Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Senin, 28 Mei 2018

Melacak Jejak Sejarah Pelabuhan Passokkoran

“…..Beru-beru di Mapilli,bungatanjong di Buku,allappasannapandeng di Tomadio….”
Jauh sebelum kedatangan bangsawan Gowa, Karaeng Toa atau Andi Masseua didaerah Buku tahun 1804. Buku pada abad pertengahan masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Passokkorang yang pusat pemerintahannya disekitar tepi sungai Maloso (Sekarang Kecamatan Mapilli), dimana wilayah kekuasaannya dikenal dengan sebutan Tallu Boccoe (Mapilli, Tomadio, dan Buku), hal ini dibuktikan dengan penggalan lirik lagu di atas.
Ketika seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Passokkorang dihancurkan oleh Kerajaan Balanipa sekitar abad 16 M, rakyat Passokkorang di wilayah Tallum Boccoe diusir dari daerahnya masing-masing. Buku yang kala itu merupakan pusat pelabuhan Kerajaan Passokkorang dan termasuk daerah yang ramai permukiman warga, dibumi hanguskan oleh Kerajaan Balanipa dan sekutunya. Semenjak itulah Buku menjadi kota mati hingga kelak dikemudian hari ditemukan kembali oleh Karaeng  Toa dari Gowa.
Passokkorang pada masanya termasuk salah satu kerajaan besar yang disegani dan ditakuti banyak kerajaan di tanah Mandar, termasuk Kerajaan Balanipa. Kebesaran kerajaan ini terletak pada kekuatan ekonomi, politik, dan strategi perang yang canggih, terutama pada rajanya yang dihormati oleh rakyatnya.
Kekuatan ekonomi dan politik Passokkorang ini terimpresi dalam wujud kerajaan maritim yang mengendalikan jalur perdagangan laut di Mandar sebelum kerajaan Balanipa transmutasi menjadi kerajaan maritim (dulu kerajaan agraris), bahkan sebelum Kerajaan Gowa juga menjadi kerajaan Maritim di Somba Opu pada abad 16 M. Kalau penulisan sejarah selama ini menganggap Kerajaan Gowa satu-satunyakerajaan maritim terbesar setelah runtuhnya Majapahit di pulau Jawa, maka hal itu dapat ditampik dengan bukti arkeologi buatan bangsa Cina yang banyak ditemukan di daerah Buku sekitar tahun 1960-70-an.
 Benda arkeologi atau porselin yang dimaksud itu berupa keramik, guci, mahkota dan sebagainya, yang disinyalir benda arkeologi tersebut adalah buatan pada masa Dinasti Tang (abad 7-10 M), Dinasti Song (abad 10-13 M), Dinasti Yuan (abad 13-14 M), dan Dinasti Ming (abad 14-17 M) di Cina. Penemuan benda-benda arkeologi ini setidaknya dapat meneguhkan rasio kita bahwa pada abad pertengahan di wilayah ini terdapat kerajaan maritim yang menjalin kontak dagang dengan kerajaan-kerajaan besar di negeri Cina. Dalam penelitian Anthony Reid di bukunya “Asia Tenggara DalamKurunNiaga 1450-1680”, menyebutkan bahwa perdagangan porselin lebih dominan dilakukan oleh pedagang-pedagang dari Cina di Nusantara.
Akan tetapi, jika menelusuri jejak pelabuhan Passokkorang di Buku dengan menggunakan pendekatan literatur-literatur sejarah mapan dan mainstream yang banyak ditulis oleh para sejarawan seperti misalnya karya monumental Tome Pires, Suma Oriental, maka tentu hasilnya adalah nihil. Bahkan dengan pendekatan ini, mustahil kita akan menemukan sebuah peta jalur perdagangan yang mengarah pada kawasan teluk Mandar, tepatnya di daerah Buku.
Namun sekali lagi, hasil penemuan benda-benda arkeologi sekiranya sudah geliat membuktikan keberadaan pelabuhan di Buku, dengan disertai kondisi ekologi yang tepat sebagaimana pendapat teoritis dari Adrian B. Lapian dalam bukunya, “Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke 16-17”. Menurutnya, bukti keberadaan sebuah pelabuhan terletak pada faktor ekologinya yang normal dimana kapal berlabu dengan aman, terlindung dari ombak besar, angin, dan arus yang kuat, serta tempat yang paling baik untuk berlabuh adalah pada sebuah sungai, agak jauh kedalam.
Teori Adrian B. Lapian di atas sepertinya suitabledengan kondisi ekologi Buku yang memang memiliki volume angin dan ombak yang sedang, tidak keras, serta keberadaan sungai Maloso (Mapilli) yang berbadan lebar dapat dijadikan tempat berlabu kapal-kapal besar. Selain pendekatan teoritis, bukti lain yang menguatkan keberadaan pelabuhan di Buku adalah adanya memori kolektif berupa sejarah lisan (oral history)masyarakat setempat tentang kapal-kapal besar yang sandar di bibir pantai buku sekitar tahun 1960-an.
Sungai Maloso pada awal abad 20 juga masih digunakan sebagai sarana lalu-lintas kapal-kapal besar. Pada masa ini juga pelabuhan di Buku dikenal dengan sebutan “Gudang”, yaitu tempat penyimpanan kopra yang akan dijual ke Makassar, Kalimantan dan Jawa. Kapal-kapal besar pada masa itu silih berganti datang mengangkut kopra-kopra yang telah tersedia di Gudang. Bahkan sebelum alat transportasi darat mulai marak muncul, masyarakat Mandar banyak menggunakan kapal yang tersedia di pelabuhan Buku untuk menuju ke Makassar dan daerah-daerah lainnya.
Jadi dapat dipastikan bahwa pelabuhan Kerajaan Passokkorang di Buku sebagai pusat perdagangan yang ramai didatangi oleh pedagang-pedagang dari Cina. Kontak dagang ini menjadikan Passokkorang sebagai kerajaan maritim terbesar yang dalam teks sejarah Mandar kebesarannya memang diakui oleh kerajaan-kerajaan lain di tanah Mandar. Mungkin atas kebesarannya itulah menjadi alasan atau motif politik oleh Kerajaan Balanipa dan sekutunya untuk menyerang dan menghancurkan Kerajaan Passokkorang.
Sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan, daerah Buku menjadi permukiman yang padat penduduk dan masyarakatnya masuk dalam kategori strata sosial dan ekonomi yang cukuptinggi, sebab barang-barang yang diperdagangkan oleh bangsa Cina pada masa itu tidak mudah dijangkau oleh masyarakat secara umum. Barang-barang impor dari Cina ini, di mata masyarakat Buku nampaknya diperlakukan begitu istimewa, karena dikubur bersama dengan jasad orang mati. Disini terlihat adanya pengaruh budaya Cina terhadap masyarakat Buku sangat kuat.
Tradisi menguburkan barang-barang berharga bersama jasad manusia bukanlah khas tradisi Indonesia, melainkan tradisi bangsa Cina. Tradisi ini lahir dari proses interaksi perdagangan ekonomi yang berumur lama, sehingga tak pelak pengaruhnya sampai pada hal ihwal kematian. Padahal sebelumnya tradisi kematian bagi orang-orang di Mandar tidak bersifat materialistik, yakni dengan tidak membawa barang-barang yang tergolong istimewa ke alam kubur.
Demikian halnya disebutkan dalambuku The Bugiskarya Christian Pelras, bahwa mayat orang-orang Bugis biasanya dikremasi dan abunya disimpan di dalam guci kemudian dikubur bersama porselin serta barang-barang berharga lain milik orang mati tersebut.
Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan tidak berfungsinya pelabuhan di Buku. Pertama, faktor politik; penghancuran dan penguasaan oleh Kerajaan Balanipa terhadap Passokkorang dimotivasi oleh kepentingan politik untuk menguasai jalur perdagangan di wilayah bagian Barat Sulawesi. Kedua, faktor ekologi; faktor ini tidak semata-mata penyebabutan alam, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor politik, yaitu pasca penghancuran Passokkorang, Buku menjadi kota mati hingga menyebabkan sungai maloso tak terawat yang pada akhirnya mengalami pendangkalan karena endapan tanah semakin meninggi serta bibir pantai Buku mulai ditumbui banyak bebatuan.  
Kini pelabuhan di Buku telah tiada dan muara sungai Maloso lama telah lama tertimbung tanah, akan tetapi bekas sungai Maloso ini masih dapat diidentifikasi dengan jelas meskipun sudah ditumbuhi banyak pohon rumbiah, pohon kelapa dan coklat milik petani. Menurut penuturan masyarakat setempat, terakhir kali sungai ini berfungsi sebagai jalur perdagangan sekitar abad 19 M. Namun masyarakat tidak mengetahui dengan pasti kapan sungai ini mulai tidak berfungsi. Sebagian masyarakat juga mengungkapkan bahwa sungai ini lambat laun mulai ditinggalkan oleh masyarakat ketika sungai Maloso yang hilirnya ke wilayah Buku bagian Barat yang berdekatan dengan daerah Garassi (bandingkan dengan Gresik di Jawa) dan Mampie (sekarang) mulai melebar dan membesar. Penting untuk diketahui bahwa sungai ini dulunya hanya sebagai saluran air (irigasi) yang digali oleh masyarakat untuk mengairi sawah-sawah mereka.
Membesarnya irigasi ini mungkin karena faktor tanah yang terbilang labil dan lebih didominasi oleh pasir. Orang tua penulis masih ingat jelas waktu masih kecil, katanya, seringkali melintasi irigasi ini hanya dengan melompat. Jadi, matinya alur sungai Maloso di Campalagian dan Buku kemungkinan besar disebabkan semakin melebarnya dan membesarnya arus air pada irigasi tersebut.
Sungaimati yang disebutkan di atas, sekarang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Lembang, dikedalaman 50-100 meter masih terdapat pasir-pasir yang membuktikan kalau Lembang dulunya adalah sungai besar dan salah satu pusat peradaban yang ada di tanah Mandar. Masyarakat sekitar banyak yang memanfaatkan pasirnya untuk keperluan pembangunan. Temuan lain yang lagi-lagi membuktikan secara gamblang, yakni adanya tanah galian untuk pencarian benda-benda arkeologi di sepanjang tepi sungai ini, tepat berada di Dusun Para’baya dan Belulu. 
Referensi
Adrian B. Lapian, PelayarandanPerniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17, Cet; I (Komunitas Bambu: Depok, 2008)
Anthony Reid, Asia Tenggara DalamKurunNiaga 1450-1680, Cet; I (YayasanObor Indonesia: Jakarta, 1992)
ChristianPelras, The Bugis, terj. ManusiaBugis, Cet. I, (Nalar: Jakarta, 2006)
Darmawan Mas’ud, Puang dan Daeng: Kajian Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar, Cet. I, (Yayasan Menara Ilmudan Zadahaniva Publishing: Makassar dan Surakarta, 2014)
Mattulada, MenyusuriJejak Kehadiran Makassar DalamSejarah, Cet; II (Ombak: Yogyakarta, 2011)
H.M. Tanawali Azis Syah, Sejarah Mandar: Polewali, Majene, dan Mamuju, Jilid I, II, dan III (Ujung Pandang: Yayasan al-Azis, 1998)
Mawardi Dumair Kasim, Bunga Rampai Litaq Mandar, 2004.
Wawancara dengan Ibu Saturi
Wawancara dengan Djamaluddin
Wawancara dengan Kaco. H
Oleh: SuardiKaco. H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar