Ini hanyalah sebuah memori masa kelam yang pernah terjadi dan dialami oleh
orang tua dan masyarakat Mamuju kala itu, tampaknya tak bisa dihapus dalam
ingatan walaupun usia mereka sudah terlihat pikun untuk mengingat segala peristiwa
yang mereka sudah alami, ada kenangan akan betapa beratnya hidup dengan segala
resiko dan ketakutan yang mereka hadapi, tepat tahun 1956 peristiwa ini bermula
sejak Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia yang biasa dikenal dengan
sebutan DI/TII merupakan gerakan separatisme yang menentang Negara Kesatuan
Republik Indonesia. DI/TII memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 7
Agustus 1949 dengan Negara Islam Indonesia sebagai negara yang diproklamasikan.
Panglima tertinggi Negara Islam Indonesia adalah S. M. Kartosuwurjo.
Abd. Kahar Mudzakkar |
Di Mamuju tidaklah berbeda dengan tempat lain di Sulawesi dalam menanggung penderitaan akibat pemberontakan DI/TII ini, masyarakat Mamuju harus menanggung kerugian yang tidak sedikit, hampir seluruhnya rumah-rumah masyarakat dibakar termasuk harta benda yang ada dirampok dan dimusnahkan seperti halnya benda-benda pusaka, lontara, rumah, rakyat setiap hari mendapat ancaman teror pembunuhan jika ada anggota masyarakat yang melanggar aturan yaitu berupa larangan mengkomsumsi makanan seperti gula pasir, mentega, rokok, memakai sutra dan emas. Sebelum kota Mamuju ditinggalkan penduduknya hanya kota Mamuju yang tidak sempat dikuasai oleh gerombolan DI/TII secara keseluruhan, baru pada tahun 1957 Kota Mamuju dan beberapa kampung ditinggalkan oleh pemerintah dan rakyatnya karena keadaan sudah semakin genting.
Rakyat Mamuju dengan terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya untuk menyelamatkan diri dari gangguan gerombolan DI/TII, hanya dengan bekal seadanya. Pemerintah dan masyarakat Mamuju kebanyakan mengungsi ke Pare-pare (Sul-sel) dan sebagian lagi mengungsi kedaerah lain seperti Kalimantan (Balikpapan, Samarinda, Bontan) dan ke daerah Sulawesi Tengah (Palu) tepat tanggal 31 Desember 1957. Pemerintah yang mengungsi ke Pare-pare dengan menggunakan tiga buah kapal motor yaitu KM. Permata. Kisah dalam pengungsian inilah kenangan masyarakat Mamuju yang sangat memilukan, dikisahkan dalam pengungsian itu hampir seluruh masyarakat Mamuju yang ada dikapal KM Mutiara itu menangis karena tidak tega harus meninggalkan kampung halamannya dan akan mengungsi kekampung lain yang belum tentu menjamin kehidupan mereka nantinya disana, sehingga Kapal Permata diplesetkan namanya dengan "Kapal Air Mata" oleh masyarakat Mamuju kala itu.
Akibat gangguan pemberontakan DI/TII maka
pemerintah RI memberlakukan SOB (Staat van Orlog Beleg) yaitu masa keadaan
darurat perang. Untuk mengamankan Sulawesi Selatan pemerintah pusat
mendatangkan pasukan dari Jawa antara lain dari Batalyon 422/Diponegoro,
Batalyon Poncowati, Pasukan Badak Hitam dari Aceh, Pasukan Tengkorak Putih dari
Batalyon Siliwangi dan Batalyon Bukit Barisan. Di wilayah
Komando Daerah Teritorium VII (Kodam yang kemudian berubah menjadi Kodam XIV
/Hasanuddin, lalu kembali menjadi Kodam VII/Wirabuana) ditempatkan Pasukan TNI
antara lain Batalyon 710 dipimpin Andi Selle Mattola dengan wilayah Korem
Pinrang, Polewali, Majene dan Mamuju. Batalyon 720 dipimpin Andi Sose dengan
wilayah Korem Tator, Luwu dan Enrekang.
Setelah Kahar Mudzakkar bersama pasukan CTN-nya masuk hutan pada bulan Agustus
1951 dan memberontak terhadap pemerintah pusat, keamanan di Afdeling
(Kabupaten) Mandar di bawah kontrol pasukan TNI/APRIS, Badak
Hitam yang dipimpin wakil komandan Ulung Sitepu. Batalyon Badak Hitam bermarkas
di Majene dan satu kompi pasukan Badak Hitam ditempatkan di Mamasa dengan
komandan kompinya Sersan Ishak Faqih.
Di daerah Kabupaten Mandar pada masa CTN, terbentuk
pula pasukan CTN Mandar. Ketika Kahar bersama pasukan CTN masuk hutan
memberontak dan berafiliasi ke DI/TII, pasukan CTN Mandar terpecah . Kompi CTN
pimpinan Taher Ahmad bergabung ke DI/TII sedang pasukan S. Mengga (mantan
Bupati Polmas) bergabung ke TNI. Pasukan S. Mengga ini dikenal sebagai pasukan
Mandar Baru dan menjadi bagian dari Batalyon G (002) Pare-Pare yang saat itu
dipimpin oleh Ahmad Lamo (mantan Gubernur Sulsel). Pasukan Mandar Baru inilah
yang pada masa pergolakan melawan Batalyon 710 ikut membantu rakyat Mamasa
khususnya pasukan OPR-PUS.
Paulus Sila’ba seorang pemuda asal Taora,
pada mulanya adalah seorang guru Sekolah Rakyat di Leling, Galumpang (Kalumpang), Budong-Budong. Ia direkrut untuk menjadi pasukan CTN
Mamuju. Setelah CTN pimpinan Kahar berafiliasi ke DI/TII Kartosuwirjo, ia masih
ikut sebagai anak buah Pa’ Bicara Bulan (Komandan DI/TII Mamuju). Ketika ada
konferensi DI/TII di Bonepute, Palopo tahun 1956, Paulus Sila’ba diutus
mengikuti konperensi tersebut. Setelah mengikuti konperensi tersebut pak
Sila’ba terkejut dan mulai sadar bahwa pasukan DI/TII – Kahar ternyata melawan
pemerintah pusat dan akan mendirikan Negara Islam Indonesia. Ia berencana
desersi dari kesatuannya namun rencananya diketahui oleh komandannya sehingga
bersama 2 orang temannya asal Mangki yang akan desersi juga, ia ditangkap dan
dipenjarakan di Mamuju.
Menurut rencana komandan DI/TII, beliau
bersama temannya akan ditembak mati namun seorang penjaga penjara bersimpati
kepada beliau. Penjaga penjara memberi tahu bahwa mereka akan dihukum mati,
jadi harus segera melarikan diri. Penjaga penjara itu memberinya sepucuk
senjata semi otomatis Sten bersama beberapa pelurunya dan sebuah parang (parang
bersejarah ini kemudian suatu saat setelah Mamasa aman dihadiahkan kepada pak
Bombing di Mamasa). Menjelang subuh pak Sila’ba dan temannya melarikan diri
melalui hutan lebat menuju ke Galumpang. Dari Galumpang beliau selanjutnya ke
Mamasa dan melapor ke Komandan Kompi 710, Letnan Andi Wela yang bertugas di
Mamasa (Andi Wela menggantikan Letnan Jatiman yang sedang mengikuti pendidikan
di Jawa). Dengan tetap membawa Sten miliknya, ia menghadap di
markas 710 di Lembang Banggo. Ia melaporkan
diri sebagai laskar DI/TII yang melarikan diri dari kesatuan dan ingin membantu
tugas pasukan 710 mengamankan daerah Mamasa dari gangguan DI/TII. Andi
Wela sebagai komandan kompi 710, Tentara Nasional Indonesia resmi waktu itu
ingin membentuk pasukan sipil untuk membantu tugasnya. Paulus Sila’ba ditugasi
kembali ke Galumpang dan segera membentuk pasukan OPR (Organisasi Pertahanan
Rakyat) Galumpang.
OPR adalah pasukan sipil yang dipersenjatai
untuk membantu tugas-tugas Angkatan Perang (APRI) maka pasukan ini mengadakan
latihan militer. Yohanis Latuheruw, mantan serdadu KNIL Belanda menjadi salah
seorang pelatih OPR dan juga pelatih OPD Jadi OPR adalah organisasi sipil
bersenjata bentukan TNI dan merupakan organisasi spontan rakyat untuk
mempertahankan diri dari gangguan gerombolan DI/TII dengan prinsip sukarela
untuk membantu tugas-tugas TNI mengamankan negara Republik Indonesia. Jadi OPR
adalah organisasi legal bentukan negara waktu itu. Selanjutnya Paulus Sila’ba kemudian membentuk
satu pasukan OPR di daerah Galumpang. Dalam Arsip
OPR yang ditandatangani oleh Paulus Sila’ba tentang OPR-PUS, organisasi ini
kemudian diberi nama OPR Kondosapata. Untuk melancarkan Organisasi maka diadakan
kurier (penyelidik) ke daerah-daerah musuh untuk mempelajari tindakan-tindakan
musuh yang sedang merajalela itu. (Demikian arsip OPR yang ditulis oleh Paulus
Sila’ba).
Sejak tahun 1960 Kodam VI/ Siliwangi telah mengeluarkan perintah untuk melakukan operasi-operasi militer guna menumpaskan DI/TII di daerah-daerah yang dijadikan pusat DI/TII di Jawa Barat. Operasi-operasi dilakukan oleh semua unsur ABRI, Angkatan Darat dan Angkatan Kepolisian serta semua rakyat dari berbagai lapisan yang tergabung dalam Organisasi Pertahanan Rakyat yang dikenal dengan sebutan “Pagar Betis”. Operasi ini bertujuan mengepung pusat-pusat yang dijadikan markas DI/TII serta menghancurkan dan membersihkan sisa-sisa pengaruh dari DI/TII.
Operasi-operasi penumpasan DI/TII ditingkatkan dengan Doktrin Perang
Wilayah karena pimpinan DI/TII Kartosuwiryo belum juga tertangkap. Selain
operasi Pagar Betis, dilakukan juga operasi Bharatayuda dan operasi Pamungkas.
Operasi Bharatayuda dilakukan oleh satuan Kodam Siliwangi, Kodam Diponegoro,
Kodam Brawijaya, dan Brigade Mobil Polri beserta rakyat. Untuk mengimbangi
kekuatan dari satuan gabungan yang dilakukan untuk menumpas DI/TII, DI/TII
melakukan tindakan yang mengakibatkan keresahan yang terjadi pada rakyat.
Mereka melakukan terror dan pembunuhan terhadap warga yang tidak membantu DI/TI.
Sehingga hal itu mengakibatkan pembakaran dan penjarahan terhadap rumah-rumah warga.
Bersambung....
Mohon maaf nampaknya ada
BalasHapuskesalahan dalam tulisan ini
Silahkan bagian mana yang salah krn ada data sumber rujukan dalam penulisan
Hapus