Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Selasa, 13 Desember 2022

Puatta Karema, sang pendamai yang terlupakan oleh sejarah. (bag.II)

Kerajaan Mamuju pasca diangkatnya Pammarica sebagai Maradika atau raja sementara untuk mengatasi terjadinya kekacauan di kalangan masyarakat Mamuju kala itu setelah beberapa golongan bangsawan kerajaan mengkudeta kepemimpinan Pue Tonileo yang dianggap sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya, ada beberapa pendapat dari para pemerhati sejarah yang berpendapat bahwa Pue Tonileo ini suka menggauli perempuan yang dia senangi walaupun itu istri orang lain, mengambil secara paksa ternak maupun hasil kebun masyarakatnya tanpa belas kasihan, ada juga yang berpendapat bahwa Pue Tonileo ini tidak disenangi oleh kalangan keturunan bangsawan kerajaan Mamuju yang lain karena dianggap bukanlah pewaris tahta kerajaan yang seharusnya menjadi Maradika sehingga saudara- saudaranya iri dan tidak senang kepadanya dan melakukan tindakan kudeta untuk merebut tahta kerajaan dari Pue Tonileo. 

Jika seandainya putra mahkota anak Pue Tonileo tidak pergi meninggalkan kerajaan Mamuju menuju Toli-toli mungkin Pammarica tidak akan menjadi raja di Mamuju saat itu, karena pihak kerajaan sendiri telah memanggil putra mahkota itu kembali ke Mamuju untuk diangkat menjadi pewaris tahta kerajaan, namun ia menolak tawaran tersebut karena merasa ketakutan akan terbunuh juga. Pue Tonileo ini dikenal sakti dan memiliki ilmu yang tinggi, menurut penuturan sumber informasi penulis, bahwa Pue Tonileo ini diangkat sebagai raja pada saat itu karena keberaniannya dan kesaktiannya menumpas pemberontakan yang akan menghancurkan kerajaan Mamuju, walaupun bukan dari bangsawan pewaris tahta kerajaan. 

Setelah Pammarica meletakkan jabatannya sebagai raja di Mamuju, maka hadat kerajaan Mamuju pun melantik Puatta Karema sebagai raja selanjutnya. Puatta Karema dianggap berhak mewarisi kerajaan Mamuju karena masih dari garis keturunan Tomatindo di Puasana bin Tomatindo di Sambayanna Maradika Mamuju sebelumnya. Puatta Karema menikahi anak Maradia Sendana Tomatindo di Balitung dan memiliki keturunan yang kemudian mewarisi kerajaan Mamuju setelahnya yaitu Ammana Kombi.

Puatta Karema pada masa menjabat sebagai Maradika Mamuju diberi kepercayaan untuk mendamaikan kekacauan akibat Sengketa letak batas batas wilayah kerajaan kerajaan di Appeq Ba'bana Binanga seperti kerajaan Pamboang, Banggae, Sendana dan Balanipa yang sering terjadi setiap saat. Hal ini tercatat dalam lontrak Pattapiangang di Pamboang yang ditulis oleh Leqdang Paqbicara Adolang kerajaan Pamboang. 

Berikut adalah kisah penentuan tapal batas yang tercatat dalam lontrak Pattapiangang Pamboang. Itulah sebabnya maka dijemputlah Puatta Karema di Mamuju, setibanya Puatta Karema dinaikkanlah ke usungan dan diusunglah ke perbertasan yang disebut Batu-batu, batas antara Pamboang dan Banggae. Setiba diperbatasan berkatalah Puatta Karema; ”Kalian dua Daeng.. dua ba'ba binanga, lihatlah, kalau saya meludah kesebelah kanan berarti itulah bahagian dari Banggae dan kalau saya meludah kekiri berarti itulah bahagian dari Pamboang. 

Ilustrasi

Setelah itu maka dilanjutkanlah perjalanan ke sebuah tempat yang disebut buttu Pangnganaang Ulu, berkata lagi Puatta Karema; Disinilah bagian wilayah Banggae dan adapun tanah yang datar itu adalah tempat singgahnya Ba'ba Binanga yaitu Balanipa dan Sendana. Adapun perbatasan ini Asambi Puayang adalah juga termasuk wilayah Pamboang. Setelah ditetapkannya batas antara Pamboang dan Banggae maka perjalanan pun dilanjutkan lagi sehingga sampailah disuatu tempat yang disebut Tanete Tarrauwwe atau disebut juga Pattoqdoang Bandera kemudian lanjut lagi menuruni lembah dan mendaki gunung hingga ke Buttu Baya atau Buttu Tallu Sulapaq, lalu berhentilah usungan Puatta Karema karena disinilah pertemuan tiga batas wilayah kerajaan yaitu Balanipa, Pamboang dan Banggae, lalu berkatalah Puatta Karema; Dengarkanlah kalian semua tallu ba'ba binanga (Balanipa, Pamboang dan Banggae) Kalau saya menghadap ke Balanipa berarti itulah milik Balanipa, kalau saya menghadap ke Banggae berarti itulah milik Banggae dan begitupun kalau saya menghadap ke Pamboang berarti itulah milik Pamboang. 

Demikianlah ketentuan yang ditetapkan oleh Puatta Karema maka perjalanan kembali dilanjutkan lagi hingga sampai ke muara sungai Punna Nombong dan kemudian menyusuri tepian sungai lembang mombi disinilah letak persengketaan antara Hadat Alu dan Hadat Adolang sehingga masing-masing telah mendirikan benteng untuk mempertahankan wilayahnya disinilah terjadi peperangan antar Maradia Paccalo-caloq dari hadat Adolang dan Puatta I Saragian dari hadat Alu. Berkatalah Maradia; Tidak usah kita bersengketa lagi, lebih baik mengadakan kesepakatan. Dan tercapailah kesepakatan antara Maradia Paccalo-caloq dan Puatta I Saragian dan beberapa anggota hadat kerajaan. Adapun kesepakatan yang dicapai adalah sungai Mombi yang jadi batas antara dua wilayah hadat Alu dan Adolang kemudian disahkan oleh Puatta Karema. 

Rombongan pengusung Puatta Karema akhirnya tiba di lembang Mosso' dan Puatta Karema memerintahkan untuk menghentikan perjalanan dan turun dari usungan dan berkata; Hendaklah kalian menggenggam erat hasil kesepakatan kalian antara Sendana dan Pamboang, sebab jalur jalur yang sudah kita lewati itulah batas-batas kalian, kepada Sendana agar tidak mengambil lewati batas Pamboang begitupun sebaliknya Pamboang tidak boleh melewati garis batas ke Sendana. Begitulah sekilas tentang peran Puatta Karema dalam mendamaikan dan diberi kepercayaan untuk menentukan batas-batas wilayah kerajaan, Pamboang, Banggae, Sendana dan Balanipa. 

Bukan tidak mungkin bahwa sosok Puatta Karema ini dipercaya karena sifat kejujuran dan keadilan yang dimilikinya sehingga diberikan sebuah peranan yang begitu besar dalam perdamaian dikerajaan Pitu Ba'bana Binanga. Sampai hari ini nama Puatta Karema masih tetap hidup dalam hati dan pikiran masyarakat Mamuju tapi tidak sedikit pula banyak yang keliru dan tidak memahami tokoh bangsawan dan sekaligus penganjur agama ini, banyak yang menyangka kalau Puatta Karema ini adalah tokoh yang sama dengan Puatta Karama' karena nama gelaran yang sangat mirip sekali sehingga untuk memahami letak makam beliau saja mereka kadang keliru. Untuk pembahasan ini apakah sama Puatta Karema dan Puatta Karama' kita kupas ditulisan yang lain.(Arman-22)
Bersambung...
Login


Sabtu, 12 November 2022

Nae Sukur Dan Latar Konflik di Kerajaan Mamuju 1883-1888.

Maradika yang bergelar La Manuka ini bernama asli Abdul Rahman Nae Syukur, bertahta menjadi raja di Tapalang pada tahun 1867 - 1869 menggantikan Pua Caco Tamanggong Gagallang Patta ri Malunda atau juga bernama asli Cakeo Dg. Marriba yang sebelumnya adalah seorang bangsawan pemuka hadat kerajaan Tapalang. Nae Sukur adalah anak dari penguasa atau raja Mamuju Abd. Maalim Daeng Lotong atau Nae lotong yang bergelar Malloanging dan ibunya bernama I Panre putri dari raja Mamuju sebelumnya Daenna Samani To Mejanggu alias Tomampellei Kasugikanna.


Pada masa kepemimpinan Abd. Maalim Nae Lotong di Tapalang (1850-1862) telah terjadi peristiwa perompakan kapal milik Abdul Rachman yang hendak berlayar menuju Kutai Kartanegara, berangkat dari Makassar pada 14 Maret 1856 dan berlayar melalui jalur pantai Tapalang dan akhirnya karam dipantai Dungkait Tapalang pada 25 Maret 1856 dan kemudian dirompak dan kemudian kapal itu dibakar oleh orang orang Dungkait dan Tapalang, kuat dugaan bahwa yang memimpin perompakan ini adalah salah seorang bangsawan Tapalang bernama Pattalunru dan atas peristiwa inilah yang memicu terjadinya kemarahan Gubernur Hindia Belanda dan segera meminta ganti rugi atau kompensasi kepada kerajaan Tapalang dengan mengirimkan utusan kekerajaan Tapalang menggunakan kapal uap Admiral Kingsbergen untuk menyampaikan surat Gubernur tertanggal 6 April 1856 namun pihak kerajaan Tapalang tidak menanggapi dan merasa tidak bertanggungjawab dengan kejadian tersebut selain itu karena Tapalang tidak merasa terikat kontrak perjanjian dengan Pemerintah Belanda.


Sehubungan dengan persoalan perompakan tersebut, pemerintah kolonial Belanda dalam keputusannya pada 16 Mei 1856 No.2, memberikan wewenang kepada gubernur Sulawesi untuk melakukan tindakan tegas apabila mara’dia Tapalang dan Mamuju tidak mengabulkan semua tuntutan yang diminta. Gubernur Sulawesi diharapkan dapat menggunakan sarana yang ada untuk memaksakan mereka memenuhi tuntutan ganti rugi yang diajukan dan menghukum raja-raja itu atau menjatuhkan hukuman terhadap kampung-kampung yang bersalah. Oleh karena hingga awal Juni 1856, tuntutan tersebut masih belum dikabulkan semuanya, hanya sebagian kecil dari barang-barang yang dirompak dapat ditemukan kembali, maka dikirim sebuah pasukan ekspedisi ke Tapalang dan Mamuju pada 10 Juni 1856. Pasukan ekspedisi ini merupakan gabungan dari kekuatan angkatan laut dan darat yang terdiri atas kapal perang (fregat) Palembang, kapal uap Admiraal van Kingsbergen, dan kapal penjelajah Nomor 18 serta 50 di samping satu kesatuan yang diangkut dengan sebuah kapal perang berkekuatan seorang perwira dan 25 orang serdadu. Setelah pasukan ekspedisi tiba di tempat, segera menyampaikan tuntutan ganti rugi dalam waktu 36 jam tidak dikabulkan, maka kedua kampung tersebut akan dibakar dan dihancurkan. Meskipun demikian, pemangku adat Mamuju dan putra mara’dia Mamuju yang bernama Nae Sukur menyatakan tidak mampu untuk membayar ganti rugi yang dituntut. Oleh karena tuntutan tersebut tidak dipenuhi dan seiring dengan berlalunya batas waktu yang ditentukan, maka penghancuran Tapalang dan Tanjung Kait dilakukan tanpa ada perlawanan yang berarti. Penghancuran Tapalang dilakukan pada 19 Juni sementara Tanjung Kait dilakukan pada 20 Juni 1856. Berkali-kali kejadian yang sama kembali terulang di pantai Mandar antara 1858 sampai 1859 hingga pada Oktober 1863. 


Pada permulaan tahun 1862 Maradia Mamuju dan Tapalang Malloanging Nae Lotong mundur dari jabatannya sebagai raja di Tapalang karena merasa sudah tidak mampu melanjutkan jabatannya karena telah lanjut usia, maka digantikan oleh menantu laki lakinya I Samani bergelar Tomessu Ri Atapang (1862-1864). Dimasa kepemimpinan I Samani tidaklah lebih baik dari sebelumnya, pada Oktober 1863 kembali terjadi peristiwa perompakan dan penjarahan dilakukan rakyat Tapalang dan kembali memicu reaksi pemerintah Hindia Belanda atas pembangkangan terhadap kontrak perjanjian yang sudah disepakati pada 31 Oktober 1862. Pada awal tahun 1864 I Samani diturunkan sebagai raja oleh kesepakatan para hadat kerajaan Tapalang dan digantikan oleh Pua Caco Tomanggong Patta Ri Malunda yang juga adalah seorang bangsawan Tapalang yang sebelumnya adalah anggota hadat sebagai Pa'bicara di kerajaan Tapalang, namun pengangkatannya sebagai raja belum mendapat restu dari pemerintah Belanda sehingga pihak pemerintah Belanda memanggilnya untuk datang ke Makassar untuk mempertegas dan menyatakan dirinya untuk patuh pada perjanjian kontrak dengan pemerintah Belanda, namun Pua Caco menolak keinginan pemerintah Belanda untuk datang ke Makassar.


Sebagai Gubernur Hindia Belanda Celebes, J. Anthonius Bakkers memandang segera mengganti raja Tapalang Cakeo Daeng Marriba atau Pua Caco, pemecatan ini dilakukan untuk mempermudah legitimasi peraktek kolonisasi di wilayah Tapalang yang saat itu masih rawan dengan pembangkangan terhadap kebijakan dan kepentingan Kerajaan Belanda diwilayah Tapalang, maka pada Desember 1867 ditunjuklah Na'e Sukur yang juga menjabat sebagai Raja Mamuju atas persetujuan hadat Kerajaan Tapalang untuk diangkat jadi Raja Tapalang, namun Nae Sukur masih berada di Makassar saat itu sehingga pengangkatannya diundur sampai Januari 1868.


Selama memerintah di Kerajaan Tapalang Nae Sukur kurang disenangi oleh beberapa kalangan bangsawan sehingga timbul perselisihan yang kemudian mendapat penentangan dari beberapa tetua adat dan kepala kampung di Tapalang ditahun 1875 terutama perseteruan dengan Hadat kerajaan Tapang akibat sikap dari beberapa bangsawan yang menjabat di kerajaan menilai Nae Sukur terlalu tunduk pada Belanda, puncak dari perseteruan ini adalah pecahnya perang saudara antara pihak Nae Sukur dikerajaan Mamuju dan Tappalang dengan pihak I Samanangngi dan Pattalunru dikawasan hutan Karama pada tahun 1883. Pada pertempuran pertama armada perang kerajaan Mamuju dibawah pimpinan Andi Calla yang juga anak sulung dari Nae Sukur memimpin penyerangan ke Karama, I Samanangngi sendiri adalah sepupu dari Nae Sukur dari jalur ibunya. I Samanangngi dianggap banyak merugikan kerajaan dengan melanggar kontrak perjanjian dengan pihak kerajaan Belanda dengan melakukan perompakan dan menjarah kapal-kapal dagang yang melintas diperairan Mamuju dan Tapalang. 


Selain itu I Samanangngi telah melindungi Pattalunru yang diburu oleh pihak kerajaan Belanda karena selain penjarahan juga menangkap awak kapal untuk dijual sebagai budak pekerja sehingga hal inilah yang oleh pihak Belanda sangat merasa terganggu dengan aktifitas perompakan ini, jelas sangat menganggu keamanan perdagangannya dijalur pantai Tapalang dan Mamuju. I Samanangngi mendeklarasikan diri sebagai penguasa di wilayah Pangale Karama dengan memimpin pemberontak dengan gelar Maradia Pangale Tomampellei Sanjatana. Dalam pertempuran ini Andi Calla tewas ditangan pasukan Maradia Pangale dan berhasil memukul mundur pasukan kerajaan Mamuju dengan kekalahan ini Nae Sukur lantas berinisiatif meminta bantuan pasukan kepada kerajaan Belanda melalui Gubernur Hindia Belanda pada tanggal 5 Juni 1888 di Makassar.


Permintaan bantuan ini lantas mendapat respon dari pemerintah Belanda dengan mengirimkan satu batalyon prajurit dan tiga unit kapal perang bermesin uap antara lain; H.M. Koning,  H.M.Prins Hendrik dan H.M. Madoera dan berangkat ke Karama pada 19 Juni 1888, pada 23 Juni ketiga kapal perang kerajaan Belanda ini membombardir wilayah Pangale dari segala arah dengan dukungan pasukan marinir dan pasukan kerajaan Mamuju. Namun I Samanangngi dan Pattalunru ini lebih cerdik dengan tidak melakukan perlawanan, mereka mengajak semua masyarakat Pangale untuk meninggalkan rumah rumah dan perahunya menuju kehutan yang paling jauh kedalam untuk menghindari jatuhnya korban, prajurit kerajaan Mamuju kemudian membakar rumah dan perahu sebagian milik masyarakat Pangale ini dan pulang dengan tangan hampa.  Baru sebulan kemudian Raja Mamuju Nae Sukur mendapat kabar bahwa Pattalunru siap menyerahkan diri namun hal tersebut tidak pernah terjadi karena mereka tetap bersembunyi dan masih melakukan perlawanan. 


Pada masa pemerintahan Maradika Nae Sukur di Kerajaan Mamuju telah beberapa kali terjadi pembaharuan kontrak dan penandatangan kontrak baru diantaranya tanggal 3 Mei 1889 Perjanjian pengesahan dan persetujuan penyerahan hak mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap kabel Telegraf oleh rakyatnya kea Gubernemen dan pada tanggal 23 April 1890 tentang penetapan peraturan pemasukan dan pengeluaran senjata api, peluru dan mesiu. Dimasa kekuasaan Nae Sukur sebagai Maradia Tapalang (1867 – 1889), telah menandatangani kontrak panjang pada 3 Februari 1868 dan kembali menandatangani Pembaruan Kontrak pada 5 Desember 1868. 


Setelah Maradika Nae Sukur wafat pada tanggal 29 Juli 1895 di Mamuju yang kemudian digantikan oleh menantunya Karanene sebagai Maradika selanjutnya di kerajaan Mamuju oleh Dewan Hadat kerajaan Mamuju dipilihlah Karanene (1895 – 1908) sebagai pengganti raja karena hanya dia yang memenuhi syarat sebagai raja (Maradika) dan dilantik ditahun itu juga.Satu tahun menjabat sebagai raja, Karanene kembali menandatangani kontrak sebagai transisi pemegang kekuasaan raja Mamuju atas penandatanganan kontrak di tahun 31 Oktober 1862 dengan model kontrak tahun 1894 sekaligus sebagai perpanjangan penandatangan kontrak baru.


Karanene yang juga biasa digelar Maradika Pua Aji atau raja yang sudah melaksanakan haji sebagai Maradika Mamuju dan anggota hadatnya kembali menandatangani kontrak tambahan (Suppletoir Contract) Konsesi Pertambangan  pada 13 Juni dan Oktober 1905 dan perpanjangan kontrak pada tahun 1908. Pada masa ini maradika Karanene meletakkan jabatannya dan mengundurkan diri sebagai Maradika Mamuju tahun 1909, raja inilah yang banyak dikecam oleh kalangan keluarga bangsawan kerajaan Mamuju atas sikapnya yang tunduk kepada Belanda yang sebagian menganggapnya sebagai tindakan pengkhianatan atas perjuangan rakyat Mamuju sehingga timbullah perlawanan dari beberapa kalangan keluarga kerajaan di  Benteng Kayu Mangiwang Budong - budong dan di Kassa Sinyonyoi tahun 1907 sampai 1909.


Dalam pertempuran tersebut gugur beberapa orang keluarga kerajaan itu antara lain: Mantaroso Pattana Bone, Tamangujuk Daeng Mattinja Punggawa Malolo, Atjo Ammana Andang dan lainnya. Dengan peristiwa tersebut Maradika merasa telah menyesal dan atas permintaan sendiri Beliau mengundurkan diri dari tahtanya sebagai Maradika dan sebagai penggantinya terpilihlah iparnya Djalaloeddin Ammana Inda (1908 -1950) sebagai Maradika selanjutnya yang juga adalah anak dari mantan raja Mamuju Nae Sukur.(Arman Husain 2022)

Login


Kamis, 09 Juni 2022

Sejarah gempa di pesisir Sulawesi Barat.

Gempa di Sulbar
Mamuju dan daerah lain di pesisir Sulbar beberapa kali diguncang gempa, salah satu yang cukup besar terjadi pada 2021 lalu. Gempa ini didahului gempa pembuka M5,9 pada 14 Januari 2021, pukul 14:35:49 (WITA). Selanjutnya disusul gempa utama M6,2 pada 15 Januari 2021 pukul 02.28 WITA dan serangkaian gempa susulan.

Pada 1820 gempa disertai tsunami memporak porandakan wilayah Makassar dan pada Tanggal 12 Agustus 1915 adalah peristiwa gempa bumi dalam catatan awal sejarah gempa di pesisir Sulawesi Barat, sebuah surat kabar milik Pemerintah Hindia-Belanda Het Vaderland edisi 23 Desember 1915 memberitakan pada 12 Agustus 1915 bahwa sekitar pukul 3.30 sore, terjadi gempa kuat yang dirasakan di Mandhar (Sulbar), Luewoe (Luwu), Boni (Bone) dan Pare-Pare. Di Mandhar dilaporkan terjadi guncangan paling kuat dan berdampak, di mana gempa susulan dirasakan di Mandhar dan di Pare-Pare hingga pukul 9.30 malam. 
Adapun durasi gempa masing-masing adalah 1/2 dan 1/4 menit di Madjene pada kedua waktu yang disebutkan. 
Guncangan gempa susulan terjadi di Mamudju (Mamuju) hingga 20 Agustus 1915. 
Kemudian Pada tanggal 11 April 1967 dengan magnitudo M 6,3 di daerah Polewali Mandar. Berdasarkan catatan korban atau kerusakan, gempa yang menimbulkan tsunami tersebut telah menyebabkan 13 orang meninggal dunia.

Sejarah gempa serupa yang kedua, yaitu terjadi pada tanggal 23 Februari 1969, di mana gempa bumi tektonik yang terjadi di daerah Majene ini telah menyebabkan catatan korban maupun kerusakan terbanyak di Pantai barat, sqaat itu, gempa berkekuatan 6,9 SR dengan kedalaman 13 kilometer. Bencana ini menyebabkan 64 jiwa dinyatakan wafat, 97 orang luka-luka dan lebih dari 12 ribu rumah dilaporkan rusak, dermaga pelabuhan pun pecah dampak tsunami setinggi 4 meter di Pelattoang, dan 1,5 meter di Parasanga dan Palili.  

Berikutnya, gempa kuat yang ketiga terjadi di daerah Mamuju dengan kekuatan magnitudo M 6,7 pada tanggal 8 Januari 1984.

Berdasarkan catatan BMKG, akibat guncangan gempa kuat ini tidak ada korban yang meninggal dunia, tetapi banyak rumah rusak maksimum karena intensitas guncangan di Mamuju mencapai VII MMI.

Tak hanya itu, gempa merusak hingga menimbulkan tsunami di pesisir Sulbar pun tercatat beberapa kali. Di antaranya pada 23 Desember 1915 (magnitudo tidak diketahui), 11 April 1967 mengakibatkan tsunami, 23 Februari 1969 mengakibatkan tsunami, 6 September 1972 mengakibatkan tsunami, 8 Januari 1984, serta 7 November 2020. Kekuatan gempa tersebut tercatat berada di atas magnitudo 5.
Kondisi geologi dan tektonik Sulbar
Dalam Ulasan Guncangan Tanah Akibat Gempa Mamuju Sulbar 15 Januari 2021, Bidang Seismolog Teknik BMKG menjelaskan, Pulau Sulawesi terbentuk dari proses tektonik yang rumit. Peneliti Hall dan Wilson (2000) menggunakan istilah suture untuk menggambarkan kerumitan tektonik yang terjadi di Indonesia, termasuk di Sulawesi.

"Menurut Hall dan Wilson, suture Sulawesi terbentuk akibat proses tumbukan antara kontinen dan kontinen (Paparan Sunda dan Australia) yang merupakan daerah akresi yang sangat kompleks, tersusun oleh fragmen ofiolit, busur kepulauan dan kontinen," kutip Seismolog BMKG dalam ulasan tersebut.  

Pembentukan suture Sulawesi diperkirakan terjadi pada Kala Oligosen Akhir dan berlanjut hingga Miosen Awal. Hingga saat ini, diperkirakan deformasi tersebut masih berlangsung.

Secara geologi, daerah Mamuju disusun oleh batuan gunung api Adang, batuan gunung api Talaya, batu gamping Formasi Mamuju, batu gamping Anggota Tapalang Formasi Mamuju, dan endapan aluvium. Aktivitas gunung api purba mengontrol pembentukan morfologi berupa perbukitan. 

Ini terlihat dari adanya beberapa pusat erupsi gunung api di Mamuju, terutama di daerah yang didominasi oleh batuan nephrite, tephriphonolite, phonotephrite, dan phonolite. Batuan-batuan tersebut berkomposisi ultrapotasik yang terbentuk pada tatanan tektonik benua aktif dengan kerak benua mikro blok Sulawesi.

Sumber: Daryono BMKG dan berbagai sumber artikel.

Minggu, 29 Mei 2022

Assamaturuang di Lombong (Perjanjian di Lombong)

Perjanjian ini berlatar belakang dari perseteruan antara Daeng Riosoq raja Balanipa dengan raja Pambauang yang bergelar Tomatindo di Bata. Perseteruan itu terjadi karena Daeng Riosoq (setelah wafat bergelar Tonipilong) merebut istri Tomatindo di Bata yang bernama Ipura Paraqbueq. Ipura Paraqbueq adalah cucu dari Maradia Mamuju Tomatindo di Puasana. Pada saat itu, Ipura Paraqbueq merupakan wanita tercantik di seluruh Mandar sehingga mampu menggoyahkan iman Daeng Riosoq dan merebutnya secara paksa dengan kekuatan senjata.


Akibat peristiwa ini, Tomatindo di Bata bersama para pengawalnya meninggalkan Pambauang menuju ke Ulumandaq dan meminta bantuan pada Tomakakaq Ulumandaq untuk mengambil kembali Ipura Paraqbueq istrinya. Atas saran dan petunjuk Tomakakaq Ulumandaq, Tomatindo di Bata melakukan penyamaran dengan merubah penampilannya. Dengan ditemani anjing pemburu yang bergelar Itattibayo, Tomatindo di Bata masuk di kerajaan Balanipa menyamar sebagai seorang Tomakakaq. Satu-satunya yang mengenalnya hanyalah Ipura Paraqbueq dengan melihat cincin dan mendengar suaranya.


Disaat Tomatindo di Bata meminta segelas air untuk minum, Ipura Paraqbueq menyuruh seorang nelayan mengantarkan air dalam gelas yang kemudian di bawa kembali oleh pelayan pada Ipura Paraqbueq. Melihat cincin tersebut, Ipura Paraqbueq sudah seratus persen yakin kalau itu adalah suaminya. Ipura Paraqbueq akhirnya mencari akal dan berpura-pura mengidam mau makan daging rusa hasil tangkapan suaminya sendiri. Lalu dimintanya pada Daeng Riosoq untuk pergi berburu rusa. 


Daeng Riosoq yang tidak mengetahui keadaan sebenarnya, merasa sangat bersuka cita mendengar pengakuan Ipura Paraqbueq yang telah mengidam. Karena cinta dan sayangnya yang teramat dalam, Daeng Riosoq akhirnya berangkat berburu dengan meminjam anjing Tomatindo di Bata. Setelah daeng Riosoq pergi, Tomatindo di Bata tidak menyia-nyiakan kesempatan dan segera pergi membawa istrinya ke Ulumandaq.


Di Ulumandaq, Ipura Paraqbueq tidak bisa bertahan lama karena tidak terbiasa makan tanpa lauk ikan. Dengan persetujuan dan bantuan Tomakakaq Ulumandaq yang memintakan tempat di daerah pantai, maka Tomatindo di Bata bersama istrinya serta pengawal-pengawalnya tinggal dan bermukim di Malundaq.Dari usaha memintakan tempat bermukim ainilah terjadinya Perjanjian Lombong atau Assamaturuang di Lombong, karena tempat diadakannya kesepakatan ini adalah di Lombong Malundaq.


Perjanjian ini terjadi pada sekitar abad XVII masehi dengan pihak-pihak yang terlibat yaitu : Tomatindo di Bata dengan istrinya Ipura Paraqbueq, Tomakakaq Ulumandaq, Pueq di Lombong, Mosso dan Bambangang, Tomakakaq Sambawo, Pueq di Salutambung, Libaq dan Balanggitang. Secara lengkap, kesepakatan yang dihasilkan dalam perjanjian Lombong adalah sebagai berikut :

”Nawei engenang naengei mappassau nyawana mappalewa anaoang paqmaiqna Maraqdia di Pambauang sappelluq-uang tedzong ingganna naulle nakae-kaer manuqna siola palluppuinna, niwengang toi leqboq nanaengei mandoang manjala palluppuinna, ingganna lekkotang.”


Terjemahan : Diberi tempat untuk ditempati memulihkan semangatnya, menghilangkan kesedihan hatinya pada raja Pambauang, sekubangan kerbau sejauh yang dapat dijelajah ayam dan pengawal-pengawalnya, juga diberi laut untuk tempat memancing dan menjala sebatas pada kedalaman setinggi lutut.

”Napoadzaq adzaqna naporapang rapanna odzi adzaq odzi biasa di litaqna di Pambauang.”

Terjemahan :Dia bebas memakai hukum dan aturan serta adat istiadatnya sendiri, sebagaimana yang berlaku di Pambauang.

”Diapiangammi tandi akadzakeang, tandi peoqdong tandi pelango tanna olleq boning tannala pangolleq, tannande pakkira-kira tammappikkir dipettilluqna sawa dipewetona lambaru, tandi paumo dibandangang di kondo bulo. ”


Terjemahan :

Dia pada kebaikan tidak pada keburukan, terhindar dari makanan yang bertulang dan minuman yang beracun, tak terjangkau air pasang tak terkena banjir, terluput dari iri terhindar gigitan ular, juga pada sengatan ikan pari, lebih-lebih dari srangan musuh.

”Lumbang pai pasorang, reppoq pai kondo bulo maqguliling annaq nalosai muaq diang namappakkesar.”


Terjemahan : Nanti roboh benteng pertahanan, patah remuk semua tombak dan parang pusaka, baru musuh bisa menyentuh raja Pambauang bersama pengawal-pengawalnya.

”Moaq meloq-I membaliq di litaqna, tanna eloqna di nassa genainna, naiya engenanna membaliq diassalna.”


Terjemahan : Bila dia ingin kembali ke negerinya (Pambauang), terserah bila sudah merasa mampu dan sanggup. Adapun perkampungan yang ditempatinya akan kembali pada pemiliknya semula.


Pada peristiwa ini, ada yang berpendapat bahwa selama di Malunda Tomatindo di Bata masih menjadi raja Pambauang dan menjalankan roda pemerintahan di Malunda dan ada pula yang berpendapat bahwa Tomatindo di Bata telah digantikan oleh raja yang lain. Sementara perkampungan yang ditempatinya tidak pernah dikosongkan sampai masuknya Belanda dan tempat tersebut tetap diperintah oleh raja Pambauang.


Daftar Kepustakaan:

- Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.

- Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.

- H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.

- Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.

- Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982

- Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar Proyek IDKD Sulsel 1985.

- A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987

- A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.

- A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.

- Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.


Sumber Data

- Sumber tertulis ;

Lontar Balanipa Mandar

Lontar Sendana Mandar

Lontar Pattappingang Mandar

Lembar Perjanjian kuno

Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar


- Sumber Wawancara ;

H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar

Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar

Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar

Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar

Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar

Daeng Matona – Hadat Pamoseang

Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq

Jumat, 27 Mei 2022

MOROMBIA

Proses pembuatan Sagu dari saripati pohon rombia ini disebut MOSAKUNG/MOROMBIA atau orang Mamuju menyebutnya pangkur. Aktivitas ini merupakan kebiasaan masyarakat Mamuju yang telah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Mosakung adalah proses awal pembuatan Sagu yang di olah dari batang pohon Sagu sebelum menjadi "LETTO'" atau biasa di sebut sari tepung sagu. 
Pohon sagu apabila sudah mencapai umur untuk bisa di olah maka akan diolah mulai, dari penebangan sampai proses dibajak isi dalamnya kemudian diperas biasanya dengan cara di injak injak sampai hancur dan diperas.
Seperti gambar di atas salah satu seorang sedang melakukan pangkur sagu mulai dari penebangan sampai proses pemerasan Sari Sagu. Bisanya aktivitas ini di lakukan Di dekat dimana ada mata air atau sungai untuk bisa melakukan proses pemerasan Sari Sagu atau disebut Molanda' karena proses tersebut sangat membutuhkan air yang banyak. 
Prosesnya sangatlah unik batang pohon sagu di babat hingga hancur kemudian isi batang pohon yang sudah hancur tadi di peras hingga menjadi sari sagu. 
Setelah semua proses telah selesai kemudian sari yang di peras tadi di taruh di wadah yang telah di desain khusus yang terbuat dari daun pohon sagu itu sendiri dan untuk membuatnya butuh orang yang ahli dalam menganyam nya agar sari sagu yang masih cair tidak tumpah. 
Hasil akhir dari sari Sagu yang mengendap inilah yang disebut LETTO' yang menjadi bahan baku olahan berbagai macam makanan khas Mandar Mamuju termasuk JEPA /KALUMPANG ROMBIA.