Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Sabtu, 10 Juni 2017

Perlawanan Menentang Kolonialisme Belanda Di Kerajaan Mamuju

Pada permulaan abad ke XX berbagai usaha yang dilakukan kolonial Belanda mengarah kepada hegemoni di berbagai pelosok yang berpotensial memberikan keuntungan. Usaha ini diarahkan kepada eksploitasi daerah-daerah di luar Pulau Jawa atau hampir seluruh daerah di Nusantara. Hal ini disebabkan antara lain perebutan daerah kekuasaan negara imperialis yang secara berlomba-lomba mencari daerah jajahan di daerah Asia dan Afrika. Sejak itu politik Kolonial diterapkan dengan tujuan menguasai daerah daerah produksi bahan-bahan mentah bagi kepentingan industri negara imperialis. Untuk memenuhi kepentingan politik kolonial Belanda, di seluruh wilayah Nusantara dimunculkan praktek kolonial yang memungkinkan penaklukkan terhadap daerah-daerah jajahan adalah membuat kontrak politik  yang mengikat rakyat pribumi. Usaha ini lebih jelasnya dimaktubkan dalam traktak antara pemerintah Kolonial dan para raja setempat sebagai dalih terselubung untuk menguasai daerah jajahan (Hosea 1993:12)

Sejak berlakunya kontrak panjang (Lange Kontract) kehidupan rakyat pribumi semakin sulit. Isi Kontrak tersebut, membuat semakin parah keadaan kedudukan kerajaan-kerajaan di Nusantara karena Kerajaan-kerajaan tersebut, dilarang melakukan perlawanan terhadap Kolonial dan para tuan tanah pihak Kolonial Belanda. Akibat semua itulah timbul protes akan keberadaan Lange Kontract seperti dikerajaan  Gowa, PerjanjianBongaya (1667). Isi perjanjian tersebut merugikan kedua belah pihak.  ( Abdul Razak Dg.Patunru,1996:33-34).

Hingga abad ke XIX,Lange Kontract masih berlaku dibeberapa wilayah di Nusantara bahkan pada saat terjadinya Perang Aceh dan perang-perang lain di Pulau Jawa. Ikatan perjanjian tersebut merampas hak-hak pribumi yang telah disepakati bersama bahwa traktat tersebut menjamin kedua belah pihak saling menguntungkan hal ini terjadi akibat tindakan kolonial Belanda disertai tindakan provokasi militer dalam usaha-usaha mematuhi isi dari Lange Kontrak.

Meskipun para penguasa Mandar menandatangani pembaharuan Kontrak Bungayya (1824), yang menetapkan pihak pemerintah kolonial  Belanda sebagai (pelindung dan perantara) namun bagi kerajaan kerajaan sekutu memandang konsep ini menunjukkan kedudukan yang setara. Karena negeri mereka bukan wilayah taklukan dan pemerintahannya tetap mengikuti pola pemerintahan yang terbina sejak dulu. Hal inilah yang sering menimbulkan konflik antara pemerintah kolonial Belanda dengan pihak-pihak kerajaan kerajaan sekutu dikawasan ini, termasuk kerajaan kerajaan di daerah Mandar.

Namun kesepakatan itu tidak dilaksanakan sepenuh hati dan semangat perlawanan terus berlanjut. (Amir 2011:238) menyatakan “ walaupun raja raja telah  menandatangani Pembaharuan Kontrak Bungayya, akan tetapi tidak mempunyai arti banyak,karena pada umumnya raja raja tidak banyak menghiraukan seruan kita”(C.Nooteboom). Hal ini ditandai dengan banyaknya aksi perompakan yang dilakukan oleh perompak Mandar yang mengancam kebijakan perdagangan bebas, dan juga kerugian bagi pelayaran dan perdagangan maritim kolonial Belanda. Itulah sebabnya 5 Juli 1850 Gubernur Sulawesi bermohon kepada Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia, agar diberikan wewenang untuk mengatasi perompakan laut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah semua tindakan yang bertentangan dengan kontrak politik yang telah ditandatangani oleh Maraqdia-Maraqdia di Mandar.

Sedangkan Penandatanganan Kontrak Panjang atau Lange Contract di Kerajaan Mamuju ditandatangani pada tanggal 31Oktober 1862  oleh Nae Sukur dan Hadatnya, selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1869 dilakukan penandatanganan kontrak tambahan (perlindungan terhadap jalur-jalur telepon). Juga oleh Maraqdia Mamuju dan Hadatnya  hingga 3 Mei 1889 tepatnya 10 tahun kemudian, diadakan penandatangan kontrak tambahan (pencegahan pengangkutan keluar masuk kebutuhan perang). 

Setelah Nae Sukur digantikan oleh Karanene diadakan penandatanganan kontrak dan  Akte pengukuhan pada 30 September 1896. Penandatangan kontrak lanjutan yang juga ditanda tangani oleh Karanene pada, 15 mei 1899  tentang kontrak tambahan pertambangan. Hingga 5 oktober 1905, Karanene selaku Maraqdia Mamuju dan anggota Hadatnya kembali menandatangani pembaharuan Kontrak Panjang. Pada masa ini Maraqdia Karanene meletakkan jabatannya sebagai Maraqdia Mamuju.(1908).

Sementara itu di Kerajaan Tappalang, juga menandatangani Kontrak panjang pada 31 Oktober 1862 oleh Maraqdia Tappalang Cakeo Daeng Mariba (Pua Caco Tomanggang Gagallang Patta-ri Malunda) Pabbicara Tappalang pengganti Maraqdia Tappalang dan hadatnya.
 
Dalam keadaan Tappalang yang tidak memiliki Maraqdia, diambil alih oleh Maraqdia Mamuju Nae Sukur sebagai Maraqdia Tappalang serta hadat Tappalang, Nae Sukur kembali menandatangani kontrak panjang pada tanggal 5  Desember 1868. Pengganti Maraqdia Tappalang Nae Sukur berikutnya adalah Pabanari Daeng Natonga  (1889-1892) dan digantikan lagi oleh Andi Musa Paduwa Limba (1892-1908), beserta Hadatnya melakukan penandatanganan  kontrak panjang dan Akte pengukuhannya pada 31 oktober 1892 selama masa pemerintahan Andi Musa Paduwa Limba, penandatangan kontrak tambahan (pertanian dan pertambangan) dengan kolonial Belanda kembali dilakukan pada, 23 Juni 1897 kemudian penandatanganan pembaharuan kontrak panjang dengan kolonial Belanda pada 11 Juni 1905.


Ilustarsi Pertempuran Di Benteng Kayu Mangiwang Budong- Budong

Selama pemberlakuan kontrak dan kerjasama kerajaan kerajaan di Mamuju dengan kolonial Belanda. Menyebabkan konflik dan perlawanan menentang perjanjian dan melakukan perlawanan terhadap Kolonial Belanda di Kemaradikaan Mamuju, perlawanan dan penentangan ini dilakukan oleh para bangsawan yang digelari Puang dan Daeng, Punggawa Malolo (Daeng Mattinja), Aco Ammana Andang, Daengna Maccirinnae, Pattolo Lipu, Lalla Parimuku dan Pattana Bone. merupakan pemimpin perlawananan di Kemaradikaan Mamuju.

Sementara itu di Kerajaan Tappalang  (J.W.Leyds 1938:39) mengungkapkan bahwa pada tahun 1905 di Cendrana dan Tapalang, baik pihak pemerintah maupun pada anggota Anggota Hadat tidak bisa menyatukan pikiran antara mereka dengan sikap penuh ketegasan dari pemerintah Hindia Belanda dapatlah diakhiri keadaan tanpa pemerintahan (Oktober 1905). Pemerintah Kolonial Belanda akhirnya menguasai Kemaradikaan Tappalang

Di Kemaradikaan Mamuju dan Tapalang perlawanan rakyat menentang kolonial Belanda ditandai, setelah pemberlakuan Lange Kontrak ini, yang dimulai sejak ditandatanganinya  oleh Nae Sukur dari tahun 1862 hingga akhir 1907 oleh Maradika Karanene. Perlawanan atas pemberlakuan lange kontract ini dimulai oleh seorang cucu raja Tapalang yang bernama Matalungru (Pattalundru) 1863, setelah Nae Sukur sebagai pengganti maradika Tappalang menandatanganinya atas nama maradika Tappalang yang kemudian memancing kemarahan Matalungru sebagai keturunan maradika Tappalang, kemudian perlawanan rakyat Mamuju selanjutnya di tahun 1905, oleh Punggawa Malolo yang berlangsung di Benteng Kassa Sinyonyoi kemudian ditahun yang sama, Daenna Maccirinae, Pattolo Lipu dan Pattana Bone di Benteng Kayu Mangiwang dimana, para pemimpin perlawanan tewas, ditangkap dan diasingkan. Menyoroti beberapa perlawanan ini tidak satupun perlawanaan yang di pimpin langsung oleh raja atau Maradika tapi dipimpin oleh seorang tokoh bangsawan, bersama dengan rakyat dalam hal ini masyarakat pedesaan, yang justru memiliki dinamika untuk berusaha memperbaiki keadaan dan nasibnya.

Tokoh tokoh perlawanan yang melakukan perlawanan terhadap kolonialisasi Belanda di Mamuju, bukanlah raja atau maradika, Matalungru adalah seorang cucu raja Tapalang, kakek Matalungru digantikan oleh Nae Sukur sebagai raja Tapalang sekaligus sebagai raja Mamuju, sementara Daenna Maccirinnae, Pattololipu,Punggawa Malolo (daeng Mattinja) juga hanyalah bangsawan yang menentang dan memberontak atas kekuasaan pemerintah Belanda. 

Jika menyimak berbagai perlawanan yang timbul di Mandar dan Mamuju  tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang mendorong tercetusnya peristiwa itu. Daengna Maccirinnae,, Daeng Mattinja (punggawa malolo) dan Aco Ammana Andang. Sebagai tokoh-tokoh yang mempelopori timbulnya aksi perlawanan yang tidak takut dan pantang menyerah ketika Pemerintah Hindia Belanda mencoba melaksanakan praktek kolonialisasi di Mamuju. Intervensi Belanda di Mamuju dengan tujuan kolonoialisasi dan menanamkan kekuasaan didaerah tersebut ditandai dengan penandatangan Lange Kontract. Kedatangan pemerintah Hindia Belanda di Mamuju ini melalui tanah Mandar yang telah terlebih dahulu dikuasai, membawa Belanda juga memasuki wilayah Mamuju dan sekitarnya  (Sumber : Het nieuws van den dag voor Ned. Indie, tanggal 24 Agustus 1908, lembar ke-2 Verbannen) 

Pada tahun 1863, di Tapalang perlawanan dilakukan oleh Matalungru, sementara  pada tahun 1906, Perjungan Punggawa Malolo Daeng Mattinja, Aco Amanna Andang yang merupakan adik raja Mamuju Jalaluddin Ammana inda berfokus di Sinyonyoi Benteng kassa dimulai tahun 1907 saat Belanda masuk ke Sulawesi Selatan dengan militer dan bersamaan dengan itu juga turut ikut campur dalam masalah kerajaan di Tapalang (Mamuju). Perlawanan ini berakhir tahun 1907 dimana perlawanan ini bisa dipadamkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tewasnya Punggawa Malolo,  Aco Ammana Andang dan tokoh – tokoh pejuang di Sinyonyoi (Kec. Kalukku) serta Daengna Maccirinnae yang berjuang di Budong-Budong Benteng Kayu Mangiwang kemudian diasingkan bersama Pattololipu ke Jepara dan Cilacap (Arman.Husain_2017).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar