Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Jumat, 02 Maret 2018

Sejarah Awal Masuknya Islam di Mamuju


Kabupaten Mamuju terdapat beberapa agama dan aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya seperti agama : Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik, Konghuchu, dan lain sebagainya, keberagaman  ini dimungkinan karena Kabupaten Mamuju berada pada posisi perlintasan jalur darat maupun laut sehingga kawasan ini merupakan spot pertemuan berbagai agama, suku bangsa dan kebudayaan seperti dari jalur darat antara Manado, Palu dan Makassar, sedangkan jalur laut dari Samarinda, Balikpapan (Kalimantan Timur) Manado (Sulawesi Utara), Bali, NTB dan Maluku.

Agama Islam adalah agama mayoritas penduduknya  adalah dengan jumlah sekitar 222.396, Jiwa, Kristen Protestan 25.267, Katholik 2.368 , Hindu 2.375, Budha 104. Dengan ditunjang tempat peribadatan dalam menjalankan kegiatan-kegiatan keagamaan masing-masing telah terbangun tempat peribadatan yang keseluruhan dari agama yang ada di kabupaten Mamuju adalah seperti Masjid yang ada di kabupaten Mamuju sekitar 482 buah, Mushollah 82, Gereja 179 dan Pura 17 serta 1 buah Wihara. [1

Khusus Agama Islam, dipercaya telah berkembang di Mamuju sekitar abad ke- 17 Masehi, dengan berdirinya beberapa mesjid tertua seperti yang ada di Kecamatan Mamuju kelurahan Binanga yaitu masjid Nurul Muttahida yang dulunya bernama masjid Kayu langka sesuai dengan namanya lokasi masjid ini yaitu berada di lingkungan Kayu Langka, masjid ini diperkirakan berdiri pada tahun 1928, yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat Kasiwa, kemudian pada tahun 1936, oleh K.H Muhammad Thahir (Annangurutta’ Imam lapeo) masjid tersebut dilakukan penentuan arah kiblat dan beberapa kali pemugaran dan perluasan areal masjid.


Masjid Kajulangka
Mesjid Kayulangka



Tahun 1951 diadakan perbaikan kembali yang pelopori oleh beberapa tokoh masyarakat kasiwa dan kayu langka yaitu Mansyur Anwar, Padjallo, Salima, Abd. Rasyid dan Nurdin Dg Gassing. Pada tahun 1957 bangunan ini pernah terbengkalai karena ditinggalkan oleh masyarakat Mamuju yang mengungsi meninggalkan kampung halamannya karena kekacauan yang terjadi akibat pemberontakan DI/TII pimpinan Abdul Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan yang saat itu membakar habis seluruh bangunan-bangunan rumah, pasar-pasar, gudang dan istana kerajaan Mamuju semuanya habis terbakar kecuali bangunan Masjid ini. 

Adapula yang menduga bahwa masuknya Islam di Mamuju diperkirakan dibawa oleh seorang penyiar Islam bernama Puatta Karama,(belum ada sumber yang menguatkan pendapat tersebut sehingga kami juga belum bisa menjadikan sumber penulisan disini - Red). Sebenarnya dari awal sejarah masuknya Islam ke Sulawesi sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-15 Masehi antara tahun 1465-1485, Sulawesi Selatan sebagai daerah maritim sangat memungkinkan masuk Islam bersamaan dengan masuknya Islam di daerah-daerah pesisir lainnya, mengingat letak gorgrafisnya termasuk jalur perdagangan.


Mengenai masuknya Islam pertama kali di daerah Mandar terdapat tiga pendapat seperti berikut :
1. Menurut Lontara Balanipa, masuknya Islam di Mandar dipelopori oleh Abdurrahim Kamaluddin yang juga dikenal sebagai Tosalamaq Dibinuang. Ia mendarat di pantai Tammangalle Balanipa. Orang pertama ialah Kanne Cunang Maraqdia ‘Raja’ Pallis, kemudian Kakanna I Pattang Daetta Tommuane, raja Balanipa ke-4. 
2. Menurut Lontara Gowa, masuknya Islam di Mandar dibawa oleh Tuanta Syekh Yusuf (Tuanta Salamaka).
3. Menurut salah sebuah surat dari Mekah, masuknya Islam di Sulawesi (Mandar) dibawa oleh Sayid Al-Adiy bergelar Guru Ga’de berasal dari Arab keturunan Malik Ibrahim dari Jawa. 

Pendapat yang kedua diatas secara tidak langsung ditolak oleh Dr. Abu Hamid yang dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa Syekh Yusuf Tuanta Salamaka tidak pernah kembali ke Sulawesi Selatan sejak kepergiannya ke Pulau Jawa sampai dibuang ke Kolombo Srilanka, kemudian ke Afrika Selatan dan meninggal di sana. Diperkirakan agama Islam masuk ke daerah Mandar berlangsung dalam abad-16. Tersebutlah para pelopor yang membawa dan menyebarkan Islam di Mandar yaitu Syekh Abdul Mannan (Tosalamaq Disalabose), Sayid Al-Adiy, Abdurrahim Kamaluddin, Kapuang Jawa (R.M Suryodilogo) dan Sayid Zakariah.  

Syekh Abdul Mannang bergelar Tosalama di salabose, pembawa dan penganjur Islam pertama masuk diwilayah Kerajaan Banggae, diperkirakan pada abad ke- 16. Pada masa itu yang menjadi raja Banggae adalah Tomatindo di Masigi putra Daetta Melattoq Putri Tomakaka/ Mara'dia Totoli, membangun dan menjadi imam pertama Masjid Salabose, Banggae. Makamnya terletak di arah utara, 500 meter dari Mesjid tersebut. Sayid Al-Adiy dimakamkan di Lambanan, Kec. Balanipa, Kab. Polman. Abdurrahim Kamaluddin adalah penganjur Islam di kerajaan Balanipa Mandar. Ada juga yang mengatakan bahwa dialah kemudian bergelar Tosalamaq Tuan di Binuang.

Islam masuk di kerajaan Pamboang, dibawa oleh Sayyid Zakariyah, di awal abad ke-17. Sayyid (Syekh) Zakariyah bergelar Puang Disomba berasal dari Magribi jazirah Arab. Raja Pamboang masa itu I Salarang I Daeng Mallari  atau digelar Tomatindo di Sambayanna  yang kawin dengan Puatta Boqdi putri raja Pamboang. Raja Pamboang, permaisuri dan seluruh warga istana semuanya masuk Islam. Sesudah meninggal raja Pamboang itu bergelar Tomatindo diagamana/ disambayanna yang bermakna orang yang meninggal dalam beribadah (sholat), Permaisurinya bergelar Tomecipo’ (Orang yang Bertelekung) atau orang yang memakai mukenah. Menurut Andi Syaiful Sinrang, Islam dibawa masuk pertama kali oleh I Salarang Tomatindo diagamana yang pernah menjadi Mara’dia Pamboang pada tahun 1608 dan telah menjalin hubungan persahabatan dengan Aji Makota Sultan Kutai VI (1545-1610), yang dibuktikan dengan adanya syair:
“...tenna diandi ada’na, nama’ anna’ jambatang, anna silosa, Kute anna Pamboang...”
Artinya; andaikata ada jalan akan kubuat jembatan agar tersambung  kutai dengan pamboang. Dan yang paling terkenal, syair lagu “Tengga-tenggang Lopi”, yang didalamnya mensiratkan orang Mandar tidak mau makan babi yang dihidangkan bangsawan di Kutai. 

Raden Mas Suryo Adilogo adalah panglima perang Kerajaan Islam Mataram pada masa raja Sultan Agung. Sebenarnya, kedatangan Raden Mas Suryo Adilogo ke Mandar itu karena malu kepada rajanya atas kegagalannya mengusir Belanda di Batavia pada 1628-1629. Pada saat lari inilah, ia kemudian memutuskan untuk mencari gurunya, Syekh Zakaria. Awalnya, ia ke Kalimantan, lalu ke Mamuju, dan akhirnya bertemu gurunya di Pamboang. Setelah menetap di Pamboang, Mara'dia Pamboang menikahkannya dengan salah seorang putrinya, Icci Puang. Ia meninggal di Galung-galung, Desa Lalampanua, Kecamatan Pamboang. 

Akselerasi proses awal islamisasi di Sulawesi Selatan sangat ditunjang dengan sistem pendekatan yang dilakukan oleh tiga orang tokoh penganjur Islam di daerah ini (Trio Datuk), masing-masing Datuk Patimang, Datuk ri Tiro dan Datuk ri Bandang. Mereka menerapkan pendekatan adaptasi struktural dan kultural yakni lewat jalur struktur birokrasi (raja) dan adat-istiadat serta tradisi masyarakat lokal. Menurut Taufik Abdullah, keharusan adaptasi kultural dan struktural semacam itu, merupakan hal yang wajar dalam proses akulturasi. Karena, makin besar rasa pengorbanan dari penerima maka seretlah proses itu berjalan. Sebaliknya, makin terasa persambungan dengan tradisi, makin lancar proses tersebut berjalan.

Dengan masuknya Islam raja Gowa, hasrat Datuk ri Bandang untuk mengembangkan Islam secara maluas ke seluruh kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan memperoleh peluang untuk terealisasikan. Datuk ri Bandang mengajurkan raja Gowa I Mangngarangi Daeng Manra’bia (Sultan Alauddin Tomenanga ri Gaunna) untuk mengajak raja-raja lain menerima agama Islam. Anjuran tersebut diterima baik oleh raja Gowa. Beliau mengirim surat ajakan disertai dengan hadiah berupa emas ke 20 kerajaan yang dianggap berpengaruh di Sulawesi Selatan pada waktu itu. 
Sementara itu di Mandar Islam diterima pertama sebagai agama resmi oleh Kerajaan Balanipa pada tahun 1615 bertepatan dengan masa pemerintahan raja Balanipa ke 4 bernama Daetta Tumuanne (Ahmad Rahman, 1990). Jadi masuknya Islam di Mamuju (Mandar) secara pasti diperkirakan pada akhir abad ke-16, sampai pada awal abad ke 17 M. Yang pada saat itu raja yang memerintah di Mamuju adalah I Salarang (La Salaga) dan kemudian diteruskan oleh keturunannya yaitu Tomatindo di Puasana.
Lambatnya pengaruh Islam di Mamuju ini disebabkan masih kuatnya pengaruh animisme di masyarakat Mamuju saat itu. Ini adalah fakta sejarah yang mengungkapkan bahwa masuknya Islam di pertama kali di Mamuju, bukan seperti yang dianggap oleh penulis sejarah yang lain bahwa Islam di bawa oleh para pedagang Melayu atau Arab secara langsung ke Mamuju.

Seperti halnya dengan kedatangan penyiar Islam dari tanah Minangkabau lainnya seperti Ince Mandacingi yang kawin dengan anak bangsawan di Mamuju, Jamarro Dg Macanning yang kemudian menurungkan gelar Pam Ince di kabupaten Mamuju ini diperkirakan pada tahun 1925 pada saat terjadinya gerakan perjuangan melalui organisasi-organisasi Islam Muhammadiyah dan Sarekat Dagang Islam di Mamuju yang terlebih dahulu telah datang di Sulawesi Tengah (Donggala) tahun 1912.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar