Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Rabu, 22 Agustus 2018

To Binggi, Jejak Peradaban Suku Pedalaman Mamuju Utara

Suku Binggi dan Suku Bunggu adalah dua nama yang berasal dari satu rumpun yang sama. Suku Binggi adalah kelompok tertua dari rumpun ini dan merupakan cikal bakal Suku Bunggu. Barulah dalam beberapa waktu belakangan ini, setelah ramainya transmigrasi dan pemekaran daerah, Suku Bunggu muncul. Saat ini, Suku Bunggu seolah menjadi strata sosial baru yang diimani masyarakat bahwa mereka lebih beradab dari suku pendahulunya.
Suku Binggi merupakan suku terpencil di pedalaman Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Mereka hidup di kaki gunung yang sangat jauh dari keramaian, tinggal berkelompok-kelompok. Jumlah anggota suku ini cukup banyak dan mereka melakukan interaksi terbatas hanya dengan sesamanya.
Orang kota menyebutnya sebagai “manusia pohon”, karena orang Binggi tinggal dan hidup di atas pohon. Mereka memilih pohon tinggi yang cocok untuk mereka tempati kemudian membangun rumah yang sederhana dari batang pohon dan dedaunan sebagai atap. Ketinggian rumah bisa sampai 15-20 meter. Karena orang Binggi merupakan petani berpindah, maka pohon yang dipilih adalah yang lokasinya dekat dengan tempat bercocok tanam.
Membutuhkan berhari-hari berjalan kaki jika ingin masuk ke tempat mereka di dalam hutan. Itu pun orang-orang Binggi sangat sulit untuk ditemui karena mereka tidak terbiasa bertemu orang lain di luar komunitasnya. Terkadang mereka langsung menghilang dan lari ke hutan bila mengetahui ada orang luar datang. Ini adalah kelebihan orang-orang Binggi yang mampu menyelinap dan menghilang di balik pohon dengan cepat. Alasan ini pula yang membuat kehidupan orang Binggi terbentengi dari dunia modern. Sehari-hari mereka melakukan barter untuk kebutuhan pokok seperti makan. Dalam banyak hal juga mereka sangat mengandalkan alam untuk dapat bertahan hidup. Pakaian yang mereka kenakan misalnya, terbuat dari kulit pohon atau tidak berpakaian sama sekali.
Sementara suku Bunggu merupakan masyarakat Binggi pedalaman yang telah banyak tersentuh kehidupan modern. Mereka mulai berinteraksi dengan orang-orang di luar sukunya dan mulai menerima kehidupan bermasyarakat dengan menetap di suatu perkampungan.
Pemerintah menamakan orang Bunggu sebagai “Suku Binggi yang dirumahkan”. Sejak tahun 2006 pemerintah merumahkan mereka dan mengajarkan menjadi masyarakat yang baik dengan mengikuti aturan-aturan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Rumah Pohon Suku Binggui

Adanya rumah (yang berbeda dengan rumah mereka sebelumnya) inilah yang membuat kebutuhan hidup mereka bertambah karena mesti membeli banyak perkakas sebagai kelengkapan isi rumah. Dengan begitu, orang-orang Bunggu pun mengenal uang sebagai alat tukar dan pasar adalah tempatnya. Orang-orang Bunggu telah berinteraksi dengan masyarakat luar, bahkan beberapa diantara mereka mengenyam pendidikan formal. Orang Bunggu tidak lagi mengenakan kulit kayu sebagai pakaian, tetapi telah mengenal baju dan kain.
Meski sebagian orang Bunggu sudah bersedia dimukimkan, ada beberapa dari mereka yang masih menolak rumah buatan pemerintah. Alasannya cukup sederhana, mereka tidak tahan kepanasan. Rumah bantuan itu terbuat dari papan dengan atap seng. Sedangkan kebiasaan mereka tinggal di rumah yang terbuka dengan atap dari daun-daunan tanpa dinding atau hanya setengah.
Untuk memenuhi persyaratan representasi, dalam beberapa pertemuan dengan otoritas atau aparat pemerintah setempat, mereka sering dilibatkan khususnya untuk mewakili masyarakat adat atau Binggi pedalaman. Mereka juga dilibatkan dalam beberapa program pemerintah maupun proyek non-pemerintah (LSM/NGO) yang memperkenalkan budaya ‘uang duduk’. Perkenalan dengan budaya baru ini menciptakan orientasi uang (money oriented) di kalangan mereka ketika ada pihak luar yang masuk ke wilayah tersebut.
Hal ini sangat berbeda di waktu-waktu lampau, dimana orang-orang Binggi sampai mengubur uang di tanah karena mereka tidak mengenal dan tidak membutuhkan sesuatu bernama uang yang didapat dari masyarakat luar mereka.
Orang Binggi memiliki ritual khusus yang biasanya disebut pesta adat. Pesta adat ini menjadi ajang pertemuan seluruh Suku Binggi, baik yang telah hidup berbaur maupun yang masih hidup di hutan. Mereka memiliki ilmu kebal, berjalan di atas bara api dan tidak mempan dengan benda tajam.  Akan tetapi, ritual ini pun telah mulai dikomersialisasikan sebagai tontonan pariwisata.
Mungkin karena itu, kadang pula beberapa dari mereka merindukan damainya kehidupan di dalam hutan yang jauh dari masalah modern. Seperti masalah sesama manusia yang sarat banyak kepentingan dan permainan politik. Setiap beberapa bulan mereka meluangkan waktu sekira seminggu lamanya, untuk masuk ke dalam hutan dan bernostalgia dengan kehidupan liarnya.
Dengan adanya lokalisasi pemukiman, pembangunan dan segala macam proyek domestikasi yang dimulai semenjak 90-an ini, telah merubah relasi orang-orang Binggi maupun Bunggu. Proyek-proyek pembangunan dan modernisasi telah mengintervensi kehidupan liar orang-orang Binggi dan Bunggu, membunuh kehidupan tradisional mereka yang awalnya berjalan secara harmonis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar