Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Minggu, 29 Mei 2022

Assamaturuang di Lombong (Perjanjian di Lombong)

Perjanjian ini berlatar belakang dari perseteruan antara Daeng Riosoq raja Balanipa dengan raja Pambauang yang bergelar Tomatindo di Bata. Perseteruan itu terjadi karena Daeng Riosoq (setelah wafat bergelar Tonipilong) merebut istri Tomatindo di Bata yang bernama Ipura Paraqbueq. Ipura Paraqbueq adalah cucu dari Maradia Mamuju Tomatindo di Puasana. Pada saat itu, Ipura Paraqbueq merupakan wanita tercantik di seluruh Mandar sehingga mampu menggoyahkan iman Daeng Riosoq dan merebutnya secara paksa dengan kekuatan senjata.


Akibat peristiwa ini, Tomatindo di Bata bersama para pengawalnya meninggalkan Pambauang menuju ke Ulumandaq dan meminta bantuan pada Tomakakaq Ulumandaq untuk mengambil kembali Ipura Paraqbueq istrinya. Atas saran dan petunjuk Tomakakaq Ulumandaq, Tomatindo di Bata melakukan penyamaran dengan merubah penampilannya. Dengan ditemani anjing pemburu yang bergelar Itattibayo, Tomatindo di Bata masuk di kerajaan Balanipa menyamar sebagai seorang Tomakakaq. Satu-satunya yang mengenalnya hanyalah Ipura Paraqbueq dengan melihat cincin dan mendengar suaranya.


Disaat Tomatindo di Bata meminta segelas air untuk minum, Ipura Paraqbueq menyuruh seorang nelayan mengantarkan air dalam gelas yang kemudian di bawa kembali oleh pelayan pada Ipura Paraqbueq. Melihat cincin tersebut, Ipura Paraqbueq sudah seratus persen yakin kalau itu adalah suaminya. Ipura Paraqbueq akhirnya mencari akal dan berpura-pura mengidam mau makan daging rusa hasil tangkapan suaminya sendiri. Lalu dimintanya pada Daeng Riosoq untuk pergi berburu rusa. 


Daeng Riosoq yang tidak mengetahui keadaan sebenarnya, merasa sangat bersuka cita mendengar pengakuan Ipura Paraqbueq yang telah mengidam. Karena cinta dan sayangnya yang teramat dalam, Daeng Riosoq akhirnya berangkat berburu dengan meminjam anjing Tomatindo di Bata. Setelah daeng Riosoq pergi, Tomatindo di Bata tidak menyia-nyiakan kesempatan dan segera pergi membawa istrinya ke Ulumandaq.


Di Ulumandaq, Ipura Paraqbueq tidak bisa bertahan lama karena tidak terbiasa makan tanpa lauk ikan. Dengan persetujuan dan bantuan Tomakakaq Ulumandaq yang memintakan tempat di daerah pantai, maka Tomatindo di Bata bersama istrinya serta pengawal-pengawalnya tinggal dan bermukim di Malundaq.Dari usaha memintakan tempat bermukim ainilah terjadinya Perjanjian Lombong atau Assamaturuang di Lombong, karena tempat diadakannya kesepakatan ini adalah di Lombong Malundaq.


Perjanjian ini terjadi pada sekitar abad XVII masehi dengan pihak-pihak yang terlibat yaitu : Tomatindo di Bata dengan istrinya Ipura Paraqbueq, Tomakakaq Ulumandaq, Pueq di Lombong, Mosso dan Bambangang, Tomakakaq Sambawo, Pueq di Salutambung, Libaq dan Balanggitang. Secara lengkap, kesepakatan yang dihasilkan dalam perjanjian Lombong adalah sebagai berikut :

”Nawei engenang naengei mappassau nyawana mappalewa anaoang paqmaiqna Maraqdia di Pambauang sappelluq-uang tedzong ingganna naulle nakae-kaer manuqna siola palluppuinna, niwengang toi leqboq nanaengei mandoang manjala palluppuinna, ingganna lekkotang.”


Terjemahan : Diberi tempat untuk ditempati memulihkan semangatnya, menghilangkan kesedihan hatinya pada raja Pambauang, sekubangan kerbau sejauh yang dapat dijelajah ayam dan pengawal-pengawalnya, juga diberi laut untuk tempat memancing dan menjala sebatas pada kedalaman setinggi lutut.

”Napoadzaq adzaqna naporapang rapanna odzi adzaq odzi biasa di litaqna di Pambauang.”

Terjemahan :Dia bebas memakai hukum dan aturan serta adat istiadatnya sendiri, sebagaimana yang berlaku di Pambauang.

”Diapiangammi tandi akadzakeang, tandi peoqdong tandi pelango tanna olleq boning tannala pangolleq, tannande pakkira-kira tammappikkir dipettilluqna sawa dipewetona lambaru, tandi paumo dibandangang di kondo bulo. ”


Terjemahan :

Dia pada kebaikan tidak pada keburukan, terhindar dari makanan yang bertulang dan minuman yang beracun, tak terjangkau air pasang tak terkena banjir, terluput dari iri terhindar gigitan ular, juga pada sengatan ikan pari, lebih-lebih dari srangan musuh.

”Lumbang pai pasorang, reppoq pai kondo bulo maqguliling annaq nalosai muaq diang namappakkesar.”


Terjemahan : Nanti roboh benteng pertahanan, patah remuk semua tombak dan parang pusaka, baru musuh bisa menyentuh raja Pambauang bersama pengawal-pengawalnya.

”Moaq meloq-I membaliq di litaqna, tanna eloqna di nassa genainna, naiya engenanna membaliq diassalna.”


Terjemahan : Bila dia ingin kembali ke negerinya (Pambauang), terserah bila sudah merasa mampu dan sanggup. Adapun perkampungan yang ditempatinya akan kembali pada pemiliknya semula.


Pada peristiwa ini, ada yang berpendapat bahwa selama di Malunda Tomatindo di Bata masih menjadi raja Pambauang dan menjalankan roda pemerintahan di Malunda dan ada pula yang berpendapat bahwa Tomatindo di Bata telah digantikan oleh raja yang lain. Sementara perkampungan yang ditempatinya tidak pernah dikosongkan sampai masuknya Belanda dan tempat tersebut tetap diperintah oleh raja Pambauang.


Daftar Kepustakaan:

- Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.

- Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.

- H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.

- Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.

- Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982

- Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar Proyek IDKD Sulsel 1985.

- A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987

- A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.

- A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.

- Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.


Sumber Data

- Sumber tertulis ;

Lontar Balanipa Mandar

Lontar Sendana Mandar

Lontar Pattappingang Mandar

Lembar Perjanjian kuno

Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar


- Sumber Wawancara ;

H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar

Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar

Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar

Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar

Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar

Daeng Matona – Hadat Pamoseang

Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq

Jumat, 27 Mei 2022

MOROMBIA

Proses pembuatan Sagu dari saripati pohon rombia ini disebut MOSAKUNG/MOROMBIA atau orang Mamuju menyebutnya pangkur. Aktivitas ini merupakan kebiasaan masyarakat Mamuju yang telah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Mosakung adalah proses awal pembuatan Sagu yang di olah dari batang pohon Sagu sebelum menjadi "LETTO'" atau biasa di sebut sari tepung sagu. 
Pohon sagu apabila sudah mencapai umur untuk bisa di olah maka akan diolah mulai, dari penebangan sampai proses dibajak isi dalamnya kemudian diperas biasanya dengan cara di injak injak sampai hancur dan diperas.
Seperti gambar di atas salah satu seorang sedang melakukan pangkur sagu mulai dari penebangan sampai proses pemerasan Sari Sagu. Bisanya aktivitas ini di lakukan Di dekat dimana ada mata air atau sungai untuk bisa melakukan proses pemerasan Sari Sagu atau disebut Molanda' karena proses tersebut sangat membutuhkan air yang banyak. 
Prosesnya sangatlah unik batang pohon sagu di babat hingga hancur kemudian isi batang pohon yang sudah hancur tadi di peras hingga menjadi sari sagu. 
Setelah semua proses telah selesai kemudian sari yang di peras tadi di taruh di wadah yang telah di desain khusus yang terbuat dari daun pohon sagu itu sendiri dan untuk membuatnya butuh orang yang ahli dalam menganyam nya agar sari sagu yang masih cair tidak tumpah. 
Hasil akhir dari sari Sagu yang mengendap inilah yang disebut LETTO' yang menjadi bahan baku olahan berbagai macam makanan khas Mandar Mamuju termasuk JEPA /KALUMPANG ROMBIA. 

Sabtu, 21 Mei 2022

SEKOMANDI

Sekomandi' adalah salah satu tenun ikat dengan motif tertua di Indonesia, merupakan tenunan khas daerah Rongkong - Seko dan Kalumpang. Sekomandi' berasal dari dua kata, yaitu "Seko" yang berarti persaudaraan atau kekeluargaan atau rumpun keluarga, dan "Mandi'" yang berarti kuat atau erat. Sehingga Sekomandi' dapat dimaknai sebagai "Ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang kuat dan erat".
Berdasarkan data yang diperoleh dari tutur, cerita/legenda salah seorang penenun yang masih tetap melakoni dan melestarikan Tenunan Sekomandi' di Kalumpang, menyatakan bahwa Sekomandi' awalnya ditemukan oleh nenek moyang orang Kalumpang dari Dusun Lebani bernama "Undai Kasalle" yang sedang berburu di hutan. Ketika berburu dalam hutan, anjing Undai Kasalle berhenti disebuah mulut gua lalu berlari masuk kedalam gua tersebut. Melihat hal tersebut, Undai Kasalle ikut masuk kedalam gua dan menemukan selembar daun besar yang sekilas terlihat seperti ular besar dengan motif yang aneh. Kemudian daun tersebut dibawa pulang dan diperlihatkan kepada istrinya, seketika itu pula istrinya jatuh pingsan lalu kesurupan. Dalam keadaan tidak sadar itulah, istri Undai Kasalle mendapatkan "Ilham" tentang cara membuat Tenunan Sekomandi'. Setelah sadar, istri Undai Kasalle mulai melakukan apa yang diilhamkan kepadanya, dia mulai memintal benang dari kapas lalu membuat pewarna dari campuran beberapa macam tanaman, kemudian merendam benang tersebut kedalam pewarna selama beberapa hari. Kejadian kesurupan ini terus berulang beberapa kali sampai tercipta sebuah Tenunan Sekomandi'.

Sekomandi' sampai saat ini masih tetap dibuat secara tradisional oleh pengrajin dengan menggunakan benang yang dipintal dari kapas dan bahan pewarna alami dari campuran ramuan seperti kemiri, akar mengkudu, daun tarum, lengkuas, kunyit, kapur sirih, pinang, abu dari kayu pallin dan beberapa kayu hutan. Yang paling khas dari bahan pewarna yang digunakan adalah cabe, sehingga dalam pembuatan pewarna sampai kain yang dihasilkan masih terasa hangat dari cabe.
Proses pembuatan kain tenun Sekomandi' terdiri dari beberapa tahapan, yaitu :
1. Proses Pemintalan Benang
Proses ini diawali dengan membersihkan kapas dari biji dan kotoran yang menempel, kemudian dipintal hingga terbentuk helaian benang yang halus dan bersih.
2. Proses Pewarnaan
Setelah pemintalan kapas menjadi benang, kemudian dilakukan proses pencelupan benang kedalam pewarna selam beberapa hari lalu benang dibentangkan. Proses pewarnaan ini memakan waktu selama kurang lebih sebulan sampai diperoleh warna yang diinginkan.
3. Proses Pengikatan
Setelah diperoleh benang berwarna, benang lalu diikat perkelompok yang masing-masing sekitar 10 (sepuluh) helai benang. Kemudian benang mulai dibentuk sesuai pola atau motif yang diinginkan dengan menggunakan teknik pengikatan benang pada alat yang disebut "Kaliuran" yang terbuat dari kayu atau bambu. Fungsi Kaliuran yaitu untuk menahan benang pada saat pengikatan agar benang tetap rapih setelah diikat sesuai motif atau corak kain.
4. Proses Penenunan
Penenunan merupakan proses terakhir dari pembuatan Sekomandi', dimana setelah benang diikat dan membentuk motif, kemudian benang ditenun hingga terbentuk kain Sekomandi'. Proses penenunan ini dapat berlangsung selama beberapa bulan bahkan sampai satu tahun, sesuai tingkat kesulitan dan lebar kain yang diinginkan.
Keunikan kain tenun Ikat Sekomandi, terdapat pada pola warna dan struktur kain. Dimana semua proses pengerjaannya dilakukan dengan tangan atau ditenun dengan menggunakan alat-alat tradisional lainnya. Dibutuhkan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan-bulan untuk memproduksi sehelai kain tenun ikat Sekomandi.
Saat ini, sudah tidak banyak orang yang bisa menenun kain ikat sekomandi.
Oleh karena itu diperlukan perhatian khusus agar kain warisan leluhur ini tetap lestari. Apalagi motif tenun ikat dari Kalumpang dikenal sebagai salah satu ragam motif tertua di dunia. (*)

Sumber : artikel web/blog/sosial media.

Minggu, 08 Mei 2022

"Mamose" Ritual Adat Masyarakat Tangkuo yang patut dilestarikan

Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu untuk tujuan yang simbolis. Seperti halnya tradisi yang ada di Desa Tabolang, kec. Topoyo, kab. Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, berupa RITUAL MAMOSE.
Ritual Mamose adalah adat orang Budong-Budong yang harus di lestarikan. Ritual Mamose berkaitan dengan kegiatan bercocok tanam yang dilakukan tiga kali dalam setahun. Yang pertama dilakukan sebelum masuk hutan atau lahan. Kedua dilakukan setelah selesai merumbut atau membersihkan lahan yang nantinya akan ditanami tanaman. Dan yang ketiga, dilakukan setelah panen.

Dalam mamose terdapat berbagai ritual yang dijalankan, mulai dengan melakukan aksi menggunakan parang di tempat terbuka di sekitaran rumah adat Budong-Budong serta disaksikan langsung oleh raja dan masyarakat. Dalam aksi Pamose (sebutan bagi tokoh adat yang sedang beraksi dengan berbicara bahasa Budong-Budong), Ia menyampaikan pesan-pesan terhadap raja maupun terhadap para masyarakat. Sebelum melakukan aksinya, terlebih dahulu iringi musik dengan gendang, saat Pamose menghadap ke Raja dan Tobara, musik gendang di hentikan lalu Pamose memohon izin terhadap raja dan juga terhadap Tobara (ini adalah sebutan bagi kepala adat).

Sehari sebelum melakukan ritual adat Mamose, maka didahului oleh kegiatan "Magora", yaitu kegiatan menggunakan perahu bermotor (Katingting) berjalan menelusuri sungai Budong-Budong. Saat menghampiri masyarakat yang sudah menunggu di tepian sungai, maka akan  di lakukan "Magane", yaitu kegiatan dengan menggunakan parang, bendera,obat tradisional yang diletakkan di atas piring dan juga sebatang kayu yang ditancapkan di tanah. Hal ini perlu dilakukan agar kiranya kegiatan yang dilakukan berjalan dengan lancar dan masyarakat diberi kesehatan. Dahulu kala bukan kayu yang di gunakan akan tetapi manusia yang di tanam sampai kepala, lalu di lempari kemudian kepalanya di ambil lalu diikat di atas bendera untuk di bawa di arak-arak di atas perahu. 
Agar masyarakat mengetahui kedatangan rombongan, ditiuplah "Tantuang" yang terbuat dari kerang berukuran besar, kemudian singgah di setiap tepian sungai bila ada yang menunggu di pinggiran sungai. Masyarakat yang menunggu di pinggir sungai lalu menghampiri rombongan lalu menyerahkan seperti rokok, makanan, minuman dan lain sebagainya, yang diterima langsung oleh Puntai yang merupakan tokoh adat. 

Puntai kemudian akan mengambil air dari sungai dan dari dalam perahu, kemudian dibasuhkan ke masyarakat yang sedang sakit. Sebelum rombongan kembali berangkat, maka kadang akan terjadi kehebohan yaitu siram menyiram antara rombongan dengan masyarakat yang berada di tepian sungai.

Itulah adat Ritual Mamose yang sudah turun-temurun dan masih berlaku hingga saat ini.

Rabu, 23 Februari 2022

Nenek Moyang Orang Mandar

Menurut sumber cerita rakyat, konon sesudah terjadinya air bah yang memusnahkan seluruh manusia, sisa tujuh manusia yang berhasil hidup pada suatu puncak gunung di sekitar hulu sungai Saddang tersebut anak-beranak, bersaudara, atau masing-masing lain (tidak berfamili), tapi secara kebetulan ketemu dihulu sungai Saddang tersebut, setelah masing-masing berhasil menyelamatkan siri dari amukan air bah. Ketujuh orang tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pongkapadang menuju ke Utara menyusur gunung dan tiba/bermukim di Tabulahan (Daerah Pitu Ulunna Salu).
b. Tolombeng Susu menuju ke Timur dan tiba/bermukim di Luwu (Palopo).
c. Tolando Beluwaq menuju ke Selatan dan tiba/bermukim di Bone (Daerah Bugis).
d. Paqdorang juga menuju ke Selatan dan tiba/bermukim di Belau (Belawa).
e. Tolambeq guntuq juga menuju ke Utara dan tiba/bermukim di Lariang (Daerah Mamuju).
f. Sawerigading dan Tanriabeng, pergi berlayar entah ke mana arah perginya.

Menurut data Lontar Mandar (Lontar Pattappingan), juga mengakui adanya tujuh orang laki-laki semua di temukan di hulu sungai Saddang dan ketujuhnya bersaudara kandung, yakni anak dari Tomanurung, Tobisseditalang (laki) kawin dengan Tokombong Dibura (wanita), lahirlah anak :
a. Tobanua Pong (Tobanua Poang = Kampung tua).
b. Ilaso Kepang
c. Ilando Guntuq
d. Usuq Sababang
e. Topaqdorang
f. Pongkapadang
g. Tapalluq.

Dalam Lontar Balanipa Mandar, juga sepakat bahwa manusian pertama yang berkembang di Mandar, ditemukan di hulu sungai Saddang dan mereka adalah para Tomanurung yang bernama Tobisse Ditallang dan Tokombong Dibura. Perbedaannya dengan Lontar Pattappingan adalah; Tobisse Ditallang perempuan dan Tokombong Dibura laki-laki, juga tidak menentukan bahwa mereka beranak tujuh orang. Jelasnya adalah sebagai berikut : Tokombong Dibura kawin dengan Tobisse Ditallang, lahirlah Tobanua Pong. Tobanua Pong melahirkan Tapaqdorang, Tapaqdorang melahirkan Pongkapadang kawin dengan Sanrabone (Torijeqne) lahirlah seorang anak perempuan yang kemudian diperisterikan Topole di Makka. Maka dari perkawinan ini , lahirlah Tometeq-eng Bassi dan Tometeq-eng Bassi kawin dengan sepupunya, lahirlah Daeng Lumalleq. Daeng Lumalleq kawin sepupu lagi, lahirlah sebelas orang anak, sebagai berikut :
1. Daeng Tumana
2. Lamber Susu
3. Daeng Manganaq
4. Sahalima
5. Palao
6. To qandari
7. Daeng Palulung
8. Todipikung
9. Tolambana
10. Topaniq Bulu
11. Topaliq.

Dari sumber yang sedikit berbeda ini, sepakat menunjuk Pongkapadang sebagai nenek moyang orang Mandar, karena dari padanyalah lahir manusia sebelas bersaudara dan itulah nenek moyang manusia yang berkembang di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binang. Dari sumber cerita rakyat, ada juga manusia sebelas versi Tabulahan, yang menurut sumber ini, juga anak cucu dari Pongkapadang. Lima orang diantaranya ; Daeng Tumana, Daeng Matana, Tammiq, Taajoang dan Sahalima berkembang di Pitu Ulunna Salu dan enam orang diantaranya berkembang di Pitu Ba’bana Binanga, yakni; Daeng Mallulung di Taraqmanu, Tolaqbinna di Kalumpang, Makkedaeng di Mamuju, Tokarabatu di Simboroq, Tambulubassi di Tapalang, Tokaiyyang Pudung di Mekkattaq.

Seminar Sejarah Mandar juga di Tinambung Balanipa Polmas menetapkan bahwa nenek moyang orang Mandar berasal dari Pitu Ulunna Salu, yaitu Pongkapadang.

2. Kekerabatan orang Mandar dengan kerajaan lain di luar Mandar
Dengan melihat manusia tujuh di Ulu Saddang, jika data Lontar yang mengatakan bahwa manusia tujuh yang ditemukan di hulu sungai Saddang itu bersaudara kandung, maka tidak dapat diragukan lagi, adanya hubungan kekerabatan antara orang Mandar dengan keturunan Tolombeng Susu di Luwu, Tolando beluheq di Bone, Paqdorang di Belau (Belawa), serta keturunan Sawerigading dan Tanriabeng, entah dimana saja berada.

Begitu juga hubungan kekerabatan Mandar debgan Gowa, selain yang terjadi pada dimensi awal munculnya manusia dan perkembangannya di hulu sungai Saddangtersebut, lebih jelas lagi pada saat kawinnya Batara Gowa pada Rerasi putri raja Balanipa-Mandar, yang melahirkan Tomapa’risi Kallonna bersaudara, yang sempat menjadi raja gowa.

Hubungan kekerabatan lain, adalah kawinnya Bannaiq putra raja Sendana-Mandar dengan Karaeng Baine (putri raja gowa) Somba sebagai ibu kota kecamatan Sendana Kabupaten Manjene sekarang, adalah bukti sejarah dari peristiwa perkawinan Bannaiq ini dengan Karaeng Baine dari Gowa ini. Dulu daerah itu bernama Lamboriq, tapi setelah perkawinan itu terjadi, namanya berubah jadi Somba, karena pesan dari mertua Bannaiq waktu Karaeng Baine di bawa pulang ke Senadana, supaya dimana saja daerah itu disamakan dengan nama daerah Karaeng Baine, agar mudah dicari, jika orang tuanya rindu padanya. Karena mereka kawin di Somba sampai sekarang.
hubungan kekerabatan Mandar dengan Bone pun demikian halnya. Selain dari Talando Beluheq, juga diikuti oleh perkawinan yang lain sesudahnya, baik antara Balanipa dengan Bone, maupun antara Banggae, Pamboang dan Sendana. Satu contoh misalnya; Tomesaraung Bulawang isteri Daeng Palulung raja Sendana yang pertama adalah putri dari Raja Bone. Adik kandung Daeng Marituq Arayang di Sendana (cucu langsung dari Daeng Palulung) yang bernama Daeng Malonaq, juga kawin pada sepupunya di Bone.

Begitu juga antara Mandar dengan Luwu. Daeng Sirua yang bergelar Puang di Luwu, adik sepupu dari Daeng Palulung yang kawin dengan putri Puatta di Saragiang (Alu), adalah berasal dari Luwu, yang konon keturunanan Tolombeng Susu. Keturunan Daeng Sirua kelak mewarisi kerajaan Alu dan Taramanuq. Dengan demikian, maka jelas sekali adanya pertalian kekerabatan antara Mandar dengan Gowa, Bone dan Luwu, serta beberapa kerajaan lain di Sulawesi Selatan.

3. Kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga. Secara umum, kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga sudah tidak dapat diragukan, berdasarkan fakta sejarah, bahwa manusia yang berkembang di dua kelompok tersebut adalah Pongkapadang dan keturunannya. Namun penulis masih merasa perlu melukiskan perkembangan kekerabatan itu pada beberapa kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga, hingga lebih jelaslah proses perkembangan kekerabatan tersebut sebagai berikut :

Manusia yang berkembang di Balanipa
Seperti yang penulis telah uraikan terdahulu, bahwa Daeng Lumalleq (cucu Pongkapadang) melahirkan sebelas orang anak yang dalam sejarah Mandar dikenal dengan istilah manusia sebelas. Anak ke sebelas diantara manusia sebelas ini adalah Topali. Topali inilah yang kawin dengan Tosimbaqdatu, lahirlah Tobittoeng, Tobittoang yang melahirkan Tomakakaq Napo yang kawin dengan putra Tolemo, lahirlah Weapas yang diperisterikan Puang Digandang, yang melahirkan pula I Manyambungi, raja Balanipa yang pertama. Demikianlah proses keturunan itu berkembang sampai sekarang ini, dimana sesudah I Manyambungi Todilaling ini, lebih meluas dan berkembang pula peraturan kekerabatan antara Balanipa dengan seluruh Mandar.

Manusia yang berkembang di Sendana
selain itu Daeng Palulung saudara kandung Topali (anak ke tujuh dari manusia sebelas), juga anak ke enam dari manusia sebelas yaitu Taandiri berkembang pula di Tallangbalao sendana. Tidak lama kemudian, datang pula Inuji Tokearaq alias Tosibaba Adaq di Limboro Ramburambu Sendana dan berkembang pula keturunannya sampai sekarang. Tosibaba Adaq ini juga adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Begitulah proses perbauran tali-menali kekerabatan diantara tiga sumber keturunan itu di Sendana sampai sekarang, di mana perkembangan lanjutan sesudah ketiga sumber itu jauh lebih meluas, baik diantara Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu, maupun dengan orang di luar Mandar.

Manusia yang berkembang di Banggae
Semula, Banggae dikenal dengan keturunan Tomakakaq di Salogang (Baruga). Tomamakaq di Salogang ini adalah keturunan manusia sebelas juga, yang turun kepantai bersama-sama dengan Topali dan Tosimbaqdatu. Setelah Tosimbaqdatu dengan putrinya Tobittoeng tinggal di Balanipa, tinggal pula Tomamakaq di Salogang di sebuah bukit di Baruga sekarang dan berkembang di sana. Lama kelamaan, beralihlah pusat pemerintahan kepantai yang berkedudukan di Salabose. Dari perkembangan ini, lebih mekarlah pertalian kekerabatannya dengan keturunan Tobittoeng di Balanipa dan bahkan dunia luar. Terbukti dengan kawinnya Imerruparupa Bulawang dengan Topolepole (pendatang). Demikian perkembangan keturunan yang ada di Banggae dengan dunia luar dan antar Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu lebih berkembang luas sampai sekarang.

Manusia Yang berkembang di Pamboang
Menurut Binu Aman sejarawan/budayawan Pamboang, Tomellu melluangang yang datang di Pamboang pertama kali itu, adalah orang Passokkorang. Namun data Lontar Mandar itu juga menggambarkan bahwa Tomellumelluangang adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Yang jelas sumber kedatangannya di Pamboang, adalah Tonisora, raja Pamboang pertama yang datang menyusul Tomellumelluang. Tonisora ini adalah anak dari Tomakakaq di Peurangan, juga keturunan dari manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Mula-mula Tonisora datang ke Puttaqdaq Sendana dan kawin dengan putri Maraqdia Puttanoeq di Sendana, kemudian orang Pamboang datang memintanya umtuk jadi raja di Pamboang. Berkembanglah Tonisora di Pamboang, di samping keturunan Tomellumelluangang sebagai manusia yang pertama datang di Pamboang.57 Perkembangan keturunan berikutnya, jauh lebih meluas di seluruh daerah Mandar dan juga di luar Mandar sampai sekarang ini.

Manusia yang berkembang di Tappalang
Selain Tambulubassi dan pembauran antara keturunan Tandiri dan Tokaiyyang Pudung di Makkatta, juga telah berkembang lebih luas sampai sekarang, terutama dengan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu.

Manusia yang berkembang di Mamuju
Menurut data Lontar, sebelum kehadiran Makkedaeng, Tokarabatu dan Tolaqbinna, keturunan Talambeq Guntuq yang berasal dari manusia tujuh yang ditemukan di hulu Sungai Saddang, telah berkembang di Mamuju. 

Manusia yang berkembang di Binuang
Data Lontar memberi petunjuk bahwa manusia yang berkembang di Binuang adalah juga dari cucu Tokombong Dibura. Dengan demikian, maka mereka adalah juga salah satu dari manusia sebelas, baik dari versi Tabulahan maupun dari varsi Rantebulahan (Pitu Ulunna Salu).
Labih lanjut, perkembangan hubungan kekerabatan menyeluruh di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga serta diluar Mandar, telah diurai rinci dan luas oleh H. Saharuddin dalam Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan Tahun I-4, Januari, Pebruari, Maret 1978.60 Dalam konferensi Tammajarra II, dalam dialognya dengan raja-raja di Pitu Ba’bana Bianga, Tomeppayung raja Balanipa lebih menjelaskan hubungan kekerabatan itu sebagai berikut :
"Malluluareq nasangdi tau mieq inggannana puang, mesadi nene niperruqdussi nisiolai, apaq apponadi Tokombong. Malluluareq nasangditau, apaq sambulo-bulo ditiruqdussi".

Dengan demikian, maka hubungan kekerabatan di Mandar adalah sangat jelas, bahwa orang Mandar bersumber dari satu keturunan yang sejak awal sudah bersatu karena senasib. Olehnya itu, meskipun sering berbeda pendapat sesamanya, tapi kerukunan hidup tetap terpelihara dan terjamin, karena memang suku Mandar berasal dari satu sumber keturunan.