Peristiwa ini terjadi pada 28 Maret 1981, ketika sebuah pesawat Garuda DC-9 Woyla dengan rute penerbangan Jakarta – Medan dibajak saat transit di Palembang. Pembajak yang menyamar sebagai penumpang tersebut terdiri dari lima orang. Para pembajak yang menyebut dirinya sebagai Komando Jihad memaksa kapten Pilot Herman Rante dengan todongan pistol agar mengalihkan penerbangan ke Colombo, Srilangka.
Karena kehabisan bahan bakar, pesawat sempat mendarat di Bandara Penang, Malaysia untuk mengisi bahan bakar selanjutnya mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Selama empat hari drama pembajakan berlangsung di Bandara Don Muang, Bangkok. Pembajak yang dipimpin oleh Imran bin Muhammad Zein tersebut menuntut pemerintah Indonesia agar membebaskan 80 angggota kelompok Komando Jihad yang telah ditangkap karena beberapa kasus atau teror yang mereka lakukan.
Tuntutan pertama yang diajukan para pembajak, mula-mula hanya meminta 20 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981 dibebaskan. Tuntutan pembajak/ teroris tersebut tidak dipenuhi pemerintah Indonesia. Pesawat yang memiliki rute Jakarta-Medan itu dibajak pada pukul 10.10 WIB sesaat setelah tinggal landas dari Palembang.
Saat itu pesawat yang transit di bandara Talangbetutu, Palembang baru saja lepas landas menuju Bandara Polonia, Medan. Pesawat kemudian dibelokkan menuju bandara internasional Penang, Malaysia.
Awalnya, belum diketahui siapa pelaku pembajakan pesawat dengan nomor penerbangan 206 itu. Departemen Pertahanan dan Keamanan yang menangani pembajakan itu hanya mengatakan pembajak dapat berbahasa Indonesia.
Ada 48 penumpang di dalam pesawat. Sebanyak 33 orang terbang dari Jakarta, dan sisanya berasal dari Palembang. Pesawat itu diterbangkan oleh pilot Kapten Herman Rante dan kopilot Hedhy Djuantoro.
Pesawat tiba di Penang pukul 11.20 WIB, dan pesawat itu minta bahan bakar tanpa memberitahukan tujuan berikutnya. Sejatinya, pesawat yang dibajak tersebut hanya melakukan penerbangan di dalam negeri, tidak memiliki rute penerbangan internasional.
Pada waktu pesawat diisi bahan bakar, oleh para pembajak, pesawat tersebut dikunci. Sebelum berangkat pada pukul 16.07 waktu Penang, seorang perempuan bernama Panjaitan yang berusia 76 tahun, diturunkan dan pesawat terbang menuju Bangkok, Thailand.
Ketika akhirnya tuntutan disampaikan, laporan agak simpang siur tentang kemauan mereka, dan tuntutan mereka pun rupanya terus meningkat.
Tuntutan pertama yang diajukan para pembajak, mula-mula hanya meminta 20 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981 dibebaskan.
Namun, para pembajak mengajukan tuntutan baru lagi, dari yang awalnya 20 tahanan, meningkat menjadi 80 orang dan bertambah lagi menjadi 84. Tak hanya itu, pembajak juga meminta didatangkannya pesawat yang lebih besar supaya dikirim ke Bangkok dengan awak pesawat baru yang mengetahui rute-rute internasional. Batas waktu tuntutan dari pembajak tersebut adalah hingga Minggu, 29 Maret 1981 pukul 21.30 waktu Bangkok.
Tenggat waktu yang diberikan pembajak pun terlewati dan permintaan mereka belum terpenuhi. Tidak terjadi apa-apa meskipun sempat terdengar kabar bahwa para pembajak akan meledakkan pesawat jika tuntutan mereka tidak terpenuhi. Senin, 30 Maret petang, tuntutan meningkat lagi dengan tambahan uang 1,5 juta dollar AS di atas semua tuntutan sebelumnya.
Dalam upaya membebaskan para sandera, pada 29 Maret 1981 di Mako Kopassandha Cijantung, dibentuk satu tim pembebasan sandera yang dipimpin oleh Letkol Inf Sintong Pandjaitan. Salah satu prajurit terbaik dan terpilih untuk melaksanakan misi itu adalah Capa Ahmad Kirang.
Sebagai prajurit Komando, maka tugas adalah kehormatan. Tidak ada kata ragu dan terdadak bagi Capa Ahmad Kirang dan sekitar 30 prajurit Kopassandha lainnya karena sebagai prajurit satuan tempur, mereka siap ditugaskan kemanapun dan kapanpun juga bila negara membutuhkannya.
Pada 30 Maret 1981 Tim Kopassandha yang ditugaskan sebagai pasukan antiteror itu diberangkatkan menuju Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand dengan misi membebaskan sandera. Drama pembajakan penumpang pesawat Woyla yang menegangkan itupun akhirnya berakhir dengan upaya pembebasan sandera yang dilakukan Tim Kopassandha, yang dipimpin Letjen TNI (Purn) Sintong Pandjaitan yang saat itu masih berpangkat Letkol Inf pada 31 Maret 1981.
Dalam misi tersebut Ahmad Kirang yang mendapat tugas bersama rekannya Pelda Pontas Lumban Tobing dengan penuh keberanian dan tanpa keraguan melakukan aksi terobos memasuki pesawat melalui pintu utama belakang pesawat sesuai dengan instruksi komando pada jam 02.45 dini hari.
Tugas itu berhasil dilakukan dengan mendobrak pintu hingga terjadi aksi tembak menembak selama 3 menit antara teroris/pembajak dengan personel Kopassandha. Dalam waktu bersamaan tim lainnya juga menyerbu melalui pintu samping yang juga langsung terlibat dalam baku tembak dengan teroris. Dalam baku tembak tersebut Capa Ahmad Kirang dan rekannya Pelda Pontas Lumban Tobing yang awalnya sempat kesulitan membedakan mana yang teroris dan penumpang terkena terkena tembakan. Sedangkan dipihak pembajak sebanyak empat teroris berhasil dilumpuhkan dan tewas di lokasi kejadian.
Namun nahas, Capa Ahmad Kirang tertembak diperut bagian bawah yang tidak tertutup rompi antipeluru yang dikenakan sehingga tubuhnya luka bersimbah darah. Walau sempat dilarikan ke rumah sakit Bangkok namun nyawanya tidak dapat diselamatkan. Ahmad Kirang gugur dalam menjalankan tugas mulia menyelamatkan sandera. Sedangkan rekannya Pelda Tobing yang tertembak di bagian rusuk dan tangan, nyawanya masih tertolong dan selanjutnya menjalani perawatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.
Saat upaya pembebasan berlangsung ketika para penumpang diminta turun, salah seorang pembajak yang diketahui bernama Zulfikar sempat melemparkan granat tangan untuk meledakkan pesawat berikut penumpang. Namun karena pin granat tidak sempurna tercabut maka granat tidak jadi meledak, penumpang dan pesawat pun selamat.
Lettu Achmad Kirang |
Letkol Inf Sintong Pandjaitan dalam memoarnya menuturkan, Ahmad Kirang masuk melalui pintu belakang dimana tangga diturunkan secara elektrik. Proses turunnya tangga pesawat memerlukan waktu karena harus mengikuti ritme mekanik. Proses turunnya tangga pintu belakang yang memakan waktu memberikan kesempatan bagi pembajak yang duduk di bagian belakang kanan pesawat untuk bersiap menembak.
Begitu tangga turun, maka Capa Ahmad Kirang diikuti oleh penyergap 2 dengan cepat menaiki tangga pesawat untuk menyerbu. Setelah Capa Kirang muncul di dalam kabin pesawat, dia terkena tembakan pistol di bagian perut yang tidak terlindungi rompi antipeluru. Pemegang sabuk hitam Karateka Dan I itu langsung jatuh. Mungkin rompi antipeluru yang dikenakan oleh Capa Kirang bukan rompi versi militer sehingga hanya melindungi badan sampai di pinggang.
Sedangkan Pilot Herman Rante yang juga tertembak teroris sempat diupayakan pertolongan pertama dengan melarikannya ke rumah sakit Bangkok namun nyawanya tidak tertolong. Peristiwa pembebasan yang dikenal dengan sebutan Operasi Woyla telah mengharumkan nama Indonesia di hadapan dunia internasional. Dunia mengakui kehebatan prajurit TNI AD sebab pembebasan tersebut salah satu yang tercepat di dunia yakni hanya berlangsung sekitar 3 menit saja. Akan tetapi Indonesia khususnya TNI AD dihari yang penuh pujian itu juga bersedih sebab salah seorang prajurit terbaiknya gugur dalam peristiwa tersebut.
Atas keberanian dan kepahlawanannya yang ditujukkan Capa Ahmad Kirang, pemerintah menganugerahi almarhum Bintang Sakti Mahawira Ibu Pertiwi sesuai Kepres No. 013/TK/Tahun 1981 tanggal 2 April 1981 dan kenaikan pangkatnya dua tingkat secara anumerta. Sedangkan tim lainnya memperoleh Bintang Sakati Mahawira Ibu Pertiwi dan kenaikan pangkat luar biasa satu tingkat lebih tinggi dari pangkat semula. Dengan upacara militer, pada 2 April 1981 jasad Lettu Anumerta Ahmad Kirang dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Lettu Anumerta Ahmad Kirang dilahirkan di Mamuju, Sulawesi Barat, Pada 8 November 1941. Dia adalah personel Kopassus. Saat berpangkat Capa Kopassus, dia mendapat tugas dan kepercayaan dari pimpinan TNI AD sebagai salah seorang tim pembebasan sandera pesawat Garuda DC- 9 yang dibajak oleh kelompok teroris. Tanpa keraguan tugas mulia tersebut dia tunaikan. Tugas tersebut terlaksana dengan sukses, namun Capa Ahmad Kirang menjadi korban dan gugur dalam menunaikan tugas tersebut.
Sumber:
1. Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarhad)
2. Buku Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
3. Diolah dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar