Kamis, 26 Januari 2023
Partisipasi Membangun Bangsa Makin Terbuka
REFORMASI yang membuka keran persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh Warga Negara Indonesia (WNI), dinilai Hengky Hamdani, salah seorang warga Mamuju keturunan etnis Tionghoa, membuka lebar partisipasi membangun bangsa.
Apalagi Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan telah menempatkan etnis Tionghoa sama dan setara kedudukannya dengan WNI lainnya dalam hukum dan pemerintahan. Beberapa etnis Tionghoa di Mamuju, bahkan telah berkecimpung di ranah perpolitikan. Salah satu di antaranya adalah Willianto Tanta yang menjadi bendahara DPD I Partai Golkar Sulbar atau pemilik PT Karya Mandala Putra, Imming Wijaya, yang pernah duduk di kursi legislatif DPRD Mamuju selama dua periode.
“Dulu memang kami cuma bekerja di bidang perekonomian saja. Untuk jadi PNS, susah. Tetapi sejak reformasi, etnis Tionghoa juga sudah bisa jadi polisi, tentara, atau menteri. Di Makassar, sudah ada etnis Tionghoa yang ikut mencalonkan diri jadi walikota. Sekarang, perayaan Imlek juga sudah tanggal merah (hari libur nasional,red),” tuturnya.
Menurut Hengky, pada dasarnya warga keturunan Tionghoa sama dengan masyarakat lainnya yang memiliki nasionalisme yang tinggi dan mampu menjadi warga negara yang baik. Hanya saja diakuinya, pelibatan etnis Tionghoa dalam berbagai bidang, jarang dilakukan pada masa sebelum reformasi.
Meskipun demikian, ujar bapak dari tiga orang putra itu, asimilasi atau pembauran etnis Tionghoa dengan dengan warga atau etnis lain yang ada di Mamuju telah terbangun sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Hampir seluruh warga Mamuju yang terbilang telah lama menetap, dikenalnya dengan baik. Pengkotak-kotakan pribumi dan non pribumi juga tidak pernah ada.
Hengky meyakini, setiap suku pasti memiliki perbedaan sifat dan karakter. Filosofi yang dipegangnya ini membuat dia kadang lebih akrab dalam hubungan kekerabatan dengan etnis lainnya. “Tidak mesti bahwa kita hanya bergaul akrab dengan sesama Tionghoa saja. Saya bahkan lebih akrab dengan saudara dari suku lainnya,” kata pria kelahiran tahun 1945 itu.
Vihara kelurahan Binanga |
Jumlah penduduk Kabupaten Mamuju beberapa tahun yang lalu, ungkapnya, masih belum terlalu banyak. Hal ini juga yang membuat mereka lebih cepat akrab dan berbaur dengan warga lainnya. Apalagi penduduk di kota yang telah menjadi ibukota provinsi ini merupakan multietnis sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Kepedulian terhadap sesama yang tergolong kurang mampu atau tertimpa musibah, diwujudkan dengan melakukan kegiatan sosial. Dananya diperoleh dari sumbangan semua warga etnis Tionghoa di Mamuju sebagai saldo kas yang dikumpulkan setiap bulan.
Open house dengan mengundang kerabat, tetangga, atau teman, kata dia, juga telah dilakukan sejak dahulu untuk lebih menjalin keakraban. Memang diakuinya, kegiatan seperti ini jarang terlihat karena komunitas etnis Tionghoa di Mamuju tidak sebesar di kota-kota lain, seperti Makassar.
Kenali Bahasa dan Budaya Lokal
KEHADIRAN etnis Tionghoa di Mamuju diperkirakan telah ada sejak tahun 1920-an. Orang tua Hengky Hamdani, merupakan generasi pertama di kota itu. Lazimnya di kota-kota lain, mereka masuk melalui jalur perdagangan.
Didukung kota yang terbilang tidak luas, memudahkan proses asimilasi atau pembauran dengan warga lainnya. Salah satu upaya mempercepat hubungan kekerabatan dengan warga lain dengan mempelajari dan menguasai Bahasa Mamuju, karakter, dan budaya lokal, sehingga komunikasi terjalin baik dengan semua kalangan.
Kawasan pecinan dengan model rumah yang khas pernah ada di sekitar Jalan Yos Sudarso, tepat di depan Pantai Mamuju. Namun, lambat laun mereka semakin menyebar dan membaur dengan warga lainnya. Etnis Tionghoa yang umumnya berdagang, berada di sekitar tempat-tempat strategis yang ramai dikunjugi orang, misalnya pasar.
Tempat ini pulalah yang mempertemukan mereka dengan saudara lainnya dari etnis berbeda, sehingga terjadi asimilasi yang didasarkan prinsip saling membutuhkan. Pedagang membutuhkan konsumen, dan sebaliknya. Tentunya bukan hanya etnis Tionghoa yang memilih dagang sebagai mata pencarian, sehingga hubungan simbiosis semakin kompleks.
Hengky yang lahir, besar, dan beranak cucu di Mamuju, mengenang, sekitar tahun 1970-an, akses jalan darat belum terbuka. Hubungan dengan Makassar dilakukan dengan transportasi laut. Akses jalan darat baru terbuka dengan baik sekitar dekade 90-an.
Berasimilasi dengan Saling Menghormati
PEMBAURAN etnis Tionghoa dengan warga Mamuju dari etnis lainnya terus berlanjut hingga generasi berikutnya. Asimilasi dilakukan sampai pada bidang pendidikan. Tidak ada sekolah di Mamuju yang dieksklusifkan untuk kelompok tertentu.
Semua berbaur dalam satu sekolah yang di dalamnya tidak terdapat perbedaan berdasarkan kesukuan. Anak-anak etnis Tionghoa belajar di sekolah dasar yang juga digunakan warga lainnya agar dapat belajar membaurkan diri sejak dini.
Irwan, pemilik Toko Satu Dua, berharap keakraban dengan warga lainnya yang telah dilakukan orang tua sebelumnya, juga dilakukan generasi selanjutnya. “Memang beberapa warga lain yang baru masuk ke Mamuju, jarang kami kenal. Tapi kalau yang sudah lama tinggal di sini, hampir kami kenal semua,” katanya.
Sikap toleransi dan saling menghargai dengan sesama, pesannya, yang paling dibutuhkan agar dapat tetap menjalin hubungan kekerabatan dengan orang lain. Salah seorang saudara kandungnya yang memilih memeluk Agama Islam, ujarnya, sangat dihormatinya, termasuk seluruh pantangannya telah diketahuinya dengan baik.
“Kami tidak mengenal batasan hubungan sejak dahulu. Bahkan dulu, waktu penduduk Mamuju belum banyak seperti sekarang, kalau kita naik bus ke Makassar, semua penumpang kita kenal baik. Bapak saya dari Mandar, jadi sangat cepat akrab dengan warga lain. Apalagi kita biasa kumpul-kumpul kalau ada acara,” bebernya.
Kursi Legislatif Bukti Kepercayaan Masyarakat
KETUA Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Mamuju, Imming Wijaya, mengaku salut dengan keterbukaan dan penerimaan warga di Mamuju terhadap etnis Tionghoa. Diskriminasi dari masyarakat dan pemerintah, secara umum, kata dia, tidak pernah dirasakan hingga keturunan generasi kelima saat ini. Memang diakuinya, kemungkinan masih ada segelintir orang yang masih membedakan, tetapi tidak dapat digeneralisasi.
“Sejak awal, mulai lahir, besar, dan beranak cucu, kami telah diterima dengan baik dan dapat berpartisipasi dalam banyak hal. Saya dapat duduk di kursi legislatif DPRD Mamuju selama dua periode, menjadi bukti, bahwa kami diterima di masyarakat untuk mewakili rakyat” tutur pria kelahiran Mamuju tahun 1954 silam.
Etnis Tionghoa di Mamuju sejak menjadi ibukota Provinsi Sulbar terus bertambah seiring pertumbuhan pembangunan dan perekonomian. Jumlah keluarga keturunan etnis Tionghoa yang tercatat (PSMTI) Mamuju saat ini sebanyak 120 kepala keluarga.
Saat Mamuju belum menjadi ibukota provinsi, jumlah etnis Tionghoa hanya sekitar 30 kepala keluarga. Pintu Mamuju semakin terbuka lebar setelah menjadi pusat kota dan etnis Tionghoa lainya terus berdatangan dari Kota Palopo, Makassar, dan kota-kota lainnya.
Imming, mengemukakan, pertambahan jumlah etnis Tionghoa serta lahirnya PSMTI sejak beberapa tahun lalu, juga semakin memperbesar jalinan hubungan kekerabatan dengan warga lainnya. Kegiatan bakti sosial untuk membantu warga yang kurang mampu, menjadi salah satu agenda rutin PSMTI
Senin, 23 Januari 2023
Naja mengungkapkan, rumah yang dibangun seadanya itu digunakan paling lama enam bulan karena beberapa bagian rumah sudah dimakan rayap. Setelah itu, mereka berpindah tempat lagi dan membabat hutan untuk membuka lahan perkebunan serta membangun rumah pohon atau rumah panggung seadanya.
Alasan lain meninggalkan lahan yang telah dibuka untuk perkampungan dan digunakan sebagai kebun selama sekira enam bulan adalah masa panen telah habis. Ladang tempat menanam ubi atau jagung juga telah ditumbuhi rumput atau alang-alang yang tinggi. Suku Bunggu tidak terbiasa membersihkan ladang yang ditumbuhi rumput. Pada umumnya, mereka mengkonsumsi ubi dan jagung sebagai makanan pokok. Selain mudah ditanam, tanaman ini juga lebih cepat dipanen. Pohon sagu dijadikan sebagai lumbung pangan, laiknya gudang beras bagi kebanyakan orang yang menjadikan beras sebagai makanan pokok. Sagu menjadi salah satu bahan makanan pokok sambil menunggu berbuahnya tanaman ubi rambat dan jagung yang mereka tanam.
Perempuan Suku Bunggu di Desa Pakava juga mulai mengenal susu instan untuk bayi mereka. “Kehidupan kami sekarang boleh dikata jauh berbeda dengan saudara-saudara kami yang masih ada di gunung, sekarang kami telah mengenal uang, pakaian dan kadang-kadang makan nasi. Dulu, pakaian kami terbuat dari kulit kayu yang dipukul-pukul sampai tipis. Kalau selalu hidup pindah-pindah, susah. Sekarang sudah ada teman dari suku lain. Tetapi adat tetap dipertahankan supaya tidak kena bencana,” beber Naja. Pola hidup sebagian masyarakat Suku Bunggu yang mulai berinteraksi dengan etnis lain memang sedikit berubah. Namun, ada satu yang tak pernah lekang tergerus arus perkembangan teknologi dan zaman, yakni Hukum Adat. Desa Pakava yang menjadi perkampungan Suku Bunggu yang terbuka, justru menjadi pusat pesta adat yang menjadi ritual tahunan.
Penataan perkampungan Suku Bunggu di Desa Pakava, Kecamatan Pasangkayu, Mamuju Utara, terbilang cukup apik. Bangunan dan model rumah memang sangat sederhana dan masih mendekati bentuk asli ketika masih hidup di daerah pegunungan dengan pola nomaden. Sisi kiri, kanan, dan belakang rumah telah dimanfaatkan sebagai perkebunan tanaman produktif, misalnya kakao dan jeruk. Di depan rumah Yadi, salah seorang tokoh adat yang merupakan raja Suku Bunggu yang ada di Mamuju Utara, berdiri sebuah bangunan tak berdinding yang cukup luas. Bangunan model panggung dan sangat sederhana dengan tiang penyangga yang cukup banyak ini dinamakan Bantaya. Di Bantaya inilah pertemuan maupun pesta adat Suku Bunggu dipusatkan.
Sejak masih hidup berpindah-pindah di hutan, Suku Bunggu telah mengenal permusyawaratan adat. Selain menaati hukum pemerintah, mereka juga sangat taat terhadap hukum adat. Salah seorang tokoh masyarakat Suku Bunggu di Desa Pakava, Naja, menuturkan, hukum adat ini lahir dari sesama Suku Kaili yang merupakan induk suku mereka. Hukum adat ini dibuat berdasarkan kesepakatan bersama dan tidak memihak kepada siapapun. Hukum tak tertulis ini mengatur sendi-sendi kehidupan sejak lahir sampai kembali ke sang pencipta dan diaplikasikan mulai dari bangun tidur sampai kembali ke pembaringan. Hukum ini menjadi norma yang diturunkan ke anak cucu mereka sebagai pedoman hidup agar tidak salah melangkah. Sebagai pengatur regulasi, mereka menunjuk orang yang dituakan. Setiap pelanggaran terhadap hukum adat dikenakan denda bagi pelakunya.
Pemberian hukuman bagi pelanggar hukum adat dibicarakan melalui musyawarah adat di Bantaya. Hukuman yang telah disepakati oleh semua warga yang hadir dalam musyawarah itulah yang harus dijalani oleh pelanggar hukum adat, jika telah ikhlas menjalaninya dan harus membayar dalam bentuk denda. Menurut Naja, hukuman terberat dalam hukum adat diberikan kepada warga dalam komunitas itu yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan. “Jangan memang membunuh teman atau siapapun. Jika ada yang membunuh, maka akan diikat dan dikubur bersama-sama dengan orang yang dibunuh. Semua warga kampung harus menyaksikan. Ini untuk menghindari dendam karena sudah dikubur sama-sama,” ungkapnya.
Hukum lain yang juga masih diterapkan adalah pemberian hukuman atau denda kepada warga yang diketahui memerkosa atau memegang perempuan. Warga yang diketahui memerkosa harus dinikahkan ditambah membayar denda 4-8 ekor babi. Prosesi pernikahannya juga melalui prosesi adat. Diakuinya, nikah adat memerlukan biaya yang cukup besar. Hukum adat yang tidak dilaksanakan, diyakini akan membuat anak cucu “salah jalan” dalam kehidupannya.
Suku Bunggu juga mengenal pesta adat yang digelar setahun sekali antara Mei-Juni dan dilaksanakan selama tiga hari. Pesta adat ini menjadi ajang pertemuan seluruh Suku Bunggu baik yang telah hidup berbaur, maupun yang masih hidup di pegunungan. Pesta adat ini merupakan ritual memperingati kelahiran anak dan dilaksanakan secara bersamaan di Bantaya. Beberapa ritual unik dilakukan dalam pesta adat ini. Untuk memanggil semua komunitas Suku Bunggu yang tersebar di pedalaman, mereka tidak dipanggil satu persatu. Mereka kirimkan tanda melalui angin, panggil mereka dengan proses adat. Memang hanya orang tertentu saja yang tahu panggilan itu dan inilah yang disebarkan ke satu kampung (dalam satu komunitas).
Suku Bunggu yang hidup di pedalaman merasa lebih senang mengasingkan diri dan tidak terbiasa melihat orang banyak. Umumnya mereka hidup berkelompok dalam jumlah kecil. Untuk menemukan komunitas Suku Bunggu yang tinggal di hutan, cukup sulit. Mereka menetap jauh di pedalaman di tengah hutan yang masih lebat serta medan yang harus ditempuh sangat berat. Suku Bunggu yang hidup di pedalaman tidak terbiasa bertemu orang lain di luar komunitasnya. Jika mengetahui kehadiran orang lain, mereka menghilang dan lari ke hutan. Bagi warga yang tinggal di sekitar Pasangkayu, Suku Bunggu dikenal memiliki kelebihan menyelinap dan menghilang di balik pohon dengan cepat, beberapa warga menyebutnya dengan nama Topembuni.
Suku Bunggu juga memiliki senjata rahasia yang mematikan. Orang-orang menyebut senjata ini dengan nama sumpit. Meskipun berada dalam radius puluhan meter, senjata ini langsung dapat mengenai lawannya. Sumpit ini terbuat dari buluh yang bulat dan bagian tengahnya berlubang. Penggunaan senjata beracun yang mematikan ini dengan cara ditiup. Senjata sumpit ini merupakan senjata kebanggan Suku Bunggu dan menjadi senjata utamanya. Namun, mereka memiliki kekhasan tidak akan pernah mengganggu orang lain jika tidak diganggu. (Revisi)
Sumber : Suku Bunggu Mamuju Utara, Tak lagi dipohon inginkan kehidupan lebih baik. https://aryafatta.wordpress.com/2008/01/14/suku-bunggu-mamuju-utara/
Minggu, 22 Januari 2023
Ikan Penja atau Duwang |
Berbagai olahan |
Alat penangkap ikan Penja ”sambe/ bundeq. |