Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Januari 2024

Pelayaran Niaga, Bajak Laut, Perkampungan Pedagang Di Gorontalo


Dinamika kegiatan pelayaran niaga menjadi kompleks sejak munculnya para perompak atau bajak laut dari Bugis, Makassar, Mandar, Mindanao, dan Tobelo. Mereka melakukan aktivitasnya di Perairan Gorontalo dan di kawasan Teluk Tomini. Pada 27 September 1677 dalam kunjungan Gubernur Maluku, Robertus Padtbrugge di Gorontalo, masalah perompakan menjadi pembahasan penting dalam pertemuan dengan olongia (Maha Raja Kerajaan) Gorontalo. Padtbrugge menyampaikan bahwa keamanan di Teluk Tomini dan pantai utara Sulawesi sangat rawan bagi pelayaran niaga. Hal ini menunjukkan banyaknya bajak laut berkeliaran di Teluk Tomini dan sulit ditaklukan oleh raja-raja di kawasan Teluk Tomini. Untuk mengamankan pelayarannya di Gorontalo, maka VOC mengontrol langsung kawasan Gorontalo agar mencegah timbulnya kerugian lebih besar terjadi pada perdagangannya. Selanjutnya VOC menekan olongia Gorontalo melalui perjanjian antara lain dalam Pasal 8 bahwa olongia Gorontalo wajib menjaga keamanan di wilayah perairannya dari gangguan bajak laut dan menyerahkan para bajak laut yang ditangkap kepada VOC (Juwono dan Hutagalung, 2005:74-75).
Para bajak laut Bugis dan Makassar lebih memiliki strategi serta cara kerja yang lebih baik. Sepanjang wilayah operasinya, mereka mendirikan pangkalan-pangkalan yang letaknya strategis di antara pelabuhan besar atau dekat dari transit kapal dagang. Pangkalan mereka antara lain di Kalangkangan untuk mengawasi Pelabuhan Tolitoli, dan Kwandang. Pangkalan Kalangkangan berfungsi untuk mengawasi dan mencegat kapal-kapal yang memuat barang dagangan dari Gorontalo ke Manado. Setiap pangkalan mempunyai seorang pemimpin, dan mereka membentuk jaringan dan saling membantu ketika menghadapi musuhnya (Juwono dan Hutagalung 2005:108-109).

Hubungan dagang antara bangsawan Gorontalo dengan pedagang Bugis dan Mandar tetap terjalin. Pada 1750-an, pedagang Mandar dipimpin Daeng Mapata memperluas kegiatan operasinya di daerah-daerah pesisir Gorontalo sebagai daerah produksi emas, hasil bumi, dan hutan. Daeng Mapata memiliki hubungan dagang dengan Olongia Botutihe dan bangsawan Gorontalo. Daeng Mapata membeli hasil-hasil hutan dari Gorontalo dan paling utama adalah kayu, lilin, madu, damar, getah, dan rotan (Juwono dan Hutagalung 2005:166). Selain itu, pedagang Bugis, Mandar, dan Makassar membeli barang dagangan yang dilarang diperdagangkan oleh VOC, seperti senjata, amunisi, candu, dan budak merupakan komoditas utama yang menghasilkan keuntungan besar.

Akibat hubungan kerjasama antara olongia dan bangsawan Gorontalo dengan para bajak laut Bugis dan Mandar menyebabkan VOC mengalami kerugian besar. VOC menuduh olongia melanggar perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dengan mengusir para bajak laut dari daerahnya. Sebaliknya, benteng ”Nassau” VOC yang letaknya di Muara Sungai Gorontalo dengan sejumlah pasukan untuk mengamankan kepentingan politik dan ekonominya ternyata tidak banyak membantu mencegah aktivitas para bajak laut. Begitu pula kurangnya jumlah kapal VOC di Perairan Gorontalo menyebabkan tidak efektifnya pengawasan dan kontrol terhadap para bajak laut di kawasan Gorontalo.

Pada awal abad ke-18, terjadi peningkatan jumlah perompakan kapal-kapal dagang VOC yang dilakukan bajak laut dari Bugis, Makassar, dan Mindanao. Munculnya pelaut Mandar sebagai bajak laut telah menambah semakin meningkatnya perompakan di kawasan Gorontalo. Untuk mempermudah pengawasan di Teluk Tomini, bajak laut Mandar mendirikan pangkalannya di Gorontalo. Laporan semakin banyaknya perompakan dan munculnya bajak laut Mandar menyebabkan Gubernur Maluku, Pieter Rooselaar di Ternate mengambil tindakan untuk mengusirnya. Pada 1702, Rooselaar mengirim utusannya ke olongia Gorontalo agar melarang para pelaut asing menetap di Gorontalo. Namun permintaan Rooselaar mendapat penolakan dari Olongia Walangadi. Faktor ini menyebabkan Rooselaar memerintahkan untuk menyerang basis pangkalan bajak laut Bugis, Mandar, dan bajak laut lainnya di Gorontalo. Kemudian dikirim armada VOC dibantu penduduk Tambokan ke Gorontalo, VOC berhasil mengalahkan dan mengusir para bajak laut di Gorontalo. Pada 25 Februari 1703, setelah para bajak laut tidak kembali lagi ke Gorontalo, kemudian Rooselaar memerintahkan untuk menarik kembali armadanya ke Ternate (Juwono dan Hutagalung, 2005:110-111).

Meningkatnya perompakan di kawasan Teluk Tomini, mengakibatkan VOC mengalami kerugian besar. Gubernur Maluku memerintahkan olongia Gorontalo yang mempunyai pengaruh di kawasan Teluk Tomini agar menyelesaikan keamanan di daerah itu. Walaupun olongia Gorontalo menyetujuinya, tetapi sebagian besar bangsawan menolaknya. Para bangsawan menyadari tekanan politik VOC melalui perjanjian atau kontrak yang telah disepakati sangat merugikan posisi Gorontalo. Mereka lebih suka berhubungan dengan pedagang Bugis dan Mandar yang lebih banyak memberi keuntungan daripada menjalin hubungan dagang dengan VOC. Tidak mengherankan beberapa bangsawan memberikan kemudahan bagi aktifitas para bajak laut dalam melakukan penyelundupan dan memberi perlindungan, sehingga bajak laut sulit ditangkap oleh VOC.

Pada 1820, akibat tekanan patroli kapal perang Belanda maka bajak laut Tobelo melakukan persekutuan dengan bajak laut Mindanao, mereka mempunyai persembunyian dan logistik (Velthoen 2010:204). Perahu bajak laut Tobelo memuat sampai 10 orang dan terdapat 4 atau 5 perahu dalam melakukan kegiatan ekspedisinya. Untuk ekspedisi yang lebih penting atau besar, beberapa perahu kecil diikat bersama untuk membentuk pasukan yang lebih besar di bawah perintah seorang pimpinannya. Pada 1870, terdapat 48 perahu bajak laut Tobelo beroperasi di Teluk Tomini. Kemudian dipisah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan menyebar ke perairan timur Sulawesi (Velthoen, 2010:214).

Perompakan di Teluk Tomini dan pantai utara Sulawesi sering dianggap sebagai bentuk menentang penindasan oleh pihak yang lemah terhadap mereka yang mendominasi. Para bajak laut di Teluk Tomini yang terkenal selama abad ke-19 adalah Tombolotutu seorang bangsawan yang kemudian diangkat menjadi raja Muton dan dianggap oleh penduduk setempat sebagai tokoh yang bangkit menentang dominasi ekonomi Pemerintah Belanda (Juwono dan Hutagalung, 2005:21).

Laporan umum Asisten Residen Gorontalo dalam catatanya tahun 1824, 1832, 1833, dan 1834 terjadi jumlah perompakan yang cukup besar. Kemudian Asisten Residen Gorontalo menyurat kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tentang aktifitas para bajak laut, dan meminta bantuan Gubernur Jenderal untuk secepatnya menumpas para bajak laut yang telah menggangu pelayaran dan perdagangan di wilayahnya (ANRI, 1976). Laporan Asisten Residen Gorontalo ditanggapi serius Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia dengan menempatkan sebuah kapal perang di Perairan Gorontalo (Rosemberg, 1865:15). 

Pertengahan abad ke-19, pelaut Mandar telah menempati kedudukan penting dalam kegiatan penyelundupan dan perdagangan gelap. Mereka melakukan hubungan dagang dengan orang Kaili, Bugis, dan Gorontalo. Bajak laut Mandar membawa kain, candu, dan beras ke Gorontalo. Setelah memasukkan barang dagangannya, kemudian mengangkut damar, lilin, teripang, sagu, dan kulit kerang (Juwono dan Hutagalung, 2005:322-323).

Sumber: Disadur dari tulisan Hasanuddin tentang "Pelayaran Niaga, Bajak Laut, Perkampungan Pedagang Di Gorontalo"

Selasa, 20 Juni 2023

Sejarah awal berdirinya kerajaan Mamuju

Kerajaan Mamuju disebutkan dan mulai dikenal sejak adanya perjanjian di Tamajarra yang dipelopori oleh Todilaling yang dilaksanakan di Tamejarra pada akhir abad ke XVI. Dimana Maradika Tomejammeng menjadi perwakilan dari Kerajaan Mamuju kala itu. Dalam hal ini Tomejammenglah yang menata struktur kerajaan dan lembaga Hadatnya. Ini membuktikan bahwa kerajaan Mamuju sudah berdiri sejak sebelum Tomejammeng menjadi raja di Mamuju. 

