Selasa, 20 Juni 2023
Sabtu, 10 Juni 2023
Disini kita melihat bahwa penulis lontrak terkesan menyembunyikan fakta bahwa Tomejammeng dan Putri Badung berhubungan tanpa diketahui oleh keluarga kedua orangtuanya masing-masing. Dalam lontrak jelas mengatakan Maradia Mamuju setiap Malam mendatangi perahu Putri Badung ini dan sengaja menutupi jalur perahu dengan batu batu agar perahu orang Bali tidak bisa keluar dari sungai, logisnya kalau memang hubungan mereka dianggap sah tidak seharusnya ada usaha untuk menghalangi perahu orang Bali keluar dari sungai untuk kembali pulang.
Sesampai di Bali Sang putri beberapa waktu kemudian lalu mengandunglah anak dari hubungan dengan Maradia Mamuju. Namun kehamilan Putri akhirnya di ketahui juga oleh raja saat itu dan membuat Sang raja menjadi murka sehingga Sang putri di usir dari Istana Badung dan akhirnya Sang putri yang hamil tiba waktunya akan melahirkan.
Namun amarah raja Badung akhirnya mereda setelah mengetahui Putrinya akan melahirkan.
Dan tersebarlah berita dan akhirnya sampai juga ke kerajaan Mamuju bahwa Sang putri telah melahirkan seorang anak laki-laki kembar dengan sebilah keris, ini pula yang membuat raja Badung merasa sangat sayang kepada anak tersebut. Dan seiring waktu anak itu tumbuh besar dalam lingkungan kerajaan Badung yang saat itu di bawah kekuasaan dinasti raja Kyahi Arya Tegeh Kori raja Pemecutan I. Kemudian Raja Mamuju bersiasat untuk mengambil anak tersebut yang merupakan keturunannya yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan Mamuju. maka dikumpulkannya para pembesar kerajaan untuk mencari cara untuk mengambil anak tersebut dari kerajaan Badung.
”..Apa kaiyyangi anaq dininna di Mamuju, matemi amanna. Sauwi nala Tomamuju. Polei sau, iqdai napebei puang Bali. Malaimi Ieqmai. Polei leqmai, marusaqmi mamuju, apaq anaq dininnamo maraqdia. Iqdamijari ande. Terjemahan: Sudah besarlah anaknya yang ada disini. Meninggallah ayahnya (Tomejammeng). Berangkatlah orang Mamuju kesana. Setibanya disana, anak itu tidak diberikan untuk dibawa pulang oleh Puang Bali. Maka pulanglah orang Mamuju, setibanya di Mamuju, kacaulah keadaan karena anaknya yang disini jadi raja. Sudah tidak ada kedamaian dan makananpun tak bisa dimakan.
"...Iumiddels was Badoeng geteisterd door hongersnood en deelde een orakel mede, dat zulks te wijten was nan de verbauning van de bewuste vrouw, waarop zij uit hare atzondering weer aan het hof mocht terugkeeren..” Terjemahan: ”..Sementara itu Badoeng dilanda kelaparan dan seorang peramal memberi tahu bahwa ini disebabkan oleh pengasingan wanita tersebut, setelah itu dia diizinkan kembali ke pengadilan dari pengasingannya..”
Menurut kepercayaan orang Bali bahwa di kerajaan Badung pada saat itu dilanda paceklik dan kelaparan di sebabkan murka dewa karena disebabkan di asingkannya Sang putri sehingga raja akhirnya membawa kembali Sang putri ke istana Pamecutan di Badung, dalam buku itu pun diceritakan bahwa setelah kedatangan utusan dari raja Mamuju, niat untuk membawa pulang anak tersebut tidak mendapat persetujuan dari ibunya sendiri dan para utusan itu pulang dengan tangan hampa.
Melihat kegagalan utusan yang pulang tanpa hasil tersebut, Maradika tidak berputus asa setelah beberapa waktu kemudian Maradika kemudian kembali mengadakan musyawarah dengan para pembesar kerajaan untuk mencari cara yang terbaik agar anak tersebut bisa datang ke Mamuju dan, sampai diputuskanlah bahwa untuk membawa anak itu haruslah di iming-imingi dengan sesuatu yang menarik bagi anak tersebut dan bagi raja Badung itu sendiri agar mengizinkan anak itu dibawa ke Mamuju walaupun akan di kembalikan lagi ke Badung kemudian hari.
Setelah disepakati oleh para tetua adat kerajaan Mamuju maka berangkatlah beberapa perahu yang telah dibekali dengan berbagai macam hadiah berupa perhiasan emas dan permainan gasing yang terbuat dari emas yang di pimpin oleh Sakkaq Manarang atau seorang cerdik pandai dengan pandai besi. Karena raja tidak mau keinginannya untuk kali ini gagal lagi tidak tanggung-tanggung emas yang dibawa cukup banyak sehingga disebutkan banyaknya sampai seperti dua gunung emas dan ada pula permainan seperti Juppiq emas dan Gasing emas untuk memikat anak tersebut.
”...De prauwen hadden twee gouden tollen medegebracht, een djoepi mas met een gasing mas, waarmede het koningskind aan hoord gelokt werd. Het werd eindelijk overgehaald de klewang eveneens mede te brengen, letgeen op een goeden dag gebeurde. Hierna staken de prauwen weder in zee nadat die der Balineezen doorboord waren en dus niet konden vervolgen..” Terjemahan: ”Para prahu(orang Mamuju) membawa serta dua gasing emas, sebuah djoepi mas dengan gasing mas, yang digunakan untuk memikat anak kerajaan. Akhirnya dibujuk untuk membawa klewang juga, yang terjadi pada suatu hari. Setelah itu, perahu-perahu itu kembali ke laut setelah perahu-perahu orang Bali ditembus (dilubangi) dan oleh karena itu (pengejaran) tidak dapat dilanjutkan”.
Sesampainya di Badung orang suruhan raja Mamuju langsung menghadap ke istana kerajaan Badung dan mengutarakan maksud kedatangannya yaitu membawa kabar bahwa ayahanda La Salaga telah wafat dan berkehendak membawa pulang anak raja dengan menyerahkan hadiah pemberian berupa emas yang banyak kepada raja Badung, akan tetapi pemberian tersebut tidak dapat merubah pendirian raja Badung dan tetap saja menolak tawaran dari kerajaan Mamuju, akan tetapi Sakkaq Manarang tidak kehabisan akal dan tidak mau gagal untuk kedua kalinya dengan cara mempengaruhi anak tersebut dengan permainan.
Seperti yang tercantum dalam kalimat lontrak; ”...Mendulumi sau to Mamuju ummalai, nawawami sakkaq manarang, pande bassi. Polei sau, daiqmi naperoa, lqdai napebei lyamo loana, nauwa; beimaq nauttengi naong dilopi sambongi, apaq namalaiaq madondong...”
”..Iya tomo tia napogauq sakkaq manarang, lao mappusarri inggannana lopi nilangga. Apa dappingalloi, lumajami to Mamuju, napalaiammi anak puannga.”
”..Membueqi daiq Bali di mali-malimang, naulumi lopinna. lqdami mala sau apaq roqboqi. Polei leqmai, iyamo maraqdia.”
Pada akhirnya anak itupun terpikat untuk dibawa ke Mamuju akan tetapi Sang bunda tetap bersikukuh tidak menginginkan anak tersebut di bawa ke Mamuju walaupun telah diberi hadiah yang cukup besar. Setelah berhasil mempengaruhi anak itu bahwa jika mau datang ke Mamuju akan diberi permainan yang lebih banyak lagi. Sakkaq Manarang lantas meminta kepada Sang bunda kalau anak itu di ijinkan untuk tidur bersama-sama dengan mereka di perahu orang Mamuju satu malam terakhir sebelum mereka pulang keesokan harinya kembali ke Mamuju dan juga akan mengajari anak itu bermain gasing dan sebagai pelepas rindu untuk bersama-sama dengan anak itu terakhir kalinya yang juga anak raja dari Mamuju, maka Sang bunda tidak keberatan dengan hal tersebut karena di perahu juga ada pengawal kerajaan yang mengawasinya. Anak itupun bersama-sama dengan utusan dari Mamuju semalam suntuk bermain di dalam perahu sampai anak itu terpengaruh ingin datang ke Mamuju setelah mendengar rayuan Sakkaq Manarang, karena merasa telah berhasil mempengaruhi anak itu Sakkaq Manarang pun merasa bahwa tidak baik membawa anak itu tanpa membawa pula kembarannya yaitu sebilah keris yang diberi nama Lasalaga.
Setelah menyusun rencana dengan matang, utusan dari Mamuju segera mengatasi pengawal anak itu dan melobangi perahu-perahu yang ada agar tidak bisa disusul nantinya jika sudah pergi, maka disuruhlah anak itu untuk mengambil saudaranya agar dibawa bersama-sama ke Mamuju yang tersimpan di dalam kamar Sang Bunda di istana dengan segera agar tidak ketahuan diambillah dengan cara sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan ibunya diambillah keris itu dengan tergesa-gesa karena takut ketahuan akhirnya keris itu tercabut dari sarungnya, dan sarungnya dan tertinggal di istana kerajaan Badung.
Keesokan harinya kapal-kapal utusan dari Mamuju telah berlayar dengan membawa anak itu beserta keris pusaka kembarannya menuju ke perairan Mamuju. Dan para pengawal yang mengetahui kejadian tersebut berencana menyusul tapi apa daya semua kapal-kapal milik kerajaan Badung telah tenggelam kedasar laut, Sang Bunda pun tidak berdaya dengan hal itu dan akhirnya merelakan kepergian anaknya.
Sesaat sebelum menginjakkan kakinya kedaratan Mamuju anak itu memberitahukan kepada utusan raja untuk menunjukkan dimana musuh-musuh kerajaan Mamuju saat itu, di Muara sungai Mamuju itu pula akhirnya La Salaga diberitahukan bahwa kelak akan menjadikan kerajaan Mamuju menjadi besar setelah menaklukkan dua wilayah adat yang ditunjukkan sebagai musuh oleh utusan tadi yaitu hadat di Padang dan hadat di Rangas yang tak lain adalah Managallang dan Kurri – kurri.
” In de baai van Mamoedjoe gekomen vroeg de knaap, waar vijanden misden van Mamoedjoe, en werd hem Rangas en Padang gewezen. Een slag met de bekende klewang in de lucht in de richting der overmoedige stammen was voldoende om een aantal der hunnen te doen sneuvelen.” Terjemahan: ”Sesampainya di teluk Mamujoe, bocah itu bertanya di mana musuh hilang dari Mamujoe, dan Rangas serta Padang ditunjukkan kepadanya. Pukulan dengan klewang terkenal di udara ke arah suku yang terlalu percaya diri sudah cukup untuk membunuh beberapa dari mereka.”
Tidak lama kemudian diangkatlah La Salaga menjadi raja, tetapi karena La Salaga saat itu masih berumur sangat muda sehingga jiwa mudanya masih bergejolak dan suka berbuat onar sehingga masyarakat dan hadat kerajaan meminta agar La Salaga kembali ke Badung untuk menemui ibunya. Sejak saat itu kembalilah La Salaga ke Badung untuk menemui ibunya, akan tetapi di Badung kelakuan La Salaga semakin menjadi-jadi dengan melakukan kekacauan di Badung dengan menyerang tetangga kerajaan Badung yaitu kerajaan Sassa (Sasak).
”..Apa iqdai naulle to Mamuju apaq taqlalo begai panggauanna/ malaimi sau dibanuanna.
Polei sau, iy yaamo napogauq lumamba mamusuqi banua, iamo umbetai Sassa (?).
Malaimi leqmai di Gowa. Nairrangngimi diaja di Gowa, sirumummi to Mamuju apaq iqdai naulle, apaq marussaqmi banua, sipate-patei. lyamo nasiturqi daiq nala. Polei dongai, sialami bojap-pissanna.
Iyamo napogauq diong di Mamuju lumamba mamusuqi banua. lyamo umbetai Kurri-kurri, iyamo mettama joaq timbanua...”
Sehingga suatu saat diundanglah raja Badung oleh kerajaan Gowa sekitar tahun 1575, yang saat itu diperintah oleh I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590), untuk menghadiri acara pernikahan salah seorang putrinya. Raja Badung membawa serta putri dan cucunya, La salaga. Sehingga nama La Salaga itu diberikan oleh raja atau masyarakat Bugis yang hadir pula saat itu, sesuai dengan adat kebiasaan gelar bangsawan di Bone dan Gowa dengan menggunakan awalan “La, dan “I- sebagai gelar untuk bangsawan untuk tamu kehormatan. Mengingat dimasa inilah kerajaan Bone dan kerajaan Gowa dalam kondisi dibawah perjanjian perdamaian kesepakatan (Ulukanaya ri-caleppa), yang diadakan di sebuah tempat bernama Caleppa. Setelah peristiwa dibunuhnya raja ke-11, I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte, di kerajaan Bone sesaat setelah menginvasi kerajaan tersebut.
Mendengar kehadiran La Salaga di kerajaan Gowa, berkumpullah para anggota kerajaan Mamuju untuk memanggil kembali La Salaga ke Mamuju, berhubung karena kosongnya tahta kerajaan karena raja Mamuju Tomejammeng telah wafat (1575) saat itu, sehingga kondisi kerajaan tanpa seorang raja telah banyak terjadi konflik di internal istana kerajaan Mamuju bahkan sampai terjadi pertumpahan darah, maka berangkatlah beberapa punggawa kerajaan dan Tobarani ke Kerajaan Gowa.
Pada akhirnya La Salaga bersedia juga kembali ke Mamuju dan dinobatkan menjadi Maradika pada tahun 1580, dan menikah dengan kerabat terdekat dari ayahnya, La Salaga hanya lima tahun menjabat sebagai raja dengan keris Pusaka Manurung penaklukan kerajaan Kurri-kurri dan Managallang akhirnya terwujudkan oleh La Salaga, kesaktian Keris Pusaka Manurung akhirnya membawa kerajaan Mamuju mencapai puncaknya dengan menggabungkan wilayah taklukkannya dan membentuk sebuah kerajaan besar yaitu kerajaan Mamuju yang di pusatkan di Tarambang adalah kerajaan Mamuju sebelumnya yang bernama kerajaan Langgamonar. Sejak saat itu wilayah kerajaan Mamuju di tentukan batas-batasnya setelah dikalahkannya Ringgi dan Bunu-bunu melalui sebuah kesepakatan perjanjian Kalumpang, yaitu mulai dari Pembuni[8], sampai ujung batas Mamuju di Lalombi[9], dan sampai Lebani, yaitu seberang sungai Simboro (Desa Sumare), atau mulai dari tanah Kaili (Sulawesi Tengah), di sebelah timur berbatasan Luwu (Sulawesi Selatan).
Referensi :
[1] Mengenal Mandar Sekilas Lintas. A. Syaiful Sinrang . 2001. Hal : 8
[2] Indische Taal Land en Volkenkunde Deel LIII, NOTA BEVATTENDE EENIGE GEGEVENS BETREFFENDE HET LANDSCHAP MAMOEDJOE_ Legende omtrent de rijkssieraden. Bijlage VII/53. hlm: 150-152.
[3] Dalam Lontar Mandar disebutkan Raja Mamuju yang pertama bergelar Nenek Tomejammeng.(A. M. Mandra,1991).
[4] Dalam terjemahan lontara Mandar, yang ditransliterasi oleh A.M, Mandra tahun 1991, dikatakan bahwa Maradika telah memperistri putri Bali, dan putri sampai mengidam dengan meminta berbagai macam buah-buahan dan kerang laut.
[5]Juppiq sejenis permainan tradisional yang terbuat dari batok kelapa yang bentuknya seperti hati.
[6]Gasing merupakan mainan tertua yang ditemukan di berbagai situs arkeologi dan masih bisa dikenali. Selain merupakan mainan anak-anak dan orang dewasa, gasing juga digunakan untuk berjudi dan ramalan nasib. Sebagian besar gasing dibuat dari kayu, walaupun sering dibuat dari plastik, atau bahan-bahan lain. Kayu diukir dan dibentuk hingga menjadi bagian badan gasing. Tali gasing umumnya dibuat dari nilon, sedangkan tali gasing tradisional dibuat dari kulit pohon. Panjang tali gasing berbeda-beda bergantung pada panjang lengan orang yang memainkan.
[7] Sakkaq manarang adalah orang cerdik (pandai besi) dari istana kerajaan.
[8] Pembuni adalah kawasan hutan yang dihuni suku-suku pribumi disebut topembuni (orang yang bersembunyi) disini yang dimaksud adalah suku terasing yang mendiami sekitar di wilayah Nunu (Palu) sampai Pasang Kayu atau yang sering disebut suku Torominggi (Binggu) yang saat itu dikuasai oleh kerajaan Mamuju.
[9] Lalombi merupakan wilayah administrasi di kecamatan Benawa, Kab. Donggala Sulawesi Tengah.
[10] “Lontar Mandar” yang ditransliterasi A. M. Mandra pada tahun 1991 (bagian dari Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Jumat, 09 Juni 2023
Jumat, 27 Mei 2022
Sabtu, 21 Mei 2022
Minggu, 08 Mei 2022
Jumat, 15 Oktober 2021
Sebagaimana diketahui bahwa negara Republik Indonesia memiliki banyak ragam budaya, etnis dan agama. Masing-masing daerah mempunyai budaya dan adat istiadat sebagai ciri khas daerahnya. Seperti halnya dalam perkawinan, Mamuju memiliki adat tersendiri yang berbeda dengan etnis Mandar, meskipun Mamuju termasuk bagian dari etnis Mandar. Proses perkawinan adat Mamuju sama tetapi tidak serupa dengan perkawinan adat Mandar.
Ada sebuah pepatah yang mengatakan, lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalang.
Defenisi kawin ialah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri. Pengertian hakekat perkawinan menurut agama Islam ialah untuk mengikuti Sunnah Rasul Allah, Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam dalam membentuk keluarga yang sakinah warahmah, berbakti kepada Allah serta taat kepada orang tuanya.
Fase-fase perkawinan :
Untuk perkawinan yang wajar di Mamuju, dalam rangkaian pelaksanaannya melalui beberapa fase dan teknik perbincangan yang begitu halus dan sopan, baik sebelum maupun sesudahnya. Fase-fase tersebut adalah sebagai berikut :
Fase Pendahuluan Uru Pakita (Pandang Pertama)
Pada umumnya manusia yang normal pertumbuhan pada u muda akan mengalami suatu masa yang dikenal dengan mat baler (puber). Pada masa ini akan timbul beraneka raz perasaan yang melanda jiwanya antara lain berupa harap harapan dan kerinduan. Dan setelah ia menemukan dan meliha seorang gadis yang menarik perhatiannya maka ia dala menyatakan perasaannya itu terhadap sang gadis tersebut pada masa dahulu biasanya dibarengi dengan pantun atau kalinda'da.
Ma'lolang (Bertandang)
Untuk melanjutkan perkenalan, pemuda tersebut dengan gadis pandangan pertama itu sebagai akibat dari pandangan pertamanya terhadap sang gadis dan sekaligus bersilaturrahmi dengan orang tua gadis bersama keluarganya, maka pemuda tersebut melakukan kunjungan dinamai malolang (bertandang ke rumah sang gadis) pada waktu-waktu senggang terutama pada waktu malam dan sang pemuda sudah menentukan bahwa gadis inilah satu-satunya yang akan menjadi calon teman hidup d dalam suka dan duka, maka proses selanjutnya adalah sebagai berikut :
I. Ma'bisi' atau Memmanuq-manuq
Ketika dua insan yang berlainan jenis sudah saling jatuh cinta maka dengan secara rahasia pihak laki-laki mengutus seseora atau beberapa orang untuk berkunjung ke rumah p pa perempuan guna menyampaikan maksud dan niat sang pemud tersebut kepada orang tua pihak perempuan (gadis).
sebagai syarat pertama adanya sebuah harapan yang ingin disampaikan. Bingkisan tersebut dibungkus dalam beberapa buah sinto yang isinya terdiri dari rokok, sabun mandi, korek api dan lain-lain. Apabila harapan dan maksud tersebut mendapat sambutan positif, maka proses mabisi atau memanu-manu akan berkelanjutan, tetapi apabila niat dan harapan tersebut tidak mendapat sambutan atau ditolak, maka kunjungan mabisi dianggap tidak pernah ada dan bingkisan yang dibawa tidak dikembalikan yang di dalam istilah bahasa Mamuju disebut, nitibe naung di kalobo atau istilah lain tingkudu pute (di buang ke dalam lubang atau istilah lain adalah ludah yang sudah dibuang tidak mungkin dijilat kembali).
II. Mesudu atau Ma'dutá (Pelamaran)
Pada tahap kegiatan pelamaran (mesudu/ma'duta) kedua belah pihak mempersiapkan diri dan menghadirkan sanak keluarga/famili dalam jumlah yang besar serta kedua belah pihak menunjuk juru biacara. Adapun perlengkapan atau bingkisan dari pihak keluarga orang tua laki-laki yang diantar ke rumah pihak perempuan dengan suatu rombongan yang sudah besar dengan membawa bingkisan berupa beberapa buah sinto dan balla-balla yang di dalamnya berisi rokok, sabun mandi, korek api, balla-balla berisi pisang, jeruk, nenas dan buah-buahan lainnya. Jumlah sinto dan balla-balla biasanya ditentukan dan diukur dari stratifikasi sosial seseorang yang akan melaksanakan perkawinan. Selain sinto, juga ada pakaian perempuan seperti pakaian dalam, alat make-up, sandal, handuk dan lain-lain. Barang bawaan ini diantar oleh para muda-mudi dan orang-orang tua keluarga, kerabat dan sahabat dari pihak laki-laki. Pelaksanaan ma'duta atau pelamaran ini biasanya dilakukan pada malam hari.
Bagi juru bicara pihak perempuan yang sudah dipersiapkan sudah dibekali beberapa buah amanah dan sebuah catatan perincian dan jumlah uang biaya perkawinan, uang mahar dan passorong ditambah emas, hewan dan bahan konsumsi lainnya sesuai kemampuan pihak laki-laki.
Setelah mengadakan negosiasi oleh kedua juru bicara yang b dibarengi dengan kiasan dan pantun (kalinda'da) catatan rencana perincian besarnya biaya dibungkus dalam amplop kemudian diserahkan kepada juru bicara pihak laki-laki, untuk dibawa dan dipertimbangkan oleh orang tua dan keluarga pihak laki-laki. Jika di dalam perkawinan ini stratifikasi (tingkat kebangsawanan) pihak perempuan lebih tinggi dari laki-laki, biasanya pihak orang tua perempuan meminta biaya perkawinan dalam jumlah besar yang biasa disebut mangalli rara (membeli darah). Sama halnya, bila pihak keluarga perempuan kurang setuju maka di sini juga meminta biaya perkawinan tinggi yang biasa disebut mendodo maroka (meminta dengan terpaksa). Bila keluarga pihak laki-laki menganggap permintaan keluarga perempuan sudah terlalu tinggi/besar sehingga pihak laki-laki tidak menyanggupinya, maka kembali keluarga laki-laki mengirim utusan ke rumah orang tua perempuan untuk menyampaikan permohonan maaf atas gagalnya rencana perkawinan dengan ungkapan dan kata-kata "rupanya Tuhan belum mempertemukan jodoh kedua anak tersebut dan istilah lain niala membali passolosuungang (kita kembali menjalin tali persaudaraan)".
Akibat gagalnya perkawinan tadi, maka seluruh barang bawaan dari pihak laki-laki yang sudah diterima harus dikembalikan dengan utuh kepada pihak laki-laki, tetapi sebaliknya kalau pihak laki-laki memutuskan atau membatalkan rencana perkawinan secara sepihak, maka segala macam bawaan dan rencana biaya perkawinan harus ditunaikan oleh pihak laki laki yakni membayar 50 % dari rencana semula dalam bahasa Mamuju disebut massorong sambare atau dengan istilah lain mappalumpa simbolong. Hal ini harus dilakukan karena oleh pihak keluarga perempuan sudah menanggung malu akibat batalnya rencana perkawinan.
III. Modore (Pertunangan)
Proses modore ini berlangsung mulai dari adanya kesepakatan bagi kedua belah pihak tentang biaya dan waktu pelaksanaan akad nikah dan biaya perkawinan sudah tuntas semuanya yang hal ini memakan waktu dari 1 bulan sampai 3 bulan, maka masa ini disebut modore. Selama waktu modore ini calon pengantin laki-laki diharuskan mengantar uang belanja dan bahan konsumsi ke rumah orang tua perempuan yang hal ini disebut mapakande manu artinya memberi makan ayam, karena ayam yang diikat sudah perlu diberi makan. Di daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Mandar pada khususnya ada suatu anggapan yang senantiasa dipelihara yaitu adanya suatu tanda kesungguhan hati dari kedua belah pihak untuk menepati janji dalam mewujudkan rencana pernikahan putra-putrinya, di mana hal tersebut dianggap tabu (pemali) untuk diabaikan seperti dilarangnya calon mempelai untuk bepergian jauh, umpamanya menaiki kendaraan seperti motor dan mobil serta melakukan pekerjaan yang mengakibatkan resiko tinggi, karena sangat peka (sensitive) rawan terhadap beberapa bencana. Masa inilah disebut sebagai waktu karapao-rapoanna (saat yang sensitive) bagi calon mempelai pria dan wanita.
a. Mesurobo
Beberapa hari sebelum pelaksanaan akad nikah oleh calon mempelai perempuan melakukan mandi uap yang dalam bahasa Mamuju disebut mesurobo serta pada siang dan terutama pada malam hari memakai bedak basah yang disebut tappung dengan tujuan agar badan pengantin perempuan menjadi halus dan berbau wangi semerbak. Mandi uap tujuannya juga sama yakni pengantin perempuan jika mengeluarkan keringat selalu berbau wangi/harum. Pada zaman dahulu calon pengantin perempuan dimasker atau dipercantik oleh seorang perempuan/ibu yang biasa disebut indo botting dengan cara sebagai berikut: alis dan bulu rambut yang berada di wajah/muka serta alis calon pengantin dirapikan dengan pisau yang tajam (desundu), selanjutnya di bagian bawah dan atas diratakan dengan sebuah batu gurinda yang disebut nigoso. Dijelaskan bahwa kegiatan mandi uap atau mesirobo biasanya dilakukan beberapa hari menjelang hari pernikahan. Caranya adalah sebagai berikut: calon pengantin perempuan duduk di atas bangunan yang terbuat dari bamboo setinggi kurang lebih 2 meter dengan 4 buah kaki dilengkapi tempat duduk di atasnya, sementara di tengahnya terdapat lubang yang dihubungkan dengan belanga (kurung tampo) yang berisikan ramuan-ramuan tradisional yang baunya sangat harum. Ketika air dalam belanga tersebut mendidih dan menghasilkan uap, maka uap tersebut tersalur melalui bamboo langsung ke sekujur badan calon pengantin yang sedang duduk dengan menggunakan sarung atau selimut yang dibungkus ke seluruh tubuhnya. Dengan demikian calon pengantin akan berbau harum sesuai dengan harumnya ramuan yang telah dimasukkan ke dalam belanga yang bercampur dengan air panas tadi.
b. Membaca Barzanji
Selanjutnya dalam rangka menyongsong pelaksanaan akad nikah, di rumah orang tua pengantin perempuan dilaksanakan acara pembacaan barzanji yang biasanya dilakukan pada malam hari atau ada juga yang melakukan pada pagi hari sebelum tamu-tamu umum datang. Acara ini dilakukan oleh tokoh agama yang berjumlah paling kurang 7 orang atau biasa berjumlah sampai 20 orang. Selain pembacaan barzanji sesudahnya diikuti pemukulan gendang rebana sambil menyanyi yang diikuti atau dikumandangkan oleh para penabuh rebana. Seusai pembacaan barzanji, para tokoh agama pada waktu pulang membawa bingkisan yang disebut kalu (bungkusan yang berisi pulut, telur, kado minnya dan pisang).
c. Manggantung Paleko
Di rumah orang tua pengantin perempuan dihiasi dengan berbagai macam kain warna (paleko) dan pada pintu gerbang dan sekeliling batayang digantung daun nyiur muda (daun niu). Kain warna putih (gandis) dibentangkan mulai dari pintu rumah sampai di dalam ruangan yang akan dilalui oleh pengantin laki-laki, panjang kain putih kurang lebih 10 meter bahkan ada yang lebih. Adapun arti bentangan kain ini ialah adat menerima tamu agung yang juga sama dengan adat di daerah lain seperti Bugis, Makassar bahkan Jawa. Selain kain putih biasanya juga dipakai kain merah.
d. Parrabana
Pukulan rebana dan genderang pamanca sangat perlu ada pada saat iring-iringan pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan (nitindor) bahkan dianggap tabu atau pemali jika tidak ada, karena merunut kebiasaan pada zaman dahulu kala jika ada pengantin tidak menyiapkan bunyi bunyian seperti rebana dan lain-lain. maka akibatnya anak dari pengantin tersebut tidak mendengar atau tuli dan bisu (tidak bisa bicara).
IV. Mappacci atau Mekalantigi
Sebagai rangkaian acara pernikahan adat terhadap etnis Makassar, Bugis dan Mandar, biasanya pada malam menjelang pelaksanaan pernikahan, diadakan acara mappacci atau mekalantigi. Acara ini merupakan malam bermuatan doa restu dari segenap keluarga dan handai taulan terutama bagi tokoh adat, dengan harapan kedua pasang pengantin tetap mendapat rahmat Tuhan dan tujuan selanjutnya agar pengantin mengikuti kebahagiaan tokoh adat yang mekalantigi mengikuti pecuru'na atau naola lalan basena, para orang tua dan tokoh adat yang telah sukses di dalam berumah tangga dikarunia anak serta rezeki yang halal dan banyak. Mappacci (bahasa Bugis), Mekalantigi (bahasa Mamuju) dan dalam bahasa Indonesia biasa pula disebut malam pacar, Pacar adalah daun tumbuhan yang digiling halus untuk memerahi kuku memerahi kuku bagi gadis-gadis. Tumbuhan tersebut dikenal dalam bahasa latin ialah LAWSONIA ALBA. Perkataan pacar boleh mengenai daun, boleh juga mengenai pohonnya atau kembangnya. Pacar itu mempunyai sifat-sifat magis dan dipergunakan tidak pada sembarang waktu. Mekalantigi dilaksanakan menjelang akad nikah diadakan di rumah calon mempelai perempuan atau di rumah masing-masing mempelai dan dihadiri oleh sejumlah laki-laki dewasa atau tetua dari rumpun keluarga sendiri dan tokoh adat.
Pelaksanaan acara ini adalah berlaku bagi orang terutama Puang (bangsawan). turunan taupia (golongan adat), turunan joa/peampoan (yakni orang merdeka). Pelaksanaan mekalantigi dipandu oleh seorang orang tua yang mengerti masalah adat.
Sebelum acara mekalantigi dimulai oleh seorang perempuan tua (indo botting) terlebih dahulu mengadakan kegiatan menghiasi tempat tidur dengan cara sebagai berikut: menggantung paleko bissu, mempersiapkan lampu atau pallang yang terdiri dari pallang dan sulo langi. Selain itu mempersiapkan sia-sia dan jalappa yang dibunyikan pada saat mekalantigi dimulai, tempat tidur yang sudah dihiasi diletakkan sebuah bantal guling yang di atasnya diletakkan 7 buah sarung yang terlipat rapi, selanjutnya di atas sarung ditaruh daun pisang dan sebuah keris pusaka barangtuda' yaitu beras ditaruh pada sebuah piring besar dan di atasnya diletakkan 7 butir telur ayam dan beberapa keping uang logam. Kemudian tempat raja dan galaga'gar pitu dibuatkan pagar bambu yang dihiasi dengan rapi yang disebut balasuji. Di hadapan pengantin ada tempat yang berisikan kalantigi, ada setangkai rappa dan ada keris, ada kobokan yang berisi air. Bila acara mekalantigi mau dimulai, maka indo botting mulai membakar pallang dan sulo langi dan para orang tua yang memegang sia-sia dan jalappa mulai beraksi membunyikan musik tradisional tersebut.
- Sia sia adalah sebuah besi batangan yang menyerupai pisau.
- Jalappa adalah dua buah besi tembaga yang berbentuk topi. Kedua benda ini adalah termasuk alat musik tradisional.
V. Akad Nikah
Upacara akad nikah ada yang dilaksanakan pada waktu siang hari sebelum matahari mencapai titik kulminasinya, ada pula yang melaksanakan pada malam hari. Dihadiri oleh keluarga dan kerabat serta handai taulan dari kedua belah pihak di rumah orang tua perempuan. Akad dilakukan oleh orang tua/wali perempuan atau yang diserahi kewalian itu. Biasanya yang diserahi kewalian orang tua perempuan. adalah kadhi/imam setempat. Selesai pelaksanaan akad nikah lalu pengantin laki-laki diantar oleh seorang keluarga pihak laki-laki melaksanakan nipasikanti (pertemuan pertama). Setelah selesai pelaksanaan akad nikah kemudian oleh salah seorang yang mewakili keluarga mempelai laki-laki mengantar dan membawa pengantin laki-laki ke suatu tempat atau kamar yang terlebih dahulu sudah disiapkan dan sebelum masuk kamar yang ditempati pengantin perempuan, maka wakil orang tua laki- laki yang mengantar tadi harus mengeluarkan uangnya membayar dengan uang ala kadarnya yang namanya kunci pembuka kamar.
Setelah pintu terbuka, maka acara nipasikanti atau pertemuan pertama dimulai dengan memperkenankan pengantin laki-laki (suami) dengan pengantin perempuan (istri) yang sudah sah menjadi suami istri. Pada acara ini pihak pengantar pengantin laki-laki membacakan mantera (doa) dan pengantin suami istri setelah jabat tangan dengan ibu jari tangan bertemu kemudian biasanya kedua belah pihak masing-masing menggunakan cara dan taktik yang antara lain memegang anggota badan istrinya/suaminya dengan harapan istrinya tidak cepat layu atau tua, dan juga pada pertemuan kedua ibu jari tangan masing-masing berusaha tangannya lebih tinggi di atas dengan bermaksud siapa yang lebih tinggi dia akan menjadi pengendali dalam rumah tangganya. Ada pula memakai cara lain ialah menginjak kaki suami atau istrinya dengan harapan sama di atas.
Sesudah acara nipasikanti kedua pasang pengantin duduk di pelaminan yang selanjutnya oleh pihak pengantin laki-laki membaca sighat taklik atau berjanji dengan disaksikan oleh para keluarga dan undangan bahwa dia akan memperlakukan x istrinya dengan baik. Dalam acara ini juga seorang laki-laki setengah baya keluarga pihak laki-laki membawa dan menggendong 1 (satu) biji buah kelapa yang baru tumbuh dan biasa juga pohon rumbia yang baru tumbuh untuk diserahkan kepada keluarga pengantin perempuan dan selanjutnya diganti dengan sebuah sarung palaikat. Kelapa atau rumbia ini disebut sompa. Pada acara ini oleh protocol mempersilahkan wakil orang tua kedua mempelai untuk membawakan sepatah kata (selamat datang dan terima kasih dan selanjutnya nasehat perkawinan yang dibawakan oleh seorang ustadz).
![]() |
VI. Nibungkes
Pada fase ini oleh kedua mempelai mandi bersama di rumah orang tua perempuan di sekitar posiq arriang (sokonguru). Acara ini dilaksanakan sesudah acara akad nikah atau sebelum resepsi. Pelaksanaannya sangat unik karena pada waktu akan mandi perempuan duduk di talutang (sejenis) alat tenun) dan sang laki-laki di atas anjoro timpoa (setandan kepala) yang. dihiasi dengan daun nyiur dan burobe. Selesai acara ini berarti selesailah seluruh rangkaian acara perkawinan itu dan keduanya (suami-istri) yang baru itu telah siap membina dan melayarkan bahtera rumah tangga. Air mandinya ditempatkan pada sebuah tempat air yang disebut katoaang yakni baskom yang terbuat dari tanah liat, air dicampur dengan bunga bungaan yang harum, daun pandang, burobe (bunga kelapa) dengan dipagari oleh daun nyiur yang muda.
VII. Nitindor (Arak) atau Nilekka
Pada fase ini pengantin laki-laki nitindor (diarak) ke rumah mempelai perempuan dengan memakai pakaian kebesaran sesuai dengan tingkat stratifikasi sosial kemasyarakatan. Kaum kerabat dengan berjalan kaki diantar oleh keluarga dan handai taulan menuju rumah pengantin perempuan. Seperangkat bawaan sesuai dengan kebiasaan seperti: minyak kelapa 1 (satu) belek, minyak tanah 1 (satu) belek, kande nikka (makanan kawin), beberapa buah sitto, anjoro tuo (cikal), bua loa (sejumlah uang), balla-balla, erang-erang dan hewan/kerbau atau sapi atau beras ikut diarak. Untuk menyemarakkan tolekka (arak arakan) ini, sekelompok parrawana (penabuh rebana) beraksi sepanjang jalan, bermula dari rumah pengantin laki-laki sampai ke rumah pengantin perempuan. Semua bawaan diantar oleh gadis-gadis dan pemuda/pemudi dengan berpakaian adat Mandar. Tiba di rumah pengantin perempuan, pengantin laki laki dan rombongannya dijemput dengan meriah dan penuh kehormatan dari pihak keluarga perempuan. Setelah rombongan pengantin laki-laki tiba di pekarangan rumah, saat itu dua orang keluarga pihak perempuan datang menjemput dengan membawa selembar sarung sutera sambil dipasangkan pada pengantin laki-laki seraya mengucapkan kata mempersilahkan masuk ke dalam rumah dengan segala kehormatan. Begitu pengantin laki-laki naik ke tangga atau memasuki rumah, maka semburan beras dari seorang wanita tua akan menjemputnya pula, dan di pintu masuk ruangan sang pengantin diharuskan 1. menginjak sebuah kapak dan daun rappa yang sudah disiapkan sebelumnya dan meminum seteguk air dari sebuah cerek yang disodorkan oleh seorang wanita tua yang telah menunggunya. Selanjutnya pengantin langsung duduk di ruangan depan rumah, kemudian disusul oleh rombongan pattindor beserta bawaannya. Pada masa lalu acara ini dilaksanakan pada waktu sore. Akan tetapi pada masa sekarang ini pelaksanaannya digabung dengan acara mallattigi, dan dilanjutkan dengan akad nikah.
Dalam acara ini para undangan yang hadir utamanya kaum keluarga membawa bingkisan berupa apa saja sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik berupa bahan pakaian, bahan makanan ataupun berupa uang. Yang tidak sempat pada kesempatan pertama itu kaum wanitanya datang menyusul sesudah acara akad nikah tersebut pada waktu sore atau malam hari. Hal seperti itu disebut "Massoloq" atau "Massanganaq" (mempererat tali kekeluargaan dan kekerabatan).
VIII. Marola atau Meondo' (berkunjung)
Pengantin perempuan berkunjung ke rumah orang tua pengantin laki-laki ditemani oleh sambainena (para sahabatnya) dan diantar oleh beberapa wanita dewasa dan tua. Acara ini dianggap sebagai penerimaan resmi antara mertua dengan menantu. Pada acara meondo' kedua pengantin duduk di tempat pelaminan dan oleh seorang perempuan tua atau indo botting melakukan acara nisipopo makan makanan manis (makan beras pulut dan minum palopo) seperti biasanya dilaksanakan pada waktu sore atau malam hari. Dalam kesempatan ini sang pengantin atau menantu menerima bingkisan dari mertuanya sesuai dengan kadar kemampuannya. Ada yang berupa pakaian, ada berupa emas atau perhiasan, ada pula berupa pohon dan bahkan ada pula berupa tanah pertanian, dan lain-lain. Selanjutnya kegiatan marola ini dilanjutkan kepada semua keluarga terdekat pihak laki-laki utamanya paman dan bibinya.
IX. Acara Nipasisakka
Di dalam perkawinan adat Mamuju Mandar ada suatu acara namanya nipasisakka yaitu para keluarga kedua mempelai datang berkumpul di rumah orang tua mempelai perempuan. Acara nipasisakka hampir mirip dengan kucing-kucingan dilaksanakan satu atau perkawinan selesai. dua malam, sesudah resepsi.
Setelah para keluarga yang terdiri dari orang tua, laki laki dan perempuan berkumpul duduk bersila pada suatu ruangan tamu besar dengan membuat lingkaran besar, maka pengantin perempuan yang biasanya didampingi oleh dua (2) orang sahabatnya muncul di tengah kerumunan keluarga yang ketiga-tiganya memakai dua buah sarung dengan kepalanya dibungkus, lucunya lagi sarung yang dipakai ketiganya sama sama warnanya sehingga bagi pengantin laki-laki sulit memburu dan menangkap isterinya. Setelah itu jika sudah bisa ditangkap pengantin perempuan tidak bisa langsung menyerahkan diri kepada suaminya karena merasa malu dan mempersenjatai dirinya dengan peniti dan barang tajam lainnya, hal ini disebut Maraju. Keadaan Maraju biasanya berlangsung 1 sampai 2 minggu.
Dampak dari keadaan ini tangan pengantin laki-laki penuh tusukan peniti yang mengakibatkan luka dan berdarah. Tapi pada akhirnya pengantin wanita menyerah dan kedua pengantin menikmati malam pertama nya.
Sumber:
Selayang pandang sejarah adat kabupaten Mamuju. Oleh, Drs. H. Ince Abd. Rachman Thahir, MPA. (Alm). 2004.
Sabtu, 09 Oktober 2021
Dahulu kala ada empat orang bersaudara, satu orang tinggal di tempat arah terbitnya matahari yang satunya lagi tinggal ditempat arah terbenamnya matahari, sedangkan yang duanya lagi tinggal di sebuah tempat bernama Rante Kamande. Yang menetap di tempat arah terbitnya matahari mempunyai satu orang anak perempuan bernama Icci Elari Bittoeng, sedangkan yang tinggal menetap diarah matahari terbenam mempunyai satu orang anak perempuan bernama Inae Kaca Kamummu. Yang menetap di Rante Kamande saudara yang satunya mempunyai anak perempuan yang bernama Samindara dan yang satunya lagi punya anak laki-laki yang bernama Kunjung Barani.
Setelah Kunjung Barani dan Samindara telah berumur dewasa, Kunjung Barani suatu hari datang ketempat bermain bola raga dekat dengan rumah bibinya untuk bermain sepak raga. Dan suatu kejadian Kunjung Barani tidak sengaja menendang bola raganya kuat kuat dan melambung tinggi keatas langit namun naas bola raga itu jatuh diatas atap rumah Samindara, dan kebetulan memang Samindara ada di dalam rumanya dan mengambil bola tersebut dengan memanjat ke atap rumahnya lalu dilemparkannya kebawah. Karena memang sebelumnya Samindara tidak mau dilihat oleh laki laki manapun tapi disaat akan melemparkan bola raga tersebut maka terlihatlah tangannya oleh oleh Kunjung Barani.
Begitu setelah melihat tangan Samindara, Kunjung Barani langsung mendatangi rumah bibinya dan berkata “ Bibi aku melihat tangan seorang gadis tadi saat melemparkan bola ragaku, apakah bibi ada tinggal bersama seorang perempuan ?” Bibinya lantas menjawab” Ooh itu bukan perempuan siapa-siapa melainkan dia adalah sepupumu sendiri” jawab bibinnya, mendengar itu Kunjung Barani langsung diam dan berbalik badan pulang kerumahnya. Kunjung Barani yang baru tahu ternyata punya saudara sepupu seorang perempuan, membuatnya berfikir dan jadi penasaran bagaimana rupa sepupunya Samindara yang baru dia ketahui. Maka pada keesokan harinya Kunjung Barani mendatangi rumah bibinya dari arah belakang mencoba mengetahui bagaimana rupa Samindara, dengan mengintip dari balik celah didnding rumah bibinya yang ada, maka dilihatlah rupa Samindara yang ternyata sangat cantik menawan hati Kunjung Barani.
Lapadai pun terpaksa pulang dengan tangan hampa bahkan harus menerima cacian samindara. Dan sesampai dirumah Kunjung Barani bertanya pada Lapadai “Apakah lamaranku diterima ?” Lapadai menjawab “ditolak dan kita bahkan dihina oleh Samindara” mendengar itu Kunjung Berani sangat kecewa dan patah semangat. Melihat anaknya yang sangat kecewa sang ibupun berusaha menghibur hati Kunjung Barani yang gundah gulana, si ibu kemudian berkata “ kamu tidak usah kecewa dengan penolakan lamaran itu, masih ada perempuan yang pasti mau menerimanya jadi suami,maka ibunya pun mengatakan kalau masih ada anak saudaranya yang lain mungkin menerima lamaran Kunjung Barani. Sang ibu kemudian menunjukkan anak saudaranya yang tinggal disebuah tempat arah matahari terbit yang juga sepupu sekalinya bernama Icci Elari Bittoeng yang kecantikannya hampir sama dengan kecantikan Samindara. Namun Kunjung Barani menolak tawaran sang ibu dan beranjak tidur. Dalam tidurnya Kunjung Barani bermimpi melihat seorang anak yang bermain gasing dibawah kolong rumahnya, lalu anak itu kemudian berkata “Pergilah temui seorang kakek di Toraja, kamu akan melewati tujuh gunung, tujuh lembah dan kamu akan menemukan rumah Kakek itu” kata anak itu dalam mimpinya.
Tidak lama kemudian Kunjung Barani lantas menyuruh kerabatnya Lapadai untuk mendatangi Kakek tersebut sesuai yang ada di mimpinya, dan sampailah Lapadai dirumah Kakek itu di Toraja dan Lapadai disambut dengan sangat ramah oleh tuan rumah, berturut turut dari dalam ruang tengah rumah Kakek itu muncul istri – istrinya ke tujuh orang dan terakhir sang Kakek yang keluar dari ruang tengah rumahnya. Kakek tersebut kemudian bertanya kepada Lapadai apa maksud tujuannya datang kerumahnya, Lapadai kemudian menjawab “Saya hanya suruhan seseorang yang ingin belajar ilmu memikat perempuan yang telah menolaknya untuk dijadikan istri” jawab Lapadai dengan singkat. Si Kakek pun menjawab” ohh ,.. kalau itu bisa tapi ada syaratnya yang harus terpenuhi dan itu sangat berat”. Lapadai kemudian bertanya lagi “Apa syaratnya kek?”, Kakek kemudian menjelaskan “ Syaratnya 40 ekor kerbau beserta orang yang menarik masing masing kerbaunya, kerbau itu harus berbulu jarum emas, telinganya sepanjang lengan dan pinang yang dipanjat dengan cara membelakang dan buahnya di iris dengan telapak tangan.
Kakek itu kemudian pergi menuju kehalaman belakang rumahnya untuk memanjatkan buah pinang dengan cara memanjat terbalik dan mengambil tiga buah pinang dan memberikan kepada Lapadai dan sambil berpesan “Apabila Kunjung Barani mendatangi rumah Samindara dan mendapati Samindara dalam keadaan tertidur, maka bawalah kerbau kerbau itu dan kemudian kerbau itu di adu agar membuat keributan, maka setelah Samindara terbangun dari tidurnya, timang timanglah buah pinang ini agar dilihat oleh Samindara. Dan singkat cerita semua yang dipesan oleh Kakek itu terjadi juga dan dilakukan Kunjung Barani. Samindara yang sudah terbangun oleh ributnya suara kerbau yang beradu kemudian melihat Lapadai menggendong buah pinang itu dan Samindara lantas meminta buah itu namun Lapadai tidak memberikannya. Karena berulang ulang Samindara meminta buah pinang itu maka Lapadaipun memberinya sedikit lalu Lapadai hendak kembali pulang, disaat akan pulang itu tiba tiba Samindara berpesan “Besok pagi saya akan kerumah Kunjung Barani dan bersama –sama akan pergi ke sebuah pulau bernama pulau Sabakkatan” itulah pesan Samindara kepada Lapadai. Mendengar itu Lapadai segera pulang dan menemui Kunjung Barani dirumahnya dan menyampaikan pesan dari Samindara. Setelah mendapat pesan dari Lapadai maka Kunjung Barani segera membuat kamar yang berjumlah tujuh kamar.
Keesokan harinya Samindara benar-benar daatang kerumah Kunjung Barani diantar 80 orang dari kerabatnya. Sesampainya kerumah Kunjung Barani ia kemudian mengetuk pintu lalu berkata “Saya mau masuk kerumahmu untuk mendapatkan air untuk diminum”. Tapi Kunjung Barani tidak mau membukakan pintu rumahnya, tapi pintu rumahnya didobrak paksa sampai terbuka sampai ketujuh lapis kamar yang dibuat sebelumnya untuk menemui Kunjung Barani dikamar paling ujung. Setelah sampai kekamar Kunjung Barani ternyata sedang tidur, dan Samindarapun ikut tidur disamping Kunjung Barani..... (bersambung)