Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Kamis, 16 Agustus 2018

Mengenang Kembali Sejarah Kelam Pemberontakan DI/TII Di Mamuju (bag.1)


Ini hanyalah sebuah memori masa kelam yang pernah terjadi dan dialami oleh orang tua dan masyarakat Mamuju kala itu, tampaknya tak bisa dihapus dalam ingatan walaupun usia mereka sudah terlihat pikun untuk mengingat segala peristiwa yang mereka sudah alami, ada kenangan akan betapa beratnya hidup dengan segala resiko dan ketakutan yang mereka hadapi, tepat tahun 1956 peristiwa ini bermula sejak Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia yang biasa dikenal dengan sebutan DI/TII merupakan gerakan separatisme yang menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia. DI/TII memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 7 Agustus 1949 dengan Negara Islam Indonesia sebagai negara yang diproklamasikan. Panglima tertinggi Negara Islam Indonesia adalah S. M. Kartosuwurjo.


Abd. Kahar Mudzakkar



Di Mamuju tidaklah berbeda dengan tempat lain di Sulawesi dalam menanggung penderitaan akibat pemberontakan DI/TII ini, masyarakat Mamuju harus menanggung kerugian yang tidak sedikit, hampir seluruhnya rumah-rumah masyarakat dibakar termasuk harta benda yang ada dirampok dan dimusnahkan seperti halnya benda-benda pusaka, lontara, rumah, rakyat setiap hari mendapat ancaman teror pembunuhan jika ada anggota masyarakat yang melanggar aturan yaitu berupa larangan mengkomsumsi makanan seperti gula pasir, mentega, rokok, memakai sutra dan emas. Sebelum kota Mamuju ditinggalkan penduduknya hanya kota Mamuju yang tidak sempat dikuasai oleh gerombolan DI/TII secara keseluruhan, baru pada tahun 1957 Kota Mamuju dan beberapa kampung ditinggalkan oleh pemerintah dan rakyatnya karena keadaan sudah semakin genting. 

Rakyat Mamuju dengan terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya untuk menyelamatkan diri dari gangguan gerombolan DI/TII, hanya dengan bekal seadanya. Pemerintah dan masyarakat Mamuju kebanyakan mengungsi ke Pare-pare (Sul-sel) dan sebagian lagi mengungsi kedaerah lain seperti Kalimantan (Balikpapan, Samarinda, Bontan) dan ke daerah Sulawesi Tengah (Palu) tepat tanggal 31 Desember 1957. Pemerintah yang mengungsi ke Pare-pare dengan menggunakan tiga buah kapal motor yaitu KM. Permata. Kisah dalam pengungsian inilah kenangan masyarakat Mamuju yang sangat memilukan, dikisahkan dalam pengungsian itu hampir seluruh masyarakat Mamuju yang ada dikapal KM Mutiara itu menangis karena tidak tega harus meninggalkan kampung halamannya dan akan mengungsi kekampung lain yang belum tentu menjamin kehidupan mereka nantinya disana, sehingga Kapal Permata diplesetkan namanya dengan "Kapal Air Mata" oleh masyarakat Mamuju kala itu. 

Akibat gangguan pemberontakan DI/TII maka pemerintah RI memberlakukan SOB (Staat van Orlog Beleg) yaitu masa keadaan darurat perang. Untuk mengamankan Sulawesi Selatan pemerintah pusat mendatangkan pasukan dari Jawa antara lain dari Batalyon 422/Diponegoro, Batalyon Poncowati, Pasukan Badak Hitam dari Aceh, Pasukan Tengkorak Putih dari Batalyon Siliwangi dan Batalyon Bukit Barisan. Di wilayah Komando Daerah Teritorium VII (Kodam yang kemudian berubah menjadi Kodam XIV /Hasanuddin, lalu kembali menjadi Kodam VII/Wirabuana) ditempatkan Pasukan TNI antara lain Batalyon 710 dipimpin Andi Selle Mattola dengan wilayah Korem Pinrang, Polewali, Majene dan Mamuju. Batalyon 720 dipimpin Andi Sose dengan wilayah Korem Tator, Luwu dan Enrekang.

Setelah Kahar Mudzakkar bersama pasukan CTN-nya masuk hutan pada bulan Agustus 1951 dan memberontak terhadap pemerintah pusat, keamanan di Afdeling (Kabupaten) Mandar di bawah kontrol pasukan TNI/APRIS, Badak Hitam yang dipimpin wakil komandan Ulung Sitepu. Batalyon Badak Hitam bermarkas di Majene dan satu kompi pasukan Badak Hitam ditempatkan di Mamasa dengan komandan kompinya Sersan Ishak Faqih.

Di daerah Kabupaten Mandar pada masa CTN, terbentuk pula pasukan CTN Mandar. Ketika Kahar bersama pasukan CTN masuk hutan memberontak dan berafiliasi ke DI/TII, pasukan CTN Mandar terpecah . Kompi CTN pimpinan Taher Ahmad bergabung ke DI/TII sedang pasukan S. Mengga (mantan Bupati Polmas) bergabung ke TNI. Pasukan S. Mengga ini dikenal sebagai pasukan Mandar Baru dan menjadi bagian dari Batalyon G (002) Pare-Pare yang saat itu dipimpin oleh Ahmad Lamo (mantan Gubernur Sulsel). Pasukan Mandar Baru inilah yang pada masa pergolakan melawan Batalyon 710 ikut membantu rakyat Mamasa khususnya pasukan OPR-PUS.

