Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Sabtu, 12 November 2022

Nae Sukur Dan Latar Konflik di Kerajaan Mamuju 1883-1888.

Maradika yang bergelar La Manuka ini bernama asli Abdul Rahman Nae Syukur, bertahta menjadi raja di Tapalang pada tahun 1867 - 1869 menggantikan Pua Caco Tamanggong Gagallang Patta ri Malunda atau juga bernama asli Cakeo Dg. Marriba yang sebelumnya adalah seorang bangsawan pemuka hadat kerajaan Tapalang. Nae Sukur adalah anak dari penguasa atau raja Mamuju Abd. Maalim Daeng Lotong atau Nae lotong yang bergelar Malloanging dan ibunya bernama I Panre putri dari raja Mamuju sebelumnya Daenna Samani To Mejanggu alias Tomampellei Kasugikanna.


Pada masa kepemimpinan Abd. Maalim Nae Lotong di Tapalang (1850-1862) telah terjadi peristiwa perompakan kapal milik Abdul Rachman yang hendak berlayar menuju Kutai Kartanegara, berangkat dari Makassar pada 14 Maret 1856 dan berlayar melalui jalur pantai Tapalang dan akhirnya karam dipantai Dungkait Tapalang pada 25 Maret 1856 dan kemudian dirompak dan kemudian kapal itu dibakar oleh orang orang Dungkait dan Tapalang, kuat dugaan bahwa yang memimpin perompakan ini adalah salah seorang bangsawan Tapalang bernama Pattalunru dan atas peristiwa inilah yang memicu terjadinya kemarahan Gubernur Hindia Belanda dan segera meminta ganti rugi atau kompensasi kepada kerajaan Tapalang dengan mengirimkan utusan kekerajaan Tapalang menggunakan kapal uap Admiral Kingsbergen untuk menyampaikan surat Gubernur tertanggal 6 April 1856 namun pihak kerajaan Tapalang tidak menanggapi dan merasa tidak bertanggungjawab dengan kejadian tersebut selain itu karena Tapalang tidak merasa terikat kontrak perjanjian dengan Pemerintah Belanda.


Sehubungan dengan persoalan perompakan tersebut, pemerintah kolonial Belanda dalam keputusannya pada 16 Mei 1856 No.2, memberikan wewenang kepada gubernur Sulawesi untuk melakukan tindakan tegas apabila mara’dia Tapalang dan Mamuju tidak mengabulkan semua tuntutan yang diminta. Gubernur Sulawesi diharapkan dapat menggunakan sarana yang ada untuk memaksakan mereka memenuhi tuntutan ganti rugi yang diajukan dan menghukum raja-raja itu atau menjatuhkan hukuman terhadap kampung-kampung yang bersalah. Oleh karena hingga awal Juni 1856, tuntutan tersebut masih belum dikabulkan semuanya, hanya sebagian kecil dari barang-barang yang dirompak dapat ditemukan kembali, maka dikirim sebuah pasukan ekspedisi ke Tapalang dan Mamuju pada 10 Juni 1856. Pasukan ekspedisi ini merupakan gabungan dari kekuatan angkatan laut dan darat yang terdiri atas kapal perang (fregat) Palembang, kapal uap Admiraal van Kingsbergen, dan kapal penjelajah Nomor 18 serta 50 di samping satu kesatuan yang diangkut dengan sebuah kapal perang berkekuatan seorang perwira dan 25 orang serdadu. Setelah pasukan ekspedisi tiba di tempat, segera menyampaikan tuntutan ganti rugi dalam waktu 36 jam tidak dikabulkan, maka kedua kampung tersebut akan dibakar dan dihancurkan. Meskipun demikian, pemangku adat Mamuju dan putra mara’dia Mamuju yang bernama Nae Sukur menyatakan tidak mampu untuk membayar ganti rugi yang dituntut. Oleh karena tuntutan tersebut tidak dipenuhi dan seiring dengan berlalunya batas waktu yang ditentukan, maka penghancuran Tapalang dan Tanjung Kait dilakukan tanpa ada perlawanan yang berarti. Penghancuran Tapalang dilakukan pada 19 Juni sementara Tanjung Kait dilakukan pada 20 Juni 1856. Berkali-kali kejadian yang sama kembali terulang di pantai Mandar antara 1858 sampai 1859 hingga pada Oktober 1863. 


Pada permulaan tahun 1862 Maradia Mamuju dan Tapalang Malloanging Nae Lotong mundur dari jabatannya sebagai raja di Tapalang karena merasa sudah tidak mampu melanjutkan jabatannya karena telah lanjut usia, maka digantikan oleh menantu laki lakinya I Samani bergelar Tomessu Ri Atapang (1862-1864). Dimasa kepemimpinan I Samani tidaklah lebih baik dari sebelumnya, pada Oktober 1863 kembali terjadi peristiwa perompakan dan penjarahan dilakukan rakyat Tapalang dan kembali memicu reaksi pemerintah Hindia Belanda atas pembangkangan terhadap kontrak perjanjian yang sudah disepakati pada 31 Oktober 1862. Pada awal tahun 1864 I Samani diturunkan sebagai raja oleh kesepakatan para hadat kerajaan Tapalang dan digantikan oleh Pua Caco Tomanggong Patta Ri Malunda yang juga adalah seorang bangsawan Tapalang yang sebelumnya adalah anggota hadat sebagai Pa'bicara di kerajaan Tapalang, namun pengangkatannya sebagai raja belum mendapat restu dari pemerintah Belanda sehingga pihak pemerintah Belanda memanggilnya untuk datang ke Makassar untuk mempertegas dan menyatakan dirinya untuk patuh pada perjanjian kontrak dengan pemerintah Belanda, namun Pua Caco menolak keinginan pemerintah Belanda untuk datang ke Makassar.


Sebagai Gubernur Hindia Belanda Celebes, J. Anthonius Bakkers memandang segera mengganti raja Tapalang Cakeo Daeng Marriba atau Pua Caco, pemecatan ini dilakukan untuk mempermudah legitimasi peraktek kolonisasi di wilayah Tapalang yang saat itu masih rawan dengan pembangkangan terhadap kebijakan dan kepentingan Kerajaan Belanda diwilayah Tapalang, maka pada Desember 1867 ditunjuklah Na'e Sukur yang juga menjabat sebagai Raja Mamuju atas persetujuan hadat Kerajaan Tapalang untuk diangkat jadi Raja Tapalang, namun Nae Sukur masih berada di Makassar saat itu sehingga pengangkatannya diundur sampai Januari 1868.


Selama memerintah di Kerajaan Tapalang Nae Sukur kurang disenangi oleh beberapa kalangan bangsawan sehingga timbul perselisihan yang kemudian mendapat penentangan dari beberapa tetua adat dan kepala kampung di Tapalang ditahun 1875 terutama perseteruan dengan Hadat kerajaan Tapang akibat sikap dari beberapa bangsawan yang menjabat di kerajaan menilai Nae Sukur terlalu tunduk pada Belanda, puncak dari perseteruan ini adalah pecahnya perang saudara antara pihak Nae Sukur dikerajaan Mamuju dan Tappalang dengan pihak I Samanangngi dan Pattalunru dikawasan hutan Karama pada tahun 1883. Pada pertempuran pertama armada perang kerajaan Mamuju dibawah pimpinan Andi Calla yang juga anak sulung dari Nae Sukur memimpin penyerangan ke Karama, I Samanangngi sendiri adalah sepupu dari Nae Sukur dari jalur ibunya. I Samanangngi dianggap banyak merugikan kerajaan dengan melanggar kontrak perjanjian dengan pihak kerajaan Belanda dengan melakukan perompakan dan menjarah kapal-kapal dagang yang melintas diperairan Mamuju dan Tapalang. 


Selain itu I Samanangngi telah melindungi Pattalunru yang diburu oleh pihak kerajaan Belanda karena selain penjarahan juga menangkap awak kapal untuk dijual sebagai budak pekerja sehingga hal inilah yang oleh pihak Belanda sangat merasa terganggu dengan aktifitas perompakan ini, jelas sangat menganggu keamanan perdagangannya dijalur pantai Tapalang dan Mamuju. I Samanangngi mendeklarasikan diri sebagai penguasa di wilayah Pangale Karama dengan memimpin pemberontak dengan gelar Maradia Pangale Tomampellei Sanjatana. Dalam pertempuran ini Andi Calla tewas ditangan pasukan Maradia Pangale dan berhasil memukul mundur pasukan kerajaan Mamuju dengan kekalahan ini Nae Sukur lantas berinisiatif meminta bantuan pasukan kepada kerajaan Belanda melalui Gubernur Hindia Belanda pada tanggal 5 Juni 1888 di Makassar.


Permintaan bantuan ini lantas mendapat respon dari pemerintah Belanda dengan mengirimkan satu batalyon prajurit dan tiga unit kapal perang bermesin uap antara lain; H.M. Koning,  H.M.Prins Hendrik dan H.M. Madoera dan berangkat ke Karama pada 19 Juni 1888, pada 23 Juni ketiga kapal perang kerajaan Belanda ini membombardir wilayah Pangale dari segala arah dengan dukungan pasukan marinir dan pasukan kerajaan Mamuju. Namun I Samanangngi dan Pattalunru ini lebih cerdik dengan tidak melakukan perlawanan, mereka mengajak semua masyarakat Pangale untuk meninggalkan rumah rumah dan perahunya menuju kehutan yang paling jauh kedalam untuk menghindari jatuhnya korban, prajurit kerajaan Mamuju kemudian membakar rumah dan perahu sebagian milik masyarakat Pangale ini dan pulang dengan tangan hampa.  Baru sebulan kemudian Raja Mamuju Nae Sukur mendapat kabar bahwa Pattalunru siap menyerahkan diri namun hal tersebut tidak pernah terjadi karena mereka tetap bersembunyi dan masih melakukan perlawanan. 


Pada masa pemerintahan Maradika Nae Sukur di Kerajaan Mamuju telah beberapa kali terjadi pembaharuan kontrak dan penandatangan kontrak baru diantaranya tanggal 3 Mei 1889 Perjanjian pengesahan dan persetujuan penyerahan hak mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap kabel Telegraf oleh rakyatnya kea Gubernemen dan pada tanggal 23 April 1890 tentang penetapan peraturan pemasukan dan pengeluaran senjata api, peluru dan mesiu. Dimasa kekuasaan Nae Sukur sebagai Maradia Tapalang (1867 – 1889), telah menandatangani kontrak panjang pada 3 Februari 1868 dan kembali menandatangani Pembaruan Kontrak pada 5 Desember 1868. 


Setelah Maradika Nae Sukur wafat pada tanggal 29 Juli 1895 di Mamuju yang kemudian digantikan oleh menantunya Karanene sebagai Maradika selanjutnya di kerajaan Mamuju oleh Dewan Hadat kerajaan Mamuju dipilihlah Karanene (1895 – 1908) sebagai pengganti raja karena hanya dia yang memenuhi syarat sebagai raja (Maradika) dan dilantik ditahun itu juga.Satu tahun menjabat sebagai raja, Karanene kembali menandatangani kontrak sebagai transisi pemegang kekuasaan raja Mamuju atas penandatanganan kontrak di tahun 31 Oktober 1862 dengan model kontrak tahun 1894 sekaligus sebagai perpanjangan penandatangan kontrak baru.


Karanene yang juga biasa digelar Maradika Pua Aji atau raja yang sudah melaksanakan haji sebagai Maradika Mamuju dan anggota hadatnya kembali menandatangani kontrak tambahan (Suppletoir Contract) Konsesi Pertambangan  pada 13 Juni dan Oktober 1905 dan perpanjangan kontrak pada tahun 1908. Pada masa ini maradika Karanene meletakkan jabatannya dan mengundurkan diri sebagai Maradika Mamuju tahun 1909, raja inilah yang banyak dikecam oleh kalangan keluarga bangsawan kerajaan Mamuju atas sikapnya yang tunduk kepada Belanda yang sebagian menganggapnya sebagai tindakan pengkhianatan atas perjuangan rakyat Mamuju sehingga timbullah perlawanan dari beberapa kalangan keluarga kerajaan di  Benteng Kayu Mangiwang Budong - budong dan di Kassa Sinyonyoi tahun 1907 sampai 1909.


Dalam pertempuran tersebut gugur beberapa orang keluarga kerajaan itu antara lain: Mantaroso Pattana Bone, Tamangujuk Daeng Mattinja Punggawa Malolo, Atjo Ammana Andang dan lainnya. Dengan peristiwa tersebut Maradika merasa telah menyesal dan atas permintaan sendiri Beliau mengundurkan diri dari tahtanya sebagai Maradika dan sebagai penggantinya terpilihlah iparnya Djalaloeddin Ammana Inda (1908 -1950) sebagai Maradika selanjutnya yang juga adalah anak dari mantan raja Mamuju Nae Sukur.(Arman Husain 2022)

Login


Tidak ada komentar:

Posting Komentar