan sama di atas.


Sesudah acara nipasikanti kedua pasang pengantin duduk di pelaminan yang selanjutnya oleh pihak pengantin laki-laki membaca sighat taklik atau berjanji dengan disaksikan oleh para keluarga dan undangan bahwa dia akan memperlakukan x istrinya dengan baik. Dalam acara ini juga seorang laki-laki setengah baya keluarga pihak laki-laki membawa dan menggendong 1 (satu) biji buah kelapa yang baru tumbuh dan biasa juga pohon rumbia yang baru tumbuh untuk diserahkan kepada keluarga pengantin perempuan dan selanjutnya diganti dengan sebuah sarung palaikat. Kelapa atau rumbia ini disebut sompa. Pada acara ini oleh protocol mempersilahkan wakil orang tua kedua mempelai untuk membawakan sepatah kata (selamat datang dan terima kasih dan selanjutnya nasehat perkawinan yang dibawakan oleh seorang ustadz).




VI. Nibungkes

Pada fase ini oleh kedua mempelai mandi bersama di rumah orang tua perempuan di sekitar posiq arriang (sokonguru). Acara ini dilaksanakan sesudah acara akad nikah atau sebelum resepsi. Pelaksanaannya sangat unik karena pada waktu akan mandi perempuan duduk di talutang (sejenis) alat tenun) dan sang laki-laki di atas anjoro timpoa (setandan kepala) yang. dihiasi dengan daun nyiur dan burobe. Selesai acara ini berarti selesailah seluruh rangkaian acara perkawinan itu dan keduanya (suami-istri) yang baru itu telah siap membina dan melayarkan bahtera rumah tangga. Air mandinya ditempatkan pada sebuah tempat air yang disebut katoaang yakni baskom yang terbuat dari tanah liat, air dicampur dengan bunga bungaan yang harum, daun pandang, burobe (bunga kelapa) dengan dipagari oleh daun nyiur yang muda.




VII. Nitindor (Arak) atau Nilekka

Pada fase ini pengantin laki-laki nitindor (diarak) ke rumah mempelai perempuan dengan memakai pakaian kebesaran sesuai dengan tingkat stratifikasi sosial kemasyarakatan. Kaum kerabat dengan berjalan kaki diantar oleh keluarga dan handai taulan menuju rumah pengantin perempuan. Seperangkat bawaan sesuai dengan kebiasaan seperti: minyak kelapa 1 (satu) belek, minyak tanah 1 (satu) belek, kande nikka (makanan kawin), beberapa buah sitto, anjoro tuo (cikal), bua loa (sejumlah uang), balla-balla, erang-erang dan hewan/kerbau atau sapi atau beras ikut diarak. Untuk menyemarakkan tolekka (arak arakan) ini, sekelompok parrawana (penabuh rebana) beraksi sepanjang jalan, bermula dari rumah pengantin laki-laki sampai ke rumah pengantin perempuan. Semua bawaan diantar oleh gadis-gadis dan pemuda/pemudi dengan berpakaian adat Mandar. Tiba di rumah pengantin perempuan, pengantin laki laki dan rombongannya dijemput dengan meriah dan penuh kehormatan dari pihak keluarga perempuan. Setelah rombongan pengantin laki-laki tiba di pekarangan rumah, saat itu dua orang keluarga pihak perempuan datang menjemput dengan membawa selembar sarung sutera sambil dipasangkan pada pengantin laki-laki seraya mengucapkan kata mempersilahkan masuk ke dalam rumah dengan segala kehormatan. Begitu pengantin laki-laki naik ke tangga atau memasuki rumah, maka semburan beras dari seorang wanita tua akan menjemputnya pula, dan di pintu masuk ruangan sang pengantin diharuskan 1. menginjak sebuah kapak dan daun rappa yang sudah disiapkan sebelumnya dan meminum seteguk air dari sebuah cerek yang disodorkan oleh seorang wanita tua yang telah menunggunya. Selanjutnya pengantin langsung duduk di ruangan depan rumah, kemudian disusul oleh rombongan pattindor beserta bawaannya. Pada masa lalu acara ini dilaksanakan pada waktu sore. Akan tetapi pada masa sekarang ini pelaksanaannya digabung dengan acara mallattigi, dan dilanjutkan dengan akad nikah.


Dalam acara ini para undangan yang hadir utamanya kaum keluarga membawa bingkisan berupa apa saja sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik berupa bahan pakaian, bahan makanan ataupun berupa uang. Yang tidak sempat pada kesempatan pertama itu kaum wanitanya datang menyusul sesudah acara akad nikah tersebut pada waktu sore atau malam hari. Hal seperti itu disebut "Massoloq" atau "Massanganaq" (mempererat tali kekeluargaan dan kekerabatan).



VIII. Marola atau Meondo' (berkunjung)

Pengantin perempuan berkunjung ke rumah orang tua pengantin laki-laki ditemani oleh sambainena (para sahabatnya) dan diantar oleh beberapa wanita dewasa dan tua. Acara ini dianggap sebagai penerimaan resmi antara mertua dengan menantu. Pada acara meondo' kedua pengantin duduk di tempat pelaminan dan oleh seorang perempuan tua atau indo botting melakukan acara nisipopo makan makanan manis (makan beras pulut dan minum palopo) seperti biasanya dilaksanakan pada waktu sore atau malam hari. Dalam kesempatan ini sang pengantin atau menantu menerima bingkisan dari mertuanya sesuai dengan kadar kemampuannya. Ada yang berupa pakaian, ada berupa emas atau perhiasan, ada pula berupa pohon dan bahkan ada pula berupa tanah pertanian, dan lain-lain. Selanjutnya kegiatan marola ini dilanjutkan kepada semua keluarga terdekat pihak laki-laki utamanya paman dan bibinya.


IX. Acara Nipasisakka

Di dalam perkawinan adat Mamuju Mandar ada suatu acara namanya nipasisakka yaitu para keluarga kedua mempelai datang berkumpul di rumah orang tua mempelai perempuan. Acara nipasisakka hampir mirip dengan kucing-kucingan dilaksanakan satu atau perkawinan selesai. dua malam, sesudah resepsi.


Setelah para keluarga yang terdiri dari orang tua, laki laki dan perempuan berkumpul duduk bersila pada suatu ruangan tamu besar dengan membuat lingkaran besar, maka pengantin perempuan yang biasanya didampingi oleh dua (2) orang sahabatnya muncul di tengah kerumunan keluarga yang ketiga-tiganya memakai dua buah sarung dengan kepalanya dibungkus, lucunya lagi sarung yang dipakai ketiganya sama sama warnanya sehingga bagi pengantin laki-laki sulit memburu dan menangkap isterinya. Setelah itu jika sudah bisa ditangkap pengantin perempuan tidak bisa langsung menyerahkan diri kepada suaminya karena merasa malu dan mempersenjatai dirinya dengan peniti dan barang tajam lainnya, hal ini disebut Maraju. Keadaan Maraju biasanya berlangsung 1 sampai 2 minggu.


Dampak dari keadaan ini tangan pengantin laki-laki penuh tusukan peniti yang mengakibatkan luka dan berdarah. Tapi pada akhirnya pengantin wanita menyerah dan kedua pengantin menikmati malam pertama nya.


Sumber: 

Selayang pandang sejarah adat kabupaten Mamuju. Oleh, Drs. H. Ince Abd. Rachman Thahir, MPA. (Alm). 2004.

Minggu, 10 Oktober 2021

Ahmad Kirang Sang Pembebas

Peristiwa ini terjadi pada 28 Maret 1981, ketika sebuah pesawat Garuda DC-9 Woyla dengan rute penerbangan Jakarta – Medan dibajak saat transit di Palembang. Pembajak yang menyamar sebagai penumpang tersebut terdiri dari lima orang. Para pembajak yang menyebut dirinya sebagai Komando Jihad memaksa kapten Pilot Herman Rante dengan todongan pistol agar mengalihkan penerbangan ke Colombo, Srilangka.

Karena kehabisan bahan bakar, pesawat sempat mendarat di Bandara Penang, Malaysia untuk mengisi bahan bakar selanjutnya mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Selama empat hari drama pembajakan berlangsung di Bandara Don Muang, Bangkok. Pembajak yang dipimpin oleh Imran bin Muhammad Zein tersebut menuntut pemerintah Indonesia agar membebaskan 80 angggota kelompok Komando Jihad yang telah ditangkap karena beberapa kasus atau teror yang mereka lakukan.

Tuntutan pertama yang diajukan para pembajak, mula-mula hanya meminta 20 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981 dibebaskan. Tuntutan pembajak/ teroris tersebut tidak dipenuhi pemerintah Indonesia. Pesawat yang memiliki rute Jakarta-Medan itu dibajak pada pukul 10.10 WIB sesaat setelah tinggal landas dari Palembang.

Saat itu pesawat yang transit di bandara Talangbetutu, Palembang baru saja lepas landas menuju Bandara Polonia, Medan. Pesawat kemudian dibelokkan menuju bandara internasional Penang, Malaysia.

Awalnya, belum diketahui siapa pelaku pembajakan pesawat dengan nomor penerbangan 206 itu. Departemen Pertahanan dan Keamanan yang menangani pembajakan itu hanya mengatakan pembajak dapat berbahasa Indonesia.

Ada 48 penumpang di dalam pesawat. Sebanyak 33 orang terbang dari Jakarta, dan sisanya berasal dari Palembang. Pesawat itu diterbangkan oleh pilot Kapten Herman Rante dan kopilot Hedhy Djuantoro.

Pesawat tiba di Penang pukul 11.20 WIB, dan pesawat itu minta bahan bakar tanpa memberitahukan tujuan berikutnya. Sejatinya, pesawat yang dibajak tersebut hanya melakukan penerbangan di dalam negeri, tidak memiliki rute penerbangan internasional.

Pada waktu pesawat diisi bahan bakar, oleh para pembajak, pesawat tersebut dikunci. Sebelum berangkat pada pukul 16.07 waktu Penang, seorang perempuan bernama Panjaitan yang berusia 76 tahun, diturunkan dan pesawat terbang menuju Bangkok, Thailand.

Ketika akhirnya tuntutan disampaikan, laporan agak simpang siur tentang kemauan mereka, dan tuntutan mereka pun rupanya terus meningkat.

Tuntutan pertama yang diajukan para pembajak, mula-mula hanya meminta 20 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981 dibebaskan.

Namun, para pembajak mengajukan tuntutan baru lagi, dari yang awalnya 20 tahanan, meningkat menjadi 80 orang dan bertambah lagi menjadi 84. Tak hanya itu, pembajak juga meminta didatangkannya pesawat yang lebih besar supaya dikirim ke Bangkok dengan awak pesawat baru yang mengetahui rute-rute internasional. Batas waktu tuntutan dari pembajak tersebut adalah hingga Minggu, 29 Maret 1981 pukul 21.30 waktu Bangkok.

Tenggat waktu yang diberikan pembajak pun terlewati dan permintaan mereka belum terpenuhi. Tidak terjadi apa-apa meskipun sempat terdengar kabar bahwa para pembajak akan meledakkan pesawat jika tuntutan mereka tidak terpenuhi. Senin, 30 Maret petang, tuntutan meningkat lagi dengan tambahan uang 1,5 juta dollar AS di atas semua tuntutan sebelumnya.

Dalam upaya membebaskan para sandera, pada 29 Maret 1981 di Mako Kopassandha Cijantung, dibentuk satu tim pembebasan sandera yang dipimpin oleh Letkol Inf Sintong Pandjaitan. Salah satu prajurit terbaik dan terpilih untuk melaksanakan misi itu adalah Capa Ahmad Kirang.

Sebagai prajurit Komando, maka tugas adalah kehormatan. Tidak ada kata ragu dan terdadak bagi Capa Ahmad Kirang dan sekitar 30 prajurit Kopassandha lainnya karena sebagai prajurit satuan tempur, mereka siap ditugaskan kemanapun dan kapanpun juga bila negara membutuhkannya.

Pada 30 Maret 1981 Tim Kopassandha yang ditugaskan sebagai pasukan antiteror itu diberangkatkan menuju Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand dengan misi membebaskan sandera. Drama pembajakan penumpang pesawat Woyla yang menegangkan itupun akhirnya berakhir dengan upaya pembebasan sandera yang dilakukan Tim Kopassandha, yang dipimpin Letjen TNI (Purn) Sintong Pandjaitan yang saat itu masih berpangkat Letkol Inf pada 31 Maret 1981. 

Dalam misi tersebut Ahmad Kirang yang mendapat tugas bersama rekannya Pelda Pontas Lumban Tobing dengan penuh keberanian dan tanpa keraguan melakukan aksi terobos memasuki pesawat melalui pintu utama belakang pesawat sesuai dengan instruksi komando pada jam 02.45 dini hari.

Tugas itu berhasil dilakukan dengan mendobrak pintu hingga terjadi aksi tembak menembak selama 3 menit antara teroris/pembajak dengan personel Kopassandha. Dalam waktu bersamaan tim lainnya juga menyerbu melalui pintu samping yang juga langsung terlibat dalam baku tembak dengan teroris. Dalam baku tembak tersebut Capa Ahmad Kirang dan rekannya Pelda Pontas Lumban Tobing yang awalnya sempat kesulitan membedakan mana yang teroris dan penumpang terkena terkena tembakan. Sedangkan dipihak pembajak sebanyak empat teroris berhasil dilumpuhkan dan tewas di lokasi kejadian.

Namun nahas, Capa Ahmad Kirang tertembak diperut bagian bawah yang tidak tertutup rompi antipeluru yang dikenakan sehingga tubuhnya luka bersimbah darah. Walau sempat dilarikan ke rumah sakit Bangkok namun nyawanya tidak dapat diselamatkan. Ahmad Kirang gugur dalam menjalankan tugas mulia menyelamatkan sandera. Sedangkan rekannya Pelda Tobing yang tertembak di bagian rusuk dan tangan, nyawanya masih tertolong dan selanjutnya menjalani perawatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

Saat upaya pembebasan berlangsung ketika para penumpang diminta turun, salah seorang pembajak yang diketahui bernama Zulfikar sempat melemparkan granat tangan untuk meledakkan pesawat berikut penumpang. Namun karena pin granat tidak sempurna tercabut maka granat tidak jadi meledak, penumpang dan pesawat pun selamat.

Lettu Achmad Kirang

Letkol Inf Sintong Pandjaitan dalam memoarnya menuturkan, Ahmad Kirang masuk melalui pintu belakang dimana tangga diturunkan secara elektrik. Proses turunnya tangga pesawat memerlukan waktu karena harus mengikuti ritme mekanik. Proses turunnya tangga pintu belakang yang memakan waktu memberikan kesempatan bagi pembajak yang duduk di bagian belakang kanan pesawat untuk bersiap menembak.

Begitu tangga turun, maka Capa Ahmad Kirang diikuti oleh penyergap 2 dengan cepat menaiki tangga pesawat untuk menyerbu. Setelah Capa Kirang muncul di dalam kabin pesawat, dia terkena tembakan pistol di bagian perut yang tidak terlindungi rompi antipeluru. Pemegang sabuk hitam Karateka Dan I itu langsung jatuh. Mungkin rompi antipeluru yang dikenakan oleh Capa Kirang bukan rompi versi militer sehingga hanya melindungi badan sampai di pinggang.

Sedangkan Pilot Herman Rante yang juga tertembak teroris sempat diupayakan pertolongan pertama dengan melarikannya ke rumah sakit Bangkok namun nyawanya tidak tertolong. Peristiwa pembebasan yang dikenal dengan sebutan Operasi Woyla telah mengharumkan nama Indonesia di hadapan dunia internasional. Dunia mengakui kehebatan prajurit TNI AD sebab pembebasan tersebut salah satu yang tercepat di dunia yakni hanya berlangsung sekitar 3 menit saja. Akan tetapi Indonesia khususnya TNI AD dihari yang penuh pujian itu juga bersedih sebab salah seorang prajurit terbaiknya gugur dalam peristiwa tersebut.

Atas keberanian dan kepahlawanannya yang ditujukkan Capa Ahmad Kirang, pemerintah menganugerahi almarhum Bintang Sakti Mahawira Ibu Pertiwi sesuai Kepres No. 013/TK/Tahun 1981 tanggal 2 April 1981 dan kenaikan pangkatnya dua tingkat secara anumerta. Sedangkan tim lainnya memperoleh Bintang Sakati Mahawira Ibu Pertiwi dan kenaikan pangkat luar biasa satu tingkat lebih tinggi dari pangkat semula. Dengan upacara militer, pada 2 April 1981 jasad Lettu Anumerta Ahmad Kirang dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.


Lettu Anumerta Ahmad Kirang dilahirkan di Mamuju, Sulawesi Barat, Pada 8 November 1941. Dia adalah personel Kopassus. Saat berpangkat Capa Kopassus, dia mendapat tugas dan kepercayaan dari pimpinan TNI AD sebagai salah seorang tim pembebasan sandera pesawat Garuda DC- 9 yang dibajak oleh kelompok teroris. Tanpa keraguan tugas mulia tersebut dia tunaikan. Tugas tersebut terlaksana dengan sukses, namun Capa Ahmad Kirang menjadi korban dan gugur dalam menunaikan tugas tersebut.


Sumber:

1. Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarhad)

2. Buku Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando

3. Diolah dari berbagai sumber