![]() |
Ikan Penja atau Duwang |
![]() |
Berbagai olahan |
![]() |
Alat penangkap ikan Penja ”sambe/ bundeq. |
![]() |
Ikan Penja atau Duwang |
![]() |
Berbagai olahan |
![]() |
Alat penangkap ikan Penja ”sambe/ bundeq. |
![]() |
Ilustrasi |
Maradika yang bergelar La Manuka ini bernama asli Abdul Rahman Nae Syukur, bertahta menjadi raja di Tapalang pada tahun 1867 - 1869 menggantikan Pua Caco Tamanggong Gagallang Patta ri Malunda atau juga bernama asli Cakeo Dg. Marriba yang sebelumnya adalah seorang bangsawan pemuka hadat kerajaan Tapalang. Nae Sukur adalah anak dari penguasa atau raja Mamuju Abd. Maalim Daeng Lotong atau Nae lotong yang bergelar Malloanging dan ibunya bernama I Panre putri dari raja Mamuju sebelumnya Daenna Samani To Mejanggu alias Tomampellei Kasugikanna.
Pada masa kepemimpinan Abd. Maalim Nae Lotong di Tapalang (1850-1862) telah terjadi peristiwa perompakan kapal milik Abdul Rachman yang hendak berlayar menuju Kutai Kartanegara, berangkat dari Makassar pada 14 Maret 1856 dan berlayar melalui jalur pantai Tapalang dan akhirnya karam dipantai Dungkait Tapalang pada 25 Maret 1856 dan kemudian dirompak dan kemudian kapal itu dibakar oleh orang orang Dungkait dan Tapalang, kuat dugaan bahwa yang memimpin perompakan ini adalah salah seorang bangsawan Tapalang bernama Pattalunru dan atas peristiwa inilah yang memicu terjadinya kemarahan Gubernur Hindia Belanda dan segera meminta ganti rugi atau kompensasi kepada kerajaan Tapalang dengan mengirimkan utusan kekerajaan Tapalang menggunakan kapal uap Admiral Kingsbergen untuk menyampaikan surat Gubernur tertanggal 6 April 1856 namun pihak kerajaan Tapalang tidak menanggapi dan merasa tidak bertanggungjawab dengan kejadian tersebut selain itu karena Tapalang tidak merasa terikat kontrak perjanjian dengan Pemerintah Belanda.
Sehubungan dengan persoalan perompakan tersebut, pemerintah kolonial Belanda dalam keputusannya pada 16 Mei 1856 No.2, memberikan wewenang kepada gubernur Sulawesi untuk melakukan tindakan tegas apabila mara’dia Tapalang dan Mamuju tidak mengabulkan semua tuntutan yang diminta. Gubernur Sulawesi diharapkan dapat menggunakan sarana yang ada untuk memaksakan mereka memenuhi tuntutan ganti rugi yang diajukan dan menghukum raja-raja itu atau menjatuhkan hukuman terhadap kampung-kampung yang bersalah. Oleh karena hingga awal Juni 1856, tuntutan tersebut masih belum dikabulkan semuanya, hanya sebagian kecil dari barang-barang yang dirompak dapat ditemukan kembali, maka dikirim sebuah pasukan ekspedisi ke Tapalang dan Mamuju pada 10 Juni 1856. Pasukan ekspedisi ini merupakan gabungan dari kekuatan angkatan laut dan darat yang terdiri atas kapal perang (fregat) Palembang, kapal uap Admiraal van Kingsbergen, dan kapal penjelajah Nomor 18 serta 50 di samping satu kesatuan yang diangkut dengan sebuah kapal perang berkekuatan seorang perwira dan 25 orang serdadu. Setelah pasukan ekspedisi tiba di tempat, segera menyampaikan tuntutan ganti rugi dalam waktu 36 jam tidak dikabulkan, maka kedua kampung tersebut akan dibakar dan dihancurkan. Meskipun demikian, pemangku adat Mamuju dan putra mara’dia Mamuju yang bernama Nae Sukur menyatakan tidak mampu untuk membayar ganti rugi yang dituntut. Oleh karena tuntutan tersebut tidak dipenuhi dan seiring dengan berlalunya batas waktu yang ditentukan, maka penghancuran Tapalang dan Tanjung Kait dilakukan tanpa ada perlawanan yang berarti. Penghancuran Tapalang dilakukan pada 19 Juni sementara Tanjung Kait dilakukan pada 20 Juni 1856. Berkali-kali kejadian yang sama kembali terulang di pantai Mandar antara 1858 sampai 1859 hingga pada Oktober 1863.
Pada permulaan tahun 1862 Maradia Mamuju dan Tapalang Malloanging Nae Lotong mundur dari jabatannya sebagai raja di Tapalang karena merasa sudah tidak mampu melanjutkan jabatannya karena telah lanjut usia, maka digantikan oleh menantu laki lakinya I Samani bergelar Tomessu Ri Atapang (1862-1864). Dimasa kepemimpinan I Samani tidaklah lebih baik dari sebelumnya, pada Oktober 1863 kembali terjadi peristiwa perompakan dan penjarahan dilakukan rakyat Tapalang dan kembali memicu reaksi pemerintah Hindia Belanda atas pembangkangan terhadap kontrak perjanjian yang sudah disepakati pada 31 Oktober 1862. Pada awal tahun 1864 I Samani diturunkan sebagai raja oleh kesepakatan para hadat kerajaan Tapalang dan digantikan oleh Pua Caco Tomanggong Patta Ri Malunda yang juga adalah seorang bangsawan Tapalang yang sebelumnya adalah anggota hadat sebagai Pa'bicara di kerajaan Tapalang, namun pengangkatannya sebagai raja belum mendapat restu dari pemerintah Belanda sehingga pihak pemerintah Belanda memanggilnya untuk datang ke Makassar untuk mempertegas dan menyatakan dirinya untuk patuh pada perjanjian kontrak dengan pemerintah Belanda, namun Pua Caco menolak keinginan pemerintah Belanda untuk datang ke Makassar.
Sebagai Gubernur Hindia Belanda Celebes, J. Anthonius Bakkers memandang segera mengganti raja Tapalang Cakeo Daeng Marriba atau Pua Caco, pemecatan ini dilakukan untuk mempermudah legitimasi peraktek kolonisasi di wilayah Tapalang yang saat itu masih rawan dengan pembangkangan terhadap kebijakan dan kepentingan Kerajaan Belanda diwilayah Tapalang, maka pada Desember 1867 ditunjuklah Na'e Sukur yang juga menjabat sebagai Raja Mamuju atas persetujuan hadat Kerajaan Tapalang untuk diangkat jadi Raja Tapalang, namun Nae Sukur masih berada di Makassar saat itu sehingga pengangkatannya diundur sampai Januari 1868.
Selama memerintah di Kerajaan Tapalang Nae Sukur kurang disenangi oleh beberapa kalangan bangsawan sehingga timbul perselisihan yang kemudian mendapat penentangan dari beberapa tetua adat dan kepala kampung di Tapalang ditahun 1875 terutama perseteruan dengan Hadat kerajaan Tapang akibat sikap dari beberapa bangsawan yang menjabat di kerajaan menilai Nae Sukur terlalu tunduk pada Belanda, puncak dari perseteruan ini adalah pecahnya perang saudara antara pihak Nae Sukur dikerajaan Mamuju dan Tappalang dengan pihak I Samanangngi dan Pattalunru dikawasan hutan Karama pada tahun 1883. Pada pertempuran pertama armada perang kerajaan Mamuju dibawah pimpinan Andi Calla yang juga anak sulung dari Nae Sukur memimpin penyerangan ke Karama, I Samanangngi sendiri adalah sepupu dari Nae Sukur dari jalur ibunya. I Samanangngi dianggap banyak merugikan kerajaan dengan melanggar kontrak perjanjian dengan pihak kerajaan Belanda dengan melakukan perompakan dan menjarah kapal-kapal dagang yang melintas diperairan Mamuju dan Tapalang.
Selain itu I Samanangngi telah melindungi Pattalunru yang diburu oleh pihak kerajaan Belanda karena selain penjarahan juga menangkap awak kapal untuk dijual sebagai budak pekerja sehingga hal inilah yang oleh pihak Belanda sangat merasa terganggu dengan aktifitas perompakan ini, jelas sangat menganggu keamanan perdagangannya dijalur pantai Tapalang dan Mamuju. I Samanangngi mendeklarasikan diri sebagai penguasa di wilayah Pangale Karama dengan memimpin pemberontak dengan gelar Maradia Pangale Tomampellei Sanjatana. Dalam pertempuran ini Andi Calla tewas ditangan pasukan Maradia Pangale dan berhasil memukul mundur pasukan kerajaan Mamuju dengan kekalahan ini Nae Sukur lantas berinisiatif meminta bantuan pasukan kepada kerajaan Belanda melalui Gubernur Hindia Belanda pada tanggal 5 Juni 1888 di Makassar.
Permintaan bantuan ini lantas mendapat respon dari pemerintah Belanda dengan mengirimkan satu batalyon prajurit dan tiga unit kapal perang bermesin uap antara lain; H.M. Koning, H.M.Prins Hendrik dan H.M. Madoera dan berangkat ke Karama pada 19 Juni 1888, pada 23 Juni ketiga kapal perang kerajaan Belanda ini membombardir wilayah Pangale dari segala arah dengan dukungan pasukan marinir dan pasukan kerajaan Mamuju. Namun I Samanangngi dan Pattalunru ini lebih cerdik dengan tidak melakukan perlawanan, mereka mengajak semua masyarakat Pangale untuk meninggalkan rumah rumah dan perahunya menuju kehutan yang paling jauh kedalam untuk menghindari jatuhnya korban, prajurit kerajaan Mamuju kemudian membakar rumah dan perahu sebagian milik masyarakat Pangale ini dan pulang dengan tangan hampa. Baru sebulan kemudian Raja Mamuju Nae Sukur mendapat kabar bahwa Pattalunru siap menyerahkan diri namun hal tersebut tidak pernah terjadi karena mereka tetap bersembunyi dan masih melakukan perlawanan.
Pada masa pemerintahan Maradika Nae Sukur di Kerajaan Mamuju telah beberapa kali terjadi pembaharuan kontrak dan penandatangan kontrak baru diantaranya tanggal 3 Mei 1889 Perjanjian pengesahan dan persetujuan penyerahan hak mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap kabel Telegraf oleh rakyatnya kea Gubernemen dan pada tanggal 23 April 1890 tentang penetapan peraturan pemasukan dan pengeluaran senjata api, peluru dan mesiu. Dimasa kekuasaan Nae Sukur sebagai Maradia Tapalang (1867 – 1889), telah menandatangani kontrak panjang pada 3 Februari 1868 dan kembali menandatangani Pembaruan Kontrak pada 5 Desember 1868.
Setelah Maradika Nae Sukur wafat pada tanggal 29 Juli 1895 di Mamuju yang kemudian digantikan oleh menantunya Karanene sebagai Maradika selanjutnya di kerajaan Mamuju oleh Dewan Hadat kerajaan Mamuju dipilihlah Karanene (1895 – 1908) sebagai pengganti raja karena hanya dia yang memenuhi syarat sebagai raja (Maradika) dan dilantik ditahun itu juga.Satu tahun menjabat sebagai raja, Karanene kembali menandatangani kontrak sebagai transisi pemegang kekuasaan raja Mamuju atas penandatanganan kontrak di tahun 31 Oktober 1862 dengan model kontrak tahun 1894 sekaligus sebagai perpanjangan penandatangan kontrak baru.
Karanene yang juga biasa digelar Maradika Pua Aji atau raja yang sudah melaksanakan haji sebagai Maradika Mamuju dan anggota hadatnya kembali menandatangani kontrak tambahan (Suppletoir Contract) Konsesi Pertambangan pada 13 Juni dan Oktober 1905 dan perpanjangan kontrak pada tahun 1908. Pada masa ini maradika Karanene meletakkan jabatannya dan mengundurkan diri sebagai Maradika Mamuju tahun 1909, raja inilah yang banyak dikecam oleh kalangan keluarga bangsawan kerajaan Mamuju atas sikapnya yang tunduk kepada Belanda yang sebagian menganggapnya sebagai tindakan pengkhianatan atas perjuangan rakyat Mamuju sehingga timbullah perlawanan dari beberapa kalangan keluarga kerajaan di Benteng Kayu Mangiwang Budong - budong dan di Kassa Sinyonyoi tahun 1907 sampai 1909.
Dalam pertempuran tersebut gugur beberapa orang keluarga kerajaan itu antara lain: Mantaroso Pattana Bone, Tamangujuk Daeng Mattinja Punggawa Malolo, Atjo Ammana Andang dan lainnya. Dengan peristiwa tersebut Maradika merasa telah menyesal dan atas permintaan sendiri Beliau mengundurkan diri dari tahtanya sebagai Maradika dan sebagai penggantinya terpilihlah iparnya Djalaloeddin Ammana Inda (1908 -1950) sebagai Maradika selanjutnya yang juga adalah anak dari mantan raja Mamuju Nae Sukur.(Arman Husain 2022)
Perjanjian ini berlatar belakang dari perseteruan antara Daeng Riosoq raja Balanipa dengan raja Pambauang yang bergelar Tomatindo di Bata. Perseteruan itu terjadi karena Daeng Riosoq (setelah wafat bergelar Tonipilong) merebut istri Tomatindo di Bata yang bernama Ipura Paraqbueq. Ipura Paraqbueq adalah cucu dari Maradia Mamuju Tomatindo di Puasana. Pada saat itu, Ipura Paraqbueq merupakan wanita tercantik di seluruh Mandar sehingga mampu menggoyahkan iman Daeng Riosoq dan merebutnya secara paksa dengan kekuatan senjata.
Akibat peristiwa ini, Tomatindo di Bata bersama para pengawalnya meninggalkan Pambauang menuju ke Ulumandaq dan meminta bantuan pada Tomakakaq Ulumandaq untuk mengambil kembali Ipura Paraqbueq istrinya. Atas saran dan petunjuk Tomakakaq Ulumandaq, Tomatindo di Bata melakukan penyamaran dengan merubah penampilannya. Dengan ditemani anjing pemburu yang bergelar Itattibayo, Tomatindo di Bata masuk di kerajaan Balanipa menyamar sebagai seorang Tomakakaq. Satu-satunya yang mengenalnya hanyalah Ipura Paraqbueq dengan melihat cincin dan mendengar suaranya.
Disaat Tomatindo di Bata meminta segelas air untuk minum, Ipura Paraqbueq menyuruh seorang nelayan mengantarkan air dalam gelas yang kemudian di bawa kembali oleh pelayan pada Ipura Paraqbueq. Melihat cincin tersebut, Ipura Paraqbueq sudah seratus persen yakin kalau itu adalah suaminya. Ipura Paraqbueq akhirnya mencari akal dan berpura-pura mengidam mau makan daging rusa hasil tangkapan suaminya sendiri. Lalu dimintanya pada Daeng Riosoq untuk pergi berburu rusa.
Daeng Riosoq yang tidak mengetahui keadaan sebenarnya, merasa sangat bersuka cita mendengar pengakuan Ipura Paraqbueq yang telah mengidam. Karena cinta dan sayangnya yang teramat dalam, Daeng Riosoq akhirnya berangkat berburu dengan meminjam anjing Tomatindo di Bata. Setelah daeng Riosoq pergi, Tomatindo di Bata tidak menyia-nyiakan kesempatan dan segera pergi membawa istrinya ke Ulumandaq.
Di Ulumandaq, Ipura Paraqbueq tidak bisa bertahan lama karena tidak terbiasa makan tanpa lauk ikan. Dengan persetujuan dan bantuan Tomakakaq Ulumandaq yang memintakan tempat di daerah pantai, maka Tomatindo di Bata bersama istrinya serta pengawal-pengawalnya tinggal dan bermukim di Malundaq.Dari usaha memintakan tempat bermukim ainilah terjadinya Perjanjian Lombong atau Assamaturuang di Lombong, karena tempat diadakannya kesepakatan ini adalah di Lombong Malundaq.
Perjanjian ini terjadi pada sekitar abad XVII masehi dengan pihak-pihak yang terlibat yaitu : Tomatindo di Bata dengan istrinya Ipura Paraqbueq, Tomakakaq Ulumandaq, Pueq di Lombong, Mosso dan Bambangang, Tomakakaq Sambawo, Pueq di Salutambung, Libaq dan Balanggitang. Secara lengkap, kesepakatan yang dihasilkan dalam perjanjian Lombong adalah sebagai berikut :
”Nawei engenang naengei mappassau nyawana mappalewa anaoang paqmaiqna Maraqdia di Pambauang sappelluq-uang tedzong ingganna naulle nakae-kaer manuqna siola palluppuinna, niwengang toi leqboq nanaengei mandoang manjala palluppuinna, ingganna lekkotang.”
Terjemahan : Diberi tempat untuk ditempati memulihkan semangatnya, menghilangkan kesedihan hatinya pada raja Pambauang, sekubangan kerbau sejauh yang dapat dijelajah ayam dan pengawal-pengawalnya, juga diberi laut untuk tempat memancing dan menjala sebatas pada kedalaman setinggi lutut.
”Napoadzaq adzaqna naporapang rapanna odzi adzaq odzi biasa di litaqna di Pambauang.”
Terjemahan :Dia bebas memakai hukum dan aturan serta adat istiadatnya sendiri, sebagaimana yang berlaku di Pambauang.
”Diapiangammi tandi akadzakeang, tandi peoqdong tandi pelango tanna olleq boning tannala pangolleq, tannande pakkira-kira tammappikkir dipettilluqna sawa dipewetona lambaru, tandi paumo dibandangang di kondo bulo. ”
Terjemahan :
Dia pada kebaikan tidak pada keburukan, terhindar dari makanan yang bertulang dan minuman yang beracun, tak terjangkau air pasang tak terkena banjir, terluput dari iri terhindar gigitan ular, juga pada sengatan ikan pari, lebih-lebih dari srangan musuh.
”Lumbang pai pasorang, reppoq pai kondo bulo maqguliling annaq nalosai muaq diang namappakkesar.”
Terjemahan : Nanti roboh benteng pertahanan, patah remuk semua tombak dan parang pusaka, baru musuh bisa menyentuh raja Pambauang bersama pengawal-pengawalnya.
”Moaq meloq-I membaliq di litaqna, tanna eloqna di nassa genainna, naiya engenanna membaliq diassalna.”
Terjemahan : Bila dia ingin kembali ke negerinya (Pambauang), terserah bila sudah merasa mampu dan sanggup. Adapun perkampungan yang ditempatinya akan kembali pada pemiliknya semula.
Pada peristiwa ini, ada yang berpendapat bahwa selama di Malunda Tomatindo di Bata masih menjadi raja Pambauang dan menjalankan roda pemerintahan di Malunda dan ada pula yang berpendapat bahwa Tomatindo di Bata telah digantikan oleh raja yang lain. Sementara perkampungan yang ditempatinya tidak pernah dikosongkan sampai masuknya Belanda dan tempat tersebut tetap diperintah oleh raja Pambauang.
Daftar Kepustakaan:
- Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.
- Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.
- H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.
- Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.
- Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982
- Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar Proyek IDKD Sulsel 1985.
- A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987
- A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.
- A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.
- Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.
Sumber Data
- Sumber tertulis ;
Lontar Balanipa Mandar
Lontar Sendana Mandar
Lontar Pattappingang Mandar
Lembar Perjanjian kuno
Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar
- Sumber Wawancara ;
H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar
Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar
Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar
Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar
Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar
Daeng Matona – Hadat Pamoseang
Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq
Kerajaan Mamuju disebutkan dan mulai dikenal sejak adanya perjanjian di Tamajarra yang dipelopori oleh Todilaling yang dilaksanakan di Tamejarra pada akhir abad ke XVI. Dimana Maradika Tomejammeng menjadi perwakilan dari Kerajaan Mamuju kala itu. Dalam hal ini Tomejammenglah yang menata struktur kerajaan dan lembaga Hadatnya. Ini membuktikan bahwa kerajaan Mamuju sudah berdiri sejak sebelum Tomejammeng menjadi raja di Mamuju.
Berbicara asal mula berdirinya Kerajaan di Mamuju tidak ada yang bisa memastikan kapan oleh karena disebabkan minimnya sumber sumber pendukung berupa data data yang bisa menjadi acuan penulisan sejarah. Jika merunut kapan berdirinya kerajaan di Mamuju ini tentunya kita harus memulai dari sumber sumber yang menuturkan siapa yang membawa garis keturunan yang disebutkan dalam sumber primer seperti lontrak atau manuskrip yang paling sahih sebagai sumber rujukan penulisan sejarah. Ada beberapa lontrak yang membahas sejarah awal manusia yang membawa garis keturunan itu atau biasa disebut Tomanurung sebagai permulaan peradaban suatu kerajaan yang ada di Mamuju ini kita mulai dari seorang yang bernama Pongkapadang, disini saya tidak akan berpendapat kalau Pongkapadang adalah manusia yang pertama kali datang didaratan Sulawesi karna kita tahu bahwa sejak 3000 tahun yang lalu manusia sudah mendiami kawasan Sulawesi dan sudah dibuktikan dengan temuan temuan arkeologi yang menguatkan bahwa sudah ada manusia primitif yang mendiami kepulauan Sulawesi sejak dahulu.
Baca: Kalumpan Situs Neolitik Tertua Dunia
Todipanurung dilangiq, Tomanurung atau Seseorang yang diturunkan dari langit adalah manusia yang dianggap titisan dewata dan tidak diketahui asal usulnya menjadi sebuah permulaan dari manusia yang menurunkan garis keturunannya sampai terbentuknya suatu masyarakat disuatu wilayah yang disebut Tomakaka, segala aturan aturan perikehidupan masyarakat yang menjadi standar hukum yang berlaku, inilah yang disebut adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku dan disepakati secara mutlak bersama sama, sebagai seorang pemimpin Tomakaka inilah yang berhak memutuskan sebuah perkara hukum dan menjadi penentu segala kebijakan yang memang harus ditaati oleh masyarakat adat tersebut. Tomanurung inilah yang biasanya menjadi cikal bakal adanya tomakaka disebuah wilayah adat masing-masing.
Bermula dimana seorang Tomanurung bernama Tokombong Dibura kawin dengan Tobisse Ditallang, lahirlah Tobanua Pong. Tobanua Pong melahirkan Tapaqdorang, Tapaqdorang melahirkan Pongkapadang kawin dengan Sanrabone (Torijeqne versi Mamasa) lahirlah seorang anak perempuan yang kemudian diperisterikan Topole di Makka (Makki) sebuah wilayah di Kalumpang, Maka dari perkawinan ini, lahirlah Tometeq-eng Bassi dan Tometeq-eng Bassi kawin dengan sepupunya, lahirlah Daeng Lumalle. Daeng Lumalle kawin sepupu lagi, lahirlah sebelas orang anak, sebagai berikut :
1. Daeng Tumana
2. Lamber Susu
3. Daeng Mangana
4. Sahalima
5. Palao mesa
6. Taandiri
7. Daeng Palulung
8. Todipikung
9. Tolambana
10. Topaniq
11. BuluTopaliq. (Lontrak Balanipa).
Dari keseblas orang anak keturunan Daeng Lumalle ini, Taandirilah yang membawa keturunan pendiri kerajaan di Mamuju, dalam perjalanannya kesebelas orang keturunan ini pulalah yang membawa keturunan keberbagai pelosok wilayah di tanah Mandar.
Disebutkan seorang Tomanurung tiba tiba hadir tidak diketahui asalnya dan duduk diatas batu di Tumpiq (?), singkatnya Tomanurung ini menikahi seorang wanita yang juga berasal dari wilayah itu, sebuah wilayah yang disebutkan sebagai dataran yang penuh batu batu sehingga wanita itu digelari Tosuqbe dibatu atau yang datang dari tempat berbatu namun tidak dijelaskan di daerah mana. Tomanurung ini digelar Pue Tosuqbe Karaolamba, Karaolamba diartikan seseorang yang datang dari perjalanan yang jauh atau orang yang sedang mengembara, disini kita pahami bahwa Tomanurung hanyalah gelar untuk menyebutkan orang yang tidak dikenali atau orang asing dan tiba tiba hadir ditempat itu walaupun memang banyak yang menganggap bahwa itu manusia yang turun atau diturunkan dari langit sebagai jelmaan dewa atau titisan dewa. Konsep pemahaman ini didasari dari kepercayaan manusia kala itu yang masih menganut pemahaman animisme dan dinamisme yang kuat.
Baca: Manusia Pertama Diwilayah Mandar
Kita kembali ke Tomanurung tadi, setelah menikahi wanita tersebut akhirnya kedua pasangan ini memilih untuk pindah ketempat lain yang disebut Manumba(?) dan ditempat inilah keduanya memiliki anak keturunan tujuh orang yang semuanya adalah perempuan yang masing masing bernama; Tasallena, Tabittoeng, I paliliq, I Coaq, Takasang, Taurraurra dan Lowe Katimbangmassang. Dan pada waktunya akhirnya ketujuh anak anaknya berpencar untuk memulai kehidupan barunya dan menjadi nenek moyang ditempat baru yang mereka diami seperti Tasallena memilih tinggal di Baras dan diyakini inilah yang menurunkan garis keturunan raja raja di Baras dan kemudian adalah Tabittoeng tinggal di Lariang, I Paliliq tinggal menetap di Kurri kurri (Simboro), I Coaq tinggal di Sinajoi (Sinyonyoi?), Takasang tinggal di Bungi(?), Taurra-urra tinggal di Tabulahan dan Lowe Katimbang Amissang atau Katimbangmassang menetap di Mamuju (mamunyu).
Lowe Katimbang atau Katimbangmassang inilah yang menikah dengan Taandiri salah satu anak Daeng Lumalle yang tinggal dihulu sungai Saddang. Dalam versi Lontrak Balanipa disebut bahwa Taandari adalah keturunan dari Tokombong diwura seperti yang dijelaskan diatas. Dari perkawinan Lowe Katimbang Ammissang dan Taandiri menurunkan lima orang Anak, masing-masing; yang sulung tinggal di simboroq, anak berikutnya menjadi Pue Tobone-bone dan berikutnya lagi menjadi Pue Tokasiba, Anak yang berikutnya Totappaliq di Maloku, ada kemungkinan bahwa Totappliq di Maloku ini diberi nama demikian karena baru pulang dari perjalanan perantauan dari sebuah daerah yang disebut Moloku, apakah Moloku ini Maluku atau Maloku di sebuah wilayah di Pamboborang di Majene saat ini. Anak berikutnya lagi (tidak disebutkan namanya) kawin dengan anak ratu Tonagala (Tinangguli?) Maka lahirlah I Tanroaji, inilah yang menjadi Pue atau Maradika di Mamuju pertama kalinya.
Kita tahu bahwa Tinangguli adalah salah satu wilayah di Kabupaten Mamuju Utara saat ini dan masuk dalam wilayah kerajaan Baras atau bisa jadi memang itulah pusat kerajaan Baras sebagai kerajaan kuno sebelum kerajaan Mamuju berdiri dan diperkiran sudah ada sejak abad ke VII SM. Anak dari Totappaliq di Moloku ini menikah dengan sepupunya yang juga anak raja Baras yang merupakan kerabat dari orang tuanya dari keturunan Tasallena, dari pernikahan inilah melahirkan I Ballaq yang kemudian diperistri oleh I Tanroaji sepupunya sendiri. Dari pernikahan I Tanroaji dan I Balla ini melahirkan keturunan bernama Todipudendeanna. Inilah yang menjadi kakek langsung dari Tomejammeng sehingga diberi nama Nenena Tomejammeng. Todipudendeanna kemudian menikah dengan sepupunya dan melahirkan seorang anak yang kemudian menikahi anak dari Tomessalangga Barayya raja Gowa ke-2 yang digelari Tomanurung ri gowa.
Diceritakan bahwa Tomanurung ri gowa inilah yang menolak pengangkatan raja Gowa Karaeng Matandre Manguntungi Tumapparissi Kollonna yang dilantik oleh Bate Salapang (Hulubalang) kerajaan untuk menjadi raja Gowa ke -9 (1510-1546). Ia menganggap Karaeng Tumapparissi Kollonna adalah anak I Rerasi atau berasal dari keturunan budak dari tanah Mandar. Akibat dari ketidaksetujuannya akhirnya Tomanurung ri Gowa pergi meninggalkan tanah leluhurnya dan sampailah di Kerajaan Baras di Mamuju, Ia kemudian menikah dengan putri raja Baras yang juga adalah masih merupakan keluarga atau sepupunya sendiri dan dari pernikahan inilah lahir tiga orang anak yang kelak menjadi pewaris di tiga kerajaan yaitu Sendana, Mamuju dan Benawa (Kaili). Masing-masing bernama; I Badantassa Batara Bana, yang menjadi raja Pujananti (Benawa), I Palagunna Tonipali menjadi Maradika di Mamuju, Tomissawe di Mangiwang menjadi Maradia Sendana. Tomissawe di Mangiwang sendiri menjadi Maradia di Sendana sekitar tahun 1540. Pue Tonipali adalah ayah dari Tomejammeng, Tomejammeng adalah orang yang sama dengan Lasalaga namun dalam gelar penyebutan yang lain. Dikatakan bahwa Lasalaga adalah gelar yang diberikan kepadanya ketika hadir di kerajaan Gowa bersama ayahnya Pue Tonipali.
Sebelum diangkat menjadi raja Mamuju Tomejammeng inilah yang dikenal sebagai Lasalaga yang dalam tutur cerita masyarakat Mamuju, orang inilah yang lahir kembar dengan sebilah keris yang disebut Manurung, dari pernikahan Pue Tonipali dengan Putri bangsawan dari kerajaan Badung Bali. Dikatakan Tomejammeng inilah yang membawa keturunan raja raja di Mamuju setelahnya dan dia pula yang memperluas wilayah kerajaan dengan penaklukan Kurri-kurri di Simboro dan menjadikan seluruh masyarakat Kurri-kurri tunduk dan dari golongan bangsawan diberi tempat menjadi pembesar kerajaan di Mamuju, sebahagian menjadi pemangku adat dalam wilayah hadat masing masing seperti wilayah hadat Pue Tokasiwa, Pue Tobone bone dan kemudian hari dijadikan perangkat hadat dalam kerajaan Mamuju.
Ada perbedaan pendapat jika kita mengambil sumber rujukan dari beberapa Lontrak, sehingga tidak banyak yang bisa mengambil sebuah kesimpulan untuk menulis sejarah awal kerajaan Mamuju karena terdapat perbedaan tulisan dalam beberapa Lontrak tersebut. Disini saya akan mengambil kesimpulan bahwa orang yang bernama Tomejammeng adalah gelar bagi orang yang sama dengan Lasalaga, Gelar atau panggilan khas To;mejammeng disematkan karena menggunakan kacamata (Jarammeng;jammeng) berarti orang yang memakai kacamata, sedangkan La Salaga diambil dari bahasa Bugis yang berarti pusaka, yang bermakna sebagai manusia yang dikeramatkan atau dianggap pusaka.
