Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Minggu, 02 September 2018

Menelusuri Jejak Kerajaan Mandar Dari Kaili Sampai Tomini

Suatu perkembangan baru pada abad ke 15, yaitu tampilnya beberapa kerajaan kecil di pesisir barat jazirah selatan dalam hal kekuatan maritim, tampilnya kerajaan Mandar dalam pengawasan jalur pelayaran perdagangan ke utara Sulawesi, semakin ramainya pelayaran niaga dikawasan itu telah mendorong kerajaan Gowa yang berada dibawah pemerintahan raja Tumapparissi Kollonna (1510-1546) bergiat untuk mengembangkan bandar niaganya. kerajaan Kaili dan Gorontalo berada dibawah kekuasaannya Pada tahun 1638 Kerajaan Mamuju menyerahkan pengawasan Gorontalo kepada Kerajaan Gowa Makassar secara damai. [1]

Pada tanggal 2 Mei 1888, Gubernur Belanda di Makassar datang ke Sulawesi Tengah untuk melantik raja Benawa ke-8, La Makagili Tomaidoda Pue Nggue (1888-1902), sekaligus menyelesaikan sengketa perbatasan wilayah kerajaan antara kerajaan Toli-toli, kerajaan Mamuju dan Benawa. Dari konflik tersebut akhirnya VOC membuat Lange Contract pada April 1888 untuk ditandatangani oleh raja La Makagili Tomaidoda dan tentang pembukaan jalur laut 14 Koningklij Paketvaart Maastchappij  (KPM), Singgah sekali dalam dua minggu adalah jalur pelayaran kapal uap perusahaan Belanda yang sahamnya dikuasai swasta, Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) itu untuk menghubungkan lalu-lintas perdagangan antara dua pusat perdagangan, Makassar di selatan dan Manado di utara, selain melegitimasi kekuasaan Belanda di masa itu bagi tata niaga perdagangan (kopra) dan juga atas Selat Makassar,[1] Yang jauh hari telah mengikat Benawa melalui Traktat Benawa tahun 1667 yang selanjutnya mengikat Donggala (Kaili) melalui perjanjian penyerahan emas kepada VOC pasca ditandatanganinya Perjanjian Bongaya oleh kerajaan Gowa pada 18 November 1667 di Makassar.

Kontrak penjualan emas kerajaan Benawa dengan VOC, mengakibatkan Belanda campur tangan mengamankan kapal dagangnya dari gangguan perompak laut terutama bajak laut dari Mindanao (Filiphina) yang sering menganggu jalur dagang diselat Makassar. Sehingga pada tahun 1862 di Kerajaan Mamuju pihak Belanda menyerahkan Akta Panjang yang ditandatangani oleh Maradika NaE Sukur, yang isi pernyataan tersebut adalah menyerahkan kekuasaan monopoli perdagangan jalur laut Mamuju kepada VOC. Serta penangkapan bajak laut yang harus diadili oleh militer VOC. 

Adanya pengaruh kekuasaan kerajaan Mandar di kawasan ini telah diketahui sejak kedatangan armada kapal yang diawaki oleh tiga orang Punggawa kerajaan Mandar dan salah satunya menjadi pendiri kerajaan Moutong di Tomini. Begitupun dengan kerajaan-kerajaan ditanah Kaili diketahui dengan adanya kesamaan budaya dan adat dengan kerajaan dari Mamuju (Mandar) dapat diketahui dari istilah-istilah yang dipakai untuk perangkat kerajaan, ada kesamaan dengan penyebutan gelar yang ada di kerajaan Mamuju seperti ; Baligau, Ponggawa, Pabicara, Madika/ Maradika dan istilah untuk Pue dan Puang yang juga dipakai oleh kerajaan kerajaan ditanah Kaili.

Dalam sumber sejarah yang lain adalah disebutkan bahwa cikal bakal keturunan raja-raja di Teluk Tomini adalah berasal dari Mandar, Tomini berasal dari kata Tomene, yang berarti To= Orang, Mene = Mandar untuk penyebutan bagi meraka kepada orang Mandar. Silsilah kerajaan Kasimbar terdapat tokoh yang dikenal dengan Arajang Patae Kaci yang kawin dengan Putri Olongian setempat. Yang berhubungan dengan sejarah kuno tentang kedatangan ekspedisi dari Mandar dibawah komando tiga orang ; Toriwoseang, Magau Dianggu dan Pueta Karikaca dan Pueta Karikaca inilah yang meneruskan perjalanan ke Teluk Tomini dan kawin di Kasimbar dan menjadi raja ditempat ini. Di Teluk Tomini, dinasti istana Tojo dan Moutong didirikan masing-masing oleh para pendatang Bugis dan Mandar di paruh ke dua abad 18 (Adriani and A.C Kruyt, 1912–14, I: 76; Riedel 1870b: 561)



Menurut tradisi lisan bahwa tokoh inilah yang mengadakan penaklukkan dari Tolole sampai ke Molosipat. Berkuasanya Sigi ke Molosipat di utara mungkin terjadi sebelum datangnya penguasa Mandar mendirikan Moutong. Karena seorang Putri Sigi bernama Pue Kurukere (dae Sarame) menjadi Madika di Tawaeli maka wilayah Sigi dari Tawaeli sampai Molosipat diberikan kepada Tawaeli. Kemudia cucu dari Kurukere ini bernama Yonggebodo (Magau ke II dari Tawaeli kawin dengan seorang Putri bangsawan Mandar yang bernam Irawe Mas. Selanjutnya sementara anak Olongian setempat (cucu dari Pueta Karikaca), yang bernama Pua Woli menikah dengan Sappewali yang juga keturunan bangsawan Mandar. Kemudian Sappewali ini menjadi raja Toribulu, dari perkawinan inilah lahirlah anak bernama Pika (Wanita) yang kawin dengan Tombolotutu raja Moutong.

Kerajaan Moutong adalah merupakan suatu kerajaan yang cikal bakal rajanya adalah  keturunan Mandar, dalam tradisi lisan diketahui bahwa ada kerajaan kuno bernama Kerajaan Lambunu yang rajanya berasal dari Lampasio yang merupakan kerajaan bersaudara dengan kerajaan Toli-toli, sebelum berdirinya kerajaan Moutong oleh Manggalatung yang merupakan anak keturunan raja di Mandar, wilayah Lambunu ini meliputi Moutong sampai Tomini dari kerajaan Lambunu inilah didapatkan informasi bahwa ada seorang raja dari Mamuju (Mandar) yang bernama Nae,[2] setelah kematian istrinya lalu menitipkan putranya yang bernama Manggalatung untuk dipelihara oleh raja Lambunu sampai dewasa. Setelah anak ini dewasa ayahnya datang menjemputnya tapi kemudian ayahnya (NaE) mendudukkannya sebagai raja di Moutong (yang dalam bahasa Mandar berarti mottong atau tinggal) pada tahun 1771.[3] 

Sebelum Manggalatung dilantik jadi raja Moutong tahun 1778 dan telah ada perjanjian antara raja Mamuju (Nae) dan raja Lambunu, bahwa hak raja Lambunu haruslah dihormati oleh raja Moutong dan dibuatlah suatu ikrar “kalau raja Moutong dalam kesusahan maka kerajaan Lambunu membantunya begitupun sebaliknya“.[4]


Bersambung...



[1] Leonard Y, Andaya. The Herritage of Arung Palakka. 1981, Hal. 19.
[2] NaE adalah nama gelar bangsawan Mamuju yang juga adalah marga untuk menunjukkan masih keturunan bangsawan murni, tapi dari sumber ini tidak disebutkan nama lengkapnya.
[3] Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. , Anhar Gonggong dkk. 1984. Hal. 43/44.
[4] ibid_ 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar