BN.710 dengan jumlah pasukan kurang lebih 10.000 personil atau setara dengan 11 batalyon, yang sebagian besar anggota pasukannya tanpa NRP. Dengan jumlah pasukan sebanyak ini, tanpa sepengetahuan pemerintah pusat, tentu tidak menerima gaji. Namun komandan batalyon 710 berusaha menggaji sendiri pasukannya bahkan sampai mempersenjatai pasukannya atas biaya sendiri dengan senjata yang lebih modern dari TNI. Senjata dibeli dari hasil barter dengan kopra, kopi, rotan dan damar dengan pemasok senjata dari luar negeri terutama Inggris lewat Singapura dan Tawao, Kalimatan Utara. Sebagian senjata pasukan 710 di jual ke DI/TII. Pasukan sebanyak ini menguasai daerah yang sangat luas dari Kabupaten Pinrang sampai ke Mamuju. Mereka juga memonopoli ekonomi rakyat terutama hasil bumi berupa kopra, kopi, beras, rotan dan damar. Semua hasil bumi ini tidak boleh dijual ke pihak lain, hanya boleh dijual ke pasukan 710. Jika ada yang melanggar maka pelakunya akan dieksekusi mati, ternyata secara diam-diam Andi Selle kerja sama dengan Kahar Musakkar dan memberikan bantuan persenjataan kepada DI/TII.
Tanggal 5 April 1964 Panglima Kodam XIV Hasanudin Kolonel M. Yusuf mengadakan inspeksi di daerah Pinrang. Dalam inspeksi ini M. Yusuf didampingi oleh pejabat Kepolisian lainnya yaitu Kombes Pol. Drs. Marjaman dari Depak, AKBP R.M Subono Syamsi yang mewakili Kepala Komisariat Sulawesi, KP. II. W.F. Taroreh yang merupakan staf Asisten II Komdak XVIII Sulawesi, dan beberapa perwira Angkatan Darat Lainnya. Mereka mencari dan mengejar bekas Letkol Andi Selle Matolla dan rombongannya karena telah mengkhianati M. Yusuf. Selain operasi yang berhasil menembak mati Andi Selle, pada tanggal 2 Februari 1965 Pleton Yon 330 Kujang/Siliwangi pimpinan Peltu Umar berhasil menemukan jejak Kahar Muzakar. Kahar Muzakar bersama dengan pasukannya ditemukan di tepi selatan sungai Lasol. Pada tanggal 3 Februari pasukan Peltu Umar dapat menembak mati Kahar Muzakar dan menangkap pasukan yang tersisa. Dengan kematian Kahar Muzakar, maka gerombolan DI/TII di Sulawesi dapat ditumpas dan Sulawesi dapat dikendalikan kembali.
Dalam Operasi KILAT di Mamuju pantai sebelah barat Sulawesi pada tanggal 17 Desember 1962, Batalyon 952 Resimen IX Brigade Mobil di bawah pimpinan I.P. I. HM. Dumalang dalam gerakan Operasi yang dikenal dengan Operasi CATUR PRASETYA telah berhasil merebut pusat kedudukan DI/TII yang dipimpin oleh Mayor DI/TII A.G. Sakti. Dalam operasi ini, sembilan orang anggota gerombolan tewas dan 84 orang anggota beserta senjatanya ditawan. Selain itu pasukan dapat merampas sebuah mesin diesel, sebuah agregat, dan tiga kapal masing-masing beratnya 30 ton. (Arman Husain -2018).
Referensi ;
- Memet Tanumidjaja. Sedjarah Perkembangan Angkatan Kepolisian. Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sedjarah ABRI. 1971, hlm.135.
- Awaloedin Djamin. Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia Dari Zaman Kuno Sampai Sekarang. Jakarta: Yayasan Brata Bhakti POLRI. 2007, hlm. 362.
- Sejarah Perjuangan Rakyat Mamasa, oleh; Alberth Allo
- Selayang Pandang Sejarah dan Adat Mamuju oleh H. I. Abd. Rahman Thahir, MPA. 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar