Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 23 Februari 2022

Nenek Moyang Orang Mandar

Menurut sumber cerita rakyat, konon sesudah terjadinya air bah yang memusnahkan seluruh manusia, sisa tujuh manusia yang berhasil hidup pada suatu puncak gunung di sekitar hulu sungai Saddang tersebut anak-beranak, bersaudara, atau masing-masing lain (tidak berfamili), tapi secara kebetulan ketemu dihulu sungai Saddang tersebut, setelah masing-masing berhasil menyelamatkan siri dari amukan air bah. Ketujuh orang tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pongkapadang menuju ke Utara menyusur gunung dan tiba/bermukim di Tabulahan (Daerah Pitu Ulunna Salu).
b. Tolombeng Susu menuju ke Timur dan tiba/bermukim di Luwu (Palopo).
c. Tolando Beluwaq menuju ke Selatan dan tiba/bermukim di Bone (Daerah Bugis).
d. Paqdorang juga menuju ke Selatan dan tiba/bermukim di Belau (Belawa).
e. Tolambeq guntuq juga menuju ke Utara dan tiba/bermukim di Lariang (Daerah Mamuju).
f. Sawerigading dan Tanriabeng, pergi berlayar entah ke mana arah perginya.

Menurut data Lontar Mandar (Lontar Pattappingan), juga mengakui adanya tujuh orang laki-laki semua di temukan di hulu sungai Saddang dan ketujuhnya bersaudara kandung, yakni anak dari Tomanurung, Tobisseditalang (laki) kawin dengan Tokombong Dibura (wanita), lahirlah anak :
a. Tobanua Pong (Tobanua Poang = Kampung tua).
b. Ilaso Kepang
c. Ilando Guntuq
d. Usuq Sababang
e. Topaqdorang
f. Pongkapadang
g. Tapalluq.

Dalam Lontar Balanipa Mandar, juga sepakat bahwa manusian pertama yang berkembang di Mandar, ditemukan di hulu sungai Saddang dan mereka adalah para Tomanurung yang bernama Tobisse Ditallang dan Tokombong Dibura. Perbedaannya dengan Lontar Pattappingan adalah; Tobisse Ditallang perempuan dan Tokombong Dibura laki-laki, juga tidak menentukan bahwa mereka beranak tujuh orang. Jelasnya adalah sebagai berikut : Tokombong Dibura kawin dengan Tobisse Ditallang, lahirlah Tobanua Pong. Tobanua Pong melahirkan Tapaqdorang, Tapaqdorang melahirkan Pongkapadang kawin dengan Sanrabone (Torijeqne) lahirlah seorang anak perempuan yang kemudian diperisterikan Topole di Makka. Maka dari perkawinan ini , lahirlah Tometeq-eng Bassi dan Tometeq-eng Bassi kawin dengan sepupunya, lahirlah Daeng Lumalleq. Daeng Lumalleq kawin sepupu lagi, lahirlah sebelas orang anak, sebagai berikut :
1. Daeng Tumana
2. Lamber Susu
3. Daeng Manganaq
4. Sahalima
5. Palao
6. To qandari
7. Daeng Palulung
8. Todipikung
9. Tolambana
10. Topaniq Bulu
11. Topaliq.

Dari sumber yang sedikit berbeda ini, sepakat menunjuk Pongkapadang sebagai nenek moyang orang Mandar, karena dari padanyalah lahir manusia sebelas bersaudara dan itulah nenek moyang manusia yang berkembang di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binang. Dari sumber cerita rakyat, ada juga manusia sebelas versi Tabulahan, yang menurut sumber ini, juga anak cucu dari Pongkapadang. Lima orang diantaranya ; Daeng Tumana, Daeng Matana, Tammiq, Taajoang dan Sahalima berkembang di Pitu Ulunna Salu dan enam orang diantaranya berkembang di Pitu Ba’bana Binanga, yakni; Daeng Mallulung di Taraqmanu, Tolaqbinna di Kalumpang, Makkedaeng di Mamuju, Tokarabatu di Simboroq, Tambulubassi di Tapalang, Tokaiyyang Pudung di Mekkattaq.

Seminar Sejarah Mandar juga di Tinambung Balanipa Polmas menetapkan bahwa nenek moyang orang Mandar berasal dari Pitu Ulunna Salu, yaitu Pongkapadang.

2. Kekerabatan orang Mandar dengan kerajaan lain di luar Mandar
Dengan melihat manusia tujuh di Ulu Saddang, jika data Lontar yang mengatakan bahwa manusia tujuh yang ditemukan di hulu sungai Saddang itu bersaudara kandung, maka tidak dapat diragukan lagi, adanya hubungan kekerabatan antara orang Mandar dengan keturunan Tolombeng Susu di Luwu, Tolando beluheq di Bone, Paqdorang di Belau (Belawa), serta keturunan Sawerigading dan Tanriabeng, entah dimana saja berada.

Begitu juga hubungan kekerabatan Mandar debgan Gowa, selain yang terjadi pada dimensi awal munculnya manusia dan perkembangannya di hulu sungai Saddangtersebut, lebih jelas lagi pada saat kawinnya Batara Gowa pada Rerasi putri raja Balanipa-Mandar, yang melahirkan Tomapa’risi Kallonna bersaudara, yang sempat menjadi raja gowa.

Hubungan kekerabatan lain, adalah kawinnya Bannaiq putra raja Sendana-Mandar dengan Karaeng Baine (putri raja gowa) Somba sebagai ibu kota kecamatan Sendana Kabupaten Manjene sekarang, adalah bukti sejarah dari peristiwa perkawinan Bannaiq ini dengan Karaeng Baine dari Gowa ini. Dulu daerah itu bernama Lamboriq, tapi setelah perkawinan itu terjadi, namanya berubah jadi Somba, karena pesan dari mertua Bannaiq waktu Karaeng Baine di bawa pulang ke Senadana, supaya dimana saja daerah itu disamakan dengan nama daerah Karaeng Baine, agar mudah dicari, jika orang tuanya rindu padanya. Karena mereka kawin di Somba sampai sekarang.
hubungan kekerabatan Mandar dengan Bone pun demikian halnya. Selain dari Talando Beluheq, juga diikuti oleh perkawinan yang lain sesudahnya, baik antara Balanipa dengan Bone, maupun antara Banggae, Pamboang dan Sendana. Satu contoh misalnya; Tomesaraung Bulawang isteri Daeng Palulung raja Sendana yang pertama adalah putri dari Raja Bone. Adik kandung Daeng Marituq Arayang di Sendana (cucu langsung dari Daeng Palulung) yang bernama Daeng Malonaq, juga kawin pada sepupunya di Bone.

Begitu juga antara Mandar dengan Luwu. Daeng Sirua yang bergelar Puang di Luwu, adik sepupu dari Daeng Palulung yang kawin dengan putri Puatta di Saragiang (Alu), adalah berasal dari Luwu, yang konon keturunanan Tolombeng Susu. Keturunan Daeng Sirua kelak mewarisi kerajaan Alu dan Taramanuq. Dengan demikian, maka jelas sekali adanya pertalian kekerabatan antara Mandar dengan Gowa, Bone dan Luwu, serta beberapa kerajaan lain di Sulawesi Selatan.

3. Kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga. Secara umum, kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga sudah tidak dapat diragukan, berdasarkan fakta sejarah, bahwa manusia yang berkembang di dua kelompok tersebut adalah Pongkapadang dan keturunannya. Namun penulis masih merasa perlu melukiskan perkembangan kekerabatan itu pada beberapa kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga, hingga lebih jelaslah proses perkembangan kekerabatan tersebut sebagai berikut :

Manusia yang berkembang di Balanipa
Seperti yang penulis telah uraikan terdahulu, bahwa Daeng Lumalleq (cucu Pongkapadang) melahirkan sebelas orang anak yang dalam sejarah Mandar dikenal dengan istilah manusia sebelas. Anak ke sebelas diantara manusia sebelas ini adalah Topali. Topali inilah yang kawin dengan Tosimbaqdatu, lahirlah Tobittoeng, Tobittoang yang melahirkan Tomakakaq Napo yang kawin dengan putra Tolemo, lahirlah Weapas yang diperisterikan Puang Digandang, yang melahirkan pula I Manyambungi, raja Balanipa yang pertama. Demikianlah proses keturunan itu berkembang sampai sekarang ini, dimana sesudah I Manyambungi Todilaling ini, lebih meluas dan berkembang pula peraturan kekerabatan antara Balanipa dengan seluruh Mandar.

Manusia yang berkembang di Sendana
selain itu Daeng Palulung saudara kandung Topali (anak ke tujuh dari manusia sebelas), juga anak ke enam dari manusia sebelas yaitu Taandiri berkembang pula di Tallangbalao sendana. Tidak lama kemudian, datang pula Inuji Tokearaq alias Tosibaba Adaq di Limboro Ramburambu Sendana dan berkembang pula keturunannya sampai sekarang. Tosibaba Adaq ini juga adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Begitulah proses perbauran tali-menali kekerabatan diantara tiga sumber keturunan itu di Sendana sampai sekarang, di mana perkembangan lanjutan sesudah ketiga sumber itu jauh lebih meluas, baik diantara Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu, maupun dengan orang di luar Mandar.

Manusia yang berkembang di Banggae
Semula, Banggae dikenal dengan keturunan Tomakakaq di Salogang (Baruga). Tomamakaq di Salogang ini adalah keturunan manusia sebelas juga, yang turun kepantai bersama-sama dengan Topali dan Tosimbaqdatu. Setelah Tosimbaqdatu dengan putrinya Tobittoeng tinggal di Balanipa, tinggal pula Tomamakaq di Salogang di sebuah bukit di Baruga sekarang dan berkembang di sana. Lama kelamaan, beralihlah pusat pemerintahan kepantai yang berkedudukan di Salabose. Dari perkembangan ini, lebih mekarlah pertalian kekerabatannya dengan keturunan Tobittoeng di Balanipa dan bahkan dunia luar. Terbukti dengan kawinnya Imerruparupa Bulawang dengan Topolepole (pendatang). Demikian perkembangan keturunan yang ada di Banggae dengan dunia luar dan antar Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu lebih berkembang luas sampai sekarang.

Manusia Yang berkembang di Pamboang
Menurut Binu Aman sejarawan/budayawan Pamboang, Tomellu melluangang yang datang di Pamboang pertama kali itu, adalah orang Passokkorang. Namun data Lontar Mandar itu juga menggambarkan bahwa Tomellumelluangang adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Yang jelas sumber kedatangannya di Pamboang, adalah Tonisora, raja Pamboang pertama yang datang menyusul Tomellumelluang. Tonisora ini adalah anak dari Tomakakaq di Peurangan, juga keturunan dari manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Mula-mula Tonisora datang ke Puttaqdaq Sendana dan kawin dengan putri Maraqdia Puttanoeq di Sendana, kemudian orang Pamboang datang memintanya umtuk jadi raja di Pamboang. Berkembanglah Tonisora di Pamboang, di samping keturunan Tomellumelluangang sebagai manusia yang pertama datang di Pamboang.57 Perkembangan keturunan berikutnya, jauh lebih meluas di seluruh daerah Mandar dan juga di luar Mandar sampai sekarang ini.

Manusia yang berkembang di Tappalang
Selain Tambulubassi dan pembauran antara keturunan Tandiri dan Tokaiyyang Pudung di Makkatta, juga telah berkembang lebih luas sampai sekarang, terutama dengan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu.

Manusia yang berkembang di Mamuju
Menurut data Lontar, sebelum kehadiran Makkedaeng, Tokarabatu dan Tolaqbinna, keturunan Talambeq Guntuq yang berasal dari manusia tujuh yang ditemukan di hulu Sungai Saddang, telah berkembang di Mamuju. 

Manusia yang berkembang di Binuang
Data Lontar memberi petunjuk bahwa manusia yang berkembang di Binuang adalah juga dari cucu Tokombong Dibura. Dengan demikian, maka mereka adalah juga salah satu dari manusia sebelas, baik dari versi Tabulahan maupun dari varsi Rantebulahan (Pitu Ulunna Salu).
Labih lanjut, perkembangan hubungan kekerabatan menyeluruh di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga serta diluar Mandar, telah diurai rinci dan luas oleh H. Saharuddin dalam Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan Tahun I-4, Januari, Pebruari, Maret 1978.60 Dalam konferensi Tammajarra II, dalam dialognya dengan raja-raja di Pitu Ba’bana Bianga, Tomeppayung raja Balanipa lebih menjelaskan hubungan kekerabatan itu sebagai berikut :
"Malluluareq nasangdi tau mieq inggannana puang, mesadi nene niperruqdussi nisiolai, apaq apponadi Tokombong. Malluluareq nasangditau, apaq sambulo-bulo ditiruqdussi".

Dengan demikian, maka hubungan kekerabatan di Mandar adalah sangat jelas, bahwa orang Mandar bersumber dari satu keturunan yang sejak awal sudah bersatu karena senasib. Olehnya itu, meskipun sering berbeda pendapat sesamanya, tapi kerukunan hidup tetap terpelihara dan terjamin, karena memang suku Mandar berasal dari satu sumber keturunan.

Rabu, 19 Januari 2022

Bajak Laut di Perairan Barat Sulawesi

Dinamika kegiatan pelayaran niaga menjadi kompleks sejak munculnya para perompak atau bajak laut dari Bugis, Makassar, Mandar, Mindanao, dan Tobelo. Mereka melakukan aktivitasnya di Perairan Gorontalo dan di kawasan Teluk Tomini. Pada 27 September 1677 dalam kunjungan Gubernur Maluku, Robertus Padtbrugge di Gorontalo, masalah perompakan menjadi pembahasan penting dalam pertemuan dengan olongia (Maha Raja Kerajaan) Gorontalo. Padtbrugge menyampaikan bahwa keamanan di Teluk Tomini dan pantai utara Sulawesi sangat rawan bagi pelayaran niaga. Hal ini menunjukkan banyaknya bajak laut berkeliaran di Teluk Tomini dan sulit ditaklukan oleh raja-raja di kawasan Teluk Tomini. Untuk mengamankan pelayarannya di Gorontalo, maka VOC mengontrol langsung kawasan Gorontalo agar mencegah timbulnya kerugian lebih besar terjadi pada perdagangannya. Selanjutnya VOC menekan olongia Gorontalo melalui perjanjian antara lain dalam Pasal 8 bahwa olongia Gorontalo wajib menjaga keamanan di wilayah perairannya dari gangguan bajak laut dan menyerahkan para bajak laut yang ditangkap kepada VOC (Juwono dan Hutagalung, 2005:74-75).

Para bajak laut Bugis dan Makassar lebih memiliki strategi serta cara kerja yang lebih baik. Sepanjang wilayah operasinya, mereka mendirikan pangkalan-pangkalan yang letaknya strategis di antara pelabuhan besar atau dekat dari transit kapal dagang. Pangkalan mereka antara lain di Kalangkangan untuk mengawasi Pelabuhan Tolitoli, dan Kwandang. Pangkalan Kalangkangan berfungsi untuk mengawasi dan mencegat kapal-kapal yang memuat barang dagangan dari Gorontalo ke Manado. Setiap pangkalan mempunyai seorang pemimpin, dan mereka membentuk jaringan dan saling membantu ketika menghadapi musuhnya (Juwono dan Hutagalung 2005:108-109).

Hubungan dagang antara bangsawan Gorontalo dengan pedagang Bugis dan Mandar tetap terjalin. Pada 1750-an, pedagang Mandar dipimpin Daeng Mapata memperluas kegiatan operasinya di daerah-daerah pesisir Gorontalo sebagai daerah produksi emas, hasil bumi, dan hutan. Daeng Mapata memiliki hubungan dagang dengan Olongia Botutihe dan bangsawan Gorontalo. Daeng Mapata membeli hasil-hasil hutan dari Gorontalo dan paling utama adalah kayu, lilin, madu, damar, getah, dan rotan (Juwono dan Hutagalung 2005:166). Selain itu, pedagang Bugis, Mandar, dan Makassar membeli barang dagangan yang dilarang diperdagangkan oleh VOC, seperti senjata, amunisi, candu, dan budak merupakan komoditas utama yang menghasilkan keuntungan besar.

Akibat hubungan kerjasama antara olongia dan bangsawan Gorontalo dengan para bajak laut Bugis dan Mandar menyebabkan VOC mengalami kerugian besar. VOC menuduh olongia melanggar perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dengan mengusir para bajak laut dari daerahnya. Sebaliknya, benteng ”Nassau” VOC yang letaknya di Muara Sungai Gorontalo dengan sejumlah pasukan untuk mengamankan kepentingan politik dan ekonominya ternyata tidak banyak membantu mencegah aktivitas para bajak laut. Begitu pula kurangnya jumlah kapal VOC di Perairan Gorontalo menyebabkan tidak efektifnya pengawasan dan kontrol terhadap para bajak laut di kawasan Gorontalo.

Pada awal abad ke-18, terjadi peningkatan jumlah perompakan kapal-kapal dagang VOC yang dilakukan bajak laut dari Bugis, Makassar, dan Mindanao. Munculnya pelaut Mandar sebagai bajak laut telah menambah semakin meningkatnya perompakan di kawasan Gorontalo. Untuk mempermudah pengawasan di Teluk Tomini, bajak laut Mandar mendirikan pangkalannya di Gorontalo. Laporan semakin banyaknya perompakan dan munculnya bajak laut Mandar menyebabkan Gubernur Maluku, Pieter Rooselaar di Ternate mengambil tindakan untuk mengusirnya. Pada 1702, Rooselaar mengirim utusannya ke olongia Gorontalo agar melarang para pelaut asing menetap di Gorontalo. Namun permintaan Rooselaar mendapat penolakan dari Olongia Walangadi. Faktor ini menyebabkan Rooselaar memerintahkan untuk menyerang basis pangkalan bajak laut Bugis, Mandar, dan bajak laut lainnya di Gorontalo. Kemudian dikirim armada VOC dibantu penduduk Tambokan ke Gorontalo, VOC berhasil mengalahkan dan mengusir para bajak laut di Gorontalo. Pada 25 Februari 1703, setelah para bajak laut tidak kembali lagi ke Gorontalo, kemudian Rooselaar memerintahkan untuk menarik kembali armadanya ke Ternate (Juwono dan Hutagalung, 2005:110-111).

Meningkatnya perompakan di kawasan Teluk Tomini, mengakibatkan VOC mengalami kerugian besar. Gubernur Maluku memerintahkan olongia Gorontalo yang mempunyai pengaruh di kawasan Teluk Tomini agar menyelesaikan keamanan di daerah itu. Walaupun olongia Gorontalo menyetujuinya, tetapi sebagian besar bangsawan menolaknya. Para bangsawan menyadari tekanan politik VOC melalui perjanjian atau kontrak yang telah disepakati sangat merugikan posisi Gorontalo. Mereka lebih suka berhubungan dengan pedagang Bugis dan Mandar yang lebih banyak memberi keuntungan daripada menjalin hubungan dagang dengan VOC. Tidak mengherankan beberapa bangsawan memberikan kemudahan bagi aktifitas para bajak laut dalam melakukan penyelundupan dan memberi perlindungan, sehingga bajak laut sulit ditangkap oleh VOC.

Pada 1820, akibat tekanan patroli kapal perang Belanda maka bajak laut Tobelo melakukan persekutuan dengan bajak laut Mindanao, mereka mempunyai persembunyian dan logistik (Velthoen 2010:204). Perahu bajak laut Tobelo memuat sampai 10 orang dan terdapat 4 atau 5 perahu dalam melakukan kegiatan ekspedisinya. Untuk ekspedisi yang lebih penting atau besar, beberapa perahu kecil diikat bersama untuk membentuk pasukan yang lebih besar di bawah perintah seorang pimpinannya. Pada 1870, terdapat 48 perahu bajak laut Tobelo beroperasi di Teluk Tomini. Kemudian dipisah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan menyebar ke perairan timur Sulawesi (Velthoen, 2010:214).

Perompakan di Teluk Tomini dan pantai utara Sulawesi sering dianggap sebagai bentuk menentang penindasan oleh pihak yang lemah terhadap mereka yang mendominasi. Para bajak laut di Teluk Tomini yang terkenal selama abad ke-19 adalah Tombolotutu seorang bangsawan yang kemudian diangkat menjadi raja Muton dan dianggap oleh penduduk setempat sebagai tokoh yang bangkit menentang dominasi ekonomi Pemerintah Belanda (Juwono dan Hutagalung, 2005:21).

Laporan umum Asisten Residen Gorontalo dalam catatanya tahun 1824, 1832, 1833, dan 1834 terjadi jumlah perompakan yang cukup besar. Kemudian Asisten Residen Gorontalo menyurat kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tentang aktifitas para bajak laut, dan meminta bantuan Gubernur Jenderal untuk secepatnya menumpas para bajak laut yang telah menggangu pelayaran dan perdagangan di wilayahnya (ANRI, 1976). Laporan Asisten Residen Gorontalo ditanggapi serius Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia dengan menempatkan sebuah kapal perang di Perairan Gorontalo (Rosemberg, 1865:15). 

Pertengahan abad ke-19, pelaut Mandar telah menempati kedudukan penting dalam kegiatan penyelundupan dan perdagangan gelap. Mereka melakukan hubungan dagang dengan orang Kaili, Bugis, dan Gorontalo. Bajak laut Mandar membawa kain, candu, dan beras ke Gorontalo. Setelah memasukkan barang dagangannya, kemudian mengangkut damar, lilin, teripang, sagu, dan kulit kerang (Juwono dan Hutagalung, 2005:322-323).

Sumber: Disadur dari tulisan Hasanuddin tentang "Pelayaran Niaga, Bajak Laut, Perkampungan Pedagang Di Gorontalo".


Minggu, 10 Oktober 2021

Ahmad Kirang Sang Pembebas

Peristiwa ini terjadi pada 28 Maret 1981, ketika sebuah pesawat Garuda DC-9 Woyla dengan rute penerbangan Jakarta – Medan dibajak saat transit di Palembang. Pembajak yang menyamar sebagai penumpang tersebut terdiri dari lima orang. Para pembajak yang menyebut dirinya sebagai Komando Jihad memaksa kapten Pilot Herman Rante dengan todongan pistol agar mengalihkan penerbangan ke Colombo, Srilangka.

Karena kehabisan bahan bakar, pesawat sempat mendarat di Bandara Penang, Malaysia untuk mengisi bahan bakar selanjutnya mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Selama empat hari drama pembajakan berlangsung di Bandara Don Muang, Bangkok. Pembajak yang dipimpin oleh Imran bin Muhammad Zein tersebut menuntut pemerintah Indonesia agar membebaskan 80 angggota kelompok Komando Jihad yang telah ditangkap karena beberapa kasus atau teror yang mereka lakukan.

Tuntutan pertama yang diajukan para pembajak, mula-mula hanya meminta 20 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981 dibebaskan. Tuntutan pembajak/ teroris tersebut tidak dipenuhi pemerintah Indonesia. Pesawat yang memiliki rute Jakarta-Medan itu dibajak pada pukul 10.10 WIB sesaat setelah tinggal landas dari Palembang.

Saat itu pesawat yang transit di bandara Talangbetutu, Palembang baru saja lepas landas menuju Bandara Polonia, Medan. Pesawat kemudian dibelokkan menuju bandara internasional Penang, Malaysia.

Awalnya, belum diketahui siapa pelaku pembajakan pesawat dengan nomor penerbangan 206 itu. Departemen Pertahanan dan Keamanan yang menangani pembajakan itu hanya mengatakan pembajak dapat berbahasa Indonesia.

Ada 48 penumpang di dalam pesawat. Sebanyak 33 orang terbang dari Jakarta, dan sisanya berasal dari Palembang. Pesawat itu diterbangkan oleh pilot Kapten Herman Rante dan kopilot Hedhy Djuantoro.

Pesawat tiba di Penang pukul 11.20 WIB, dan pesawat itu minta bahan bakar tanpa memberitahukan tujuan berikutnya. Sejatinya, pesawat yang dibajak tersebut hanya melakukan penerbangan di dalam negeri, tidak memiliki rute penerbangan internasional.

Pada waktu pesawat diisi bahan bakar, oleh para pembajak, pesawat tersebut dikunci. Sebelum berangkat pada pukul 16.07 waktu Penang, seorang perempuan bernama Panjaitan yang berusia 76 tahun, diturunkan dan pesawat terbang menuju Bangkok, Thailand.

Ketika akhirnya tuntutan disampaikan, laporan agak simpang siur tentang kemauan mereka, dan tuntutan mereka pun rupanya terus meningkat.

Tuntutan pertama yang diajukan para pembajak, mula-mula hanya meminta 20 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981 dibebaskan.

Namun, para pembajak mengajukan tuntutan baru lagi, dari yang awalnya 20 tahanan, meningkat menjadi 80 orang dan bertambah lagi menjadi 84. Tak hanya itu, pembajak juga meminta didatangkannya pesawat yang lebih besar supaya dikirim ke Bangkok dengan awak pesawat baru yang mengetahui rute-rute internasional. Batas waktu tuntutan dari pembajak tersebut adalah hingga Minggu, 29 Maret 1981 pukul 21.30 waktu Bangkok.

Tenggat waktu yang diberikan pembajak pun terlewati dan permintaan mereka belum terpenuhi. Tidak terjadi apa-apa meskipun sempat terdengar kabar bahwa para pembajak akan meledakkan pesawat jika tuntutan mereka tidak terpenuhi. Senin, 30 Maret petang, tuntutan meningkat lagi dengan tambahan uang 1,5 juta dollar AS di atas semua tuntutan sebelumnya.

Dalam upaya membebaskan para sandera, pada 29 Maret 1981 di Mako Kopassandha Cijantung, dibentuk satu tim pembebasan sandera yang dipimpin oleh Letkol Inf Sintong Pandjaitan. Salah satu prajurit terbaik dan terpilih untuk melaksanakan misi itu adalah Capa Ahmad Kirang.

Sebagai prajurit Komando, maka tugas adalah kehormatan. Tidak ada kata ragu dan terdadak bagi Capa Ahmad Kirang dan sekitar 30 prajurit Kopassandha lainnya karena sebagai prajurit satuan tempur, mereka siap ditugaskan kemanapun dan kapanpun juga bila negara membutuhkannya.

