Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Kamis, 08 Juli 2021

Penandatangan Kontrak Pemicu Konflik Mandar dan Belanda 1862

Ketidakpatuhan kerajaan-kerajaan di Mandar atas ketentuan-ketentuan dalam kontrak politik yang telah ditandatangani, menjadi salah satu penyebab pemerintah kolonial Belanda melancarkan agresi militer atau penyerangan terhadap Mandar pada 1862. Penyebab lainnya adalah penolakan mereka membayar tuntutan ganti rugi kepada pemerintah kolonial Belanda atas sejumlah perompakan di Mandar (Lapian,1987:215). Bersamaan dengan pengesahan kontrak politik tersebut, gubernur jenderal dalam keputusan rahasia pemerintah pada 18 Agustus 1850, menyampaikan bahwa suatu wewenang seperti yang dimaksudkan dalam surat gubernur Sulawesi pada 5 Juni 1850 Nomor 149, tidak dapat diberikan. Akan tetapi tindakan untuk mempertahankan dengan sarana yang ada dan diterapkan dengan penuh kebijakan, tidak akan dilarang (Arsip Makassar No.354:123).

Sambil menunggu jawaban dari gubernur jenderal, gubernur Sulawesi sebenarnya telah mengirimkan misi ke Mandar sebelumnya. Misi yang dipimpin oleh Kapten Noorduyn, komandan kapal Zwaliuw bersama Ajun Sekretaris Urusan Pribumi Wijnmalen berhasil membuat kontrak politik dengan para penguasa Mandar. Kontrak politik dengan Kerajaan Balanipa, Majene, Binuang, Pambauang, dan Sendana dibuat di Balanipa pada 30 Mei 1850. Raja-raja atau para mara’dia dari empat kerajaan tersebut kemudian diwakili oleh anggota pemangku adat mereka masing-masing. Sementara kontrak politik dengan Kerajaan Mamuju dan Tapalang yang berada di bawah pemerintahan seorang mara’dia, Abdul Malem Daeng Lotong, dilakukan di Mamuju pada 10 Juni 1850. Keberhasilan dari pengiriman misi ini tidak terlepas dari pengaruh Karaeng Katangka, saudara raja Sidenreng. Karaeng Katangka menyertai kapal perang itu dengan perahu-perahunya sendiri dan berhasil membujuk para penguasa Mandar untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi selama ini dan demi kepentingan penyelesaian kontrak politik dengan pemerintah kolonial Belanda (Arsip Makassar No.354:122; Poelinggomang, 2002:80). Kontrak-kontrak politik tersebut, kemudian disetujui oleh gubernur Sulawesi pada 1 Juli 1850, dan disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 18 Agustus 1850 (Arsip Makassar No.354:123). 

Sekretaris Urusan Pribumi Wijnmalen kembali dikirim ke Mandar untuk menyampaikan kontrak politik yang dibuat pada 1850 dan disahkan oleh gubernur jenderal tersebut, kepada raja-raja atau para penguasa Mandar. Pengiriman Wijnmalen ke Mandar ini, juga terkait dengan meninggalnya Mara’dia Balanipa Ammana I Yangge Tomatindo DiLekopadis pada 1951. Meskipun sebagian anggota dewan pemangku adat sappulo sokko menghendaki putra Tomatindo  Di Lekopadis yang bernama Baso Saunang bergelar Tokeppa menggantikan ayahnya sebagai mara’dia Balanipa. Namun atas kesepakatan dewan ada’ kaiyang (hadat besar) yang berwewenang dalam pemilihan dan pengangkatan mara’dia di Balanipa, ternyata memilih dan mengangkat Ammana Ibali (Maulana Passaleppa) menjadi mara’dia Balanipa menggantikan Tomatindo Di Lekopadis. Berdasarkan pasal 20 kontrak politik tahun 1850, bahwa mara’dia Balanipa yang baru dilantik diharuskan menandatangani kontrak politik dengan pemerintah kolonial Belanda. Kontrak politik yang ditandatangani oleh Mara’dia Balanipa Ammana Ibali pada 29 Juni 1951 tersebut, kemudian disetujui oleh gubernur Sulawesi pada 18 Juli 1851 dan disahkan oleh gubernur jenderal pada 14 September 1851 (Arsip Makassar No.354:124; Syah,1992:94).

Baca juga: 

Sementara itu, arung Binuang menyatakan tidak tahu sama sekali tentang kontrak politik yang dibuat dengan pemerintah kolonial Belanda, karena mara’dia Balanipa tidak mengirimkan kontrak politik yang telah disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ditujukan kepada Kerajaan Binuang. Mara’dia Balanipa mengemukakan alasan mengenai persoalan itu karena menduga bahwa kontrak politik ini akan dikirim oleh komandan Raders ke Binuang. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda mengirimkan sebuah tembusan kontrak politik yang telah disahkan gubernur jenderal kepada arung Binuang. Disamping itu, persoalan lainnya di Kerajaan Binuang adalah arung Tonyamang diketahui telah menguasai barang-barang milik orang Arab yang berasal dari Parepare. Atas permohonan karaeng Mangeppe, arung Binuang dan arung Buku menyerang  arung Tonyamang sampai dia menyerah atas tuntutan yang diajukan kepadanya. Arung Buku mengirimkan seorang wanita bebas ke Makassar yang telah dijual orang di Tonyamang, tetapi olehnya tetap ditahan untuk dikembalikan ke Makassar (Arsip Makassar No.354:132-134). Mara’dia Balanipa Ammana Ibali mendapat tugas untuk menyampaikan dan menyerahkan kontrak-kontrak yang telah disahkan kepada para penguasa Mandar lainnya. Oleh karena wabah penyakit kolera sedang melanda Mandar, sehingga Sekretaris Urusan Pribumi Wijnmalen merasa tidak tepat untuk mengunjungi daerah-daerah lain. Namun dalam perkembangannya, ternyata maradia Balanipa diketahui tidak mengirimkan atau menyampaikan kontrak politik yang dibawa oleh Wijnmalen tersebut kepada raja raja lainnya di Mandar (Arsip Makassar No. 354:130) Bahkan kerajaan ini dianggap sebagai “biang keladi” dari sejumlah persoalan dan ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah kolonial Belanda dengan kerajaan-kerajaan di Mandar. Salah satu diantara konflik internal yang dimaksudkan adalah konflik  antara Mara’dia Balanipa Ammana Ibali dengan mara’dia matowa (koordinator pemangku ada’ sappulo sokko) Balanipa yang bernama Tokeppa. Tokeppa yang biasa juga disebut dengan KeppangE, adalah salah seorang putra dari mantan Mara’dia Balanipa Ammana I Yangge  Tomatindo Di Lekopadis dan kemenakan penguasa Balanipa saat itu (Ammana Ibali yang biasa juga disebut dengan Maulana Passaleppa), bangkit menentang dan melawan Mara’dia Balanipa Ammana Ibali. Gerakan perlawanan Tokeppa bersama para pendukungnya mencapai puncaknya pada 1861. Tokeppa dibantu oleh mertuanya mara’dia Pamboang, dan sebagian rakyat Balanipa mengangkatnya sebagai mara’dia Balanipa. Demikian pula dengan mara’dia Sendana, putra mara’dia Pamboang saat itu, juga ikut mendukung dan bahkan membantu gerakan perlawanan Tokeppa (Arsip Makassar:354:134).

Sesungguhnya konflik antara Tokeppa dengan Ammana Ibali mulai muncul ketika Mara’dia Balanipa Tomatindo Di Lekopadis meninggal pada 1851. Konflik mereka itu antara lain disebabkan karena Tokeppa yang juga berhak menduduki tahta Kerajaan Balanipa dan atas dukungan dari sebagian anggota pemangku adatsappulo sokko (sepuluh pejabat atau pemangku adat) menginginkan dan berupaya agar Tokeppa diangkat menjadi mara’dia Balanipa. Namun ketika itu dewan ada’ kaiyang (adat besar) yang terdiri atas empat negeri besar (appe banua kaiyang) ternyata memilih dan mengangkat  Ammana Ibali menjadi mara’dia Balanipa. Untuk meredam konflik di kalangan adat pattola payung Balanipa tersebut, maka atas persetujuan anggota pemangku ada’sappulo sokko, Mara’dia Balanipa Ammana Ibali kemudian mengangkat Tokeppa menjadi mara’dia matowa Kerajaan Balanipa. Tokeppa diangkat menjadi mara’dia matowa pada 1853, menggantikan mara’dia matowa Balanipa sebelumnya yang bernama Tomusuq Dimanyamang (Mandra,1992:122;  Syah,1992:93).
 
Meskipun Tokeppa telah diangkat menjadi mara’dia matowa, tidak berarti bahwa konflik antara kedua belah pihak telah berakhir. Bahkan konflik itu berlanjut terus hingga tahun 1860-an, karena para pendukung mara’dia matowa tetap  berupaya untuk menurunkan Mara’dia Balanipa Ammana Ibali dan mengangkat Tokeppa menjadi mara’dia Balanipa. Salah satu sebabnya karena perbedaan sikap terhadap hubungan Balanipa dengan pemerintah kolonial Belanda. Tokeppa dan para pendukungnya tidak hanya menentang dengan keras terhadap Belanda, tetapi juga terhadap sikap Mara’dia Ammana Ibali yang bersedia menerima dan menandatangani kontrak politik yang amat merugikan bagi Balanipa. Ammana Ibali dianggap terlalu lemah karena bersedia bekerjasama dengan pemerintah kolonial tersebut. Atas perlawanan itu, Tokeppa kemudian diberhentikan sebagai mara’dia matowa oleh Mara’dia Ammana Ibali pada 1861. Ia kemudian digantikan saudaranya yang bernama Tokape (mara’dia malolo atau paglima perang Balanipa) menjadi mara’dia matowa Balanipa (Arsip Makassar No.354:140).
 
Sesuai dengan ada’ assimemangan (adat dan kebiasaan) di Balanipa, bahwa mara’dia Balanipa hanya dapat mengangkat atau memberhentikan seorang mara’dia matowa apabila mendapat persetujuan dari dewan pemangku adat sappulo sokko atau dewan ada’ kaiyang (adat besar). Pada mulanya Mara’dia Matowa Tokape tidak menunjukkan sikap pertentangan atau konflik dengan Mara’dia Ammana Ibali, tetapi lama kelamaan benih-benih konflik itu juga terkuak ke permukaan. Oleh karena Tokape secara diam-diam mendukung pendahulunya Tokeppa, yang senantiasa melakukan perlawanan dan merupakan penentang yang gigih terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dalam lontara Mandar antara lain dikisahkan bahwa Tokeppa tidak sudi kepada Belanda dan terus mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial itu di Mandar (Mandra,1992:125). Sikap keras Tokeppa dan para pendukunganya terhadap Belanda tersebut, menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya konflik dengan pemerintah kolonial Belanda. Itulah sebabnya pemerintah kolonial Belanda dalam perkembangannya memutuskan untuk melancarkan serangan militer terhadap Mandar. Namun, sebelum  serangan militer itu dilancarkan, pemerintah kolonial terlebih dahulu mengajukan tuntutan kepada Balanipa, yaitu sebagai berikut:
a. Pemulihan atas segala keluhan yang ada;
b. Ganti rugi atas tuntutan yang diajukan atau ditimbulkan karena perompakan pantai; 
c. Segera mengirimkan seorang utusan yang merupakan anggota pemangku adat, dengan tujuan untuk meminta maaf atas apa yang terjadi dan juga untuk membuat sebuah kontrak baru, yang berlandaskan pada apa yang belakangan ini dibuat bersama semua kerajaan lain. Oleh karena itu, gubernur Sulawesi diberi wewenang ketika tuntutan itu tidak ditanggapi atau dipatuhi, dengan sarana yang ada dibawahnya, baik kekuatan maritim maupun militer untuk memenuhi tuntutan itu atau dengan pendudukan (Arsip Makassar No.354:137). Tindakan tegas tersebut dilakukan dengan ketentuan bahwa setelah penaklukan terhadap Mandar, terutama Balanipa segera ditinggalkan, dan tidak segera dilakukan penghancuran. Akan tetapi kepada raja-raja dan pemangku adat diberikan batas waktu beberapa hari untuk menyerahkan diri. Apabila raja serta pemangku adat dalam batas waktu yang ditetapkan tidak mau menyerahkan diri, maka penghancuran terhadap kekayaan mereka akan dilakukan. Namun sedapat mungkin hak milik rakyat atau warganya akan diselamatkan (Arsip Makassar No.354:137).
 
Untuk melaksanakan keputusan pemerintah kolonial Belanda tersebut, maka dikirimlah suatu ekspedisi militer di bawah pimpinan Letnan Kolonel van Daalen ke Mandar. Ekspedisi militer ini bertujuan untuk melakukan tindakan tegas terhadap kerajaan-kerajaan di Mandar yang telah melakukan pelanggaran terhadap kontrak politik yang telah ditandatangani sebelumnya, terutama terhadap Balanipa apabila tidak memenuhi semua tuntutan yang diajukan (Nooteboom,1912:503-535). Asisten Residen Noorderdistricten (Distrik-distrik Bagian Utara) menyertai ekspedisi militer yang dikirim ke Mandar untuk menyampaikan atau menyerahkan tuntutan kepada Mara’dia Balanipa Ammana Ibali pada 4 Agustus 1862. Demikian juga terhadap arung Binuang yang tidak hanya dituntut agar raja membayar seluruh hutangnya, tetapi juga mengembalikan sebuah perahu yang telah ditahan oleh arung Binuang, karena orang-orang Salemo telah berhutang uang kepadanya. Sementara terhadap Kerajaan Pamboang dan Sendana diserahkan ultimatum yang menuntut agar mara’dia Pamboang dan mara’dia Sendana segera meninggalkan sikap permusuhannya kepada Mamuju dan menghentikan atau mengakhiri semua pertentangan yang terjadi selama ini. Selain itu, mara’dia Pamboang juga masih dituntut agar mengembalikan uang f 400 yang dituntut dan diperoleh dari Mamuju, karena tindakan itu tidak sesuai dengan keinginan gubernur Sulawesi (Arsip Makassar No.354:138).

Meskipun demikian, sebuah kontrak baru dapat dibuat bersama dengan tiga anggota pemangku adat Balanipa yang hadir di Makassar. Namun sebelum kontrak itu dibuat, Letnan Melayu Tajoedin dikirim ke Balanipa untuk meminta suatu kesepakatan dengan maradia Balanipa atas nama pemangku adat. Akan tetapi usaha ini juga tetap tidak berhasil. Sementara itu, gubernur Sulawesi memperkenankan pemangku adat Binuang, Pamboang, dan Sendana yang telah hadir dan berkumpul di Makassar untuk mengajukan permohonan maaf atas sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan tersebut terhadap pemerintah kolonial Belanda, terutama terhadap kontrak politik yang telah ditandatangani sebelumnya. Pada saat yang bersamaan kontrak baru diajukan dan dibuat dengan Kerajaan Majene, Binuang, Pamboang, dan Sendana pada 14 Oktober 1862. Kontrak ini antara lain membahas tentang penolakan pengaruh asing di Mandar (pasal 3). Sementara pasal 20 menguraikan tentang memberikan hak kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengambil alih pemerintahan atas Mandar dalam kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh kerajaan-kerajaan tersebut. Ketentuan dalam pasal 13 dalam kontrak dengan Mandar juga diperluas hingga mencakup orang Timur Asing (Arsip Makassar, No. 354:140-141).

Kontrak politik tersebut ditandatangani oleh para anggota pemangku adat dari masing- masing kerajaan. Kerajaan Majene diwakili oleh Jerami pabbicara Pangaliali sebagai pengganti dan kuasa dari mara’dia Majene, Massiara pabbicara Totoli, Hasang pabbicara Banggai, dan Kajang papuangan Totoli sebagai anggota pemangku adat. Kerajaan Binuang diwakili oleh Magga Daeng Silasa sebagai pengganti mara’dia (arung) Binuang bersama  Dg Mangatie pabbicara kerajaan. Kerajaan Pamboang diwakili oleh Jerino Daeng Malaba papuangan Pamboang sebagai wakil pengganti mara’dia Pamboang bersama pemangku adat Pamboang. Kerajaan Sendana diwakili oleh Matto Ambo Cetto papuangan Puttada sebagai pengganti mara’dia Sendana dan pemangku adatnya  (Pemda,1991:183,189,191, dan 196).  
Kemudian menyusul pula dilakukan kontrak politik dengan Kerajaan Mamuju dan Tappalang, yang bertepatan dengan pengukuhan Nae Sukur sebagai mara’dia Mamuju pada 31 Oktober 1862 (Arsip Makassar, No. 354:135). Nae Sukur, menantu Mayor Kalangkangan  dipilih dan diangkat menjadi mara’dia Mamuju oleh pemangku adat Mamuju untuk menggantikan ayahnya Mara’dia Mamuju Abdul Malem Daeng Lotong. Bersama Mamuju dan Tapalang kontrak baru dibuat dan ditandatangani oleh masing-masing kerajaan, yaitu Kerajaan Mamuju oleh Nae Sukur mara’dia Mamuju dan pemangku adatnya, dan Kerajaan Tapalang oleh Cakeo Daeng Mariba pabbicara Tapalang sebagai pengganti mara’dia Tapalang dan pemangku adatnya (Pemda,1991:90 dan 95; Saharuddin,1985:58). 

Setelah melakukan kontrak politik dengan kerajaan-kerajaan tersebut, pemerintah kolonial Belanda kini memusatkan perhatiannya pada Balanipa. Oleh karena itu, Gubernur Sulawesi Kroesen berangkat bersama pasukan menuju Mandar pada pertengahan Nopember 1862. Dua hari setelah itu rombongan ini tiba di Balanipa. Gubernur Sulawesi segera mengirim utusan untuk menemui Mara’dia Balanipa Ammana Ibali dan meminta pemangku adat Balanipa bersama mara’dia Balanipa menghadap gubernur. Mara’dia Balanipa bersama anggota pemangku adatnya memenuhi perintah itu dan meminta maaf pada gubernur. Semua persoalan antara Balanipa dengan pemerintah kolonial Belanda yang terjadi selama ini karena perbuatan mantan Mara’dia Matowa Tokeppa (Arsip Makassar No.354:142; Nooteboom,1912:530). Berhubung karena Mara’dia Balanipa Ammana Ibali dianggap tidak layak lagi untuk memerintah akibat faktor usia, maka pergantian mara’dia dibicarakan bersama para anggota inti pemangku adat Balanipa (pabbicara kaiyang, pabbicarakenje, papuangan Limboro, dan papuangan Biring Lembang). Atas kesepakatan anggota inti pemangku adat Balanipa, putra sulung Mara’dia Balanipa Ammana Ibali yang benama Mararabali (La Tonrabali) yang juga sebagai mara’dia Majene dipilih dan diangkat menjadi pelaksana tugas mara’dia Balanipa. Padahal yang berhak dalam pemilihan dan pengangkatan seorang mara’dia di Balanipa adalah dewan ada’ kaiyang (adat besar). Meskipun demikian, pilihan itu tetap diterima dan Mara’dia Mararabali berjanji akan segera mengakhiri segala persoalan atau konflik antara Balanipa dengan pemerintah kolonial Belanda.  Oleh karena itu, Mara’dia Mararabali bersama anggota pemangku adat Balanipa diharapkan dalam waktu dekat berangkat ke Makassar untuk menandatangani atau membuat kontrak baru dengan pemerintah kolonial Belanda (Arsip Makassar No.354:143). 

Mara’dia Mararabali mengajukan permohonan penundaan keberangkatan ke Makassar, dengan alasan untuk terlebih dahulu menebus keris pusaka Balanipa yang telah dijaminkan. Permohonan penundaan dikabulkan, tetapi uang tebusan itu tidak diberikan. Sementara itu, Mara’dia Tokeppa yang melarikan diri ke pedalaman bersama sebagian pendukungnya menyerahkan diri pada 20 November 1862. Gubernur Sulawesi  kembali ke Makasar pada 29 November 1862. Para anggota pemangku adat Balanipa berangkat dengan kapal Berkel ke Makasar, untuk meminta maaf dan membuat sebuah kontrak baru dengan gubernur. Pemangku adat Balanipa diterima oleh gubernur Sulawesi pada 6 Desember 1862. Mereka meminta maaf atas sejumlah pelanggaran terhadap kontrak yang dilakukan oleh penguasa Balanipa (Nooteboom,1912:535; Saharuddin,1985:57).

Saat itu, kontrak baru dibuat pula bersama anggota pemangku adat Balanipa yang biasa disebut dengan adat sappulo sokko. Mereka itu terdiri atas Mannang (Pabbicara Kaiyang), Muhammad (Pabbicara Kenje), Loppus (Papuangan Limboro), Ahmad (Papuangan Biring Lembang), Caca (Papuangankoyang),  Dullah (Papuangan Lambe), Mallu (Papuangan Tenggeleng), Labaco-baco (Papuangan Luyo), dan Paju (Papuangan rui) sebagai duta mara’dia Balanipa (Pemda,1991:181; Rahman,1988:293).  Kontrak politik dengan Balanipa tersebut, berbunyi sama seperti kontrak politik yang dibuat dengan Binuang, Majene, Pamboang, dan Sendana pada 14 Oktober 1862, serta kontrak politik dengan Tappalang dan Mamuju pada 31 Oktober 1862. Ketujuh kontrak politik itu kemudian disahkan dengan keputusan pemerintah kolonial Belanda pada 24 Maret 1863 (Pemda, 1991:181-196; Arsip Makassar, No. 354:143-144). Bersamaan dengan penandatanganan kontrak politik oleh pemangku adat Balanipa tersebut, mereka juga menyampaikan kepada gubernur bahwa Mara’dia Balanipa Ammana Ibali telah menyatakan mengundurkan diri secara resmi dan menyerahkan tahta pemerintahan kepada putranya La Tonrabali (Mararabali), yang juga sebagai mara’dia Majene. Pemangku adat Balanipa tidak merasa keberatan dan meminta persetujuan gubernur Sulawesi atas pilihan tersebut. Oleh karena itu, gubernur Sulawesi memberikan persetujuannya pada 8 Desember 1862. Persetujuan gubernur Sulawesi dalam persoalan ini kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui Keputusan Pemerintah pada 24 Maret 1863 (Arsip Makassar No. 354:144). 

Persetujuan dan pengesahan Pemerintah Kolonial Belanda atas pengangkatan Mararabali menjadi mara’dia Balanipa tersebut, tampaknya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan (Arfah dan Amir, 1993:82).Oleh karena pemilihan Mararabali sebagai pelaksana tugas atau calon mara’dia Balanipa hanya dilakukan oleh anggota pemangku adat Balanipa (ada’sappulo sokko), dan bukan oleh anggota dewan Ada’ Kaiyang (adat besar) yang berhak memilih dan mengangkat atau melantik serta memecat seorang mara’dia di Kerajaan Balanipa. Selain itu, juga karena berdasarkan ada’ assimemangan (adat dan kebiasaan) di Balanipa bahwa seorang ana’ pattola payung yang telah terpilih menjadi calon mara’dia diwajibkan mencari atau memperkaya pengalamannya dimasyarakat, terutama ia harus memperlihatkan tingkah laku yang terpuji di masyarakat. Itulah sebabnya selama masa pencalonan atau sebelum pelantikan secara defenitif, calon mara’dia tetap terus menerus diamati tingkah lakunya oleh rakyat melalui kejadian-kejadian alam yang ada hubungannya dengan keamanan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Kejadian atau peristiwa yang dianggap baik akan membawa calon mara’dia pada pelantikan defenitif. Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka calon mara’dia tidak dapat dilantik dan dewan adat yang berwenang dalam hal ini akan mencari calon lain (Rahman, 1988:223-225). Oleh karena situasi keamanan dan ketertiban dalam  kerajaan saat itu tidak stabil atau kurang kondusif sehingga Mararabali tidak pernah dilantik menjadi mara’dia Balanipa. Itulah sebabnya jika dicermati silsilah raja-raja Balanipa, nama Mararabali tidak tercantum dalam daftar atau susunan sebagai mara’dia Balanipa.
Login


Tidak ada komentar:

Posting Komentar