Paulus Sila’ba seorang pemuda asal Taora, pada mulanya adalah seorang guru Sekolah Rakyat di Leling, Galumpang (Kalumpang), Budong-Budong. Ia direkrut untuk menjadi pasukan CTN Mamuju. Setelah CTN pimpinan Kahar berafiliasi ke DI/TII Kartosuwirjo, ia masih ikut sebagai anak buah Pa’ Bicara Bulan (Komandan DI/TII Mamuju). Ketika ada konferensi DI/TII di Bonepute, Palopo tahun 1956, Paulus Sila’ba diutus mengikuti konperensi tersebut. Setelah mengikuti konperensi tersebut pak Sila’ba terkejut dan mulai sadar bahwa pasukan DI/TII – Kahar ternyata melawan pemerintah pusat dan akan mendirikan Negara Islam Indonesia. Ia berencana desersi dari kesatuannya namun rencananya diketahui oleh komandannya sehingga bersama 2 orang temannya asal Mangki yang akan desersi juga, ia ditangkap dan dipenjarakan di Mamuju.

Menurut rencana komandan DI/TII, beliau bersama temannya akan ditembak mati namun seorang penjaga penjara bersimpati kepada beliau. Penjaga penjara memberi tahu bahwa mereka akan dihukum mati, jadi harus segera melarikan diri. Penjaga penjara itu memberinya sepucuk senjata semi otomatis Sten bersama beberapa pelurunya dan sebuah parang (parang bersejarah ini kemudian suatu saat setelah Mamasa aman dihadiahkan kepada pak Bombing di Mamasa). Menjelang subuh pak Sila’ba dan temannya melarikan diri melalui hutan lebat menuju ke Galumpang. Dari Galumpang beliau selanjutnya ke Mamasa dan melapor ke Komandan Kompi 710, Letnan Andi Wela yang bertugas di Mamasa (Andi Wela menggantikan Letnan Jatiman yang sedang mengikuti pendidikan di Jawa). Dengan tetap membawa Sten miliknya, ia menghadap di markas 710 di Lembang Banggo. Ia melaporkan diri sebagai laskar DI/TII yang melarikan diri dari kesatuan dan ingin membantu tugas pasukan 710 mengamankan daerah Mamasa dari gangguan DI/TII. Andi Wela sebagai komandan kompi 710, Tentara Nasional Indonesia resmi waktu itu ingin membentuk pasukan sipil untuk membantu tugasnya. Paulus Sila’ba ditugasi kembali ke Galumpang dan segera membentuk pasukan OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat) Galumpang.

OPR adalah pasukan sipil yang dipersenjatai untuk membantu tugas-tugas Angkatan Perang (APRI) maka pasukan ini mengadakan latihan militer. Yohanis Latuheruw, mantan serdadu KNIL Belanda menjadi salah seorang pelatih OPR dan juga pelatih OPD Jadi OPR adalah organisasi sipil bersenjata bentukan TNI dan merupakan organisasi spontan rakyat untuk mempertahankan diri dari gangguan gerombolan DI/TII dengan prinsip sukarela untuk membantu tugas-tugas TNI mengamankan negara Republik Indonesia. Jadi OPR adalah organisasi legal bentukan negara waktu itu. Selanjutnya Paulus Sila’ba kemudian membentuk satu pasukan OPR di daerah Galumpang. Dalam Arsip OPR yang ditandatangani oleh Paulus Sila’ba tentang OPR-PUS, organisasi ini kemudian diberi nama OPR Kondosapata. Untuk melancarkan Organisasi maka diadakan kurier (penyelidik) ke daerah-daerah musuh untuk mempelajari tindakan-tindakan musuh yang sedang merajalela itu. (Demikian arsip OPR yang ditulis oleh Paulus Sila’ba).

Sejak tahun 1960 Kodam VI/ Siliwangi telah mengeluarkan perintah untuk melakukan operasi-operasi militer guna menumpaskan DI/TII di daerah-daerah yang dijadikan pusat DI/TII di Jawa Barat. Operasi-operasi dilakukan oleh semua unsur ABRI, Angkatan Darat dan Angkatan Kepolisian serta semua rakyat dari berbagai lapisan yang tergabung dalam Organisasi Pertahanan Rakyat yang dikenal dengan sebutan “Pagar Betis”. Operasi ini bertujuan mengepung pusat-pusat yang dijadikan markas DI/TII serta menghancurkan dan membersihkan sisa-sisa pengaruh dari DI/TII.

Operasi-operasi penumpasan DI/TII ditingkatkan dengan Doktrin Perang Wilayah karena pimpinan DI/TII Kartosuwiryo belum juga tertangkap. Selain operasi Pagar Betis, dilakukan juga operasi Bharatayuda dan operasi Pamungkas. Operasi Bharatayuda dilakukan oleh satuan Kodam Siliwangi, Kodam Diponegoro, Kodam Brawijaya, dan Brigade Mobil Polri beserta rakyat. Untuk mengimbangi kekuatan dari satuan gabungan yang dilakukan untuk menumpas DI/TII, DI/TII melakukan tindakan yang mengakibatkan keresahan yang terjadi pada rakyat. Mereka melakukan terror dan pembunuhan terhadap warga yang tidak membantu DI/TI. Sehingga hal itu mengakibatkan pembakaran dan penjarahan terhadap rumah-rumah warga.

Bersambung....

2 komentar:

  1. Mohon maaf nampaknya ada
    kesalahan dalam tulisan ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan bagian mana yang salah krn ada data sumber rujukan dalam penulisan

      Hapus