Pada 30 Maret 1981 Tim Kopassandha yang ditugaskan sebagai pasukan antiteror itu diberangkatkan menuju Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand dengan misi membebaskan sandera. Drama pembajakan penumpang pesawat Woyla yang menegangkan itupun akhirnya berakhir dengan upaya pembebasan sandera yang dilakukan Tim Kopassandha, yang dipimpin Letjen TNI (Purn) Sintong Pandjaitan yang saat itu masih berpangkat Letkol Inf pada 31 Maret 1981. 

Dalam misi tersebut Ahmad Kirang yang mendapat tugas bersama rekannya Pelda Pontas Lumban Tobing dengan penuh keberanian dan tanpa keraguan melakukan aksi terobos memasuki pesawat melalui pintu utama belakang pesawat sesuai dengan instruksi komando pada jam 02.45 dini hari.

Tugas itu berhasil dilakukan dengan mendobrak pintu hingga terjadi aksi tembak menembak selama 3 menit antara teroris/pembajak dengan personel Kopassandha. Dalam waktu bersamaan tim lainnya juga menyerbu melalui pintu samping yang juga langsung terlibat dalam baku tembak dengan teroris. Dalam baku tembak tersebut Capa Ahmad Kirang dan rekannya Pelda Pontas Lumban Tobing yang awalnya sempat kesulitan membedakan mana yang teroris dan penumpang terkena terkena tembakan. Sedangkan dipihak pembajak sebanyak empat teroris berhasil dilumpuhkan dan tewas di lokasi kejadian.

Namun nahas, Capa Ahmad Kirang tertembak diperut bagian bawah yang tidak tertutup rompi antipeluru yang dikenakan sehingga tubuhnya luka bersimbah darah. Walau sempat dilarikan ke rumah sakit Bangkok namun nyawanya tidak dapat diselamatkan. Ahmad Kirang gugur dalam menjalankan tugas mulia menyelamatkan sandera. Sedangkan rekannya Pelda Tobing yang tertembak di bagian rusuk dan tangan, nyawanya masih tertolong dan selanjutnya menjalani perawatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

Saat upaya pembebasan berlangsung ketika para penumpang diminta turun, salah seorang pembajak yang diketahui bernama Zulfikar sempat melemparkan granat tangan untuk meledakkan pesawat berikut penumpang. Namun karena pin granat tidak sempurna tercabut maka granat tidak jadi meledak, penumpang dan pesawat pun selamat.

Lettu Achmad Kirang

Letkol Inf Sintong Pandjaitan dalam memoarnya menuturkan, Ahmad Kirang masuk melalui pintu belakang dimana tangga diturunkan secara elektrik. Proses turunnya tangga pesawat memerlukan waktu karena harus mengikuti ritme mekanik. Proses turunnya tangga pintu belakang yang memakan waktu memberikan kesempatan bagi pembajak yang duduk di bagian belakang kanan pesawat untuk bersiap menembak.

Begitu tangga turun, maka Capa Ahmad Kirang diikuti oleh penyergap 2 dengan cepat menaiki tangga pesawat untuk menyerbu. Setelah Capa Kirang muncul di dalam kabin pesawat, dia terkena tembakan pistol di bagian perut yang tidak terlindungi rompi antipeluru. Pemegang sabuk hitam Karateka Dan I itu langsung jatuh. Mungkin rompi antipeluru yang dikenakan oleh Capa Kirang bukan rompi versi militer sehingga hanya melindungi badan sampai di pinggang.

Sedangkan Pilot Herman Rante yang juga tertembak teroris sempat diupayakan pertolongan pertama dengan melarikannya ke rumah sakit Bangkok namun nyawanya tidak tertolong. Peristiwa pembebasan yang dikenal dengan sebutan Operasi Woyla telah mengharumkan nama Indonesia di hadapan dunia internasional. Dunia mengakui kehebatan prajurit TNI AD sebab pembebasan tersebut salah satu yang tercepat di dunia yakni hanya berlangsung sekitar 3 menit saja. Akan tetapi Indonesia khususnya TNI AD dihari yang penuh pujian itu juga bersedih sebab salah seorang prajurit terbaiknya gugur dalam peristiwa tersebut.

Atas keberanian dan kepahlawanannya yang ditujukkan Capa Ahmad Kirang, pemerintah menganugerahi almarhum Bintang Sakti Mahawira Ibu Pertiwi sesuai Kepres No. 013/TK/Tahun 1981 tanggal 2 April 1981 dan kenaikan pangkatnya dua tingkat secara anumerta. Sedangkan tim lainnya memperoleh Bintang Sakati Mahawira Ibu Pertiwi dan kenaikan pangkat luar biasa satu tingkat lebih tinggi dari pangkat semula. Dengan upacara militer, pada 2 April 1981 jasad Lettu Anumerta Ahmad Kirang dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.


Lettu Anumerta Ahmad Kirang dilahirkan di Mamuju, Sulawesi Barat, Pada 8 November 1941. Dia adalah personel Kopassus. Saat berpangkat Capa Kopassus, dia mendapat tugas dan kepercayaan dari pimpinan TNI AD sebagai salah seorang tim pembebasan sandera pesawat Garuda DC- 9 yang dibajak oleh kelompok teroris. Tanpa keraguan tugas mulia tersebut dia tunaikan. Tugas tersebut terlaksana dengan sukses, namun Capa Ahmad Kirang menjadi korban dan gugur dalam menunaikan tugas tersebut.


Sumber:

1. Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarhad)

2. Buku Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando

3. Diolah dari berbagai sumber

Senin, 04 Oktober 2021

Perjalanan Sejarah Mamuju dalam Linimasa 1827 - 1908


­­1827 – Seorang pimpinan bajak laut yang bernama Sindana mendatangi Kampung Mamuju dengan menggunakan 45 kapal dan membakar Mamuju sebahagian rumah rumah penduduk dan menangkap raja Mamuju bersama keluarganya, beberapa orang terbunuh dalam peristiwa ini dan ratusan orang ditawan baik anak anak dan perempuan dan sebagian penduduk melarikan diri ke gunung gunung dan hutan. Para perampok dan bajak laut ini beraksi menggunakan bendera Kerajaan Belanda untuk mengelabui musuhnya.

1828 – September, John Dalton tiba di Pantai kerajaan Mamuju dan selanjutnya tinggal selama 10 minggu. Dua buah kapal Belanda di rebut dan dijarah dan semua awak kapal dibunuh oleh para perompak dari Kaeili, peristiwa ini terjadi diperairan Mamuju.

1850 – 10 Juni, Penandatanganan Kontrak Panjang oleh Maradika Mamuju/ Tapalang, Abd. Malem Dg Lotong (Malloanging) di Mamuju. Setelah penandatangan kontrak oleh raja raja di Mandar lainnya pada 30 Mei 1850 di Balanipa, oleh perintah Pemerintah Hindia Belanda atas inisiatif Kapten J. Noorduyn bersama Ajun Sekertaris Urusan Pribumi Wijnmalen.

1855 – 30 Agustus, Gubernur Sulawesi mengirim surat kepada Maradika Mamuju sehubungan dengan informasi bahwa perompak TUAN LOLO telah meninggalkan Palu dan berangkat menuju Karama di Mamuju, oleh karena itu Maradia Mamuju dituntut untuk menangkap dan menyerahkan TUAN LOLO kepada pemerintah Kolonial Hindia Belanda, bersamaan surat kepada Mayor Kalangkangan di tanggal yang sama agar memberikan bantuannya untuk menangkap perompak TUAN LOLO, akan tetapi setelah kedatangan Kapal “Ambon” yang membawa surat surat itu, perompak Tuan LOLO segera meninggalkan Mamuju setelah beberapa minggu berada di Mamuju dan membawa serta beberapa orang dari Mamuju.( Arsip Makassar No. 354:125; Sinrang, 1994-37)

1856 – 14 Maret, Penduduk Tanjung Kait dan Tapalang melakukan perompakan terhadap kapal milik Abdul Rahman, Kapal bermuatan barang niaga itu berangkat dari Makassar menuju Kutai Kalimantan Timur, Namun kapal tesebut kandas dan karam di dekat pantai Tanjung Kait pada 25 Maret. Dan pada 6 April 1856 Kapal “admiraal Kingsbergen” berangkat ke Mamuju menemui Maradia Mamuju dan Tapalang, Abdul Malem Dg Lotong untuk menyampaikan surat Gubernur Sulawesi yang antara lain berisi tuntutan ganti rugi atas perompakan yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar(Arsip Makassar No.1/10; Arsip Makassar No. 354:125). Pada 16 Mei 1856 Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan surat keputusan Nomor. 2 tentang pemberian kewenangan kepada Gubernur Sulawesi untuk melakukan tindakan tegas apabila Maradia Mamuju dan Tappalang tidak mengabulkan semua tuntutan yang diminta oleh pihak pemerintah Belanda. Pada 10 Juni 1856, pasukan ekspedisi yang terdiri dari kekuatan angkatan laut dan angkatan darat yang terdiri atas kapal perang “fregat” Palembang, kapal uap “admiraal van Kingsbergen dan kapal penjelajah nomor 18 /50, dan satu kapal perang yang mengangkut 25 serdadu dan seorang perwira. Setibanya ditempat segera memberikan ultimatum jika selama 36 jam tuntutan ganti rugi tidak dikabulkan maka kedua kampung itu akan dibumi hanguskan dan dihancurkan. Karena tidak ada penyelesaian oleh pemangku hadat saat itu Nae Sukur menyatakan tidak mampu membayar ganti rugi tersebut, maka dalam jangka waktu yang sudah ditentukan telah habis penghancuran Tapalang dan Tanjung Kait dilakukan tanpa ada perlawanan yang berarti, penghancuran Tapalang dilakukan pada tanggal 19 Juni dan Tanjung Kait dilakukan pada 20 Juni 1856. (Arsip Makassar No. 354:126).
 
1862 – Januari Maradia Tapalang Mamuju, Malloanging Dg Lotong mengundurkan diri dari kekuasaannya karena telah berusia lanjut, kemudian dia digantikan oleh menantunya Dg Samani bergelar Tomessu Ri Atapang di Tapalang dan di Mamuju digantikan oleh anaknya bernama Abdul Rahman Nae Sukur. Dari tanggal 14 sampai 31 Oktober 1862, para raja – raja di Mandar antara lain: Binuang, Majene, Pamboang, Sendana, Tappalang dan Mamuju datang di Makassar untuk menandatangani pembaharuan kontrak panjang.

1863 – 24 Maret, Kontrak dengan Kerajaan Mamuju ditandatangani oleh Maradia Nae Sukur disetujui dan disahkan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda di Makassar. 02 Oktober, kembali terjadi perampokan dan penjarahan kapal dagang milik Belanda di Tapalang. Pemerintah Belanda kembali menuntut ganti rugi namun tidak ditanggapi oleh Maradia Tapalang Dg Samani.
 
1864 – Maradia Tapalang Dg Samani digulingkan oleh Hadat Kerajaan dan digantikan oleh Pua Caco Tamanggong Gagallang Patta ri Malunda. Oleh pemerintah Hindia Belanda memanggil Pua Caco untuk datang Ke Makassar untuk mendapatkan persetujuan dari pengangkatannya sebagai Maradia Tapalang dan atas tuntutan ganti rugi perampokan kapal niaga Belanda di tahun sebelumnya namun berulang kali Pua Caco menolak perintah tersebut.
 
1867 – Maradia Tapalang Pua Caco Tomanggong Patta ri Malunda dimaksulkan dari jabatannya sebagai Maradia Tapalang disebabkan penolakan oleh Gubernur Sulawesi karena belum mendapatkan persetujuan Pemerintah Hindia Belanda atas Pelantikannya sebagai raja Tapalang dan belum memberikan pernyataan kesiapan atas pelanggaran kontrak sebelumnya (1862).
 
1868 – 03 Februari, Maradia Mamuju Nae Sukur merangkap sebagai Maradia Tapalang menandatangani Kontrak Panjang dengan Pemerintah Hindia Belanda.

1874 – 03 Oktober, Setelah Daeng Mattona meninggal dunia pada 1844 sebagai penggantinya putranya bernama Baso Lapatigo baru mendapat pengakuan pemerintah kolonial sebagai Kapten Bugis Kalangkangan melalui surat keputusan tanggal 03 Oktober 1874 sementara putranya bernama Laraga diangkat sebagai pembantunya dengan pangkat Letnan.

1875 – terjadi perseteruan antara Maradia Mamuju/ Tapalang Nae Sukur dengan beberapa bangsawan kerajaan terutama perseteruan dengan Maradia Pangale ,I Samanangi karena Maradia Pangale ini dianggap melanggar Kontrak Perjanjian dengan melakukan tindakan penjualan manusia sebagai budak dan melakukan perampokan dan pembajakan diperairan kerajaan Mamuju.

1883 – Salah satu Putra Nae Sukur yaitu Andi Tjalla menentang Maradia Pangale dan Pattalunru, memeranginya dengan mengerahkan prajurit kerajaan Mamuju untuk menyerang Maradia Pangale bersama Pattalunru dan pasukannya di Karama, namun naas Andi Tjalla tewas terbunuh oleh pasukan Maradia Pangale dan Pattalunru dan sisa prajurit kerajaan Mamuju melarikan diri.

1888 – 5 Juni, atas desakan Maradia Mamuju Nae Sukur kepada Pemerintah Hindia Belanda melalui asisten residen Mandar untuk memberikan bantuan penumpasan kelompok Maradia Pangale I Samanangi dan Pattalunru di Kawasan hutan Karama, maka dikirimlah sejumlah pasukan angkatan laut dengan kekuatan tiga kapal perang MS Koning Der Nederlanden, Prins Hendrik Der Nederlanden dan MS Madura. Dan sehari setelah tiba di Karama Kapal Kapal perang Belanda mulai menggempur habis habisan pasukan Maradia Pangale dikawasan Karama namun tidak ada perlawanan dari pihak Maradia Pangale dan Pattalunru karena sebelumnya telah bersembunyi lebih jauh kedalam kawasan hutan Karama. Baru sebulan kemudian baru diterima kabar bahwa pasukan Pattalunru telah menyerahkan diri kepada pemerintah Belanda.

1889 – 03 Mei, Penandatanganan Kontrak Tambahan ( Suppletoir Contrac) oleh Maradia Mamuju Nae sukur, yang berisi tentang pengaturan hal- hal kabel telegraf dan jalur darat. Dan disaat yang sama Nae Sukur Mundur sebagai Maradia Tapalang dan digantikan oleh Andi Musu Paduwa Limba.

1890 - 18 April, Pengesahan kontrak panjang ditandatangani oleh Maradia Mamuju Nae Sukur dan disetujui oleh Gubernur Hindia Belanda. Tentang Eksplorasi dan Eksploitasi Mineral serta menegaskan agar rakyat Mamuju tunduk pada kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.

1895 – 29 Juli, Maradia Nae Sukur meninggal dunia dan digantikan oleh menantunya Karanene berdasarkan keputusan Hadat Kerajaan Mamuju.

1896 – 30 September, dibuat Kontrak perjanjian pendek yang baru karena peralihan kekuasaan Maradia Mamuju yang menyerupai model kontrak sebelumnya Tahun 1894. Dan pada saat yang sama dilakukan pengukuhan Maradia Karanene sebagai raja Mamuju oleh Hadat dan atas kewenangan Pemerintah Hindia Belanda melalui asisten residen yang ditunjuk yaitu Johan Albert G. Brugman.

1899 – 15 Desember, Penandatanganan Kontrak Tambahan (Suppletoir Contract) oleh Maradia Mamuju Nae Sukur, tentang Eksplorasi dan eksploitasi pertambangan dan mineral di wilayah Mamuju.

1900 – 22 Maret, Pengesahan Kontrak Tambahan (Suppletoir Contrac) dan disetujui untuk dilaksanakan.

1905 – 08 November, Maradia Mamuju Karanene menandatangani perjanjian Kontrak Tambahan (Suppletoir Contract) yang mengatur tentang hak pajak bea masuk barang ekspor dan impor dan melaksanakan manajemen pelabuhan dan pengamanan di pelabuhan kerajaan Mamuju. – 13 Juni, Maradia Karanene kembali menandatangani kontrak politik baru yang mengikuti model kontrak Celebes yang mengacu pada model kontrak tambahan tentang pembayaran pajak jalur dagang sebagai pengganti pajak senilai 4200 f. per tahun yang belum dilunasi pihak kerajaan Mamuju.

1906 – 22 Februari, Pengesahan Kontrak Tambahan (Suppletoir Contract) tahun sebelumnya yang ditandatangani oleh Maradia Karanene.- 07 Juni, terjadi perseteruan sengit antara Andi Mattona dengan seorang kerabatnya bernama Sibakkaranna dipicu oleh keputusan Maradia Mamuju yang dianggap menyengsarakan hidup rakyatnya.

1907 - Juni, atas keputusan Gubernur Hindia Belanda untuk segera menduduki ibu kota Mamuju dan memerintahkan Komandan datasemen untuk menangani urusan sipil dibawah arahan dan pengawasan dari asisten residen di Mandar. 07 September, Beberapa anggota bangsawan Kerajaan Mamuju seperti: Sirul Alamin Daenna Maccirinnae, Pattolo Lipu, Pattana Bone dan yang lain melakukan perlawanan di Hulu Sungai Budong Budong dan membangun sebuah Benteng pertahanan yang disebut Benteng Kayu Mangiwang, 28 – September, Benteng Kayu Mangiwang takluk dan dikuasai oleh militer Belanda dibawah pimpinan datasemen Marsose Letnan Kolonel Van Der Zwaan. 20 Agustus, terjadi pertempuran di Ladang Kassa Mamuju perlawanan yang dipimpin oleh Punggawa Malolo (Tapanggujuk Dg Matinja) dan Atjo Ammana Andang.

1908 – 23 Agustus, Daenna Maccirinnae dan Mantaroso Pattana Bone yang tertangkap di pertempuran di Benteng Kayu Mangiwang muara Sungai Budong Budong, di asingkan ke Jepara, Semarang.

Arman Husain 2021
Login


Jumat, 01 Oktober 2021

Sengketa Tapal Batas Wilayah Kerajaan Mamuju dan Benawa Kaili




Raja Todiboseang memimpin pasukan Mandar Pesisir menyerang Kaili (Donggala). Awalnya, pasukan Mandar tidak yakin mampu mengalahkan pasukan Kaili. Lalu datang bantuan Maradia Bangge, Tomatindo di Barokbok, dan pasukan Kaili berhasil dikalahkan. Sebagian orang Mandar ditempatkan di Kaili. Raja Balanipa sakit dan meninggal di sana. Jenazahnya dibawa dengan perahu ke Mandar. Karena itu, dia dikenal dengan Todiboseang (orang yang didayungkan). (Syah 1992: 67-69).

Penyerangan ini bertujuan mempertahankan wilayah Mandar di utara. Peristiwa ini termaktub dalam Lontar Pattodioloang II. Perang bermula karena perselisihan batas wilayah, antara raja Mamuju dan raja Kaili. Raja yang pertama mengadu kepada raja Sendana dan Tapalang, kemudian diteruskan kepada Balanipa, Pamboang, dan Banggae. Setelah bermusyawarah, diputuskan untuk menyerang Kaili. Pasukan Mandar dipimpin raja Balanipa, Daeng Marrumpa Tomadio Disalassaqna. Selama berbulan-bulan perang, Kaili belum ditaklukkan. Pasukan Mandar mencoba bertahan di Lolomboju, sambil menyusun strategi dan waktu yang tepat untuk menyerang. Saat diserang, Kaili memutuskan untuk menyerah. Raja Kaili, Lamakkarau, bersama hadatnya menemui pimpinan pasukan Mandar di Lolomboju. Di sana kedua belah pihak bersepakat untuk berdamai. 


Setelah kesepakatan di Lolomboju, tidak terdengar konflik antara kedua pihak, Mandar dan Kaili. Baru awal abad ke-20, konflik batas wilayah terjadi lagi, antara raja Mamuju dan raja Banawa (Junarti 2011: 28). Menyikapi masalah tersebut, pemerintah Hindia Belanda menetapkan, dengan Surat Gubernur Sulawesi dan Daerah Bawahannya No. 308 tanggal 2 Mei 1904, batas wilayah kedua belah pihak di antara Suremana, Lalombi, dan Tanahmea (lihat peta 2).



Kedua pihak sepakat bahwa batas antara Palu dan Banawa di satu sisi serta Mamoedjoe di sisi lain dibentuk oleh Sungai Suramana, dari mulut ke hulu hingga jarak sekitar sepuluh paal [sama dengan 18.518,5 meter]. Batas tersebut ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Sulawesi No.17, tanggal 16 April 1906. Dari batas itu ke Selat Makassar ditentukan kemudian (Kolonial Verslag 1906: 60).

Sengketa perbatasan antara wilayah kerajaan Mamuju dan wilayah kerajaan Banawa ini sudah berlangsung lama, dimasa pemerintahan La Makagili (1889-1903) dikenal sangat keras dan dengan segala kebijakannya memicu kerusuhan di Tolitoli dan Mamuju, masalah tapal batas kembali mencuat dan kembali memanas diantara kedua wilayah yang berbatasan, setelah diadakan penyelidikan pada bulan November 1905, dengan keputusan pemerintah tanggal 14 Juni 1906 No.17 ditetapkan bahwa Sungai Suramana dari muaranya dianggap sebagai batas sepanjang kira-kira 10 tiang namun seiring waktu peraturan ini berakhir setelah diterbitkan sebuah Keputusan oleh Pemerintah Hindia Belanda No. 21 pada tanggal 10 Maret 1908 tentang penetapan batas wilayah antara Afdeling Mandar dan Afdeling Sulawesi Tengah yang baru.

Dalam peraturan itu menegaskan bahwa Perbatasan dengan Banawa berdasarkan garis sungai Surumana dari ujungnya sampai sekitar 10 km ke hulu. Namun pada sisi batas dengan wilayah pegunungan Palu dan Luwu belum ditentukan dan belum ada penentuan secara resmi, untuk itu pemerintah Hindia Belanda akan segera membentuk komisi perbatasan untuk proses penentuan tapal batas tersebut.

Dari daerah Karama ke arah selatan batas-batas pegunungan besar yang berbatasan langsung dengan Tabulawan, Arale dan Mambi bagian wilayah Rantepao dan masuk dalam wilayah kerajaan Mamuju.

Sesuai kesepakatan yang di tandatangani oleh beberapa Kerajaan yang berada di wilayah sulawesi Tengah antara lain Kerajaan Palu, kerajaan Banawa/Donggala, Kerajaan Dolo, Kerajaan Kulawi, Kerajaan Tabaku dan Kerajaan Banau yang masing-masing di wakili oleh Rajanya. 
Dihadapan Gezagheber Mamuju, K.W. Lakeman dan Controleur Palu, J. Husselman dan G.H. Ter Laag sebagai Controleur Van Palu menyepakati tapal batas antara kedua wilayah Afdeling Mandar (Mamuju) dan Benawa Kaeli Afdeling Sulawesi Tengah.



Berikut adalah kutipan keputusan penetapan tapal batas keduanya antara lain :
  1. Dari Muara Soengai Soeroemana hingga ke goenoeng Boboe jang tingginja +/- 70 M itoelah tebing tinggi jang pertama tepi kiri dari soengai soeroemana dan itulah jang pertama tampak pada orang kalau moedik dari soeroemana didalam soengai itu.
  2. Dari poentjak Goenoeng Bobosoe satoe baris loeroes kepoentjaak Goenoeng Datigo/107M/,kedoea goenoeng itoe ada bahagian penghabisan sebelah oetara dari barisan soengai soeroemana dan soengai pasangkajoe ,hampir selaloe selebar kerantau, maka semoea soengai2 jnag terdapat antara kedoea soengai itoe jang mana bermoeara di selat makassar,hoeloenja dari barisan goenoeng terseboet,dengan mengetjoealikan saloe Mosanga,jang langsoeng barisan goenoeng itu.
  3. Barisan Goenoeng jang terseboet menoeroet keloeroesan poentjaknja sehingga ke goenoeng Boelawa jang tingginja 166M
  4. Dari Goenoeng Boelawa Menoeroet pemandangan satoe baris loeroes ke goenoeng Polari, teroes sehingga baris itoe bertemoe dengan soengai Pasangkajoe.
  5. Dari Soengai pasangkajoe Moedik hingga ke Kabalaminti, jaitoe doesoen Totjang telah di tinggikan.
  6. Dari kabalaminti menoeroet pemandangan satoe baris loeroes arah ke selatan betoel, hingga bertemoe dengan soengai sloeminti.
  7. Dari saloeminti hilir hingga ketempat mana pertemoenja dengan saloe Tobi.
  8. Dari Saloe Tobi moedik hingga ke hoeloenja.
  9. Dari sitoe satoe baris loeroes hingga dimana titik temoenja dari soengai Koro, didalam teloek Kaloekoe.
  10. Dari soengai Koro moedik hingga ke-ekor barisan goenoeng jang sebentar akan diseboetkan jang mana ekor barisan goenoeng itoe terdapat sebelah barat daeri saloe ampe dan oleh soengai ini terpisahkan dengan ekor barisan goenoeng dimana lembah Pantalawi di Tobakoe.
  11. Menoeroet poentjak dari ekor barisan goenoeng itoe teroes poela dalam pegoenoengan ditempat pertjeraian air arah ke kiri dari tepi soengai Koro.
  12. Itoe barisan poentjak dari pegoenoengan jang terseboet akhir ini hingga ke titik sipat dari afdeling Mandar, Midden celebes dan Loewoe
Penetapan ini ditandatangani pada tanggal 19 september 1915.

Baru pada awal tahun 1919 dibentuklah komisi penentuan garis batas wilayah Afdeling Sulawesi Tengah dengan Afdeling Mandar (Mamuju) dan menyepakati Perjanjian Tapal Batas dengan Kerajaan Mamuju yang berada di wilayah afdeling Mandar melalui surat keputusan (PROCES VERBAAI) dengan nomor 34 tanggal 07 Maret 1919 pertemuan antara beberapa kerajaan yang berbatasan diadakan di Donggala Sulawesi Tengah. Yang ditandatangani oleh Controleur Van Palu, Controleur Donggala, raja Benawa, raja Dolo, raja Tobaku dan raja Benasoe dan raja Mamuju. 


Login