Pue Tonipali sebelum menikahi putri bangsawan kerajaan Badung, terlebih dahulu sudah memiliki istri dari anak Tomakaka Sinyonyoi di Padang
Udung Bassi. Daeng Lumalle (Sakkala Bamba) menikah dengan Dehata anak Tomakaka Sinyonyoi di Udung Bassi dan kemudian melahirkan putri Tolippa di Tallang inilah yang disebut Tokayyang dipadang, kemudian Tolippa di Tallang menikah dengan Daeng Maibu (ng) dan melahirkan; Kalababa Sakkala Bassi atau kolambassi (Tomakaka Sonyonyoi) dan Topelipaq Karoro. Topelipaq Karoro inilah yang kemudian dinikahi Pue Tonipali.
Ada cerita yang dituturkan dalam masyarakat padang mengenai pernikahan Topelipaq Karoro dengan Maradika Mamuju Pue Tonipali ini, bahwa suatu hari anak Tolippa di Tallang ini dibawa oleh orang tuanya ke pantai untuk menangkap ikan dan terlihatlah anak gadis ini oleh Maradika dan seketika itu juga Maradika hendak meminang anak gadis ini maka diutuslah salah satu penghulu raja yaitu pabicara untuk menyampaikan maksud Maradika kepada orang tua dan kerabat gadis ini, tidak lama berselang dipanggillah gadis ini untuk menemui Maradika Mamuju tapi apa yang terjadi gadis ini menolak karena merasa tidak mempunyai pakaian yang bagus untuk menghadap Maradika dan akhirnya alasan penolakan itupun disampaikan oleh pabicara ke Maradika. Maradika kemudian menyuruh pabicara untuk membawakan gadis tersebut kerumah Maradika dan akhirnya gadis tersebut dengan diantar oleh kerabat dan orang tuanya untuk menemui Maradika. Setibanya dirumah Maradika dengan hanya memakai sarung yang terbuat dari kulit pelepah nipah atau karoro, maka Maradika memberinya sebuah sarung untuk dipakai gadis itu, namun maksud pemberian Maradika ini sebagai simbol kalau gadis itu sudah menjadi miliknya karena memakai sarung milik raja tersebut, namun bagi keluarga Tosinyonyoi itu dianggap sebagai penghinaan atau celaan kepada masyarakat Sinyonyoi di Kurungan Bassi dan terjadilah perselisihan antara keduanya. Namun setelah melalui negosiasi yang panjang maka disepakatilah sebuah perdamaian dengan menikahkan Maradika dengan Topelipa Karoro sebagai syarat Maradika menawarkan akan menyerahkan emas dan beberapa budak sebagai passorongan (akad) pernikahan tetapi ditolak oleh orang Sinyonyoi dan mengajukan permintaan lain yaitu agar Maradika memberikan izin kepada masyarakat Sinyonyoi untuk dapat mengambil dan menangkap ikan di sepanjang pantai dan perairan dari Tomuki sampai pantai Ahuni dan diberi hak menangkap ikan di sungai Rimuku dan Bonepaas dan jika ada hasil tangkapannya akan dibagikan ke Maradika. Tradisi menangkap ikan oleh masyarakat Sinyonyoi ini disebutkan hanya dengan menggunakan akar dan buah buahan beracun sebagai umpan ikan disungai sungai besar dan dalam.
Dari pernikahan inilah Pue Tonipali dan Topelipaq Karoro lahir seorang anak tunggal namun tidak disebutkan namanya, setelah utusan Maradika berangkat untuk mengambil Lasalaga di kerajaan Badung selama berbulan bulan perjalanan ke Pulau Bali disaat itupula Maradika Pue Tonipali telah wafat sebelum utusan itu tiba di Mamuju kembali, karena perjalanan itu memakan waktu yang cukup lama. Karena keadaan kerajaan sementara waktu tidak ada anak keturunan raja yang dianggap paling berhak selain Lasalaga, maka keadaan semakin kacau dan memburuk, maka diangkatlah anak raja yang ada di Mamuju dari pernikahan dengan Topelipaq Karoro anak Tokayyang dipadang.
Setibanya utusan kerajaan Mamuju yang tidak membuahkan hasil karena Lasalaga tidak diperkenankan dibawa pulang ke Mamuju oleh ibunya, maka terjadilah perselisihan dikerajaan Mamuju karena yang harus menjadi raja adalah Lasalaga menurut pertimbangan adat dikerajaan Mamuju sehingga kembalilah diutus seorang cerdik pandai atau Sakkaq Manarang untuk membawa Lasalaga kembali dengan cara apapun, sehingga atas kepandaian Sakkaq Manarang membuat ide dengan membujuk hati Lasalaga kecil agar tergiur dengan permainan yang terbuat dari emas dan akhirnya berhasil membawa kabur anak raja ke Mamuju.
Dan Tomejammeng diangkat sebagai raja setelah diambil secara diam diam dari keraton kerajaan Badung sehingga cerita ini melegenda sampai hari ini di masyarakat Mamuju. Setelah menjadi raja di Mamuju, Lasalaga kemudian kembali lagi ketanah kelahirannya di Badung Bali. Lasalaga sangat sakti karena keris manurung memberinya kekuatan untuk menaklukkan beberapa kerajaan kecil di tanah dewata Bali begitupun setelah kembali ke Mamuju Lasalaga berniat mengalahkan kerajaan kerajaan kecil seperti Kurri-kurri dan Managallang di Padang yang sebelumnya memang memusuhi kerajaan Mamuju.
Baca: Lasalaga Dan Mitos Melegenda
Setelah mengalahkan Kurri-kurri dan Managallang dibawalah orang orang Kurri-kurri ke kampung Kasiwa dan berbaur menjadi masyarakat dikasiwa dan sebahagian dijadikan pengawal dan budak dikerajaan atau disebut juga joaq, sedangkan Maradia Alu, I Tagalung-galung diangkat jadi Pue Tobone-bone dan orang-orang Managallanglah yang diangkat jadi bangsawan dalam hadat Pue Tokasiwa karena mengikuti budaknya Tokurri-kurri di Kasiwa dan Maradika Managallang diangkat sebagai Paqbicara dikerajaan Mamuju. Setelah itu Lasalaga menikah dengan sepupu sekalinya dan lahirlah anak dengan gelar Puatta ri Mamuju dan Puatta ri Mamuju inilah yang menetapkan batas batas wilayah kerajaan Mamuju setelah mengadakan perjanjian dengan Tobara di Kalumpang, Puatta di Mamuju kemudian melahirkan Tomatindo disambayanna, Tomatindo disambayanna kemudian menurunkan anak Tomatindo dipuasana dan Tomatindo dipuasana atau I Salarang Daeng Mallari menikahi Puatta Boqdi anak Maradia Sendana dan melahirkan Tomalluang ceraq dan Tomalluang ceraq melahirkan Tomatindo dibuttu paqja.
Sebagai kesimpulan bahwa berbicara sejak kapan dimulainya pemerintahan kerajaan di Mamuju kita sudah bisa mengambil sebuah kesimpulan jika dikatakan masa awal adanya sebuah struktur pemerintahan kerajaan tentunya itu sudah ada dimulai masa I Tanroaji tiga generasi dibawah masa dari Pue Tonipali bahkan jauh dibawah di masa raja Gowa ke-2 Tomessalangga Barayya menjadi raja di Gowa dan diketahui masa kekuasaan raja ini antara tahun 1300 atau lebih. Jadi kira kira umur kerajaan Mamuju ini seumur dengan kerajaan di Gowa, namun banyak yang mengira di masa Tomejammenglah kerajaaan Mamuju mulai terbentuk, sebagian pendapat menganggap itu karena Lontrak menjelaskan bahwa Tomejammeng lah yang membesarkan kerajaan tapi bukan mendirikan kerajaan Mamuju, kita tau bahwa kerajaan Mamuju sudah ada sebelum Tomejammeng menjadi raja bahkan jauh sebelumnya. (Arman Husain. 2021)
Sumber;
- Lontrak Pattodioloang Mandar,
- Lontrak Balanipa Mandar, Transliterasi oleh A.M. Mandra.1986
- Lontrak Kurungan Bassi, Milik Hasbi. (Transliterasi dari Tim Sekolah Lontara' Sulawesi Barat).
- Lontrak Tabulahan,
- Buku; Mengenal Mandar Sekilas Lintas I. Perjuangan Rakyat Mandar Sulawesi Selatan Melawan Belanda (1667-1949) oleh Saiful Sinrang.1994.
- Mengenal Mandar Sekilas Lintas oleh Saiful Sinrang. 1994
- Indische Taal, Land en Volkenkunde, NOTA BEVATTENDE GEGEVENS BETREFENDE HET LANDSCAP MAMOEDJOE.
- Silsilah Bangsawan Kerajaan kerajaan di Mandar. Oleh; Saiful Sinrang.
- Pidato Hari Jadi Majene, Memuat Sejarah Kerajaan Sendana, Banggae, Pamboang dan Puraloa di Malunda'/ Ulumanda'. Oleh Darmansyah. 2018.
- Selayang Pandang, Sejarah Adat Kabupaten Mamuju Oleh; Drs. H. I. Abd. Rachman Thahir, MPA.
- Sumber wawancara,
Peristiwa ini terjadi pada 28 Maret 1981, ketika sebuah pesawat Garuda DC-9 Woyla dengan rute penerbangan Jakarta – Medan dibajak saat transit di Palembang. Pembajak yang menyamar sebagai penumpang tersebut terdiri dari lima orang. Para pembajak yang menyebut dirinya sebagai Komando Jihad memaksa kapten Pilot Herman Rante dengan todongan pistol agar mengalihkan penerbangan ke Colombo, Srilangka.
Karena kehabisan bahan bakar, pesawat sempat mendarat di Bandara Penang, Malaysia untuk mengisi bahan bakar selanjutnya mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Selama empat hari drama pembajakan berlangsung di Bandara Don Muang, Bangkok. Pembajak yang dipimpin oleh Imran bin Muhammad Zein tersebut menuntut pemerintah Indonesia agar membebaskan 80 angggota kelompok Komando Jihad yang telah ditangkap karena beberapa kasus atau teror yang mereka lakukan.
Tuntutan pertama yang diajukan para pembajak, mula-mula hanya meminta 20 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981 dibebaskan. Tuntutan pembajak/ teroris tersebut tidak dipenuhi pemerintah Indonesia. Pesawat yang memiliki rute Jakarta-Medan itu dibajak pada pukul 10.10 WIB sesaat setelah tinggal landas dari Palembang.
Saat itu pesawat yang transit di bandara Talangbetutu, Palembang baru saja lepas landas menuju Bandara Polonia, Medan. Pesawat kemudian dibelokkan menuju bandara internasional Penang, Malaysia.
Awalnya, belum diketahui siapa pelaku pembajakan pesawat dengan nomor penerbangan 206 itu. Departemen Pertahanan dan Keamanan yang menangani pembajakan itu hanya mengatakan pembajak dapat berbahasa Indonesia.
Ada 48 penumpang di dalam pesawat. Sebanyak 33 orang terbang dari Jakarta, dan sisanya berasal dari Palembang. Pesawat itu diterbangkan oleh pilot Kapten Herman Rante dan kopilot Hedhy Djuantoro.
Pesawat tiba di Penang pukul 11.20 WIB, dan pesawat itu minta bahan bakar tanpa memberitahukan tujuan berikutnya. Sejatinya, pesawat yang dibajak tersebut hanya melakukan penerbangan di dalam negeri, tidak memiliki rute penerbangan internasional.
Pada waktu pesawat diisi bahan bakar, oleh para pembajak, pesawat tersebut dikunci. Sebelum berangkat pada pukul 16.07 waktu Penang, seorang perempuan bernama Panjaitan yang berusia 76 tahun, diturunkan dan pesawat terbang menuju Bangkok, Thailand.
Ketika akhirnya tuntutan disampaikan, laporan agak simpang siur tentang kemauan mereka, dan tuntutan mereka pun rupanya terus meningkat.
Tuntutan pertama yang diajukan para pembajak, mula-mula hanya meminta 20 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981 dibebaskan.
Namun, para pembajak mengajukan tuntutan baru lagi, dari yang awalnya 20 tahanan, meningkat menjadi 80 orang dan bertambah lagi menjadi 84. Tak hanya itu, pembajak juga meminta didatangkannya pesawat yang lebih besar supaya dikirim ke Bangkok dengan awak pesawat baru yang mengetahui rute-rute internasional. Batas waktu tuntutan dari pembajak tersebut adalah hingga Minggu, 29 Maret 1981 pukul 21.30 waktu Bangkok.
Tenggat waktu yang diberikan pembajak pun terlewati dan permintaan mereka belum terpenuhi. Tidak terjadi apa-apa meskipun sempat terdengar kabar bahwa para pembajak akan meledakkan pesawat jika tuntutan mereka tidak terpenuhi. Senin, 30 Maret petang, tuntutan meningkat lagi dengan tambahan uang 1,5 juta dollar AS di atas semua tuntutan sebelumnya.
Dalam upaya membebaskan para sandera, pada 29 Maret 1981 di Mako Kopassandha Cijantung, dibentuk satu tim pembebasan sandera yang dipimpin oleh Letkol Inf Sintong Pandjaitan. Salah satu prajurit terbaik dan terpilih untuk melaksanakan misi itu adalah Capa Ahmad Kirang.
Sebagai prajurit Komando, maka tugas adalah kehormatan. Tidak ada kata ragu dan terdadak bagi Capa Ahmad Kirang dan sekitar 30 prajurit Kopassandha lainnya karena sebagai prajurit satuan tempur, mereka siap ditugaskan kemanapun dan kapanpun juga bila negara membutuhkannya.
Pada 30 Maret 1981 Tim Kopassandha yang ditugaskan sebagai pasukan antiteror itu diberangkatkan menuju Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand dengan misi membebaskan sandera. Drama pembajakan penumpang pesawat Woyla yang menegangkan itupun akhirnya berakhir dengan upaya pembebasan sandera yang dilakukan Tim Kopassandha, yang dipimpin Letjen TNI (Purn) Sintong Pandjaitan yang saat itu masih berpangkat Letkol Inf pada 31 Maret 1981.
Dalam misi tersebut Ahmad Kirang yang mendapat tugas bersama rekannya Pelda Pontas Lumban Tobing dengan penuh keberanian dan tanpa keraguan melakukan aksi terobos memasuki pesawat melalui pintu utama belakang pesawat sesuai dengan instruksi komando pada jam 02.45 dini hari.
Tugas itu berhasil dilakukan dengan mendobrak pintu hingga terjadi aksi tembak menembak selama 3 menit antara teroris/pembajak dengan personel Kopassandha. Dalam waktu bersamaan tim lainnya juga menyerbu melalui pintu samping yang juga langsung terlibat dalam baku tembak dengan teroris. Dalam baku tembak tersebut Capa Ahmad Kirang dan rekannya Pelda Pontas Lumban Tobing yang awalnya sempat kesulitan membedakan mana yang teroris dan penumpang terkena terkena tembakan. Sedangkan dipihak pembajak sebanyak empat teroris berhasil dilumpuhkan dan tewas di lokasi kejadian.
Namun nahas, Capa Ahmad Kirang tertembak diperut bagian bawah yang tidak tertutup rompi antipeluru yang dikenakan sehingga tubuhnya luka bersimbah darah. Walau sempat dilarikan ke rumah sakit Bangkok namun nyawanya tidak dapat diselamatkan. Ahmad Kirang gugur dalam menjalankan tugas mulia menyelamatkan sandera. Sedangkan rekannya Pelda Tobing yang tertembak di bagian rusuk dan tangan, nyawanya masih tertolong dan selanjutnya menjalani perawatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.
Saat upaya pembebasan berlangsung ketika para penumpang diminta turun, salah seorang pembajak yang diketahui bernama Zulfikar sempat melemparkan granat tangan untuk meledakkan pesawat berikut penumpang. Namun karena pin granat tidak sempurna tercabut maka granat tidak jadi meledak, penumpang dan pesawat pun selamat.
![]() |
Lettu Achmad Kirang |
Letkol Inf Sintong Pandjaitan dalam memoarnya menuturkan, Ahmad Kirang masuk melalui pintu belakang dimana tangga diturunkan secara elektrik. Proses turunnya tangga pesawat memerlukan waktu karena harus mengikuti ritme mekanik. Proses turunnya tangga pintu belakang yang memakan waktu memberikan kesempatan bagi pembajak yang duduk di bagian belakang kanan pesawat untuk bersiap menembak.
Begitu tangga turun, maka Capa Ahmad Kirang diikuti oleh penyergap 2 dengan cepat menaiki tangga pesawat untuk menyerbu. Setelah Capa Kirang muncul di dalam kabin pesawat, dia terkena tembakan pistol di bagian perut yang tidak terlindungi rompi antipeluru. Pemegang sabuk hitam Karateka Dan I itu langsung jatuh. Mungkin rompi antipeluru yang dikenakan oleh Capa Kirang bukan rompi versi militer sehingga hanya melindungi badan sampai di pinggang.
Sedangkan Pilot Herman Rante yang juga tertembak teroris sempat diupayakan pertolongan pertama dengan melarikannya ke rumah sakit Bangkok namun nyawanya tidak tertolong. Peristiwa pembebasan yang dikenal dengan sebutan Operasi Woyla telah mengharumkan nama Indonesia di hadapan dunia internasional. Dunia mengakui kehebatan prajurit TNI AD sebab pembebasan tersebut salah satu yang tercepat di dunia yakni hanya berlangsung sekitar 3 menit saja. Akan tetapi Indonesia khususnya TNI AD dihari yang penuh pujian itu juga bersedih sebab salah seorang prajurit terbaiknya gugur dalam peristiwa tersebut.
Atas keberanian dan kepahlawanannya yang ditujukkan Capa Ahmad Kirang, pemerintah menganugerahi almarhum Bintang Sakti Mahawira Ibu Pertiwi sesuai Kepres No. 013/TK/Tahun 1981 tanggal 2 April 1981 dan kenaikan pangkatnya dua tingkat secara anumerta. Sedangkan tim lainnya memperoleh Bintang Sakati Mahawira Ibu Pertiwi dan kenaikan pangkat luar biasa satu tingkat lebih tinggi dari pangkat semula. Dengan upacara militer, pada 2 April 1981 jasad Lettu Anumerta Ahmad Kirang dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Lettu Anumerta Ahmad Kirang dilahirkan di Mamuju, Sulawesi Barat, Pada 8 November 1941. Dia adalah personel Kopassus. Saat berpangkat Capa Kopassus, dia mendapat tugas dan kepercayaan dari pimpinan TNI AD sebagai salah seorang tim pembebasan sandera pesawat Garuda DC- 9 yang dibajak oleh kelompok teroris. Tanpa keraguan tugas mulia tersebut dia tunaikan. Tugas tersebut terlaksana dengan sukses, namun Capa Ahmad Kirang menjadi korban dan gugur dalam menunaikan tugas tersebut.
Sumber:
1. Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarhad)
2. Buku Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
3. Diolah dari berbagai sumber