Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya To Mamuju

Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 Januari 2023

Penja; Ikan Endemik Hingga Balutan Mitos dan Prinsip Moral Masyarakat Pesisir Mandar

Ikan Penja yang juga biasa disebut ikan seribu karena ikan ini sifatnya bergerombol dan merupakan ikan khas masyarakat ini hanya terdapat di perairan Mandar. Pada umumnya di Mamuju ikan ini disebut ”Duwang” sedangkan di wilayah Mandar wilatah bagian keselatan di sebut ”Penja" bahkan keluar daerah lebih dikenal dengan nama Penja. Penja atau Duwang ini merupakan komoditas dagang dan sumber makanan khas yang dari dahulu yang menjadi primadona masyarakat Mandar. Selain sebagai komoditas dagang juga membantu peningkatan ekonomi dimasyarakat sekitar pesisir dan sungai.

Penja atau Duwang adalah juga merupakan sumber gizi keluarga dengan berbagai olahan masakan yang khas di Sulawesi Barat pada umumnya dari ikan yang masih segar dan ada juga yang dikeringkan lebih dahulu atau biasa disebut ”Duwang Marogang”. Cara dikeringkan ini agar Penja tidak membusuk dan lebih tahan lama, komoditas Duwang ”marogang= kering, ini lebih diminati pasar karena selain rasanya lebih gurih juga dapat disimpan dalam waktu yang lama. 

Ikan Penja atau Duwang

Masakan dari ikan Penja ini sangat beragam baik yang masih segar maupun sudah dikeringkan seperti: di Pepes atau dalam bahasa Mamujunya disebut di ”Pais”( di masak dengan asap dibungkus daun pisang) dan ”kajokkos”(dimasak dengan dibungkus daun pisang dalam wadah), di piyapi (dimasak bersama air campuran bumbu khusus), di goreng biasanya Penja yang sudah dikeringkan, perkedel dan dimasak dengan cara ” di lawar” (tanpa proses menggunakan api tapi dengan perasan air jeruk nipis dan bumbu kemudian dimakan mentah-mentah) kemudian ada juga cara ”ambar” (dengan cara dimasak sebagai lapisan masakan ”Jepa" dari bahan sagu dan parutan kelapa tua, sama halnya hamburger tapi cara pengolahannya yang lebih unik dan tradisional. 

Berbagai olahan 

Bentuk dan ukuran ikan penja yang hanya sekitar ± 25-30 mm, berbentuk bulat lonjong seperti cerutu (Torpedo) ini dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya secara bergerombol akan bergerak mendekati pantai dalam perjalananya ikan ikan ini akan masuk ke muara sungai sampai jauh ke hulu dan selanjutnya berkembang menjadi ikan dewasa yang dikenal dengan nama lain di daerah pegunungan yaitu ikan epung. Ikan ini tidak selalu ada untuk ditangkap karena kemunculannya hanya diwaktu- waktu tertentu saja atau musiman, ikan ini akan muncul menurut siklus waktunya yang sudah bisa diperhitungkan, dahulu masyarakat nelayan yang mengetahui atau memperkirakan kemunculan ikan penja adalah dengan memeriksa isi perut ikan cakalang yang diperoleh nelayan. 

Dahulu masyarakat Mamuju dalam upaya menangkap ikan penja ini biasanya menggunakan jaring halus yang diikat ke kayu atau bambu dengan bentuk menyilang atau melingkar, alat penangkap ikan ini disebut”bunde'” atau juga bisa disebut ”Sambe-sambeq” ditangkap dengan cara alat bunde' berfungsi sebagai serokan di taruh ke dalam sungai sedikit agak tenggelam kemudian orang tersebut berjalan agak pelan dan mendorong bunde' kedepan sekitar beberapa menit kemudian diangkat keatas permukaan air begitu seterusnya, ada juga yang menggunakan tehnik menjaring seperti pukat namun menggunakan jaring yang lebih halus. 

Alat penangkap ikan Penja ”sambe/ bundeq.

Dalam usaha penangkapan ikan tersebut bukan ditentukan berapa banyaknya ikan ini kita tangkap akan tetapi lebih pada bagaimana membentuk moralitas  masyarakat disekitar sungai ikan ini muncul, dengan mengedepankan sikap saling menghargai dan saling berbagi. Seperti jika ada orang yang datang ke pantai saat musim penangkapan ikan penja dan menginginkan ikan tersebut dibagi dengannya, maka harus diberi walapun sedikit karena itu adalah sebuah hal yang dilarang dan menyebabkan ikan ini akan menghilang dalam waktu dekat. 

Tidak munculnya ikan penja juga diyakini berhubungan dengan perilaku melanggar norma adat-istiadat dan agama yang terjadi di sekitar pantai di mana biasanya ikan tersebut muncul, diyakini oleh masyarakat setempat, ikan penja yang diketahui telah muncul, bisa hilang tiba-tiba seperti ditelan lautan jika di kampung tersebut dalam waktu bersamaan ada warga yang meninggal atau ada masyarakat yang berbuat maksiat maka musim berikutnya ikan penja bisa tidak muncul, bahkan sampai beberapa musim ikan tersebut tidak akan datang di tempat itu.

Mengenai asal-usul ikan Penja atau Duwang  ini, masih jadi misteri dimasyarakat Mandar sehingga kemunculan ikan ini seringkali dikaitkan dengan mitos tentang Tomanurung dan hal-hal ghaib lainnnya. Masyarakat Mandar percaya bahwa ikan ini adalah anugerah yang patut di syukuri sebab ikan ini merupakan hewan endemik khas sulawesi bagian barat dan sekitarnya yang tidak ada di daerah lain di Nusantara. Ada juga kepercayaan masyarakat bahwa ikan ini merupakan perwujudan dari Tomanurung sehingga ikan ini juga sering disebut Ikan Manurung. 

Pernah saya (Pen. Red) mendengar cerita dari orang tua bahwa ikan Penja atau Duwang ini bermetamorfosis menjadi ulat dan kemudian menjadi kumbang, ceritanya begini : ikan ini setelah masuk kemuara akan terus berenang sampai ke hulu sungai kemudian dihulu sungai ikan -ikan ini akan menempel di akar akar pohon yang menjuntai kesungai kemudian perlahan-lahan memanjat sampai keatas batang pohon dan menuju cabang sampai rantingnya, tidak lama kemudian akan bermutasi seperti kepompong dan kemudian berubah menjadi kumbang, allahualam begitulah cerita itu pernah tersampaikan, mengenai apakah itu sebuah mitos atau hanya cerita fiktif saya tidak begitu tahu dan pahami karena memang diluar nalar saya sebagai manusia biasa. 
(Arman Husain 23)

Sumber: 
Diolah dari berbagai sumber.








Selasa, 13 Desember 2022

Puatta Karema, sang pendamai yang terlupakan oleh sejarah. (bag.II)

Kerajaan Mamuju pasca diangkatnya Pammarica sebagai Maradika atau raja sementara untuk mengatasi terjadinya kekacauan di kalangan masyarakat Mamuju kala itu setelah beberapa golongan bangsawan kerajaan mengkudeta kepemimpinan Pue Tonileo yang dianggap sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya, ada beberapa pendapat dari para pemerhati sejarah yang berpendapat bahwa Pue Tonileo ini suka menggauli perempuan yang dia senangi walaupun itu istri orang lain, mengambil secara paksa ternak maupun hasil kebun masyarakatnya tanpa belas kasihan, ada juga yang berpendapat bahwa Pue Tonileo ini tidak disenangi oleh kalangan keturunan bangsawan kerajaan Mamuju yang lain karena dianggap bukanlah pewaris tahta kerajaan yang seharusnya menjadi Maradika sehingga saudara- saudaranya iri dan tidak senang kepadanya dan melakukan tindakan kudeta untuk merebut tahta kerajaan dari Pue Tonileo. 

Jika seandainya putra mahkota anak Pue Tonileo tidak pergi meninggalkan kerajaan Mamuju menuju Toli-toli mungkin Pammarica tidak akan menjadi raja di Mamuju saat itu, karena pihak kerajaan sendiri telah memanggil putra mahkota itu kembali ke Mamuju untuk diangkat menjadi pewaris tahta kerajaan, namun ia menolak tawaran tersebut karena merasa ketakutan akan terbunuh juga. Pue Tonileo ini dikenal sakti dan memiliki ilmu yang tinggi, menurut penuturan sumber informasi penulis, bahwa Pue Tonileo ini diangkat sebagai raja pada saat itu karena keberaniannya dan kesaktiannya menumpas pemberontakan yang akan menghancurkan kerajaan Mamuju, walaupun bukan dari bangsawan pewaris tahta kerajaan. 

Setelah Pammarica meletakkan jabatannya sebagai raja di Mamuju, maka hadat kerajaan Mamuju pun melantik Puatta Karema sebagai raja selanjutnya. Puatta Karema dianggap berhak mewarisi kerajaan Mamuju karena masih dari garis keturunan Tomatindo di Puasana bin Tomatindo di Sambayanna Maradika Mamuju sebelumnya. Puatta Karema menikahi anak Maradia Sendana Tomatindo di Balitung dan memiliki keturunan yang kemudian mewarisi kerajaan Mamuju setelahnya yaitu Ammana Kombi.

Puatta Karema pada masa menjabat sebagai Maradika Mamuju diberi kepercayaan untuk mendamaikan kekacauan akibat Sengketa letak batas batas wilayah kerajaan kerajaan di Appeq Ba'bana Binanga seperti kerajaan Pamboang, Banggae, Sendana dan Balanipa yang sering terjadi setiap saat. Hal ini tercatat dalam lontrak Pattapiangang di Pamboang yang ditulis oleh Leqdang Paqbicara Adolang kerajaan Pamboang. 

Berikut adalah kisah penentuan tapal batas yang tercatat dalam lontrak Pattapiangang Pamboang. Itulah sebabnya maka dijemputlah Puatta Karema di Mamuju, setibanya Puatta Karema dinaikkanlah ke usungan dan diusunglah ke perbertasan yang disebut Batu-batu, batas antara Pamboang dan Banggae. Setiba diperbatasan berkatalah Puatta Karema; ”Kalian dua Daeng.. dua ba'ba binanga, lihatlah, kalau saya meludah kesebelah kanan berarti itulah bahagian dari Banggae dan kalau saya meludah kekiri berarti itulah bahagian dari Pamboang. 

Ilustrasi

Setelah itu maka dilanjutkanlah perjalanan ke sebuah tempat yang disebut buttu Pangnganaang Ulu, berkata lagi Puatta Karema; Disinilah bagian wilayah Banggae dan adapun tanah yang datar itu adalah tempat singgahnya Ba'ba Binanga yaitu Balanipa dan Sendana. Adapun perbatasan ini Asambi Puayang adalah juga termasuk wilayah Pamboang. Setelah ditetapkannya batas antara Pamboang dan Banggae maka perjalanan pun dilanjutkan lagi sehingga sampailah disuatu tempat yang disebut Tanete Tarrauwwe atau disebut juga Pattoqdoang Bandera kemudian lanjut lagi menuruni lembah dan mendaki gunung hingga ke Buttu Baya atau Buttu Tallu Sulapaq, lalu berhentilah usungan Puatta Karema karena disinilah pertemuan tiga batas wilayah kerajaan yaitu Balanipa, Pamboang dan Banggae, lalu berkatalah Puatta Karema; Dengarkanlah kalian semua tallu ba'ba binanga (Balanipa, Pamboang dan Banggae) Kalau saya menghadap ke Balanipa berarti itulah milik Balanipa, kalau saya menghadap ke Banggae berarti itulah milik Banggae dan begitupun kalau saya menghadap ke Pamboang berarti itulah milik Pamboang. 

Demikianlah ketentuan yang ditetapkan oleh Puatta Karema maka perjalanan kembali dilanjutkan lagi hingga sampai ke muara sungai Punna Nombong dan kemudian menyusuri tepian sungai lembang mombi disinilah letak persengketaan antara Hadat Alu dan Hadat Adolang sehingga masing-masing telah mendirikan benteng untuk mempertahankan wilayahnya disinilah terjadi peperangan antar Maradia Paccalo-caloq dari hadat Adolang dan Puatta I Saragian dari hadat Alu. Berkatalah Maradia; Tidak usah kita bersengketa lagi, lebih baik mengadakan kesepakatan. Dan tercapailah kesepakatan antara Maradia Paccalo-caloq dan Puatta I Saragian dan beberapa anggota hadat kerajaan. Adapun kesepakatan yang dicapai adalah sungai Mombi yang jadi batas antara dua wilayah hadat Alu dan Adolang kemudian disahkan oleh Puatta Karema. 

Rombongan pengusung Puatta Karema akhirnya tiba di lembang Mosso' dan Puatta Karema memerintahkan untuk menghentikan perjalanan dan turun dari usungan dan berkata; Hendaklah kalian menggenggam erat hasil kesepakatan kalian antara Sendana dan Pamboang, sebab jalur jalur yang sudah kita lewati itulah batas-batas kalian, kepada Sendana agar tidak mengambil lewati batas Pamboang begitupun sebaliknya Pamboang tidak boleh melewati garis batas ke Sendana. Begitulah sekilas tentang peran Puatta Karema dalam mendamaikan dan diberi kepercayaan untuk menentukan batas-batas wilayah kerajaan, Pamboang, Banggae, Sendana dan Balanipa. 

Bukan tidak mungkin bahwa sosok Puatta Karema ini dipercaya karena sifat kejujuran dan keadilan yang dimilikinya sehingga diberikan sebuah peranan yang begitu besar dalam perdamaian dikerajaan Pitu Ba'bana Binanga. Sampai hari ini nama Puatta Karema masih tetap hidup dalam hati dan pikiran masyarakat Mamuju tapi tidak sedikit pula banyak yang keliru dan tidak memahami tokoh bangsawan dan sekaligus penganjur agama ini, banyak yang menyangka kalau Puatta Karema ini adalah tokoh yang sama dengan Puatta Karama' karena nama gelaran yang sangat mirip sekali sehingga untuk memahami letak makam beliau saja mereka kadang keliru. Untuk pembahasan ini apakah sama Puatta Karema dan Puatta Karama' kita kupas ditulisan yang lain.(Arman-22)
Bersambung...
Login


Sabtu, 12 November 2022

Nae Sukur Dan Latar Konflik di Kerajaan Mamuju 1883-1888.

Maradika yang bergelar La Manuka ini bernama asli Abdul Rahman Nae Syukur, bertahta menjadi raja di Tapalang pada tahun 1867 - 1869 menggantikan Pua Caco Tamanggong Gagallang Patta ri Malunda atau juga bernama asli Cakeo Dg. Marriba yang sebelumnya adalah seorang bangsawan pemuka hadat kerajaan Tapalang. Nae Sukur adalah anak dari penguasa atau raja Mamuju Abd. Maalim Daeng Lotong atau Nae lotong yang bergelar Malloanging dan ibunya bernama I Panre putri dari raja Mamuju sebelumnya Daenna Samani To Mejanggu alias Tomampellei Kasugikanna.


Pada masa kepemimpinan Abd. Maalim Nae Lotong di Tapalang (1850-1862) telah terjadi peristiwa perompakan kapal milik Abdul Rachman yang hendak berlayar menuju Kutai Kartanegara, berangkat dari Makassar pada 14 Maret 1856 dan berlayar melalui jalur pantai Tapalang dan akhirnya karam dipantai Dungkait Tapalang pada 25 Maret 1856 dan kemudian dirompak dan kemudian kapal itu dibakar oleh orang orang Dungkait dan Tapalang, kuat dugaan bahwa yang memimpin perompakan ini adalah salah seorang bangsawan Tapalang bernama Pattalunru dan atas peristiwa inilah yang memicu terjadinya kemarahan Gubernur Hindia Belanda dan segera meminta ganti rugi atau kompensasi kepada kerajaan Tapalang dengan mengirimkan utusan kekerajaan Tapalang menggunakan kapal uap Admiral Kingsbergen untuk menyampaikan surat Gubernur tertanggal 6 April 1856 namun pihak kerajaan Tapalang tidak menanggapi dan merasa tidak bertanggungjawab dengan kejadian tersebut selain itu karena Tapalang tidak merasa terikat kontrak perjanjian dengan Pemerintah Belanda.


Sehubungan dengan persoalan perompakan tersebut, pemerintah kolonial Belanda dalam keputusannya pada 16 Mei 1856 No.2, memberikan wewenang kepada gubernur Sulawesi untuk melakukan tindakan tegas apabila mara’dia Tapalang dan Mamuju tidak mengabulkan semua tuntutan yang diminta. Gubernur Sulawesi diharapkan dapat menggunakan sarana yang ada untuk memaksakan mereka memenuhi tuntutan ganti rugi yang diajukan dan menghukum raja-raja itu atau menjatuhkan hukuman terhadap kampung-kampung yang bersalah. Oleh karena hingga awal Juni 1856, tuntutan tersebut masih belum dikabulkan semuanya, hanya sebagian kecil dari barang-barang yang dirompak dapat ditemukan kembali, maka dikirim sebuah pasukan ekspedisi ke Tapalang dan Mamuju pada 10 Juni 1856. Pasukan ekspedisi ini merupakan gabungan dari kekuatan angkatan laut dan darat yang terdiri atas kapal perang (fregat) Palembang, kapal uap Admiraal van Kingsbergen, dan kapal penjelajah Nomor 18 serta 50 di samping satu kesatuan yang diangkut dengan sebuah kapal perang berkekuatan seorang perwira dan 25 orang serdadu. Setelah pasukan ekspedisi tiba di tempat, segera menyampaikan tuntutan ganti rugi dalam waktu 36 jam tidak dikabulkan, maka kedua kampung tersebut akan dibakar dan dihancurkan. Meskipun demikian, pemangku adat Mamuju dan putra mara’dia Mamuju yang bernama Nae Sukur menyatakan tidak mampu untuk membayar ganti rugi yang dituntut. Oleh karena tuntutan tersebut tidak dipenuhi dan seiring dengan berlalunya batas waktu yang ditentukan, maka penghancuran Tapalang dan Tanjung Kait dilakukan tanpa ada perlawanan yang berarti. Penghancuran Tapalang dilakukan pada 19 Juni sementara Tanjung Kait dilakukan pada 20 Juni 1856. Berkali-kali kejadian yang sama kembali terulang di pantai Mandar antara 1858 sampai 1859 hingga pada Oktober 1863. 


Pada permulaan tahun 1862 Maradia Mamuju dan Tapalang Malloanging Nae Lotong mundur dari jabatannya sebagai raja di Tapalang karena merasa sudah tidak mampu melanjutkan jabatannya karena telah lanjut usia, maka digantikan oleh menantu laki lakinya I Samani bergelar Tomessu Ri Atapang (1862-1864). Dimasa kepemimpinan I Samani tidaklah lebih baik dari sebelumnya, pada Oktober 1863 kembali terjadi peristiwa perompakan dan penjarahan dilakukan rakyat Tapalang dan kembali memicu reaksi pemerintah Hindia Belanda atas pembangkangan terhadap kontrak perjanjian yang sudah disepakati pada 31 Oktober 1862. Pada awal tahun 1864 I Samani diturunkan sebagai raja oleh kesepakatan para hadat kerajaan Tapalang dan digantikan oleh Pua Caco Tomanggong Patta Ri Malunda yang juga adalah seorang bangsawan Tapalang yang sebelumnya adalah anggota hadat sebagai Pa'bicara di kerajaan Tapalang, namun pengangkatannya sebagai raja belum mendapat restu dari pemerintah Belanda sehingga pihak pemerintah Belanda memanggilnya untuk datang ke Makassar untuk mempertegas dan menyatakan dirinya untuk patuh pada perjanjian kontrak dengan pemerintah Belanda, namun Pua Caco menolak keinginan pemerintah Belanda untuk datang ke Makassar.


Sebagai Gubernur Hindia Belanda Celebes, J. Anthonius Bakkers memandang segera mengganti raja Tapalang Cakeo Daeng Marriba atau Pua Caco, pemecatan ini dilakukan untuk mempermudah legitimasi peraktek kolonisasi di wilayah Tapalang yang saat itu masih rawan dengan pembangkangan terhadap kebijakan dan kepentingan Kerajaan Belanda diwilayah Tapalang, maka pada Desember 1867 ditunjuklah Na'e Sukur yang juga menjabat sebagai Raja Mamuju atas persetujuan hadat Kerajaan Tapalang untuk diangkat jadi Raja Tapalang, namun Nae Sukur masih berada di Makassar saat itu sehingga pengangkatannya diundur sampai Januari 1868.


Selama memerintah di Kerajaan Tapalang Nae Sukur kurang disenangi oleh beberapa kalangan bangsawan sehingga timbul perselisihan yang kemudian mendapat penentangan dari beberapa tetua adat dan kepala kampung di Tapalang ditahun 1875 terutama perseteruan dengan Hadat kerajaan Tapang akibat sikap dari beberapa bangsawan yang menjabat di kerajaan menilai Nae Sukur terlalu tunduk pada Belanda, puncak dari perseteruan ini adalah pecahnya perang saudara antara pihak Nae Sukur dikerajaan Mamuju dan Tappalang dengan pihak I Samanangngi dan Pattalunru dikawasan hutan Karama pada tahun 1883. Pada pertempuran pertama armada perang kerajaan Mamuju dibawah pimpinan Andi Calla yang juga anak sulung dari Nae Sukur memimpin penyerangan ke Karama, I Samanangngi sendiri adalah sepupu dari Nae Sukur dari jalur ibunya. I Samanangngi dianggap banyak merugikan kerajaan dengan melanggar kontrak perjanjian dengan pihak kerajaan Belanda dengan melakukan perompakan dan menjarah kapal-kapal dagang yang melintas diperairan Mamuju dan Tapalang. 


Selain itu I Samanangngi telah melindungi Pattalunru yang diburu oleh pihak kerajaan Belanda karena selain penjarahan juga menangkap awak kapal untuk dijual sebagai budak pekerja sehingga hal inilah yang oleh pihak Belanda sangat merasa terganggu dengan aktifitas perompakan ini, jelas sangat menganggu keamanan perdagangannya dijalur pantai Tapalang dan Mamuju. I Samanangngi mendeklarasikan diri sebagai penguasa di wilayah Pangale Karama dengan memimpin pemberontak dengan gelar Maradia Pangale Tomampellei Sanjatana. Dalam pertempuran ini Andi Calla tewas ditangan pasukan Maradia Pangale dan berhasil memukul mundur pasukan kerajaan Mamuju dengan kekalahan ini Nae Sukur lantas berinisiatif meminta bantuan pasukan kepada kerajaan Belanda melalui Gubernur Hindia Belanda pada tanggal 5 Juni 1888 di Makassar.


Permintaan bantuan ini lantas mendapat respon dari pemerintah Belanda dengan mengirimkan satu batalyon prajurit dan tiga unit kapal perang bermesin uap antara lain; H.M. Koning,  H.M.Prins Hendrik dan H.M. Madoera dan berangkat ke Karama pada 19 Juni 1888, pada 23 Juni ketiga kapal perang kerajaan Belanda ini membombardir wilayah Pangale dari segala arah dengan dukungan pasukan marinir dan pasukan kerajaan Mamuju. Namun I Samanangngi dan Pattalunru ini lebih cerdik dengan tidak melakukan perlawanan, mereka mengajak semua masyarakat Pangale untuk meninggalkan rumah rumah dan perahunya menuju kehutan yang paling jauh kedalam untuk menghindari jatuhnya korban, prajurit kerajaan Mamuju kemudian membakar rumah dan perahu sebagian milik masyarakat Pangale ini dan pulang dengan tangan hampa.  Baru sebulan kemudian Raja Mamuju Nae Sukur mendapat kabar bahwa Pattalunru siap menyerahkan diri namun hal tersebut tidak pernah terjadi karena mereka tetap bersembunyi dan masih melakukan perlawanan. 


Pada masa pemerintahan Maradika Nae Sukur di Kerajaan Mamuju telah beberapa kali terjadi pembaharuan kontrak dan penandatangan kontrak baru diantaranya tanggal 3 Mei 1889 Perjanjian pengesahan dan persetujuan penyerahan hak mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap kabel Telegraf oleh rakyatnya kea Gubernemen dan pada tanggal 23 April 1890 tentang penetapan peraturan pemasukan dan pengeluaran senjata api, peluru dan mesiu. Dimasa kekuasaan Nae Sukur sebagai Maradia Tapalang (1867 – 1889), telah menandatangani kontrak panjang pada 3 Februari 1868 dan kembali menandatangani Pembaruan Kontrak pada 5 Desember 1868. 


Setelah Maradika Nae Sukur wafat pada tanggal 29 Juli 1895 di Mamuju yang kemudian digantikan oleh menantunya Karanene sebagai Maradika selanjutnya di kerajaan Mamuju oleh Dewan Hadat kerajaan Mamuju dipilihlah Karanene (1895 – 1908) sebagai pengganti raja karena hanya dia yang memenuhi syarat sebagai raja (Maradika) dan dilantik ditahun itu juga.Satu tahun menjabat sebagai raja, Karanene kembali menandatangani kontrak sebagai transisi pemegang kekuasaan raja Mamuju atas penandatanganan kontrak di tahun 31 Oktober 1862 dengan model kontrak tahun 1894 sekaligus sebagai perpanjangan penandatangan kontrak baru.


Karanene yang juga biasa digelar Maradika Pua Aji atau raja yang sudah melaksanakan haji sebagai Maradika Mamuju dan anggota hadatnya kembali menandatangani kontrak tambahan (Suppletoir Contract) Konsesi Pertambangan  pada 13 Juni dan Oktober 1905 dan perpanjangan kontrak pada tahun 1908. Pada masa ini maradika Karanene meletakkan jabatannya dan mengundurkan diri sebagai Maradika Mamuju tahun 1909, raja inilah yang banyak dikecam oleh kalangan keluarga bangsawan kerajaan Mamuju atas sikapnya yang tunduk kepada Belanda yang sebagian menganggapnya sebagai tindakan pengkhianatan atas perjuangan rakyat Mamuju sehingga timbullah perlawanan dari beberapa kalangan keluarga kerajaan di  Benteng Kayu Mangiwang Budong - budong dan di Kassa Sinyonyoi tahun 1907 sampai 1909.


Dalam pertempuran tersebut gugur beberapa orang keluarga kerajaan itu antara lain: Mantaroso Pattana Bone, Tamangujuk Daeng Mattinja Punggawa Malolo, Atjo Ammana Andang dan lainnya. Dengan peristiwa tersebut Maradika merasa telah menyesal dan atas permintaan sendiri Beliau mengundurkan diri dari tahtanya sebagai Maradika dan sebagai penggantinya terpilihlah iparnya Djalaloeddin Ammana Inda (1908 -1950) sebagai Maradika selanjutnya yang juga adalah anak dari mantan raja Mamuju Nae Sukur.(Arman Husain 2022)

Login


Kamis, 09 Juni 2022

Sejarah gempa di pesisir Sulawesi Barat.

Gempa di Sulbar
Mamuju dan daerah lain di pesisir Sulbar beberapa kali diguncang gempa, salah satu yang cukup besar terjadi pada 2021 lalu. Gempa ini didahului gempa pembuka M5,9 pada 14 Januari 2021, pukul 14:35:49 (WITA). Selanjutnya disusul gempa utama M6,2 pada 15 Januari 2021 pukul 02.28 WITA dan serangkaian gempa susulan.

Pada 1820 gempa disertai tsunami memporak porandakan wilayah Makassar dan pada Tanggal 12 Agustus 1915 adalah peristiwa gempa bumi dalam catatan awal sejarah gempa di pesisir Sulawesi Barat, sebuah surat kabar milik Pemerintah Hindia-Belanda Het Vaderland edisi 23 Desember 1915 memberitakan pada 12 Agustus 1915 bahwa sekitar pukul 3.30 sore, terjadi gempa kuat yang dirasakan di Mandhar (Sulbar), Luewoe (Luwu), Boni (Bone) dan Pare-Pare. Di Mandhar dilaporkan terjadi guncangan paling kuat dan berdampak, di mana gempa susulan dirasakan di Mandhar dan di Pare-Pare hingga pukul 9.30 malam. 
Adapun durasi gempa masing-masing adalah 1/2 dan 1/4 menit di Madjene pada kedua waktu yang disebutkan. 
Guncangan gempa susulan terjadi di Mamudju (Mamuju) hingga 20 Agustus 1915. 
Kemudian Pada tanggal 11 April 1967 dengan magnitudo M 6,3 di daerah Polewali Mandar. Berdasarkan catatan korban atau kerusakan, gempa yang menimbulkan tsunami tersebut telah menyebabkan 13 orang meninggal dunia.

Sejarah gempa serupa yang kedua, yaitu terjadi pada tanggal 23 Februari 1969, di mana gempa bumi tektonik yang terjadi di daerah Majene ini telah menyebabkan catatan korban maupun kerusakan terbanyak di Pantai barat, sqaat itu, gempa berkekuatan 6,9 SR dengan kedalaman 13 kilometer. Bencana ini menyebabkan 64 jiwa dinyatakan wafat, 97 orang luka-luka dan lebih dari 12 ribu rumah dilaporkan rusak, dermaga pelabuhan pun pecah dampak tsunami setinggi 4 meter di Pelattoang, dan 1,5 meter di Parasanga dan Palili.  

Berikutnya, gempa kuat yang ketiga terjadi di daerah Mamuju dengan kekuatan magnitudo M 6,7 pada tanggal 8 Januari 1984.

Berdasarkan catatan BMKG, akibat guncangan gempa kuat ini tidak ada korban yang meninggal dunia, tetapi banyak rumah rusak maksimum karena intensitas guncangan di Mamuju mencapai VII MMI.

Tak hanya itu, gempa merusak hingga menimbulkan tsunami di pesisir Sulbar pun tercatat beberapa kali. Di antaranya pada 23 Desember 1915 (magnitudo tidak diketahui), 11 April 1967 mengakibatkan tsunami, 23 Februari 1969 mengakibatkan tsunami, 6 September 1972 mengakibatkan tsunami, 8 Januari 1984, serta 7 November 2020. Kekuatan gempa tersebut tercatat berada di atas magnitudo 5.
Kondisi geologi dan tektonik Sulbar
Dalam Ulasan Guncangan Tanah Akibat Gempa Mamuju Sulbar 15 Januari 2021, Bidang Seismolog Teknik BMKG menjelaskan, Pulau Sulawesi terbentuk dari proses tektonik yang rumit. Peneliti Hall dan Wilson (2000) menggunakan istilah suture untuk menggambarkan kerumitan tektonik yang terjadi di Indonesia, termasuk di Sulawesi.

"Menurut Hall dan Wilson, suture Sulawesi terbentuk akibat proses tumbukan antara kontinen dan kontinen (Paparan Sunda dan Australia) yang merupakan daerah akresi yang sangat kompleks, tersusun oleh fragmen ofiolit, busur kepulauan dan kontinen," kutip Seismolog BMKG dalam ulasan tersebut.  

Pembentukan suture Sulawesi diperkirakan terjadi pada Kala Oligosen Akhir dan berlanjut hingga Miosen Awal. Hingga saat ini, diperkirakan deformasi tersebut masih berlangsung.

Secara geologi, daerah Mamuju disusun oleh batuan gunung api Adang, batuan gunung api Talaya, batu gamping Formasi Mamuju, batu gamping Anggota Tapalang Formasi Mamuju, dan endapan aluvium. Aktivitas gunung api purba mengontrol pembentukan morfologi berupa perbukitan. 

Ini terlihat dari adanya beberapa pusat erupsi gunung api di Mamuju, terutama di daerah yang didominasi oleh batuan nephrite, tephriphonolite, phonotephrite, dan phonolite. Batuan-batuan tersebut berkomposisi ultrapotasik yang terbentuk pada tatanan tektonik benua aktif dengan kerak benua mikro blok Sulawesi.

Sumber: Daryono BMKG dan berbagai sumber artikel.

Minggu, 29 Mei 2022

Assamaturuang di Lombong (Perjanjian di Lombong)

Perjanjian ini berlatar belakang dari perseteruan antara Daeng Riosoq raja Balanipa dengan raja Pambauang yang bergelar Tomatindo di Bata. Perseteruan itu terjadi karena Daeng Riosoq (setelah wafat bergelar Tonipilong) merebut istri Tomatindo di Bata yang bernama Ipura Paraqbueq. Ipura Paraqbueq adalah cucu dari Maradia Mamuju Tomatindo di Puasana. Pada saat itu, Ipura Paraqbueq merupakan wanita tercantik di seluruh Mandar sehingga mampu menggoyahkan iman Daeng Riosoq dan merebutnya secara paksa dengan kekuatan senjata.


Akibat peristiwa ini, Tomatindo di Bata bersama para pengawalnya meninggalkan Pambauang menuju ke Ulumandaq dan meminta bantuan pada Tomakakaq Ulumandaq untuk mengambil kembali Ipura Paraqbueq istrinya. Atas saran dan petunjuk Tomakakaq Ulumandaq, Tomatindo di Bata melakukan penyamaran dengan merubah penampilannya. Dengan ditemani anjing pemburu yang bergelar Itattibayo, Tomatindo di Bata masuk di kerajaan Balanipa menyamar sebagai seorang Tomakakaq. Satu-satunya yang mengenalnya hanyalah Ipura Paraqbueq dengan melihat cincin dan mendengar suaranya.


Disaat Tomatindo di Bata meminta segelas air untuk minum, Ipura Paraqbueq menyuruh seorang nelayan mengantarkan air dalam gelas yang kemudian di bawa kembali oleh pelayan pada Ipura Paraqbueq. Melihat cincin tersebut, Ipura Paraqbueq sudah seratus persen yakin kalau itu adalah suaminya. Ipura Paraqbueq akhirnya mencari akal dan berpura-pura mengidam mau makan daging rusa hasil tangkapan suaminya sendiri. Lalu dimintanya pada Daeng Riosoq untuk pergi berburu rusa. 


Daeng Riosoq yang tidak mengetahui keadaan sebenarnya, merasa sangat bersuka cita mendengar pengakuan Ipura Paraqbueq yang telah mengidam. Karena cinta dan sayangnya yang teramat dalam, Daeng Riosoq akhirnya berangkat berburu dengan meminjam anjing Tomatindo di Bata. Setelah daeng Riosoq pergi, Tomatindo di Bata tidak menyia-nyiakan kesempatan dan segera pergi membawa istrinya ke Ulumandaq.


Di Ulumandaq, Ipura Paraqbueq tidak bisa bertahan lama karena tidak terbiasa makan tanpa lauk ikan. Dengan persetujuan dan bantuan Tomakakaq Ulumandaq yang memintakan tempat di daerah pantai, maka Tomatindo di Bata bersama istrinya serta pengawal-pengawalnya tinggal dan bermukim di Malundaq.Dari usaha memintakan tempat bermukim ainilah terjadinya Perjanjian Lombong atau Assamaturuang di Lombong, karena tempat diadakannya kesepakatan ini adalah di Lombong Malundaq.


Perjanjian ini terjadi pada sekitar abad XVII masehi dengan pihak-pihak yang terlibat yaitu : Tomatindo di Bata dengan istrinya Ipura Paraqbueq, Tomakakaq Ulumandaq, Pueq di Lombong, Mosso dan Bambangang, Tomakakaq Sambawo, Pueq di Salutambung, Libaq dan Balanggitang. Secara lengkap, kesepakatan yang dihasilkan dalam perjanjian Lombong adalah sebagai berikut :

”Nawei engenang naengei mappassau nyawana mappalewa anaoang paqmaiqna Maraqdia di Pambauang sappelluq-uang tedzong ingganna naulle nakae-kaer manuqna siola palluppuinna, niwengang toi leqboq nanaengei mandoang manjala palluppuinna, ingganna lekkotang.”


Terjemahan : Diberi tempat untuk ditempati memulihkan semangatnya, menghilangkan kesedihan hatinya pada raja Pambauang, sekubangan kerbau sejauh yang dapat dijelajah ayam dan pengawal-pengawalnya, juga diberi laut untuk tempat memancing dan menjala sebatas pada kedalaman setinggi lutut.

”Napoadzaq adzaqna naporapang rapanna odzi adzaq odzi biasa di litaqna di Pambauang.”

Terjemahan :Dia bebas memakai hukum dan aturan serta adat istiadatnya sendiri, sebagaimana yang berlaku di Pambauang.

”Diapiangammi tandi akadzakeang, tandi peoqdong tandi pelango tanna olleq boning tannala pangolleq, tannande pakkira-kira tammappikkir dipettilluqna sawa dipewetona lambaru, tandi paumo dibandangang di kondo bulo. ”


Terjemahan :

Dia pada kebaikan tidak pada keburukan, terhindar dari makanan yang bertulang dan minuman yang beracun, tak terjangkau air pasang tak terkena banjir, terluput dari iri terhindar gigitan ular, juga pada sengatan ikan pari, lebih-lebih dari srangan musuh.

”Lumbang pai pasorang, reppoq pai kondo bulo maqguliling annaq nalosai muaq diang namappakkesar.”


Terjemahan : Nanti roboh benteng pertahanan, patah remuk semua tombak dan parang pusaka, baru musuh bisa menyentuh raja Pambauang bersama pengawal-pengawalnya.

”Moaq meloq-I membaliq di litaqna, tanna eloqna di nassa genainna, naiya engenanna membaliq diassalna.”


Terjemahan : Bila dia ingin kembali ke negerinya (Pambauang), terserah bila sudah merasa mampu dan sanggup. Adapun perkampungan yang ditempatinya akan kembali pada pemiliknya semula.


Pada peristiwa ini, ada yang berpendapat bahwa selama di Malunda Tomatindo di Bata masih menjadi raja Pambauang dan menjalankan roda pemerintahan di Malunda dan ada pula yang berpendapat bahwa Tomatindo di Bata telah digantikan oleh raja yang lain. Sementara perkampungan yang ditempatinya tidak pernah dikosongkan sampai masuknya Belanda dan tempat tersebut tetap diperintah oleh raja Pambauang.


Daftar Kepustakaan:

- Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.

- Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.

- H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.

- Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.

- Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982

- Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar Proyek IDKD Sulsel 1985.

- A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987

- A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.

- A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.

- Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.


Sumber Data

- Sumber tertulis ;

Lontar Balanipa Mandar

Lontar Sendana Mandar

Lontar Pattappingang Mandar

Lembar Perjanjian kuno

Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar


- Sumber Wawancara ;

H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar

Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar

Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar

Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar

Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar

Daeng Matona – Hadat Pamoseang

Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq

Rabu, 23 Februari 2022

Nenek Moyang Orang Mandar

Menurut sumber cerita rakyat, konon sesudah terjadinya air bah yang memusnahkan seluruh manusia, sisa tujuh manusia yang berhasil hidup pada suatu puncak gunung di sekitar hulu sungai Saddang tersebut anak-beranak, bersaudara, atau masing-masing lain (tidak berfamili), tapi secara kebetulan ketemu dihulu sungai Saddang tersebut, setelah masing-masing berhasil menyelamatkan siri dari amukan air bah. Ketujuh orang tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pongkapadang menuju ke Utara menyusur gunung dan tiba/bermukim di Tabulahan (Daerah Pitu Ulunna Salu).
b. Tolombeng Susu menuju ke Timur dan tiba/bermukim di Luwu (Palopo).
c. Tolando Beluwaq menuju ke Selatan dan tiba/bermukim di Bone (Daerah Bugis).
d. Paqdorang juga menuju ke Selatan dan tiba/bermukim di Belau (Belawa).
e. Tolambeq guntuq juga menuju ke Utara dan tiba/bermukim di Lariang (Daerah Mamuju).
f. Sawerigading dan Tanriabeng, pergi berlayar entah ke mana arah perginya.

Menurut data Lontar Mandar (Lontar Pattappingan), juga mengakui adanya tujuh orang laki-laki semua di temukan di hulu sungai Saddang dan ketujuhnya bersaudara kandung, yakni anak dari Tomanurung, Tobisseditalang (laki) kawin dengan Tokombong Dibura (wanita), lahirlah anak :
a. Tobanua Pong (Tobanua Poang = Kampung tua).
b. Ilaso Kepang
c. Ilando Guntuq
d. Usuq Sababang
e. Topaqdorang
f. Pongkapadang
g. Tapalluq.

Dalam Lontar Balanipa Mandar, juga sepakat bahwa manusian pertama yang berkembang di Mandar, ditemukan di hulu sungai Saddang dan mereka adalah para Tomanurung yang bernama Tobisse Ditallang dan Tokombong Dibura. Perbedaannya dengan Lontar Pattappingan adalah; Tobisse Ditallang perempuan dan Tokombong Dibura laki-laki, juga tidak menentukan bahwa mereka beranak tujuh orang. Jelasnya adalah sebagai berikut : Tokombong Dibura kawin dengan Tobisse Ditallang, lahirlah Tobanua Pong. Tobanua Pong melahirkan Tapaqdorang, Tapaqdorang melahirkan Pongkapadang kawin dengan Sanrabone (Torijeqne) lahirlah seorang anak perempuan yang kemudian diperisterikan Topole di Makka. Maka dari perkawinan ini , lahirlah Tometeq-eng Bassi dan Tometeq-eng Bassi kawin dengan sepupunya, lahirlah Daeng Lumalleq. Daeng Lumalleq kawin sepupu lagi, lahirlah sebelas orang anak, sebagai berikut :
1. Daeng Tumana
2. Lamber Susu
3. Daeng Manganaq
4. Sahalima
5. Palao
6. To qandari
7. Daeng Palulung
8. Todipikung
9. Tolambana
10. Topaniq Bulu
11. Topaliq.

Dari sumber yang sedikit berbeda ini, sepakat menunjuk Pongkapadang sebagai nenek moyang orang Mandar, karena dari padanyalah lahir manusia sebelas bersaudara dan itulah nenek moyang manusia yang berkembang di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binang. Dari sumber cerita rakyat, ada juga manusia sebelas versi Tabulahan, yang menurut sumber ini, juga anak cucu dari Pongkapadang. Lima orang diantaranya ; Daeng Tumana, Daeng Matana, Tammiq, Taajoang dan Sahalima berkembang di Pitu Ulunna Salu dan enam orang diantaranya berkembang di Pitu Ba’bana Binanga, yakni; Daeng Mallulung di Taraqmanu, Tolaqbinna di Kalumpang, Makkedaeng di Mamuju, Tokarabatu di Simboroq, Tambulubassi di Tapalang, Tokaiyyang Pudung di Mekkattaq.

Seminar Sejarah Mandar juga di Tinambung Balanipa Polmas menetapkan bahwa nenek moyang orang Mandar berasal dari Pitu Ulunna Salu, yaitu Pongkapadang.

2. Kekerabatan orang Mandar dengan kerajaan lain di luar Mandar
Dengan melihat manusia tujuh di Ulu Saddang, jika data Lontar yang mengatakan bahwa manusia tujuh yang ditemukan di hulu sungai Saddang itu bersaudara kandung, maka tidak dapat diragukan lagi, adanya hubungan kekerabatan antara orang Mandar dengan keturunan Tolombeng Susu di Luwu, Tolando beluheq di Bone, Paqdorang di Belau (Belawa), serta keturunan Sawerigading dan Tanriabeng, entah dimana saja berada.

Begitu juga hubungan kekerabatan Mandar debgan Gowa, selain yang terjadi pada dimensi awal munculnya manusia dan perkembangannya di hulu sungai Saddangtersebut, lebih jelas lagi pada saat kawinnya Batara Gowa pada Rerasi putri raja Balanipa-Mandar, yang melahirkan Tomapa’risi Kallonna bersaudara, yang sempat menjadi raja gowa.

Hubungan kekerabatan lain, adalah kawinnya Bannaiq putra raja Sendana-Mandar dengan Karaeng Baine (putri raja gowa) Somba sebagai ibu kota kecamatan Sendana Kabupaten Manjene sekarang, adalah bukti sejarah dari peristiwa perkawinan Bannaiq ini dengan Karaeng Baine dari Gowa ini. Dulu daerah itu bernama Lamboriq, tapi setelah perkawinan itu terjadi, namanya berubah jadi Somba, karena pesan dari mertua Bannaiq waktu Karaeng Baine di bawa pulang ke Senadana, supaya dimana saja daerah itu disamakan dengan nama daerah Karaeng Baine, agar mudah dicari, jika orang tuanya rindu padanya. Karena mereka kawin di Somba sampai sekarang.
hubungan kekerabatan Mandar dengan Bone pun demikian halnya. Selain dari Talando Beluheq, juga diikuti oleh perkawinan yang lain sesudahnya, baik antara Balanipa dengan Bone, maupun antara Banggae, Pamboang dan Sendana. Satu contoh misalnya; Tomesaraung Bulawang isteri Daeng Palulung raja Sendana yang pertama adalah putri dari Raja Bone. Adik kandung Daeng Marituq Arayang di Sendana (cucu langsung dari Daeng Palulung) yang bernama Daeng Malonaq, juga kawin pada sepupunya di Bone.

Begitu juga antara Mandar dengan Luwu. Daeng Sirua yang bergelar Puang di Luwu, adik sepupu dari Daeng Palulung yang kawin dengan putri Puatta di Saragiang (Alu), adalah berasal dari Luwu, yang konon keturunanan Tolombeng Susu. Keturunan Daeng Sirua kelak mewarisi kerajaan Alu dan Taramanuq. Dengan demikian, maka jelas sekali adanya pertalian kekerabatan antara Mandar dengan Gowa, Bone dan Luwu, serta beberapa kerajaan lain di Sulawesi Selatan.

3. Kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga. Secara umum, kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga sudah tidak dapat diragukan, berdasarkan fakta sejarah, bahwa manusia yang berkembang di dua kelompok tersebut adalah Pongkapadang dan keturunannya. Namun penulis masih merasa perlu melukiskan perkembangan kekerabatan itu pada beberapa kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga, hingga lebih jelaslah proses perkembangan kekerabatan tersebut sebagai berikut :

Manusia yang berkembang di Balanipa
Seperti yang penulis telah uraikan terdahulu, bahwa Daeng Lumalleq (cucu Pongkapadang) melahirkan sebelas orang anak yang dalam sejarah Mandar dikenal dengan istilah manusia sebelas. Anak ke sebelas diantara manusia sebelas ini adalah Topali. Topali inilah yang kawin dengan Tosimbaqdatu, lahirlah Tobittoeng, Tobittoang yang melahirkan Tomakakaq Napo yang kawin dengan putra Tolemo, lahirlah Weapas yang diperisterikan Puang Digandang, yang melahirkan pula I Manyambungi, raja Balanipa yang pertama. Demikianlah proses keturunan itu berkembang sampai sekarang ini, dimana sesudah I Manyambungi Todilaling ini, lebih meluas dan berkembang pula peraturan kekerabatan antara Balanipa dengan seluruh Mandar.

Manusia yang berkembang di Sendana
selain itu Daeng Palulung saudara kandung Topali (anak ke tujuh dari manusia sebelas), juga anak ke enam dari manusia sebelas yaitu Taandiri berkembang pula di Tallangbalao sendana. Tidak lama kemudian, datang pula Inuji Tokearaq alias Tosibaba Adaq di Limboro Ramburambu Sendana dan berkembang pula keturunannya sampai sekarang. Tosibaba Adaq ini juga adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Begitulah proses perbauran tali-menali kekerabatan diantara tiga sumber keturunan itu di Sendana sampai sekarang, di mana perkembangan lanjutan sesudah ketiga sumber itu jauh lebih meluas, baik diantara Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu, maupun dengan orang di luar Mandar.

Manusia yang berkembang di Banggae
Semula, Banggae dikenal dengan keturunan Tomakakaq di Salogang (Baruga). Tomamakaq di Salogang ini adalah keturunan manusia sebelas juga, yang turun kepantai bersama-sama dengan Topali dan Tosimbaqdatu. Setelah Tosimbaqdatu dengan putrinya Tobittoeng tinggal di Balanipa, tinggal pula Tomamakaq di Salogang di sebuah bukit di Baruga sekarang dan berkembang di sana. Lama kelamaan, beralihlah pusat pemerintahan kepantai yang berkedudukan di Salabose. Dari perkembangan ini, lebih mekarlah pertalian kekerabatannya dengan keturunan Tobittoeng di Balanipa dan bahkan dunia luar. Terbukti dengan kawinnya Imerruparupa Bulawang dengan Topolepole (pendatang). Demikian perkembangan keturunan yang ada di Banggae dengan dunia luar dan antar Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu lebih berkembang luas sampai sekarang.

Manusia Yang berkembang di Pamboang
Menurut Binu Aman sejarawan/budayawan Pamboang, Tomellu melluangang yang datang di Pamboang pertama kali itu, adalah orang Passokkorang. Namun data Lontar Mandar itu juga menggambarkan bahwa Tomellumelluangang adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Yang jelas sumber kedatangannya di Pamboang, adalah Tonisora, raja Pamboang pertama yang datang menyusul Tomellumelluang. Tonisora ini adalah anak dari Tomakakaq di Peurangan, juga keturunan dari manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Mula-mula Tonisora datang ke Puttaqdaq Sendana dan kawin dengan putri Maraqdia Puttanoeq di Sendana, kemudian orang Pamboang datang memintanya umtuk jadi raja di Pamboang. Berkembanglah Tonisora di Pamboang, di samping keturunan Tomellumelluangang sebagai manusia yang pertama datang di Pamboang.57 Perkembangan keturunan berikutnya, jauh lebih meluas di seluruh daerah Mandar dan juga di luar Mandar sampai sekarang ini.

Manusia yang berkembang di Tappalang
Selain Tambulubassi dan pembauran antara keturunan Tandiri dan Tokaiyyang Pudung di Makkatta, juga telah berkembang lebih luas sampai sekarang, terutama dengan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu.

Manusia yang berkembang di Mamuju
Menurut data Lontar, sebelum kehadiran Makkedaeng, Tokarabatu dan Tolaqbinna, keturunan Talambeq Guntuq yang berasal dari manusia tujuh yang ditemukan di hulu Sungai Saddang, telah berkembang di Mamuju. 

Manusia yang berkembang di Binuang
Data Lontar memberi petunjuk bahwa manusia yang berkembang di Binuang adalah juga dari cucu Tokombong Dibura. Dengan demikian, maka mereka adalah juga salah satu dari manusia sebelas, baik dari versi Tabulahan maupun dari varsi Rantebulahan (Pitu Ulunna Salu).
Labih lanjut, perkembangan hubungan kekerabatan menyeluruh di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga serta diluar Mandar, telah diurai rinci dan luas oleh H. Saharuddin dalam Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan Tahun I-4, Januari, Pebruari, Maret 1978.60 Dalam konferensi Tammajarra II, dalam dialognya dengan raja-raja di Pitu Ba’bana Bianga, Tomeppayung raja Balanipa lebih menjelaskan hubungan kekerabatan itu sebagai berikut :
"Malluluareq nasangdi tau mieq inggannana puang, mesadi nene niperruqdussi nisiolai, apaq apponadi Tokombong. Malluluareq nasangditau, apaq sambulo-bulo ditiruqdussi".

Dengan demikian, maka hubungan kekerabatan di Mandar adalah sangat jelas, bahwa orang Mandar bersumber dari satu keturunan yang sejak awal sudah bersatu karena senasib. Olehnya itu, meskipun sering berbeda pendapat sesamanya, tapi kerukunan hidup tetap terpelihara dan terjamin, karena memang suku Mandar berasal dari satu sumber keturunan.

Senin, 21 Februari 2022

Sejarah awal berdirinya Kerajaan Mamuju

Kerajaan Mamuju disebutkan dan mulai dikenal sejak adanya perjanjian di Tamajarra yang dipelopori oleh Todilaling yang dilaksanakan di Tamejarra pada akhir abad ke XVI. Dimana Maradika Tomejammeng menjadi perwakilan dari Kerajaan Mamuju kala itu. Dalam hal ini Tomejammenglah yang menata struktur kerajaan dan lembaga Hadatnya. Ini membuktikan bahwa kerajaan Mamuju sudah berdiri sejak sebelum Tomejammeng menjadi raja di Mamuju.

Berbicara asal mula berdirinya Kerajaan di Mamuju tidak ada yang bisa memastikan kapan oleh karena disebabkan minimnya sumber sumber pendukung berupa data data yang bisa menjadi acuan penulisan sejarah. Jika merunut kapan berdirinya kerajaan di Mamuju ini tentunya kita harus memulai dari sumber sumber yang menuturkan siapa yang membawa garis keturunan yang disebutkan dalam sumber primer seperti lontrak atau manuskrip yang paling sahih sebagai sumber rujukan penulisan sejarah. Ada beberapa lontrak yang membahas sejarah awal manusia yang membawa garis keturunan itu atau biasa disebut Tomanurung sebagai permulaan peradaban suatu kerajaan yang ada di Mamuju ini kita mulai dari seorang yang bernama Pongkapadang, disini saya tidak akan berpendapat kalau Pongkapadang adalah manusia yang pertama kali datang didaratan Sulawesi karna kita tahu bahwa sejak 3000 tahun yang lalu manusia sudah mendiami kawasan Sulawesi dan sudah dibuktikan dengan temuan temuan arkeologi yang menguatkan bahwa sudah ada manusia primitif yang mendiami kepulauan Sulawesi sejak dahulu.

Baca: Kalumpan Situs Neolitik Tertua Dunia

Todipanurung dilangiq, Tomanurung atau Seseorang yang diturunkan dari langit adalah manusia yang dianggap titisan dewata dan tidak diketahui asal usulnya menjadi sebuah permulaan dari manusia yang menurunkan garis keturunannya sampai terbentuknya suatu masyarakat disuatu wilayah yang disebut Tomakaka, segala aturan aturan perikehidupan masyarakat yang menjadi standar hukum yang berlaku, inilah yang disebut adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku dan disepakati secara mutlak bersama sama, sebagai seorang pemimpin Tomakaka inilah yang berhak memutuskan sebuah perkara hukum dan menjadi penentu segala kebijakan yang memang harus ditaati oleh masyarakat adat tersebut. Tomanurung inilah yang biasanya menjadi cikal bakal adanya tomakaka disebuah wilayah adat masing-masing.

Bermula dimana seorang Tomanurung bernama Tokombong Dibura kawin dengan Tobisse Ditallang, lahirlah Tobanua Pong. Tobanua Pong melahirkan Tapaqdorang, Tapaqdorang melahirkan Pongkapadang kawin dengan Sanrabone (Torijeqne versi Mamasa) lahirlah seorang anak perempuan yang kemudian diperisterikan Topole di Makka (Makki) sebuah wilayah di Kalumpang, Maka dari perkawinan ini, lahirlah Tometeq-eng Bassi dan Tometeq-eng Bassi kawin dengan sepupunya, lahirlah Daeng Lumalle. Daeng Lumalle kawin sepupu lagi, lahirlah sebelas orang anak, sebagai berikut :

1. Daeng Tumana
2. Lamber Susu
3. Daeng Mangana
4. Sahalima
5. Palao mesa
6. Taandiri
7. Daeng Palulung
8. Todipikung
9. Tolambana
10. Topaniq
11. BuluTopaliq. (Lontrak Balanipa).

Dari keseblas orang anak keturunan Daeng Lumalle ini, Taandirilah yang membawa keturunan pendiri kerajaan di Mamuju, dalam perjalanannya kesebelas orang keturunan ini pulalah yang membawa keturunan keberbagai pelosok wilayah di tanah Mandar.

Disebutkan seorang Tomanurung tiba tiba hadir tidak diketahui asalnya dan duduk diatas batu di Tumpiq (?), singkatnya Tomanurung ini menikahi seorang wanita yang juga berasal dari wilayah itu, sebuah wilayah yang disebutkan sebagai dataran yang penuh batu batu sehingga wanita itu digelari Tosuqbe dibatu atau yang datang dari tempat berbatu namun tidak dijelaskan di daerah mana. Tomanurung ini digelar Pue Tosuqbe Karaolamba, Karaolamba diartikan seseorang yang datang dari perjalanan yang jauh atau orang yang sedang mengembara, disini kita pahami bahwa Tomanurung hanyalah gelar untuk menyebutkan orang yang tidak dikenali atau orang asing dan tiba tiba hadir ditempat itu walaupun memang banyak yang menganggap bahwa itu manusia yang turun atau diturunkan dari langit sebagai jelmaan dewa atau titisan dewa. Konsep pemahaman ini didasari dari kepercayaan manusia kala itu yang masih menganut pemahaman animisme dan dinamisme yang kuat.

Baca: Manusia Pertama Diwilayah Mandar

Kita kembali ke Tomanurung tadi, setelah menikahi wanita tersebut akhirnya kedua pasangan ini memilih untuk pindah ketempat lain yang disebut Manumba(?) dan ditempat inilah keduanya memiliki anak keturunan tujuh orang yang semuanya adalah perempuan yang masing masing bernama; Tasallena, Tabittoeng, I paliliq, I Coaq, Takasang, Taurraurra dan Lowe Katimbangmassang. Dan pada waktunya akhirnya ketujuh anak anaknya berpencar untuk memulai kehidupan barunya dan menjadi nenek moyang ditempat baru yang mereka diami seperti Tasallena memilih tinggal di Baras dan diyakini inilah yang menurunkan garis keturunan raja raja di Baras dan kemudian adalah Tabittoeng tinggal di Lariang, I Paliliq tinggal menetap di Kurri kurri (Simboro), I Coaq tinggal di Sinajoi (Sinyonyoi?), Takasang tinggal di Bungi(?), Taurra-urra tinggal di Tabulahan dan Lowe Katimbang Amissang atau Katimbangmassang menetap di Mamuju (mamunyu).

Lowe Katimbang atau Katimbangmassang inilah yang menikah dengan Taandiri salah satu anak Daeng Lumalle yang tinggal dihulu sungai Saddang. Dalam versi Lontrak Balanipa disebut bahwa Taandari adalah keturunan dari Tokombong diwura seperti yang dijelaskan diatas. Dari perkawinan Lowe Katimbang Ammissang dan Taandiri menurunkan  lima orang Anak, masing-masing; yang sulung tinggal di simboroq, anak berikutnya menjadi Pue Tobone-bone dan berikutnya lagi menjadi Pue Tokasiba, Anak yang berikutnya Totappaliq di Maloku, ada kemungkinan bahwa Totappliq di Maloku ini diberi nama demikian karena baru pulang dari perjalanan perantauan dari sebuah daerah yang disebut Moloku, apakah Moloku ini Maluku atau Maloku di sebuah wilayah di Pamboborang di Majene saat ini. Anak berikutnya lagi (tidak disebutkan namanya) kawin dengan anak ratu Tonagala (Tinangguli?) Maka lahirlah I Tanroaji,  inilah yang menjadi Pue atau Maradika di Mamuju pertama kalinya.

Kita tahu bahwa Tinangguli adalah salah satu wilayah di Kabupaten Mamuju Utara saat ini dan masuk dalam wilayah kerajaan Baras atau bisa jadi memang itulah pusat kerajaan Baras sebagai kerajaan kuno sebelum kerajaan Mamuju berdiri dan diperkiran sudah ada sejak abad ke VII SM. Anak dari Totappaliq di Moloku ini  menikah dengan sepupunya yang juga anak raja Baras yang merupakan kerabat dari orang tuanya dari keturunan Tasallena, dari pernikahan inilah melahirkan I Ballaq yang kemudian diperistri oleh I Tanroaji sepupunya sendiri. Dari pernikahan I Tanroaji dan I Balla ini melahirkan keturunan bernama Todipudendeanna. Inilah yang menjadi kakek langsung dari Tomejammeng sehingga diberi nama Nenena Tomejammeng. Todipudendeanna  kemudian menikah dengan sepupunya dan melahirkan seorang anak yang kemudian menikahi anak dari Tomessalangga Barayya raja Gowa ke-2 yang digelari Tomanurung ri gowa.

Diceritakan bahwa Tomanurung ri gowa inilah yang menolak pengangkatan raja Gowa Karaeng Matandre Manguntungi Tumapparissi Kollonna yang dilantik oleh Bate Salapang (Hulubalang) kerajaan untuk menjadi raja Gowa ke -9 (1510-1546). Ia menganggap Karaeng Tumapparissi Kollonna adalah anak I Rerasi atau berasal dari keturunan budak dari tanah Mandar. Akibat dari ketidaksetujuannya akhirnya Tomanurung ri Gowa pergi meninggalkan tanah leluhurnya dan sampailah di Kerajaan Baras di Mamuju, Ia kemudian menikah dengan putri raja Baras yang juga adalah masih merupakan keluarga atau sepupunya sendiri dan dari pernikahan inilah lahir tiga orang anak yang kelak menjadi pewaris di tiga kerajaan yaitu Sendana, Mamuju dan Benawa (Kaili). Masing-masing bernama; I Badantassa Batara Bana, yang menjadi raja Pujananti (Benawa), I Palagunna Tonipali menjadi Maradika di Mamuju, Tomissawe di Mangiwang menjadi Maradia Sendana. Tomissawe di Mangiwang sendiri menjadi Maradia di Sendana sekitar tahun 1540. Pue Tonipali adalah ayah dari Tomejammeng, Tomejammeng adalah orang yang sama dengan Lasalaga namun dalam gelar penyebutan yang lain. Dikatakan bahwa Lasalaga adalah gelar yang diberikan kepadanya ketika hadir di kerajaan Gowa bersama ayahnya Pue Tonipali.

Sebelum diangkat menjadi raja Mamuju  Tomejammeng inilah yang dikenal sebagai Lasalaga yang dalam tutur cerita masyarakat Mamuju, orang inilah yang lahir kembar dengan sebilah keris yang disebut Manurung, dari pernikahan Pue Tonipali dengan Putri bangsawan dari kerajaan Badung Bali. Dikatakan Tomejammeng inilah yang membawa keturunan raja raja di Mamuju setelahnya dan dia pula yang memperluas wilayah kerajaan dengan  penaklukan Kurri-kurri di Simboro dan menjadikan seluruh masyarakat Kurri-kurri tunduk dan dari golongan bangsawan diberi tempat menjadi pembesar kerajaan di Mamuju, sebahagian menjadi pemangku adat dalam wilayah hadat masing masing seperti wilayah hadat Pue Tokasiwa, Pue Tobone bone dan kemudian hari dijadikan perangkat hadat dalam kerajaan Mamuju.

Ada perbedaan pendapat jika kita mengambil sumber rujukan dari beberapa Lontrak, sehingga tidak banyak yang bisa mengambil sebuah kesimpulan untuk menulis sejarah awal kerajaan Mamuju karena terdapat perbedaan tulisan dalam beberapa Lontrak tersebut. Disini saya akan mengambil kesimpulan bahwa orang yang bernama Tomejammeng adalah gelar bagi orang yang sama dengan Lasalaga, Gelar atau panggilan khas To;mejammeng disematkan karena menggunakan kacamata (Jarammeng;jammeng) berarti orang yang memakai kacamata, sedangkan La Salaga diambil dari bahasa Bugis yang berarti pusaka, yang bermakna sebagai manusia yang dikeramatkan atau dianggap pusaka.

Pue Tonipali sebelum menikahi putri bangsawan kerajaan Badung, terlebih dahulu sudah memiliki istri dari anak Tomakaka Sinyonyoi di Padang
Udung Bassi. Daeng Lumalle (Sakkala Bamba) menikah dengan Dehata anak Tomakaka Sinyonyoi di Udung Bassi dan kemudian melahirkan putri Tolippa di Tallang inilah yang disebut Tokayyang dipadang,  kemudian Tolippa di Tallang menikah dengan Daeng Maibu (ng) dan melahirkan; Kalababa Sakkala Bassi atau kolambassi (Tomakaka Sonyonyoi) dan Topelipaq Karoro. Topelipaq Karoro inilah yang kemudian dinikahi Pue Tonipali.

Ada cerita yang dituturkan dalam masyarakat padang mengenai pernikahan Topelipaq Karoro dengan Maradika Mamuju Pue Tonipali ini, bahwa suatu hari anak Tolippa di Tallang ini dibawa oleh orang tuanya ke pantai untuk menangkap ikan dan terlihatlah anak gadis ini oleh Maradika dan seketika itu juga Maradika hendak meminang anak gadis ini maka diutuslah salah satu penghulu raja yaitu pabicara untuk menyampaikan maksud Maradika kepada orang tua dan kerabat gadis ini, tidak lama berselang dipanggillah gadis ini untuk menemui Maradika Mamuju tapi apa yang terjadi gadis ini menolak karena merasa tidak mempunyai pakaian yang bagus untuk menghadap Maradika dan akhirnya alasan penolakan itupun disampaikan oleh pabicara ke Maradika. Maradika kemudian menyuruh pabicara untuk membawakan gadis tersebut kerumah Maradika dan akhirnya gadis tersebut dengan diantar oleh kerabat dan orang tuanya untuk menemui Maradika. Setibanya dirumah Maradika dengan hanya memakai sarung yang terbuat dari kulit pelepah nipah atau karoro, maka Maradika memberinya  sebuah sarung untuk dipakai gadis itu, namun maksud pemberian Maradika ini sebagai simbol kalau gadis itu sudah menjadi miliknya karena memakai sarung milik raja tersebut,  namun bagi keluarga Tosinyonyoi itu dianggap sebagai penghinaan atau celaan kepada masyarakat Sinyonyoi di Kurungan Bassi dan terjadilah perselisihan antara keduanya. Namun setelah melalui negosiasi yang panjang maka disepakatilah sebuah perdamaian dengan menikahkan Maradika dengan Topelipa Karoro sebagai syarat Maradika menawarkan akan menyerahkan emas dan beberapa budak sebagai passorongan (akad)  pernikahan tetapi ditolak oleh orang Sinyonyoi dan mengajukan permintaan lain yaitu agar Maradika memberikan izin kepada masyarakat Sinyonyoi untuk dapat mengambil dan menangkap ikan di sepanjang pantai dan perairan dari Tomuki sampai pantai Ahuni dan diberi hak menangkap ikan di sungai Rimuku dan Bonepaas dan jika ada hasil tangkapannya akan dibagikan ke Maradika. Tradisi menangkap ikan oleh masyarakat Sinyonyoi ini disebutkan hanya dengan menggunakan akar dan buah buahan beracun sebagai umpan ikan disungai sungai besar dan dalam.

Dari pernikahan inilah Pue Tonipali dan Topelipaq Karoro lahir seorang anak tunggal namun tidak disebutkan namanya, setelah utusan Maradika berangkat untuk mengambil Lasalaga di kerajaan Badung selama berbulan bulan perjalanan ke Pulau Bali disaat itupula Maradika Pue Tonipali telah wafat sebelum utusan itu tiba di Mamuju kembali, karena perjalanan itu memakan waktu yang cukup lama. Karena keadaan kerajaan sementara waktu tidak ada anak keturunan raja yang dianggap paling berhak selain Lasalaga, maka keadaan semakin kacau dan memburuk, maka diangkatlah anak raja yang ada di Mamuju dari pernikahan dengan Topelipaq Karoro anak Tokayyang dipadang.

Setibanya utusan kerajaan Mamuju yang tidak membuahkan hasil karena Lasalaga tidak diperkenankan dibawa pulang ke Mamuju oleh ibunya, maka terjadilah perselisihan dikerajaan Mamuju karena yang harus menjadi raja adalah Lasalaga menurut pertimbangan adat dikerajaan Mamuju sehingga kembalilah diutus seorang cerdik pandai atau Sakkaq Manarang untuk membawa Lasalaga kembali dengan cara apapun, sehingga atas kepandaian Sakkaq Manarang membuat ide dengan membujuk hati Lasalaga kecil agar tergiur dengan permainan yang terbuat dari emas dan akhirnya berhasil membawa kabur anak raja ke Mamuju.

Dan Tomejammeng diangkat sebagai raja setelah diambil secara diam diam dari keraton kerajaan Badung sehingga cerita ini melegenda sampai hari ini di masyarakat Mamuju. Setelah menjadi raja di Mamuju, Lasalaga kemudian kembali lagi ketanah kelahirannya di Badung Bali. Lasalaga sangat sakti karena keris manurung memberinya kekuatan untuk menaklukkan beberapa kerajaan kecil di tanah dewata Bali begitupun setelah kembali ke Mamuju Lasalaga berniat mengalahkan kerajaan kerajaan kecil seperti Kurri-kurri dan Managallang di Padang yang sebelumnya memang memusuhi kerajaan Mamuju.

Baca: Lasalaga Dan Mitos Melegenda

Setelah mengalahkan Kurri-kurri dan Managallang dibawalah orang orang Kurri-kurri ke kampung Kasiwa dan berbaur menjadi masyarakat dikasiwa dan sebahagian dijadikan pengawal dan budak dikerajaan atau disebut juga joaq, sedangkan Maradia Alu, I Tagalung-galung diangkat jadi Pue Tobone-bone dan  orang-orang Managallanglah yang diangkat jadi bangsawan dalam hadat Pue Tokasiwa karena mengikuti budaknya Tokurri-kurri di Kasiwa dan Maradika Managallang diangkat sebagai Paqbicara dikerajaan Mamuju. Setelah itu Lasalaga menikah dengan sepupu sekalinya dan lahirlah anak dengan gelar Puatta ri Mamuju dan Puatta ri Mamuju inilah yang menetapkan batas batas wilayah kerajaan Mamuju setelah mengadakan perjanjian dengan Tobara di Kalumpang, Puatta di Mamuju kemudian melahirkan Tomatindo disambayanna, Tomatindo disambayanna kemudian menurunkan anak Tomatindo dipuasana dan Tomatindo dipuasana atau I Salarang Daeng Mallari menikahi Puatta Boqdi anak Maradia Sendana dan melahirkan Tomalluang ceraq dan Tomalluang ceraq melahirkan Tomatindo dibuttu paqja.

Sebagai kesimpulan bahwa berbicara sejak kapan dimulainya pemerintahan kerajaan di Mamuju kita sudah bisa mengambil sebuah kesimpulan jika dikatakan masa awal adanya sebuah struktur pemerintahan kerajaan tentunya itu sudah ada dimulai masa I Tanroaji tiga generasi dibawah masa dari Pue Tonipali bahkan jauh dibawah di masa raja Gowa ke-2 Tomessalangga Barayya menjadi raja di Gowa dan diketahui masa kekuasaan raja ini antara tahun 1300 atau lebih. Jadi kira kira umur kerajaan Mamuju ini seumur dengan kerajaan di Gowa, namun banyak yang mengira di masa Tomejammenglah kerajaaan Mamuju mulai terbentuk, sebagian pendapat menganggap itu karena Lontrak menjelaskan bahwa Tomejammeng lah yang membesarkan kerajaan tapi bukan mendirikan kerajaan Mamuju, kita tau bahwa kerajaan Mamuju sudah ada sebelum Tomejammeng menjadi raja bahkan jauh sebelumnya. (Arman Husain. 2021)

Sumber;
- Lontrak Pattodioloang Mandar,
- Lontrak Balanipa Mandar, Transliterasi oleh A.M. Mandra.1986
- Lontrak Kurungan Bassi, Milik Hasbi. (Transliterasi dari Tim Sekolah Lontara' Sulawesi Barat).
- Lontrak Tabulahan,
- Buku; Mengenal Mandar Sekilas Lintas I. Perjuangan Rakyat Mandar Sulawesi Selatan Melawan Belanda (1667-1949) oleh Saiful Sinrang.1994.
- Mengenal Mandar Sekilas Lintas oleh Saiful Sinrang. 1994
- Indische Taal, Land en Volkenkunde, NOTA BEVATTENDE GEGEVENS BETREFENDE HET LANDSCAP MAMOEDJOE.
- Silsilah Bangsawan Kerajaan kerajaan di Mandar. Oleh; Saiful Sinrang.
- Pidato Hari Jadi Majene, Memuat Sejarah Kerajaan Sendana, Banggae, Pamboang dan Puraloa di Malunda'/ Ulumanda'. Oleh Darmansyah. 2018.
- Selayang Pandang, Sejarah Adat Kabupaten Mamuju Oleh; Drs. H. I. Abd. Rachman Thahir, MPA.
- Sumber wawancara,

Login


Rabu, 19 Januari 2022

Bajak Laut di Perairan Barat Sulawesi

Dinamika kegiatan pelayaran niaga menjadi kompleks sejak munculnya para perompak atau bajak laut dari Bugis, Makassar, Mandar, Mindanao, dan Tobelo. Mereka melakukan aktivitasnya di Perairan Gorontalo dan di kawasan Teluk Tomini. Pada 27 September 1677 dalam kunjungan Gubernur Maluku, Robertus Padtbrugge di Gorontalo, masalah perompakan menjadi pembahasan penting dalam pertemuan dengan olongia (Maha Raja Kerajaan) Gorontalo. Padtbrugge menyampaikan bahwa keamanan di Teluk Tomini dan pantai utara Sulawesi sangat rawan bagi pelayaran niaga. Hal ini menunjukkan banyaknya bajak laut berkeliaran di Teluk Tomini dan sulit ditaklukan oleh raja-raja di kawasan Teluk Tomini. Untuk mengamankan pelayarannya di Gorontalo, maka VOC mengontrol langsung kawasan Gorontalo agar mencegah timbulnya kerugian lebih besar terjadi pada perdagangannya. Selanjutnya VOC menekan olongia Gorontalo melalui perjanjian antara lain dalam Pasal 8 bahwa olongia Gorontalo wajib menjaga keamanan di wilayah perairannya dari gangguan bajak laut dan menyerahkan para bajak laut yang ditangkap kepada VOC (Juwono dan Hutagalung, 2005:74-75).

Para bajak laut Bugis dan Makassar lebih memiliki strategi serta cara kerja yang lebih baik. Sepanjang wilayah operasinya, mereka mendirikan pangkalan-pangkalan yang letaknya strategis di antara pelabuhan besar atau dekat dari transit kapal dagang. Pangkalan mereka antara lain di Kalangkangan untuk mengawasi Pelabuhan Tolitoli, dan Kwandang. Pangkalan Kalangkangan berfungsi untuk mengawasi dan mencegat kapal-kapal yang memuat barang dagangan dari Gorontalo ke Manado. Setiap pangkalan mempunyai seorang pemimpin, dan mereka membentuk jaringan dan saling membantu ketika menghadapi musuhnya (Juwono dan Hutagalung 2005:108-109).

Hubungan dagang antara bangsawan Gorontalo dengan pedagang Bugis dan Mandar tetap terjalin. Pada 1750-an, pedagang Mandar dipimpin Daeng Mapata memperluas kegiatan operasinya di daerah-daerah pesisir Gorontalo sebagai daerah produksi emas, hasil bumi, dan hutan. Daeng Mapata memiliki hubungan dagang dengan Olongia Botutihe dan bangsawan Gorontalo. Daeng Mapata membeli hasil-hasil hutan dari Gorontalo dan paling utama adalah kayu, lilin, madu, damar, getah, dan rotan (Juwono dan Hutagalung 2005:166). Selain itu, pedagang Bugis, Mandar, dan Makassar membeli barang dagangan yang dilarang diperdagangkan oleh VOC, seperti senjata, amunisi, candu, dan budak merupakan komoditas utama yang menghasilkan keuntungan besar.

Akibat hubungan kerjasama antara olongia dan bangsawan Gorontalo dengan para bajak laut Bugis dan Mandar menyebabkan VOC mengalami kerugian besar. VOC menuduh olongia melanggar perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dengan mengusir para bajak laut dari daerahnya. Sebaliknya, benteng ”Nassau” VOC yang letaknya di Muara Sungai Gorontalo dengan sejumlah pasukan untuk mengamankan kepentingan politik dan ekonominya ternyata tidak banyak membantu mencegah aktivitas para bajak laut. Begitu pula kurangnya jumlah kapal VOC di Perairan Gorontalo menyebabkan tidak efektifnya pengawasan dan kontrol terhadap para bajak laut di kawasan Gorontalo.

Pada awal abad ke-18, terjadi peningkatan jumlah perompakan kapal-kapal dagang VOC yang dilakukan bajak laut dari Bugis, Makassar, dan Mindanao. Munculnya pelaut Mandar sebagai bajak laut telah menambah semakin meningkatnya perompakan di kawasan Gorontalo. Untuk mempermudah pengawasan di Teluk Tomini, bajak laut Mandar mendirikan pangkalannya di Gorontalo. Laporan semakin banyaknya perompakan dan munculnya bajak laut Mandar menyebabkan Gubernur Maluku, Pieter Rooselaar di Ternate mengambil tindakan untuk mengusirnya. Pada 1702, Rooselaar mengirim utusannya ke olongia Gorontalo agar melarang para pelaut asing menetap di Gorontalo. Namun permintaan Rooselaar mendapat penolakan dari Olongia Walangadi. Faktor ini menyebabkan Rooselaar memerintahkan untuk menyerang basis pangkalan bajak laut Bugis, Mandar, dan bajak laut lainnya di Gorontalo. Kemudian dikirim armada VOC dibantu penduduk Tambokan ke Gorontalo, VOC berhasil mengalahkan dan mengusir para bajak laut di Gorontalo. Pada 25 Februari 1703, setelah para bajak laut tidak kembali lagi ke Gorontalo, kemudian Rooselaar memerintahkan untuk menarik kembali armadanya ke Ternate (Juwono dan Hutagalung, 2005:110-111).

Meningkatnya perompakan di kawasan Teluk Tomini, mengakibatkan VOC mengalami kerugian besar. Gubernur Maluku memerintahkan olongia Gorontalo yang mempunyai pengaruh di kawasan Teluk Tomini agar menyelesaikan keamanan di daerah itu. Walaupun olongia Gorontalo menyetujuinya, tetapi sebagian besar bangsawan menolaknya. Para bangsawan menyadari tekanan politik VOC melalui perjanjian atau kontrak yang telah disepakati sangat merugikan posisi Gorontalo. Mereka lebih suka berhubungan dengan pedagang Bugis dan Mandar yang lebih banyak memberi keuntungan daripada menjalin hubungan dagang dengan VOC. Tidak mengherankan beberapa bangsawan memberikan kemudahan bagi aktifitas para bajak laut dalam melakukan penyelundupan dan memberi perlindungan, sehingga bajak laut sulit ditangkap oleh VOC.

Pada 1820, akibat tekanan patroli kapal perang Belanda maka bajak laut Tobelo melakukan persekutuan dengan bajak laut Mindanao, mereka mempunyai persembunyian dan logistik (Velthoen 2010:204). Perahu bajak laut Tobelo memuat sampai 10 orang dan terdapat 4 atau 5 perahu dalam melakukan kegiatan ekspedisinya. Untuk ekspedisi yang lebih penting atau besar, beberapa perahu kecil diikat bersama untuk membentuk pasukan yang lebih besar di bawah perintah seorang pimpinannya. Pada 1870, terdapat 48 perahu bajak laut Tobelo beroperasi di Teluk Tomini. Kemudian dipisah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan menyebar ke perairan timur Sulawesi (Velthoen, 2010:214).

Perompakan di Teluk Tomini dan pantai utara Sulawesi sering dianggap sebagai bentuk menentang penindasan oleh pihak yang lemah terhadap mereka yang mendominasi. Para bajak laut di Teluk Tomini yang terkenal selama abad ke-19 adalah Tombolotutu seorang bangsawan yang kemudian diangkat menjadi raja Muton dan dianggap oleh penduduk setempat sebagai tokoh yang bangkit menentang dominasi ekonomi Pemerintah Belanda (Juwono dan Hutagalung, 2005:21).

Laporan umum Asisten Residen Gorontalo dalam catatanya tahun 1824, 1832, 1833, dan 1834 terjadi jumlah perompakan yang cukup besar. Kemudian Asisten Residen Gorontalo menyurat kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tentang aktifitas para bajak laut, dan meminta bantuan Gubernur Jenderal untuk secepatnya menumpas para bajak laut yang telah menggangu pelayaran dan perdagangan di wilayahnya (ANRI, 1976). Laporan Asisten Residen Gorontalo ditanggapi serius Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia dengan menempatkan sebuah kapal perang di Perairan Gorontalo (Rosemberg, 1865:15). 

Pertengahan abad ke-19, pelaut Mandar telah menempati kedudukan penting dalam kegiatan penyelundupan dan perdagangan gelap. Mereka melakukan hubungan dagang dengan orang Kaili, Bugis, dan Gorontalo. Bajak laut Mandar membawa kain, candu, dan beras ke Gorontalo. Setelah memasukkan barang dagangannya, kemudian mengangkut damar, lilin, teripang, sagu, dan kulit kerang (Juwono dan Hutagalung, 2005:322-323).

Sumber: Disadur dari tulisan Hasanuddin tentang "Pelayaran Niaga, Bajak Laut, Perkampungan Pedagang Di Gorontalo".


Minggu, 10 Oktober 2021

Ahmad Kirang Sang Pembebas

Peristiwa ini terjadi pada 28 Maret 1981, ketika sebuah pesawat Garuda DC-9 Woyla dengan rute penerbangan Jakarta – Medan dibajak saat transit di Palembang. Pembajak yang menyamar sebagai penumpang tersebut terdiri dari lima orang. Para pembajak yang menyebut dirinya sebagai Komando Jihad memaksa kapten Pilot Herman Rante dengan todongan pistol agar mengalihkan penerbangan ke Colombo, Srilangka.

Karena kehabisan bahan bakar, pesawat sempat mendarat di Bandara Penang, Malaysia untuk mengisi bahan bakar selanjutnya mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Selama empat hari drama pembajakan berlangsung di Bandara Don Muang, Bangkok. Pembajak yang dipimpin oleh Imran bin Muhammad Zein tersebut menuntut pemerintah Indonesia agar membebaskan 80 angggota kelompok Komando Jihad yang telah ditangkap karena beberapa kasus atau teror yang mereka lakukan.

Tuntutan pertama yang diajukan para pembajak, mula-mula hanya meminta 20 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981 dibebaskan. Tuntutan pembajak/ teroris tersebut tidak dipenuhi pemerintah Indonesia. Pesawat yang memiliki rute Jakarta-Medan itu dibajak pada pukul 10.10 WIB sesaat setelah tinggal landas dari Palembang.

Saat itu pesawat yang transit di bandara Talangbetutu, Palembang baru saja lepas landas menuju Bandara Polonia, Medan. Pesawat kemudian dibelokkan menuju bandara internasional Penang, Malaysia.

Awalnya, belum diketahui siapa pelaku pembajakan pesawat dengan nomor penerbangan 206 itu. Departemen Pertahanan dan Keamanan yang menangani pembajakan itu hanya mengatakan pembajak dapat berbahasa Indonesia.

Ada 48 penumpang di dalam pesawat. Sebanyak 33 orang terbang dari Jakarta, dan sisanya berasal dari Palembang. Pesawat itu diterbangkan oleh pilot Kapten Herman Rante dan kopilot Hedhy Djuantoro.

Pesawat tiba di Penang pukul 11.20 WIB, dan pesawat itu minta bahan bakar tanpa memberitahukan tujuan berikutnya. Sejatinya, pesawat yang dibajak tersebut hanya melakukan penerbangan di dalam negeri, tidak memiliki rute penerbangan internasional.

Pada waktu pesawat diisi bahan bakar, oleh para pembajak, pesawat tersebut dikunci. Sebelum berangkat pada pukul 16.07 waktu Penang, seorang perempuan bernama Panjaitan yang berusia 76 tahun, diturunkan dan pesawat terbang menuju Bangkok, Thailand.

Ketika akhirnya tuntutan disampaikan, laporan agak simpang siur tentang kemauan mereka, dan tuntutan mereka pun rupanya terus meningkat.

Tuntutan pertama yang diajukan para pembajak, mula-mula hanya meminta 20 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981 dibebaskan.

Namun, para pembajak mengajukan tuntutan baru lagi, dari yang awalnya 20 tahanan, meningkat menjadi 80 orang dan bertambah lagi menjadi 84. Tak hanya itu, pembajak juga meminta didatangkannya pesawat yang lebih besar supaya dikirim ke Bangkok dengan awak pesawat baru yang mengetahui rute-rute internasional. Batas waktu tuntutan dari pembajak tersebut adalah hingga Minggu, 29 Maret 1981 pukul 21.30 waktu Bangkok.

Tenggat waktu yang diberikan pembajak pun terlewati dan permintaan mereka belum terpenuhi. Tidak terjadi apa-apa meskipun sempat terdengar kabar bahwa para pembajak akan meledakkan pesawat jika tuntutan mereka tidak terpenuhi. Senin, 30 Maret petang, tuntutan meningkat lagi dengan tambahan uang 1,5 juta dollar AS di atas semua tuntutan sebelumnya.

Dalam upaya membebaskan para sandera, pada 29 Maret 1981 di Mako Kopassandha Cijantung, dibentuk satu tim pembebasan sandera yang dipimpin oleh Letkol Inf Sintong Pandjaitan. Salah satu prajurit terbaik dan terpilih untuk melaksanakan misi itu adalah Capa Ahmad Kirang.

Sebagai prajurit Komando, maka tugas adalah kehormatan. Tidak ada kata ragu dan terdadak bagi Capa Ahmad Kirang dan sekitar 30 prajurit Kopassandha lainnya karena sebagai prajurit satuan tempur, mereka siap ditugaskan kemanapun dan kapanpun juga bila negara membutuhkannya.

Pada 30 Maret 1981 Tim Kopassandha yang ditugaskan sebagai pasukan antiteror itu diberangkatkan menuju Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand dengan misi membebaskan sandera. Drama pembajakan penumpang pesawat Woyla yang menegangkan itupun akhirnya berakhir dengan upaya pembebasan sandera yang dilakukan Tim Kopassandha, yang dipimpin Letjen TNI (Purn) Sintong Pandjaitan yang saat itu masih berpangkat Letkol Inf pada 31 Maret 1981. 

Dalam misi tersebut Ahmad Kirang yang mendapat tugas bersama rekannya Pelda Pontas Lumban Tobing dengan penuh keberanian dan tanpa keraguan melakukan aksi terobos memasuki pesawat melalui pintu utama belakang pesawat sesuai dengan instruksi komando pada jam 02.45 dini hari.

Tugas itu berhasil dilakukan dengan mendobrak pintu hingga terjadi aksi tembak menembak selama 3 menit antara teroris/pembajak dengan personel Kopassandha. Dalam waktu bersamaan tim lainnya juga menyerbu melalui pintu samping yang juga langsung terlibat dalam baku tembak dengan teroris. Dalam baku tembak tersebut Capa Ahmad Kirang dan rekannya Pelda Pontas Lumban Tobing yang awalnya sempat kesulitan membedakan mana yang teroris dan penumpang terkena terkena tembakan. Sedangkan dipihak pembajak sebanyak empat teroris berhasil dilumpuhkan dan tewas di lokasi kejadian.

Namun nahas, Capa Ahmad Kirang tertembak diperut bagian bawah yang tidak tertutup rompi antipeluru yang dikenakan sehingga tubuhnya luka bersimbah darah. Walau sempat dilarikan ke rumah sakit Bangkok namun nyawanya tidak dapat diselamatkan. Ahmad Kirang gugur dalam menjalankan tugas mulia menyelamatkan sandera. Sedangkan rekannya Pelda Tobing yang tertembak di bagian rusuk dan tangan, nyawanya masih tertolong dan selanjutnya menjalani perawatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

Saat upaya pembebasan berlangsung ketika para penumpang diminta turun, salah seorang pembajak yang diketahui bernama Zulfikar sempat melemparkan granat tangan untuk meledakkan pesawat berikut penumpang. Namun karena pin granat tidak sempurna tercabut maka granat tidak jadi meledak, penumpang dan pesawat pun selamat.

Lettu Achmad Kirang

Letkol Inf Sintong Pandjaitan dalam memoarnya menuturkan, Ahmad Kirang masuk melalui pintu belakang dimana tangga diturunkan secara elektrik. Proses turunnya tangga pesawat memerlukan waktu karena harus mengikuti ritme mekanik. Proses turunnya tangga pintu belakang yang memakan waktu memberikan kesempatan bagi pembajak yang duduk di bagian belakang kanan pesawat untuk bersiap menembak.

Begitu tangga turun, maka Capa Ahmad Kirang diikuti oleh penyergap 2 dengan cepat menaiki tangga pesawat untuk menyerbu. Setelah Capa Kirang muncul di dalam kabin pesawat, dia terkena tembakan pistol di bagian perut yang tidak terlindungi rompi antipeluru. Pemegang sabuk hitam Karateka Dan I itu langsung jatuh. Mungkin rompi antipeluru yang dikenakan oleh Capa Kirang bukan rompi versi militer sehingga hanya melindungi badan sampai di pinggang.

Sedangkan Pilot Herman Rante yang juga tertembak teroris sempat diupayakan pertolongan pertama dengan melarikannya ke rumah sakit Bangkok namun nyawanya tidak tertolong. Peristiwa pembebasan yang dikenal dengan sebutan Operasi Woyla telah mengharumkan nama Indonesia di hadapan dunia internasional. Dunia mengakui kehebatan prajurit TNI AD sebab pembebasan tersebut salah satu yang tercepat di dunia yakni hanya berlangsung sekitar 3 menit saja. Akan tetapi Indonesia khususnya TNI AD dihari yang penuh pujian itu juga bersedih sebab salah seorang prajurit terbaiknya gugur dalam peristiwa tersebut.

Atas keberanian dan kepahlawanannya yang ditujukkan Capa Ahmad Kirang, pemerintah menganugerahi almarhum Bintang Sakti Mahawira Ibu Pertiwi sesuai Kepres No. 013/TK/Tahun 1981 tanggal 2 April 1981 dan kenaikan pangkatnya dua tingkat secara anumerta. Sedangkan tim lainnya memperoleh Bintang Sakati Mahawira Ibu Pertiwi dan kenaikan pangkat luar biasa satu tingkat lebih tinggi dari pangkat semula. Dengan upacara militer, pada 2 April 1981 jasad Lettu Anumerta Ahmad Kirang dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.


Lettu Anumerta Ahmad Kirang dilahirkan di Mamuju, Sulawesi Barat, Pada 8 November 1941. Dia adalah personel Kopassus. Saat berpangkat Capa Kopassus, dia mendapat tugas dan kepercayaan dari pimpinan TNI AD sebagai salah seorang tim pembebasan sandera pesawat Garuda DC- 9 yang dibajak oleh kelompok teroris. Tanpa keraguan tugas mulia tersebut dia tunaikan. Tugas tersebut terlaksana dengan sukses, namun Capa Ahmad Kirang menjadi korban dan gugur dalam menunaikan tugas tersebut.


Sumber:

1. Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarhad)

2. Buku Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando

3. Diolah dari berbagai sumber

Senin, 04 Oktober 2021

Perjalanan Sejarah Mamuju dalam Linimasa 1827 - 1908


­­1827 – Seorang pimpinan bajak laut yang bernama Sindana mendatangi Kampung Mamuju dengan menggunakan 45 kapal dan membakar Mamuju sebahagian rumah rumah penduduk dan menangkap raja Mamuju bersama keluarganya, beberapa orang terbunuh dalam peristiwa ini dan ratusan orang ditawan baik anak anak dan perempuan dan sebagian penduduk melarikan diri ke gunung gunung dan hutan. Para perampok dan bajak laut ini beraksi menggunakan bendera Kerajaan Belanda untuk mengelabui musuhnya.

1828 – September, John Dalton tiba di Pantai kerajaan Mamuju dan selanjutnya tinggal selama 10 minggu. Dua buah kapal Belanda di rebut dan dijarah dan semua awak kapal dibunuh oleh para perompak dari Kaeili, peristiwa ini terjadi diperairan Mamuju.

1850 – 10 Juni, Penandatanganan Kontrak Panjang oleh Maradika Mamuju/ Tapalang, Abd. Malem Dg Lotong (Malloanging) di Mamuju. Setelah penandatangan kontrak oleh raja raja di Mandar lainnya pada 30 Mei 1850 di Balanipa, oleh perintah Pemerintah Hindia Belanda atas inisiatif Kapten J. Noorduyn bersama Ajun Sekertaris Urusan Pribumi Wijnmalen.

1855 – 30 Agustus, Gubernur Sulawesi mengirim surat kepada Maradika Mamuju sehubungan dengan informasi bahwa perompak TUAN LOLO telah meninggalkan Palu dan berangkat menuju Karama di Mamuju, oleh karena itu Maradia Mamuju dituntut untuk menangkap dan menyerahkan TUAN LOLO kepada pemerintah Kolonial Hindia Belanda, bersamaan surat kepada Mayor Kalangkangan di tanggal yang sama agar memberikan bantuannya untuk menangkap perompak TUAN LOLO, akan tetapi setelah kedatangan Kapal “Ambon” yang membawa surat surat itu, perompak Tuan LOLO segera meninggalkan Mamuju setelah beberapa minggu berada di Mamuju dan membawa serta beberapa orang dari Mamuju.( Arsip Makassar No. 354:125; Sinrang, 1994-37)

1856 – 14 Maret, Penduduk Tanjung Kait dan Tapalang melakukan perompakan terhadap kapal milik Abdul Rahman, Kapal bermuatan barang niaga itu berangkat dari Makassar menuju Kutai Kalimantan Timur, Namun kapal tesebut kandas dan karam di dekat pantai Tanjung Kait pada 25 Maret. Dan pada 6 April 1856 Kapal “admiraal Kingsbergen” berangkat ke Mamuju menemui Maradia Mamuju dan Tapalang, Abdul Malem Dg Lotong untuk menyampaikan surat Gubernur Sulawesi yang antara lain berisi tuntutan ganti rugi atas perompakan yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar(Arsip Makassar No.1/10; Arsip Makassar No. 354:125). Pada 16 Mei 1856 Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan surat keputusan Nomor. 2 tentang pemberian kewenangan kepada Gubernur Sulawesi untuk melakukan tindakan tegas apabila Maradia Mamuju dan Tappalang tidak mengabulkan semua tuntutan yang diminta oleh pihak pemerintah Belanda. Pada 10 Juni 1856, pasukan ekspedisi yang terdiri dari kekuatan angkatan laut dan angkatan darat yang terdiri atas kapal perang “fregat” Palembang, kapal uap “admiraal van Kingsbergen dan kapal penjelajah nomor 18 /50, dan satu kapal perang yang mengangkut 25 serdadu dan seorang perwira. Setibanya ditempat segera memberikan ultimatum jika selama 36 jam tuntutan ganti rugi tidak dikabulkan maka kedua kampung itu akan dibumi hanguskan dan dihancurkan. Karena tidak ada penyelesaian oleh pemangku hadat saat itu Nae Sukur menyatakan tidak mampu membayar ganti rugi tersebut, maka dalam jangka waktu yang sudah ditentukan telah habis penghancuran Tapalang dan Tanjung Kait dilakukan tanpa ada perlawanan yang berarti, penghancuran Tapalang dilakukan pada tanggal 19 Juni dan Tanjung Kait dilakukan pada 20 Juni 1856. (Arsip Makassar No. 354:126).
 
1862 – Januari Maradia Tapalang Mamuju, Malloanging Dg Lotong mengundurkan diri dari kekuasaannya karena telah berusia lanjut, kemudian dia digantikan oleh menantunya Dg Samani bergelar Tomessu Ri Atapang di Tapalang dan di Mamuju digantikan oleh anaknya bernama Abdul Rahman Nae Sukur. Dari tanggal 14 sampai 31 Oktober 1862, para raja – raja di Mandar antara lain: Binuang, Majene, Pamboang, Sendana, Tappalang dan Mamuju datang di Makassar untuk menandatangani pembaharuan kontrak panjang.

1863 – 24 Maret, Kontrak dengan Kerajaan Mamuju ditandatangani oleh Maradia Nae Sukur disetujui dan disahkan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda di Makassar. 02 Oktober, kembali terjadi perampokan dan penjarahan kapal dagang milik Belanda di Tapalang. Pemerintah Belanda kembali menuntut ganti rugi namun tidak ditanggapi oleh Maradia Tapalang Dg Samani.
 
1864 – Maradia Tapalang Dg Samani digulingkan oleh Hadat Kerajaan dan digantikan oleh Pua Caco Tamanggong Gagallang Patta ri Malunda. Oleh pemerintah Hindia Belanda memanggil Pua Caco untuk datang Ke Makassar untuk mendapatkan persetujuan dari pengangkatannya sebagai Maradia Tapalang dan atas tuntutan ganti rugi perampokan kapal niaga Belanda di tahun sebelumnya namun berulang kali Pua Caco menolak perintah tersebut.
 
1867 – Maradia Tapalang Pua Caco Tomanggong Patta ri Malunda dimaksulkan dari jabatannya sebagai Maradia Tapalang disebabkan penolakan oleh Gubernur Sulawesi karena belum mendapatkan persetujuan Pemerintah Hindia Belanda atas Pelantikannya sebagai raja Tapalang dan belum memberikan pernyataan kesiapan atas pelanggaran kontrak sebelumnya (1862).
 
1868 – 03 Februari, Maradia Mamuju Nae Sukur merangkap sebagai Maradia Tapalang menandatangani Kontrak Panjang dengan Pemerintah Hindia Belanda.

1874 – 03 Oktober, Setelah Daeng Mattona meninggal dunia pada 1844 sebagai penggantinya putranya bernama Baso Lapatigo baru mendapat pengakuan pemerintah kolonial sebagai Kapten Bugis Kalangkangan melalui surat keputusan tanggal 03 Oktober 1874 sementara putranya bernama Laraga diangkat sebagai pembantunya dengan pangkat Letnan.

1875 – terjadi perseteruan antara Maradia Mamuju/ Tapalang Nae Sukur dengan beberapa bangsawan kerajaan terutama perseteruan dengan Maradia Pangale ,I Samanangi karena Maradia Pangale ini dianggap melanggar Kontrak Perjanjian dengan melakukan tindakan penjualan manusia sebagai budak dan melakukan perampokan dan pembajakan diperairan kerajaan Mamuju.

1883 – Salah satu Putra Nae Sukur yaitu Andi Tjalla menentang Maradia Pangale dan Pattalunru, memeranginya dengan mengerahkan prajurit kerajaan Mamuju untuk menyerang Maradia Pangale bersama Pattalunru dan pasukannya di Karama, namun naas Andi Tjalla tewas terbunuh oleh pasukan Maradia Pangale dan Pattalunru dan sisa prajurit kerajaan Mamuju melarikan diri.

1888 – 5 Juni, atas desakan Maradia Mamuju Nae Sukur kepada Pemerintah Hindia Belanda melalui asisten residen Mandar untuk memberikan bantuan penumpasan kelompok Maradia Pangale I Samanangi dan Pattalunru di Kawasan hutan Karama, maka dikirimlah sejumlah pasukan angkatan laut dengan kekuatan tiga kapal perang MS Koning Der Nederlanden, Prins Hendrik Der Nederlanden dan MS Madura. Dan sehari setelah tiba di Karama Kapal Kapal perang Belanda mulai menggempur habis habisan pasukan Maradia Pangale dikawasan Karama namun tidak ada perlawanan dari pihak Maradia Pangale dan Pattalunru karena sebelumnya telah bersembunyi lebih jauh kedalam kawasan hutan Karama. Baru sebulan kemudian baru diterima kabar bahwa pasukan Pattalunru telah menyerahkan diri kepada pemerintah Belanda.

1889 – 03 Mei, Penandatanganan Kontrak Tambahan ( Suppletoir Contrac) oleh Maradia Mamuju Nae sukur, yang berisi tentang pengaturan hal- hal kabel telegraf dan jalur darat. Dan disaat yang sama Nae Sukur Mundur sebagai Maradia Tapalang dan digantikan oleh Andi Musu Paduwa Limba.

1890 - 18 April, Pengesahan kontrak panjang ditandatangani oleh Maradia Mamuju Nae Sukur dan disetujui oleh Gubernur Hindia Belanda. Tentang Eksplorasi dan Eksploitasi Mineral serta menegaskan agar rakyat Mamuju tunduk pada kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.

1895 – 29 Juli, Maradia Nae Sukur meninggal dunia dan digantikan oleh menantunya Karanene berdasarkan keputusan Hadat Kerajaan Mamuju.

1896 – 30 September, dibuat Kontrak perjanjian pendek yang baru karena peralihan kekuasaan Maradia Mamuju yang menyerupai model kontrak sebelumnya Tahun 1894. Dan pada saat yang sama dilakukan pengukuhan Maradia Karanene sebagai raja Mamuju oleh Hadat dan atas kewenangan Pemerintah Hindia Belanda melalui asisten residen yang ditunjuk yaitu Johan Albert G. Brugman.

1899 – 15 Desember, Penandatanganan Kontrak Tambahan (Suppletoir Contract) oleh Maradia Mamuju Nae Sukur, tentang Eksplorasi dan eksploitasi pertambangan dan mineral di wilayah Mamuju.

1900 – 22 Maret, Pengesahan Kontrak Tambahan (Suppletoir Contrac) dan disetujui untuk dilaksanakan.

1905 – 08 November, Maradia Mamuju Karanene menandatangani perjanjian Kontrak Tambahan (Suppletoir Contract) yang mengatur tentang hak pajak bea masuk barang ekspor dan impor dan melaksanakan manajemen pelabuhan dan pengamanan di pelabuhan kerajaan Mamuju. – 13 Juni, Maradia Karanene kembali menandatangani kontrak politik baru yang mengikuti model kontrak Celebes yang mengacu pada model kontrak tambahan tentang pembayaran pajak jalur dagang sebagai pengganti pajak senilai 4200 f. per tahun yang belum dilunasi pihak kerajaan Mamuju.

1906 – 22 Februari, Pengesahan Kontrak Tambahan (Suppletoir Contract) tahun sebelumnya yang ditandatangani oleh Maradia Karanene.- 07 Juni, terjadi perseteruan sengit antara Andi Mattona dengan seorang kerabatnya bernama Sibakkaranna dipicu oleh keputusan Maradia Mamuju yang dianggap menyengsarakan hidup rakyatnya.

1907 - Juni, atas keputusan Gubernur Hindia Belanda untuk segera menduduki ibu kota Mamuju dan memerintahkan Komandan datasemen untuk menangani urusan sipil dibawah arahan dan pengawasan dari asisten residen di Mandar. 07 September, Beberapa anggota bangsawan Kerajaan Mamuju seperti: Sirul Alamin Daenna Maccirinnae, Pattolo Lipu, Pattana Bone dan yang lain melakukan perlawanan di Hulu Sungai Budong Budong dan membangun sebuah Benteng pertahanan yang disebut Benteng Kayu Mangiwang, 28 – September, Benteng Kayu Mangiwang takluk dan dikuasai oleh militer Belanda dibawah pimpinan datasemen Marsose Letnan Kolonel Van Der Zwaan. 20 Agustus, terjadi pertempuran di Ladang Kassa Mamuju perlawanan yang dipimpin oleh Punggawa Malolo (Tapanggujuk Dg Matinja) dan Atjo Ammana Andang.

1908 – 23 Agustus, Daenna Maccirinnae dan Mantaroso Pattana Bone yang tertangkap di pertempuran di Benteng Kayu Mangiwang muara Sungai Budong Budong, di asingkan ke Jepara, Semarang.

Arman Husain 2021
Login