Berbicara asal mula berdirinya Kerajaan di Mamuju tidak ada yang bisa memastikan kapan oleh karena disebabkan minimnya sumber sumber pendukung berupa data data yang bisa menjadi acuan penulisan sejarah. Jika merunut kapan berdirinya kerajaan di Mamuju ini tentunya kita harus memulai dari sumber sumber yang menuturkan siapa yang membawa garis keturunan yang disebutkan dalam sumber primer seperti lontrak atau manuskrip yang paling sahih sebagai sumber rujukan penulisan sejarah. Ada beberapa lontrak yang membahas sejarah awal manusia yang membawa garis keturunan itu atau biasa disebut Tomanurung sebagai permulaan peradaban suatu kerajaan yang ada di Mamuju ini kita mulai dari seorang yang bernama Pongkapadang, disini saya tidak akan berpendapat kalau Pongkapadang adalah manusia yang pertama kali datang didaratan Sulawesi karna kita tahu bahwa sejak 3000 tahun yang lalu manusia sudah mendiami kawasan Sulawesi dan sudah dibuktikan dengan temuan temuan arkeologi yang menguatkan bahwa sudah ada manusia primitif yang mendiami kepulauan Sulawesi sejak dahulu. 


Todipanurung dilangiq, Tomanurung atau Seseorang yang diturunkan dari langit adalah manusia yang dianggap titisan dewata dan tidak diketahui asal usulnya menjadi sebuah permulaan dari manusia yang menurunkan garis keturunannya sampai terbentuknya suatu masyarakat disuatu wilayah yang disebut Tomakaka, segala aturan aturan perikehidupan masyarakat yang menjadi standar hukum yang berlaku, inilah yang disebut adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku dan disepakati secara mutlak bersama sama, sebagai seorang pemimpin Tomakaka inilah yang berhak memutuskan sebuah perkara hukum dan menjadi penentu segala kebijakan yang memang harus ditaati oleh masyarakat adat tersebut. Tomanurung inilah yang biasanya menjadi cikal bakal adanya tomakaka disebuah wilayah adat masing-masing. 

Bermula dimana seorang Tomanurung bernama Tokombong Dibura kawin dengan Tobisse Ditallang, lahirlah Tobanua Pong. Tobanua Pong melahirkan Tapaqdorang, Tapaqdorang melahirkan Pongkapadang kawin dengan Sanrabone (Torijeqne versi Mamasa) lahirlah seorang anak perempuan yang kemudian diperisterikan Topole di Makka (Makki) sebuah wilayah di Kalumpang, Maka dari perkawinan ini, lahirlah Tometeqeng Bassi (orang yang bertongkat besi) dan Tometeqeng Bassi kawin dengan sepupunya, lahirlah Daeng Lumalle. Daeng Lumalle kawin sepupu lagi, lahirlah sebelas orang anak, sebagai berikut :

1. Daeng Tumana
2. Lamber Susu
3. Daeng Mangana
4. Sahalima
5. Palao mesa
6. Taandiri
7. Daeng Palulung
8. Todipikung
9. Tolambana
10. Topaniq 
11. BuluTopaliq. (Lontrak Balanipa).

Dari keseblas orang anak keturunan Daeng Lumalle ini, Taandirilah yang membawa keturunan pendiri kerajaan di Mamuju, dalam perjalanannya kesebelas orang keturunan ini pulalah yang membawa keturunan keberbagai pelosok wilayah di tanah Mandar.

Kemudian Daeng Lumalle' menikah lagi dengan Dehata Dikurungan Bassi dan melahirkan anak yang diberi nama Tolippa ditallang. Kemudian Tolippa ditallang menikah dengan sepupunya dan melahirkan dua orang anak sepasang, masing-masing bernama Kalababa Sakkala Bassi dan Topelipaq Karoroq. Dan Topelipaq Karoroq inilah yang kemudian menikah dengan Pue Todipali Maradia Mamuju.

Disebutkan seorang Tomanurung tiba tiba hadir tidak diketahui asalnya dan duduk diatas batu di Tumpiq (?), singkatnya Tomanurung ini menikahi seorang wanita yang juga berasal dari wilayah itu, sebuah wilayah yang disebutkan sebagai dataran yang penuh batu batu sehingga wanita itu digelari Tosuqbe dibatu atau yang datang dari tempat berbatu namun tidak dijelaskan di daerah mana. Tomanurung ini digelar Pue Tosuqbe Karaolamba, Karaolamba diartikan seseorang yang datang dari perjalanan yang jauh atau orang yang sedang mengembara, disini kita pahami bahwa Tomanurung hanyalah gelar untuk menyebutkan orang yang tidak dikenali atau orang asing dan tiba tiba hadir ditempat itu walaupun memang banyak yang menganggap bahwa itu manusia yang turun atau diturunkan dari langit sebagai jelmaan dewa atau titisan dewa. Konsep pemahaman ini didasari dari kepercayaan manusia kala itu yang masih menganut pemahaman animisme dan dinamisme yang kuat. 


Kita kembali ke Tomanurung tadi, setelah menikahi wanita tersebut akhirnya kedua pasangan ini memilih untuk pindah ketempat lain yang disebut Manumba(?) dan ditempat inilah keduanya memiliki anak keturunan tujuh orang yang semuanya adalah perempuan yang masing masing bernama; Tasallena, Tabittoeng, I paliliq, I Coaq, Takasang, Taurraurra dan Lowe Katimbangmassang. Dan pada waktunya akhirnya ketujuh anak anaknya berpencar untuk memulai kehidupan barunya dan menjadi nenek moyang ditempat baru yang mereka diami seperti Tasallena memilih tinggal di Baras dan diyakini inilah yang menurunkan garis keturunan raja raja di Baras dan kemudian adalah Tabittoeng tinggal di Lariang, I Paliliq tinggal menetap di Kurri kurri (Simboro), I Coaq tinggal di Sinajoi (Sinyonyoi?), Takasang tinggal di Bungi(?), Taurra-urra tinggal di Tabulahan dan Lowe Katimbang Amissang atau Katimbangmassang menetap di Mamuju (mamunyu). 

Lowe Katimbang atau Katimbangmassang inilah yang menikah dengan Taandiri salah satu anak Daeng Lumalle yang tinggal dihulu sungai Saddang. Dalam versi Lontrak Balanipa disebut bahwa Taandari adalah keturunan dari Tokombong diwura seperti yang dijelaskan diatas. Dari perkawinan Lowe Katimbang Ammissang dan Taandiri menurunkan lima orang Anak, masing-masing; yang sulung tinggal di simboroq, anak berikutnya menjadi Pue Tobone-bone dan berikutnya lagi menjadi Pue Tokasiba, Anak yang berikutnya Totappaliq di Maloku, ada kemungkinan bahwa Totappliq di Maloku ini diberi nama demikian karena baru pulang dari perjalanan perantauan dari sebuah daerah yang disebut Moloku, apakah Moloku ini Maluku atau Maloku di sebuah wilayah di Pamboborang di Majene saat ini. Anak berikutnya lagi (tidak disebutkan namanya) kawin dengan anak ratu Tosangala Maka lahirlah I Tanroaji, inilah yang menjadi Pue atau Maradika di Mamuju pertama kalinya.

Baras adalah salah satu wilayah di Kabupaten Mamuju Utara saat ini dan masuk dalam wilayah administratif kabupaten Mamuju Utara (sekarang kabupaten Pasangkayu). Mamuju dibagian utara merupakan pusat kerajaan Baras sebagai kerajaan kuno sebelum kerajaan Mamuju berdiri dan diperkiran sudah ada sejak abad ke VII SM. Anak dari Totappaliq di Moloku ini menikah dengan sepupunya yang juga anak raja Baras yang merupakan kerabat dari orang tuanya dari keturunan Tasallena, dari pernikahan inilah melahirkan I Ballaq yang kemudian diperistri oleh I Tanroaji sepupunya sendiri. Dari pernikahan I Tanroaji dan I Balla ini melahirkan keturunan bernama Todipudendeanna. Inilah yang menjadi kakek langsung dari Tomejammeng. Todipudendeanna kemudian menikah dengan sepupunya dan melahirkan seorang anak yang kemudian menikahi anak dari Tomessalangga Barayya raja Gowa ke-2 yang digelari Tomanurung ri gowa. 

Diceritakan bahwa Tomanurung ri gowa inilah yang menolak pengangkatan raja Gowa Karaeng Matandre Manguntungi Tumapparissi Kollonna yang dilantik oleh Bate Salapang (Hulubalang) kerajaan untuk menjadi raja Gowa ke -9 (1510-1546). Ia menganggap Karaeng Tumapparissi Kollonna adalah anak I Rerasi atau berasal dari keturunan budak dari tanah Mandar. Akibat dari ketidaksetujuannya akhirnya Tomanurung ri Gowa pergi meninggalkan tanah leluhurnya dan sampailah di Kerajaan Baras di Mamuju, Ia kemudian menikah dengan putri raja Baras yang juga adalah masih merupakan keluarga atau sepupunya sendiri dan dari pernikahan inilah lahir tiga orang anak yang kelak menjadi pewaris di tiga kerajaan yaitu Sendana, Mamuju dan Benawa (Kaili). Masing-masing bernama; I Badantassa Batara Bana, yang menjadi raja Pujananti (Benawa), I Palagunna Tonipali menjadi Maradika di Mamuju, Tomissawe di Mangiwang menjadi Maradia Sendana. Tomissawe di Mangiwang sendiri menjadi Maradia di Sendana sekitar tahun 1540. Pue Tonipali adalah ayah dari Tomejammeng, Tomejammeng adalah orang yang sama dengan Lasalaga namun dalam gelar penyebutan yang lain. Dikatakan bahwa Lasalaga adalah gelar yang diberikan kepadanya ketika hadir di kerajaan Gowa bersama ayahnya Pue Tonipali.

Sebelum diangkat menjadi raja Mamuju Tomejammeng menikah dengan sepupunya dan kemudian menikah lagi dengan seorang wanita dari bangsawan kerajaan Badung dan anaknya inilah yang dikenal sebagai Lasalaga yang dalam tutur cerita masyarakat Mamuju, orang inilah yang lahir kembar dengan sebilah keris yang disebut Manurung. Tomejammeng inilah yang membawa keturunan raja raja di Mamuju setelahnya dan dia pula yang memperluas wilayah kerajaan dengan penaklukan Kurri-kurri di Simboro dan menjadikan seluruh masyarakat Kurri-kurri tunduk dan dari golongan bangsawan diberi tempat menjadi pembesar kerajaan di Mamuju, sebahagian menjadi pemangku adat dalam wilayah hadat masing masing seperti wilayah hadat Pue Tokasiwa, Pue Tobone bone dan kemudian hari dijadikan perangkat hadat dalam kerajaan Mamuju. 

Ada perbedaan pendapat jika kita mengambil sumber rujukan dari beberapa Lontrak, sehingga tidak banyak yang bisa mengambil sebuah kesimpulan untuk menulis sejarah awal kerajaan Mamuju karena terdapat perbedaan tulisan dalam beberapa Lontrak tersebut. Disini saya akan mengambil kesimpulan bahwa orang yang bernama Tomejammeng adalah gelar bagi orang yang sama dengan Lasalaga, Gelar atau panggilan khas To;mejammeng disematkan karena menggunakan kacamata (Jarammeng;jammeng) berarti orang yang memakai kacamata, sedangkan La Salaga diambil dari bahasa Bugis yang berarti pusaka, yang bermakna yang dikeramatkan atau dianggap pusaka. 

Tomejammeng sebelum menikahi putri bangsawan kerajaan Badung, terlebih dahulu sudah memiliki istri dari anak Tomakaka Sinyonyoi di Padang
Udung Bassi. Daeng Lumalle (Sakkala Bamba) menikah dengan Dehata anak Tomakaka Sinyonyoi di Udung Bassi dan kemudian melahirkan putri Tolippa di Tallang inilah yang disebut Tokayyang dipadang, kemudian Tolippa di Tallang menikah dengan Daeng Maibu (ng) dan melahirkan; Kalababa Sakkala Bassi atau kolambassi (Tomakaka Sonyonyoi) dan Topelipaq Karoro. Topelipaq Karoro inilah yang kemudian dinikahi Tomejammeng. 

Ada cerita yang dituturkan dalam masyarakat padang mengenai pernikahan Topelipaq Karoro dengan Maradika Mamuju, bahwa suatu hari anak Tolippa di Tallang ini dibawa oleh orang tuanya ke pantai untuk menangkap ikan dan terlihatlah anak gadis ini oleh Maradika dan seketika itu juga Maradika hendak meminang anak gadis ini maka diutuslah salah satu penghulu raja yaitu pabicara untuk menyampaikan maksud Maradika kepada orang tua dan kerabat gadis ini, tidak lama berselang dipanggillah gadis ini untuk menemui Maradika Mamuju tapi apa yang terjadi gadis ini menolak karena merasa tidak mempunyai pakaian yang bagus untuk menghadap Maradika dan akhirnya alasan penolakan itupun disampaikan oleh pabicara ke Maradika. Maradika kemudian menyuruh pabicara untuk membawakan gadis tersebut kerumah Maradika dan akhirnya gadis tersebut dengan diantar oleh kerabat dan orang tuanya untuk menemui Maradika. Setibanya dirumah Maradika dengan hanya memakai sarung yang terbuat dari kulit pelepah nipah atau karoro, maka Maradika memberinya sebuah sarung untuk dipakai gadis itu, namun maksud pemberian Maradika ini sebagai simbol kalau gadis itu sudah menjadi miliknya karena memakai sarung milik raja tersebut, namun bagi keluarga Tosinyonyoi itu dianggap sebagai penghinaan atau celaan kepada masyarakat Sinyonyoi di Kurungan Bassi dan terjadilah perselisihan antara keduanya. Namun setelah melalui negosiasi yang panjang maka disepakatilah sebuah perdamaian dengan menikahkan Maradika dengan Topelipa Karoro sebagai syarat Maradika menawarkan akan menyerahkan emas dan beberapa budak sebagai passorongan (akad) pernikahan tetapi ditolak oleh orang Sinyonyoi dan mengajukan permintaan lain yaitu agar Maradika memberikan izin kepada masyarakat Sinyonyoi untuk dapat mengambil dan menangkap ikan di sepanjang pantai dan perairan dari Tomuki sampai pantai Ahuni dan diberi hak menangkap ikan di sungai Rimuku dan Bonepaas dan jika ada hasil tangkapannya akan dibagikan ke Maradika. Tradisi menangkap ikan oleh masyarakat Sinyonyoi ini disebutkan hanya dengan menggunakan akar dan buah buahan beracun sebagai umpan ikan disungai sungai besar dan dalam.

Dari pernikahan inilah Tomejammeng dan Topelipaq Karoro lahir seorang anak tunggal namun tidak disebutkan namanya, setelah utusan Maradika berangkat untuk mengambil Lasalaga di kerajaan Badung selama berbulan bulan perjalanan ke Pulau Bali disaat itupula Maradika telah wafat sebelum utusan itu tiba di Mamuju kembali, karena perjalanan itu memakan waktu yang cukup lama. Karena keadaan kerajaan sementara waktu tidak ada anak keturunan raja yang dianggap paling berhak selain Lasalaga, maka keadaan semakin kacau dan memburuk, maka diangkatlah anak raja yang ada di Mamuju dari pernikahan dengan Topelipaq Karoro anak Tokayyang dipadang.

Setibanya utusan kerajaan Mamuju yang tidak membuahkan hasil karena Lasalaga tidak diperkenankan dibawa pulang ke Mamuju oleh ibunya, maka terjadilah perselisihan dikerajaan Mamuju karena yang harus menjadi raja adalah Lasalaga menurut pertimbangan adat dikerajaan Mamuju sehingga kembalilah diutus seorang cerdik pandai atau Sakkaq Manarang untuk membawa Lasalaga kembali dengan cara apapun, sehingga atas kepandaian Sakkaq Manarang membuat ide dengan membujuk hati Lasalaga kecil agar tergiur dengan permainan yang terbuat dari emas dan akhirnya berhasil membawa kabur anak raja ke Mamuju.

Dan Lasalaga diangkat sebagai raja setelah diambil secara diam diam dari keraton kerajaan Badung sehingga cerita ini melegenda sampai hari ini di masyarakat Mamuju. Setelah menjadi raja di Mamuju, Lasalaga kemudian kembali lagi ketanah kelahirannya di Badung Bali. Lasalaga sangat sakti karena keris manurung memberinya kekuatan untuk menaklukkan beberapa kerajaan kecil di tanah dewata Bali begitupun setelah kembali ke Mamuju Lasalaga berniat mengalahkan kerajaan kerajaan kecil seperti Kurri-kurri dan Managallang di Padang yang sebelumnya memang memusuhi kerajaan Mamuju. 


Setelah mengalahkan Kurri-kurri dan Managallang dibawalah orang orang Kurri-kurri ke kampung Kasiwa dan berbaur menjadi masyarakat dikasiwa dan sebahagian dijadikan pengawal dan budak dikerajaan atau disebut juga joaq, sedangkan Maradia Alu, I Tagalung-galung diangkat jadi Pue Tobone-bone dan orang-orang Managallanglah yang diangkat jadi bangsawan dalam hadat Pue Tokasiwa karena mengikuti budaknya Tokurri-kurri di Kasiwa dan Maradika Managallang diangkat sebagai Paqbicara dikerajaan Mamuju. Setelah itu Lasalaga menikah dengan sepupu sekalinya.

Sebagai kesimpulan bahwa berbicara sejak kapan dimulainya pemerintahan kerajaan di Mamuju kita sudah bisa mengambil sebuah kesimpulan jika dikatakan masa awal adanya sebuah struktur pemerintahan kerajaan tentunya itu sudah ada dimulai masa I Tanroaji tiga generasi dibawah masa dari Pue Tonipali bahkan jauh dibawah di masa raja Gowa ke-2 Tomessalangga Barayya menjadi raja di Gowa dan diketahui masa kekuasaan raja ini antara tahun 1300 atau lebih. Jadi kira kira umur kerajaan Mamuju ini seumur dengan kerajaan di Gowa, namun banyak yang mengira di masa Tomejammenglah kerajaaan Mamuju mulai terbentuk, sebagian pendapat menganggap itu karena Lontrak menjelaskan bahwa Tomejammeng lah yang membesarkan kerajaan tapi bukan mendirikan kerajaan Mamuju, kita tau bahwa kerajaan Mamuju sudah ada sebelum Tomejammeng menjadi raja bahkan jauh sebelumnya. (Arman Husain. 2021)

Sumber; 
- Lontrak Pattodioloang Mandar, 
- Lontrak Balanipa Mandar, Transliterasi oleh A.M. Mandra.1986
- Lontrak Kurungan Bassi, Milik Hasbi. (Transliterasi dari Tim Sekolah Lontara' Sulawesi Barat).
- Lontrak Tabulahan, 
- Buku; Mengenal Mandar Sekilas Lintas I. Perjuangan Rakyat Mandar Sulawesi Selatan Melawan Belanda (1667-1949) oleh Saiful Sinrang.1994. 
- Mengenal Mandar Sekilas Lintas oleh Saiful Sinrang. 1994
- Indische Taal, Land en Volkenkunde, NOTA BEVATTENDE GEGEVENS BETREFENDE HET LANDSCAP MAMOEDJOE. 
- Silsilah Bangsawan Kerajaan kerajaan di Mandar. Oleh; Saiful Sinrang.
- Pidato Hari Jadi Majene, Memuat Sejarah Kerajaan Sendana, Banggae, Pamboang dan Puraloa di Malunda'/ Ulumanda'. Oleh Darmansyah. 2018.
- Selayang Pandang, Sejarah Adat Kabupaten Mamuju Oleh; Drs. H. I. Abd. Rachman Thahir, MPA.
- Sumber wawancara,
Login


Sabtu, 10 Juni 2023

Mengurai Sejarah Lasalaga Dalam Perspektif Komparatif Literatur dan Folklore Mamuju (Bag. 3)


Disini kita melihat bahwa penulis lontrak terkesan menyembunyikan fakta bahwa Tomejammeng dan Putri Badung berhubungan tanpa diketahui oleh keluarga kedua orangtuanya masing-masing. 

Dalam lontrak jelas mengatakan Maradia Mamuju setiap Malam mendatangi perahu Putri Badung ini dan sengaja menutupi jalur perahu dengan batu batu agar perahu orang Bali tidak bisa keluar dari sungai, logisnya kalau memang hubungan mereka dianggap sah tidak seharusnya ada usaha untuk menghalangi perahu orang Bali keluar dari sungai untuk kembali pulang.

Sesampai di Bali Sang putri beberapa waktu kemudian lalu mengandunglah anak dari hubungan dengan Maradia Mamuju. Namun kehamilan sang putri akhirnya di ketahui juga oleh raja saat itu dan membuat Sang raja menjadi murka sehingga Sang putri di usir dari Istana Badung dan akhirnya Sang putri yang hamil tiba waktunya akan melahirkan. 
Namun amarah raja Badung akhirnya mereda setelah mengetahui Putrinya akan melahirkan.

Dan tersebarlah berita dan sampai juga ke kerajaan Mamuju bahwa Sang putri telah melahirkan seorang anak laki-laki kembar dengan sebilah keris, ini pula yang membuat raja Badung merasa sangat sayang kepada anak tersebut. Dan seiring waktu anak itu tumbuh besar dalam lingkungan kerajaan Badung yang saat itu di bawah kekuasaan dinasti raja Kyahi Arya Tegeh Kori raja Pemecutan I. Kemudian Raja Mamuju bersiasat untuk mengambil anak tersebut yang merupakan keturunannya yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan Mamuju. maka dikumpulkannya para pembesar kerajaan untuk mencari cara untuk mengambil anak tersebut dari kerajaan Badung.


”..Apa kaiyyangi anaq dininna di Mamuju, matemi amanna. Sauwi nala Tomamuju. Polei sau, iqdai napebei puang Bali.  Malaimi Ieqmai. Polei leqmai, marusaqmi mamuju, apaq anaq dininnamo maraqdia. Iqdamijari ande. Terjemahan: Sudah besarlah anaknya yang ada disini. Meninggallah ayahnya (Tomejammeng). Berangkatlah orang Mamuju kesana. Setibanya disana, anak itu tidak diberikan untuk dibawa pulang oleh Puang Bali. Maka pulanglah orang Mamuju, setibanya di Mamuju, kacaulah keadaan karena anaknya yang disini jadi raja. Sudah tidak ada kedamaian dan makananpun tak bisa dimakan."...Iumiddels was Badoeng geteisterd door hongersnood en deelde een orakel mede, dat zulks te wijten was nan de verbauning van de bewuste vrouw, waarop zij uit hare atzondering weer aan het hof mocht terugkeeren..” Terjemahan: ”..Sementara itu Badoeng dilanda kelaparan dan seorang peramal memberi tahu bahwa ini disebabkan oleh pengasingan wanita tersebut, setelah itu dia diizinkan kembali ke pengadilan dari pengasingannya..”


Menurut kepercayaan orang Bali bahwa di kerajaan Badung pada saat itu dilanda paceklik dan kelaparan di sebabkan murka dewa karena disebabkan di asingkannya Sang putri sehingga raja akhirnya membawa kembali Sang putri ke istana Pamecutan di Badung, dalam buku itu pun diceritakan bahwa setelah kedatangan utusan dari raja Mamuju, niat untuk membawa pulang anak tersebut tidak mendapat persetujuan dari ibunya sendiri dan para utusan itu pulang dengan tangan hampa.


Melihat kegagalan utusan yang pulang tanpa hasil tersebut, Maradika tidak berputus asa setelah beberapa waktu kemudian Maradika kemudian kembali mengadakan musyawarah dengan para pembesar kerajaan untuk mencari cara yang terbaik agar anak tersebut bisa datang ke Mamuju dan, sampai diputuskanlah bahwa untuk membawa anak itu haruslah di iming-imingi dengan sesuatu yang menarik bagi anak tersebut dan bagi raja Badung itu sendiri agar mengizinkan anak itu dibawa ke Mamuju walaupun akan di kembalikan lagi ke Badung kemudian hari.


Setelah disepakati oleh para tetua adat kerajaan Mamuju maka berangkatlah beberapa perahu yang telah dibekali dengan berbagai macam hadiah berupa perhiasan emas dan permainan gasing yang terbuat dari emas yang di pimpin oleh Sakkaq Manarang atau seorang cerdik pandai dengan pandai besi. Karena raja tidak mau keinginannya untuk kali ini gagal lagi tidak tanggung-tanggung emas yang dibawa cukup banyak sehingga disebutkan banyaknya sampai seperti dua gunung emas dan ada pula permainan seperti Juppiq  emas dan Gasing emas untuk memikat anak tersebut.

”...De prauwen hadden twee gouden tollen medegebracht, een djoepi mas met een gasing mas, waarmede het koningskind aan hoord gelokt werd. Het werd eindelijk overgehaald de klewang eveneens mede te brengen, letgeen op een goeden dag gebeurde. Hierna staken de prauwen weder in zee nadat die der Balineezen doorboord waren en dus niet konden vervolgen..” Terjemahan: ”Para prahu(orang Mamuju) membawa serta dua gasing emas, sebuah djoepi mas dengan gasing mas, yang digunakan untuk memikat anak kerajaan.  Akhirnya dibujuk untuk membawa klewang juga, yang terjadi pada suatu hari.  Setelah itu, perahu-perahu itu kembali ke laut setelah perahu-perahu orang Bali ditembus (dilubangi) dan oleh karena itu (pengejaran) tidak dapat dilanjutkan”.


Sesampainya di Badung orang suruhan raja Mamuju langsung menghadap ke istana kerajaan Badung dan mengutarakan maksud kedatangannya yaitu membawa kabar bahwa ayahanda La Salaga telah wafat dan berkehendak membawa pulang anak raja dengan menyerahkan hadiah pemberian berupa emas yang banyak kepada raja Badung, akan tetapi pemberian tersebut tidak dapat merubah pendirian raja Badung dan tetap saja menolak tawaran dari kerajaan Mamuju, akan tetapi Sakkaq Manarang tidak kehabisan akal dan tidak mau gagal untuk kedua kalinya dengan cara mempengaruhi anak tersebut dengan permainan.


Seperti yang tercantum dalam kalimat lontrak; ”...Mendulumi sau to Mamuju ummalai, nawawami sakkaq manarang, pande bassi. Polei sau, daiqmi naperoa, lqdai napebei lyamo loana, nauwa; beimaq nauttengi naong dilopi sambongi, apaq namalaiaq madondong...”

”..Iya tomo tia napogauq sakkaq manarang,  lao mappusarri inggannana lopi nilangga. Apa dappingalloi, lumajami to Mamuju,  napalaiammi anak puannga.”

”..Membueqi daiq Bali di mali-malimang, naulumi lopinna. lqdami mala sau apaq roqboqi. Polei leqmai, iyamo maraqdia.”

Pada akhirnya anak itupun terpikat untuk dibawa ke Mamuju akan tetapi Sang bunda tetap bersikukuh tidak menginginkan anak tersebut di bawa ke Mamuju walaupun telah diberi hadiah yang cukup besar. Setelah berhasil mempengaruhi anak itu bahwa jika mau datang ke Mamuju akan diberi permainan yang lebih banyak lagi. Sakkaq Manarang lantas meminta kepada Sang bunda kalau anak itu di ijinkan untuk tidur bersama-sama dengan mereka di perahu orang Mamuju satu malam terakhir sebelum mereka pulang keesokan harinya kembali ke Mamuju dan juga akan mengajari anak itu bermain gasing dan sebagai pelepas rindu untuk bersama-sama dengan anak itu terakhir kalinya yang juga anak raja dari Mamuju, maka Sang bunda tidak keberatan dengan hal tersebut karena di perahu juga ada pengawal kerajaan yang mengawasinya. Anak itupun bersama-sama dengan utusan dari Mamuju semalam suntuk bermain di dalam perahu sampai anak itu terpengaruh ingin datang ke Mamuju setelah mendengar rayuan Sakkaq Manarang, karena merasa  telah berhasil mempengaruhi anak itu Sakkaq Manarang pun merasa bahwa tidak baik membawa anak itu tanpa membawa pula kembarannya yaitu sebilah keris yang diberi nama Lasalaga.


Setelah menyusun rencana dengan matang, utusan dari Mamuju segera mengatasi pengawal anak itu dan melobangi perahu-perahu yang ada agar tidak bisa disusul nantinya jika sudah pergi, maka disuruhlah anak itu untuk mengambil saudaranya agar dibawa bersama-sama ke Mamuju yang tersimpan di dalam kamar Sang Bunda di istana dengan segera agar tidak ketahuan diambillah dengan cara sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan ibunya diambillah keris itu dengan tergesa-gesa karena takut ketahuan akhirnya keris itu tercabut dari sarungnya, dan sarungnya dan tertinggal di istana kerajaan Badung.


Keesokan harinya kapal-kapal utusan dari Mamuju telah berlayar dengan membawa anak itu beserta keris pusaka kembarannya menuju ke perairan Mamuju. Dan para pengawal yang mengetahui kejadian tersebut berencana menyusul tapi apa daya semua kapal-kapal milik kerajaan Badung telah tenggelam kedasar laut, Sang Bunda pun tidak berdaya dengan hal itu dan akhirnya merelakan kepergian anaknya.


Sesaat sebelum menginjakkan kakinya kedaratan Mamuju anak itu memberitahukan kepada utusan raja untuk menunjukkan dimana musuh-musuh kerajaan Mamuju saat itu, di Muara sungai Mamuju itu pula akhirnya La Salaga diberitahukan bahwa kelak akan menjadikan kerajaan Mamuju menjadi besar setelah menaklukkan dua wilayah adat yang ditunjukkan sebagai  musuh oleh utusan tadi yaitu hadat di Padang dan hadat di Rangas yang tak lain adalah Managallang dan Kurri – kurri.

” In de baai van Mamoedjoe gekomen vroeg de knaap, waar vijanden misden van Mamoedjoe, en werd hem Rangas en Padang gewezen. Een slag met de bekende klewang in de lucht in de richting der overmoedige stammen was voldoende om een aantal der hunnen te doen sneuvelen.” Terjemahan:  ”Sesampainya di teluk Mamujoe, bocah itu bertanya di mana musuh hilang dari Mamujoe, dan Rangas serta Padang ditunjukkan kepadanya.  Pukulan dengan klewang terkenal di udara ke arah suku yang terlalu percaya diri sudah cukup untuk membunuh beberapa dari mereka.”


Tidak lama kemudian diangkatlah La Salaga menjadi raja, tetapi karena La Salaga saat itu masih berumur sangat muda sehingga jiwa mudanya masih bergejolak dan suka berbuat onar sehingga masyarakat dan hadat kerajaan meminta agar La Salaga kembali ke Badung untuk menemui ibunya. Sejak saat itu kembalilah La Salaga ke Badung untuk menemui ibunya, akan tetapi di Badung kelakuan La Salaga semakin menjadi-jadi dengan melakukan kekacauan di Badung dengan menyerang tetangga kerajaan Badung yaitu kerajaan Sassa (Sasak).

”..Apa iqdai naulle to Mamuju apaq taqlalo begai panggauanna/ malaimi sau dibanuanna.

Polei sau, iy yaamo napogauq lumamba mamusuqi banua, iamo umbetai Sassa (?).

Malaimi leqmai di Gowa. Nairrangngimi diaja di Gowa, sirumummi to Mamuju apaq iqdai naulle, apaq marussaqmi banua, sipate-patei. lyamo nasiturqi daiq nala. Polei dongai, sialami bojap-pissanna.

Iyamo napogauq diong di Mamuju lumamba mamusuqi banua. lyamo umbetai Kurri-kurri, iyamo mettama joaq timbanua...”


Sehingga suatu saat diundanglah raja Badung oleh kerajaan Gowa sekitar tahun 1575, yang saat itu diperintah oleh I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa  Tunijallo (1565-1590), untuk menghadiri acara pernikahan salah seorang putrinya. Raja Badung membawa serta putri dan cucunya, La salaga. Sehingga nama La Salaga itu diberikan oleh raja atau masyarakat Bugis yang hadir pula saat itu, sesuai dengan adat kebiasaan gelar bangsawan di Bone dan Gowa dengan menggunakan awalan “La, dan “I- sebagai gelar untuk bangsawan untuk tamu kehormatan. Mengingat dimasa inilah kerajaan Bone dan kerajaan Gowa dalam kondisi dibawah perjanjian perdamaian kesepakatan (Ulukanaya ri-caleppa), yang diadakan di sebuah tempat bernama Caleppa. Setelah peristiwa dibunuhnya raja ke-11, I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte, di kerajaan Bone sesaat setelah menginvasi kerajaan tersebut.


Mendengar kehadiran La Salaga di kerajaan Gowa, berkumpullah para anggota kerajaan Mamuju untuk memanggil kembali La Salaga ke Mamuju, berhubung karena kosongnya tahta kerajaan karena raja Mamuju Tomejammeng telah wafat (1575) saat itu, sehingga kondisi kerajaan tanpa seorang raja telah banyak terjadi konflik di internal istana kerajaan Mamuju bahkan sampai terjadi pertumpahan darah, maka berangkatlah beberapa punggawa kerajaan dan Tobarani ke Kerajaan Gowa.


Pada akhirnya La Salaga bersedia juga kembali ke Mamuju dan dinobatkan menjadi Maradika pada tahun 1580, dan menikah dengan kerabat terdekat dari ayahnya, La Salaga hanya lima tahun menjabat sebagai raja dengan keris Pusaka Manurung penaklukan kerajaan Kurri-kurri dan Managallang akhirnya terwujudkan oleh La Salaga, kesaktian Keris Pusaka Manurung akhirnya membawa kerajaan Mamuju mencapai puncaknya dengan menggabungkan wilayah taklukkannya dan membentuk sebuah kerajaan besar yaitu kerajaan Mamuju yang di pusatkan di Tarambang adalah kerajaan Mamuju sebelumnya yang bernama kerajaan Langgamonar. Sejak saat itu wilayah kerajaan Mamuju di tentukan batas-batasnya setelah dikalahkannya Ringgi dan Bunu-bunu melalui sebuah kesepakatan perjanjian Kalumpang, yaitu mulai dari Pembuni[8], sampai ujung batas Mamuju di Lalombi[9], dan sampai Lebani, yaitu seberang sungai Simboro (Desa Sumare), atau mulai dari tanah Kaili (Sulawesi Tengah), di sebelah timur berbatasan Luwu (Sulawesi Selatan).


Referensi :
[1] Mengenal Mandar Sekilas Lintas. A. Syaiful Sinrang . 2001. Hal : 8
[2] Indische Taal Land en Volkenkunde Deel LIII, NOTA BEVATTENDE EENIGE GEGEVENS BETREFFENDE HET LANDSCHAP MAMOEDJOE_ Legende omtrent de rijkssieraden. Bijlage VII/53. hlm:  150-152.
[3] Dalam Lontar Mandar disebutkan Raja Mamuju yang pertama bergelar Nenek Tomejammeng.(A. M. Mandra,1991).
[4] Dalam terjemahan lontara Mandar, yang ditransliterasi oleh A.M, Mandra tahun 1991, dikatakan bahwa Maradika telah memperistri putri Bali, dan putri sampai mengidam dengan meminta berbagai macam buah-buahan dan kerang laut.
[5]Juppiq sejenis permainan tradisional yang terbuat dari batok kelapa yang bentuknya seperti hati.
[6]Gasing merupakan mainan tertua yang ditemukan di berbagai situs arkeologi dan masih bisa dikenali. Selain merupakan mainan anak-anak dan orang dewasa, gasing juga digunakan untuk berjudi dan ramalan nasib. Sebagian besar gasing dibuat dari kayu, walaupun sering dibuat dari plastik, atau bahan-bahan lain. Kayu diukir dan dibentuk hingga menjadi bagian badan gasing. Tali gasing umumnya dibuat dari nilon, sedangkan tali gasing tradisional dibuat dari kulit pohon. Panjang tali gasing berbeda-beda bergantung pada panjang lengan orang yang memainkan.
[7] Sakkaq manarang adalah orang cerdik (pandai besi) dari istana kerajaan.
[8] Pembuni adalah kawasan hutan yang dihuni suku-suku pribumi disebut topembuni (orang yang bersembunyi) disini yang dimaksud adalah suku terasing yang mendiami sekitar di wilayah Nunu (Palu) sampai Pasang Kayu atau yang sering disebut suku Torominggi (Binggu) yang saat itu dikuasai oleh kerajaan Mamuju.
[9] Lalombi merupakan wilayah administrasi di kecamatan Benawa, Kab. Donggala Sulawesi Tengah.
[10] “Lontar Mandar” yang ditransliterasi A. M. Mandra pada tahun 1991 (bagian dari Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Login


Jumat, 09 Juni 2023

Mengurai Sejarah Lasalaga Dalam Perspektif Komparatif Literatur dan Folklore Mamuju

La Salaga dengan Keris Pusaka Manurung atau Keris Badung adalah mitos yang tak surut oleh zaman tak lekang oleh waktu dalam sejarah peradaban Mamuju. Cerita ini menjadi sebuah legenda yang berbalut mitos, sehinga cerita kesaktian pusaka Manurung menjadi bahan perbincangan dan perdebatan oleh kalangan budayawan dan penggiat sejarah di kabupaten Mamuju, menjadi sebuah cerita yang melegenda dengan gelaran ritual adat “Massosor Manurung” atau pencucian pusaka ini. Lasalaga dan Pusaka Keris Manurung adalah dua hal yang tidak terpisahkan karena dipercaya secara turun-temurun oleh masyarakat Mamuju sebagai pasangan legendaris antara benda pusaka dan seorang manusia yang dilahirkan secara bersamaan.

Cerita legenda ini sangat menarik untuk kita kaji bersama, pertama karena cerita legenda ini merupakan simbol kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Mamuju sebagai kerajaan yang ada di Mandar dengan kerajaan Badung yang berada di pulau Bali sehingga secara historis kerajaan Mamuju memiliki hubungan istimewa yang sampai hari ini masih terjaga. Yang kedua adalah karena cerita ini sudah sangat melegenda sehingga nilai nilai sejarah yang terkandung dalam cerita ini begitu kuat dalam ingatan dengan alur cerita yang melahirkan banyak kontroversi dari penuturan yang berbeda beda, ada beberapa versi cerita tapi nama tokoh dan alurnya tetap sama misalkan ada yang mengatakan bahwa Pusaka Manurung adalah keris yang berasal dari kerajaan Badung ada juga yang mengatakan berasal dari rahim ibunda Lasalaga atau kata lain lahir kembar dengan Lasalaga. 

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menguji dan mengkaji seperti apa cerita ini dalam metode berfikir yang lebih logis baik melalui pendekatan secara historis maupun pendekatan secara ilmiah dengan mengkomparasi beberapa data - data baik berupa literatur seperti lontrak Pattodioloang Balanipa Mandar, Lontrak Kurungan Bassi maupun data dari sumber naskah lainnya seperti arsip maupun beberapa data silsilah. Mengingat cerita legendaris ini diperkirakan terjadi pada periode abad ke 16 M. Dimasa ini kerajaan Mamuju belum menjadi sebuah kerajaan besar atau sebelum kerajaan Kurri-kurri di Selatan dan Managalllang dibagian Timur ditaklukkan oleh kerajaan Mamuju.

Cerita epik Lasalaga ini merupakan tutur lisan masyarakat Mamuju dengan segala kontroversi yang melatarbelakangi peristiwa dalam kisahnya. Lasalaga dikisahkan sebagai romantika percintaan antara dua manusia di Kerajaan Mamuju (Mandar) dan Kerajaan Badung (Bali) pada akhir abad ke 16 Masehi. Semula kami hanya mengambil sumber penulisan yang berasal dari sebuah manuskrip kuno berupa lontrak yang sudah ditransliterasikan kedalam bahasa Indonesia yang kemudian dijadikan satu buku. Berikut adalah kutipan yang tertulis dalam lontrak Pattodioloang Mandar :

Diammo pole puang Bali. Mera-arappuang tobainena Bali. Diammo uppessanni Maraqdia di Mamuju. Nauwamo maraqdia di Mamuju; Sauo mieq uragai. Sau-mi diuragai. Nauwamo tosau; inggae tama dibinanga. Mettamami dibinanga. Di lalani dibinanga, naummi maraqdia Mamuju di Lopinna, mallaulimmi naung maraqdia di Mamuju dilopinna Tomalolo. Bongi-bongi tomi tia mattambung to Mamuju batu binanga. Apa mauammi namalai Puangnga Bali dimaraqdia Mamuju. Meqitai lao mali-malimang, menggittir dami bondeq tangnga, iqdami mala messung lopinna, mattommi di Mamuju. Napebainemi
maraqdia Mamuju. Mangidammi, apamo nangidanni, tirang, iamo anna maqandemo tau tirang. Maqangidanni toi bua-bua aju apaq iamo nangidanni. Battangi, malaimi sau di banuanna. Polei sau meanaqmi tommuane, siolami dipeanang kobiq. Iyyamo disanga Lasalaga.

Sehingga suatu hari datanglah kapal-kapal dari kerajaan Badung- Bali berlabuh di kawasan pantai namun kapal kapal tersebut belum merapat dipelabuhan kasiwa. Baru setelah seorang masyarakat melaporkan kepada Maradia (raja Mamuju) bahwa ada rombongan kapal yang mendekati perairan Mamuju. Berkatalah Maradia ”Sau o mie' uragai ” makna kata ”uragai” berarti menemui atau menyuruh untuk menemui rombongan kapal itu. 

Maka berangkatlah orang suruhan Maradia menuju rombongan kapal orang Bali dan memerintahkan mereka untuk masuk ke muara sungai dan merapatkan kapal - kapal mereka ke dermaga (labuang) ”...Sau-mi diuragai. Nauwamo tosau; inggae tama dibinanga. Mettamami dibinanga. Di lalani dibinanga. naummi maraqdia Mamuju di Lopinna”. 
Kutipan lontrak menjelaskan bahwa setelah rombongan kapal -kapal orang Bali merapat ke tepian pantai Mamuju tepatnya didekat muara sungai Mamuju disebuah perkampungan yang disebut Kasiwa maka Maradia segera mengutus seseorang untuk menemui rombongan kapal orang - orang Bali dan Maradia memerintahkan untuk masuk ke muara sungai untuk berlabuh.

Penulis lontrak mengisyaratkan bahwa di dalam salah satu kapal tersebut membawa beberapa keluarga kerajaan Badung dan beberapa perempuan yang diceritakan memiliki paras yang cantik, sehingga disebut ”meraarrapuang tobainena bali” kalau kita mengartikan bahwa makna merrarapuang terdiri dari dua suku kata yaitu merrara - puang bermakna merarra = (berdarah), Puang : (bangsawan), atau Perempuan Bali yang berdarah bangsawan. 

Tentang maksud kedatangan orang - orang Bali ini dalam lontrak tidak disebutkan. Pendapat lain mengatakan bahwa kedatangan orang Bali adalah bertujuan untuk menghadiri undangan pesta makan atau kenduri seperti yang ditulis oleh Abdul Rasyid Kampil dalam tulisannya (Balada abad ke XVI Masehi). 

Bersambung....
Login


Mengurai Sejarah Lasalaga Dalam Perspektif Komparatif Literatur dan Folklore Mamuju (bag.2)

Mengenai cerita legenda Lasalaga ini salah satunya telah ditulis dalam sebuah kumpulan catatan arsip berbahasa Belanda pada judul halaman ”Nota bevattende eenige gegevens betreffende het landschap Mamoedjoe”. Dalam TIJDSCHRIFT VOOR INDISCHE TAAL, LAND, EN VOLKENKUNDE. Terbit pada tahun 1911 Oleh Kumpulan Masyarakat Seni Dan Ilmu Batavia. Yang disusun dan ditulis kembali oleh DR. Ph. S. Van Ronkel. Pada sub judul; Legende omtrent de rijkssieraden.

 ”Op een goeden dag ankerde in de monding der Mamoedjoe rivier de prauw van den Balischen vorst van Badoeng, die herwaarts gekomen was om hanen gevechten bij te wonen. Diep verborgen in de prauw bleef zijn dochter”.
Terjemahan: ”Suatu hari, di muara sungai Mamudjoe, perahu raja Badoeng Bali yang datang ke sini untuk menonton sabung ayam berlabuh di muara sungai Mamujoe.  Putrinya tetap tersembunyi jauh di dalam prahu”.

Dalam catatan tersebut seolah bahwa kedatangan raja Bali ke Mamuju bertujuan bukan untuk menghadiri undangan untuk acara adat seperti yang sering di ceritakan akan tetapi untuk menghadiri undangan dari raja mamuju untuk mengadu ayam (sabung) dari Mamuju dengan ayam dari kerajaan Bali dan diantara mereka seorang perempuan yang cantik ikut pula dalam kapal rombongannya jauh tersembunyi dalam sebuah kamar di dalam perahu tersebut sehingga terdengarlah oleh raja Mamuju tentang kecantikan Putri Badung tersebut. 

”De zoon van den Maradia, die toenmaals aan het bestuur en gehuwd was met de dochter van den eersten tomakaka der Sinjonjoi. nenek Deilomale, hoorde de schoonheid van het Balische meisje roemen, wist de wachters met veel geld om te koopen en verbleef een nacht bij de schoone”.
Terjemahan: ”...Anak laki-laki Maradia yang saat itu sedang dalam pemerintahan, dan menikah dengan putri tomakaka pertama Sinjonjoi, nenek Deilomale (Daeng Lumalle).  Mendengar kecantikan gadis Bali dipuji, menyuap penjaga dengan uang banyak dan menginap semalam dengan si cantik..”

Anak laki-laki Maradia (raja) yang dimaksud adalah Tomejammeng anak dari Maradia Pue Todipali. Tomejammeng yang saat itu sebagai Maradia Mamuju sebenarnya terlebih dahulu sudah menikahi anak dari Tomakaka Padang (Sinyonyoi) yaitu cucu Daeng Lumalle bernama Topelipaq Karoroq, dari pernikahan pertamanya ini lahirlah seorang putra bernama Puatta di Mamuju dan garis keturunannya menjadi raja berikutnya di Mamuju. 

Secara jelas ini tertulis dalam Lontrak ;”...Tomejammeng mo mappakaiyyang litaq di Mamuju, iya tomo nipenang siola kobiq,  Sialami masapo pissang, Anaqmi Puatta di Mamuju, Puatta mo di Mamuju upeanani Tomatindo Disambajangnga, Tomatindo mo Disambajangngga uppeannani Tomatindo Dipuasana...” dan ”... Apa kaiyyangi anaq dininna di Mamuju, matemi amanna. Sauwi nala Tomamuju. Polei sau, iqdai napebei puang Bali. Malaimi Ieqmai. Polei leqmai, marusaqmi mamuju,  apaq anaq dininnamo maraqdia. Iqdamijari ande..”

Setelah menganalisa maksud kalimat lontrak dan catatan arsip diatas jelas kita bisa mendapatkan satu kesimpulan bahwa ”siala mosapopissang” dari pernikahan Tomejammeng dengan sepupunya Topelipaq Karoroq inilah yang melahirkan seorang anak bernama Puatta di Mamuju dan seterusnya adalah keturunannya yang menjadi raja di Mamuju. Maksud dari ”ana' dininna” adalah anaknya yang dari pernikahan sebelumnya. 

Selanjutnya Tomejammeng melihat sendiri kecantikan Sang Putri dan akhirnya menjalin suatu hubungan dan menikah hingga si perempuan mengidam. Berbeda dengan catatan arsip yang mengatakan mereka menjalin hubungan tanpa diketahui oleh siapapun sampai saat kembali pulang ke tanah Bali; 
"..De niets kwaads vermoedende vorst zeilde naar Bali terug en moest weldra outwaren dat zijne dochter zwanger was. Vol verontwaardiging verstiet hij haar en schonk zij in de wildernis het leven aan een zoon...". Terjemahan: ”Raja yang tidak curiga itu berlayar kembali ke Bali dan segera mengetahui bahwa putrinya hamil.  Dengan dipenuhi kemarahan, dia (raja) menolaknya, dan dia melahirkan seorang putra di padang gurun”. 

Sedangkan lontrak mengatakan : ”... naummi maraqdia Mamuju di Lopinna, mallaulimmi naung maraqdia di Mamuju dilopinna Tomalolo..” dan ”...Napebainemi maraqdia Mamuju. Mangidammi, apamo nangidanni, tirang. Iamo anna maqandemo tau tirang. Maqangidanni toi bua-bua aju apaq iamo nangidanni. Battangi, malaimi sau di banuanna. Polei sau meanaqmi tommuane..”. artinya; Turunlah raja Mamuju ke perahu wanita yang cantik itu (putri Bali) dan diperistrilah oleh raja Mamuju. Ngidam-lah, ngidam kemauan untuk makan tiram (sejenis kerang laut) itulah sehingga kita (orang Mamuju) juga makan tiram, dan juga buah-buahan yang diinginkan, Hamil-lah, sehingga pulanglah dia kekampungnya (Bali) sesampainya disana dia melahirkan anak laki-laki. 

Diceritakan bahwa setiap malam ketika mengunjungi putri Badung di kapal, di setiap malam pula beberapa orang suruhan raja turun kesungai untuk menutup jalur kapal dengan batu-batu agar kapal tersebut karam dan tidak bisa keluar dari muara sungai. Ada kesamaan alur cerita dari lontrak dan arsip namun berbeda menceritakan dalam hal hubungan antara keduanya, dalam lontrak dikatakan mereka menikah (napebaine) artinya memperistri putri Badung tapi dalam catatan arsip Belanda itu adalah kebalikannya. (Arman Husain 2023).

Login


Bersambung.....

Jumat, 27 Mei 2022

MOROMBIA

Proses pembuatan Sagu dari saripati pohon rombia ini disebut MOSAKUNG/MOROMBIA atau orang Mamuju menyebutnya pangkur. Aktivitas ini merupakan kebiasaan masyarakat Mamuju yang telah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Mosakung adalah proses awal pembuatan Sagu yang di olah dari batang pohon Sagu sebelum menjadi "LETTO'" atau biasa di sebut sari tepung sagu. 
Pohon sagu apabila sudah mencapai umur untuk bisa di olah maka akan diolah mulai, dari penebangan sampai proses dibajak isi dalamnya kemudian diperas biasanya dengan cara di injak injak sampai hancur dan diperas.
Seperti gambar di atas salah satu seorang sedang melakukan pangkur sagu mulai dari penebangan sampai proses pemerasan Sari Sagu. Bisanya aktivitas ini di lakukan Di dekat dimana ada mata air atau sungai untuk bisa melakukan proses pemerasan Sari Sagu atau disebut Molanda' karena proses tersebut sangat membutuhkan air yang banyak. 
Prosesnya sangatlah unik batang pohon sagu di babat hingga hancur kemudian isi batang pohon yang sudah hancur tadi di peras hingga menjadi sari sagu. 
Setelah semua proses telah selesai kemudian sari yang di peras tadi di taruh di wadah yang telah di desain khusus yang terbuat dari daun pohon sagu itu sendiri dan untuk membuatnya butuh orang yang ahli dalam menganyam nya agar sari sagu yang masih cair tidak tumpah. 
Hasil akhir dari sari Sagu yang mengendap inilah yang disebut LETTO' yang menjadi bahan baku olahan berbagai macam makanan khas Mandar Mamuju termasuk JEPA /KALUMPANG ROMBIA. 

Sabtu, 21 Mei 2022

SEKOMANDI

Sekomandi' adalah salah satu tenun ikat dengan motif tertua di Indonesia, merupakan tenunan khas daerah Rongkong - Seko dan Kalumpang. Sekomandi' berasal dari dua kata, yaitu "Seko" yang berarti persaudaraan atau kekeluargaan atau rumpun keluarga, dan "Mandi'" yang berarti kuat atau erat. Sehingga Sekomandi' dapat dimaknai sebagai "Ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang kuat dan erat".
Berdasarkan data yang diperoleh dari tutur, cerita/legenda salah seorang penenun yang masih tetap melakoni dan melestarikan Tenunan Sekomandi' di Kalumpang, menyatakan bahwa Sekomandi' awalnya ditemukan oleh nenek moyang orang Kalumpang dari Dusun Lebani bernama "Undai Kasalle" yang sedang berburu di hutan. Ketika berburu dalam hutan, anjing Undai Kasalle berhenti disebuah mulut gua lalu berlari masuk kedalam gua tersebut. Melihat hal tersebut, Undai Kasalle ikut masuk kedalam gua dan menemukan selembar daun besar yang sekilas terlihat seperti ular besar dengan motif yang aneh. Kemudian daun tersebut dibawa pulang dan diperlihatkan kepada istrinya, seketika itu pula istrinya jatuh pingsan lalu kesurupan. Dalam keadaan tidak sadar itulah, istri Undai Kasalle mendapatkan "Ilham" tentang cara membuat Tenunan Sekomandi'. Setelah sadar, istri Undai Kasalle mulai melakukan apa yang diilhamkan kepadanya, dia mulai memintal benang dari kapas lalu membuat pewarna dari campuran beberapa macam tanaman, kemudian merendam benang tersebut kedalam pewarna selama beberapa hari. Kejadian kesurupan ini terus berulang beberapa kali sampai tercipta sebuah Tenunan Sekomandi'.

Sekomandi' sampai saat ini masih tetap dibuat secara tradisional oleh pengrajin dengan menggunakan benang yang dipintal dari kapas dan bahan pewarna alami dari campuran ramuan seperti kemiri, akar mengkudu, daun tarum, lengkuas, kunyit, kapur sirih, pinang, abu dari kayu pallin dan beberapa kayu hutan. Yang paling khas dari bahan pewarna yang digunakan adalah cabe, sehingga dalam pembuatan pewarna sampai kain yang dihasilkan masih terasa hangat dari cabe.
Proses pembuatan kain tenun Sekomandi' terdiri dari beberapa tahapan, yaitu :
1. Proses Pemintalan Benang
Proses ini diawali dengan membersihkan kapas dari biji dan kotoran yang menempel, kemudian dipintal hingga terbentuk helaian benang yang halus dan bersih.
2. Proses Pewarnaan
Setelah pemintalan kapas menjadi benang, kemudian dilakukan proses pencelupan benang kedalam pewarna selam beberapa hari lalu benang dibentangkan. Proses pewarnaan ini memakan waktu selama kurang lebih sebulan sampai diperoleh warna yang diinginkan.
3. Proses Pengikatan
Setelah diperoleh benang berwarna, benang lalu diikat perkelompok yang masing-masing sekitar 10 (sepuluh) helai benang. Kemudian benang mulai dibentuk sesuai pola atau motif yang diinginkan dengan menggunakan teknik pengikatan benang pada alat yang disebut "Kaliuran" yang terbuat dari kayu atau bambu. Fungsi Kaliuran yaitu untuk menahan benang pada saat pengikatan agar benang tetap rapih setelah diikat sesuai motif atau corak kain.
4. Proses Penenunan
Penenunan merupakan proses terakhir dari pembuatan Sekomandi', dimana setelah benang diikat dan membentuk motif, kemudian benang ditenun hingga terbentuk kain Sekomandi'. Proses penenunan ini dapat berlangsung selama beberapa bulan bahkan sampai satu tahun, sesuai tingkat kesulitan dan lebar kain yang diinginkan.
Keunikan kain tenun Ikat Sekomandi, terdapat pada pola warna dan struktur kain. Dimana semua proses pengerjaannya dilakukan dengan tangan atau ditenun dengan menggunakan alat-alat tradisional lainnya. Dibutuhkan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan-bulan untuk memproduksi sehelai kain tenun ikat Sekomandi.
Saat ini, sudah tidak banyak orang yang bisa menenun kain ikat sekomandi.
Oleh karena itu diperlukan perhatian khusus agar kain warisan leluhur ini tetap lestari. Apalagi motif tenun ikat dari Kalumpang dikenal sebagai salah satu ragam motif tertua di dunia. (*)

Sumber : artikel web/blog/sosial media.

Minggu, 08 Mei 2022

"Mamose" Ritual Adat Masyarakat Tangkuo yang patut dilestarikan

Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu untuk tujuan yang simbolis. Seperti halnya tradisi yang ada di Desa Tabolang, kec. Topoyo, kab. Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, berupa RITUAL MAMOSE.
Ritual Mamose adalah adat orang Budong-Budong yang harus di lestarikan. Ritual Mamose berkaitan dengan kegiatan bercocok tanam yang dilakukan tiga kali dalam setahun. Yang pertama dilakukan sebelum masuk hutan atau lahan. Kedua dilakukan setelah selesai merumbut atau membersihkan lahan yang nantinya akan ditanami tanaman. Dan yang ketiga, dilakukan setelah panen.

Dalam mamose terdapat berbagai ritual yang dijalankan, mulai dengan melakukan aksi menggunakan parang di tempat terbuka di sekitaran rumah adat Budong-Budong serta disaksikan langsung oleh raja dan masyarakat. Dalam aksi Pamose (sebutan bagi tokoh adat yang sedang beraksi dengan berbicara bahasa Budong-Budong), Ia menyampaikan pesan-pesan terhadap raja maupun terhadap para masyarakat. Sebelum melakukan aksinya, terlebih dahulu iringi musik dengan gendang, saat Pamose menghadap ke Raja dan Tobara, musik gendang di hentikan lalu Pamose memohon izin terhadap raja dan juga terhadap Tobara (ini adalah sebutan bagi kepala adat).

Sehari sebelum melakukan ritual adat Mamose, maka didahului oleh kegiatan "Magora", yaitu kegiatan menggunakan perahu bermotor (Katingting) berjalan menelusuri sungai Budong-Budong. Saat menghampiri masyarakat yang sudah menunggu di tepian sungai, maka akan  di lakukan "Magane", yaitu kegiatan dengan menggunakan parang, bendera,obat tradisional yang diletakkan di atas piring dan juga sebatang kayu yang ditancapkan di tanah. Hal ini perlu dilakukan agar kiranya kegiatan yang dilakukan berjalan dengan lancar dan masyarakat diberi kesehatan. Dahulu kala bukan kayu yang di gunakan akan tetapi manusia yang di tanam sampai kepala, lalu di lempari kemudian kepalanya di ambil lalu diikat di atas bendera untuk di bawa di arak-arak di atas perahu. 
Agar masyarakat mengetahui kedatangan rombongan, ditiuplah "Tantuang" yang terbuat dari kerang berukuran besar, kemudian singgah di setiap tepian sungai bila ada yang menunggu di pinggiran sungai. Masyarakat yang menunggu di pinggir sungai lalu menghampiri rombongan lalu menyerahkan seperti rokok, makanan, minuman dan lain sebagainya, yang diterima langsung oleh Puntai yang merupakan tokoh adat. 

Puntai kemudian akan mengambil air dari sungai dan dari dalam perahu, kemudian dibasuhkan ke masyarakat yang sedang sakit. Sebelum rombongan kembali berangkat, maka kadang akan terjadi kehebohan yaitu siram menyiram antara rombongan dengan masyarakat yang berada di tepian sungai.

Itulah adat Ritual Mamose yang sudah turun-temurun dan masih berlaku hingga saat ini.

Jumat, 15 Oktober 2021

Pernikahan Dalam Adat dan Budaya Mamuju

Sebagaimana diketahui bahwa negara Republik Indonesia memiliki banyak ragam budaya, etnis dan agama. Masing-masing daerah mempunyai budaya dan adat istiadat sebagai ciri khas daerahnya. Seperti halnya dalam perkawinan, Mamuju memiliki adat tersendiri yang berbeda dengan etnis Mandar, meskipun Mamuju termasuk bagian dari etnis Mandar. Proses perkawinan adat Mamuju sama tetapi tidak serupa dengan perkawinan adat Mandar.

Ada sebuah pepatah yang mengatakan, lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalang.

Defenisi kawin ialah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri. Pengertian hakekat perkawinan menurut agama Islam ialah untuk mengikuti Sunnah Rasul Allah, Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam dalam membentuk keluarga yang sakinah warahmah, berbakti kepada Allah serta taat kepada orang tuanya.

Fase-fase perkawinan :

Untuk perkawinan yang wajar di Mamuju, dalam rangkaian pelaksanaannya melalui beberapa fase dan teknik perbincangan yang begitu halus dan sopan, baik sebelum maupun sesudahnya. Fase-fase tersebut adalah sebagai berikut :


Fase Pendahuluan Uru Pakita (Pandang Pertama)

Pada umumnya manusia yang normal pertumbuhan pada u muda akan mengalami suatu masa yang dikenal dengan mat baler (puber). Pada masa ini akan timbul beraneka raz perasaan yang melanda jiwanya antara lain berupa harap harapan dan kerinduan. Dan setelah ia menemukan dan meliha seorang gadis yang menarik perhatiannya maka ia dala menyatakan perasaannya itu terhadap sang gadis tersebut pada masa dahulu biasanya dibarengi dengan pantun atau kalinda'da.


Ma'lolang (Bertandang)

Untuk melanjutkan perkenalan, pemuda tersebut dengan gadis pandangan pertama itu sebagai akibat dari pandangan pertamanya terhadap sang gadis dan sekaligus bersilaturrahmi dengan orang tua gadis bersama keluarganya, maka pemuda tersebut melakukan kunjungan dinamai malolang (bertandang ke rumah sang gadis) pada waktu-waktu senggang terutama pada waktu malam dan sang pemuda sudah menentukan bahwa gadis inilah satu-satunya yang akan menjadi calon teman hidup d dalam suka dan duka, maka proses selanjutnya adalah sebagai berikut :


I. Ma'bisi' atau Memmanuq-manuq

Ketika dua insan yang berlainan jenis sudah saling jatuh cinta maka dengan secara rahasia pihak laki-laki mengutus seseora atau beberapa orang untuk berkunjung ke rumah p pa perempuan guna menyampaikan maksud dan niat sang pemud tersebut kepada orang tua pihak perempuan (gadis).

sebagai syarat pertama adanya sebuah harapan yang ingin disampaikan. Bingkisan tersebut dibungkus dalam beberapa buah sinto yang isinya terdiri dari rokok, sabun mandi, korek api dan lain-lain. Apabila harapan dan maksud tersebut mendapat sambutan positif, maka proses mabisi atau memanu-manu akan berkelanjutan, tetapi apabila niat dan harapan tersebut tidak mendapat sambutan atau ditolak, maka kunjungan mabisi dianggap tidak pernah ada dan bingkisan yang dibawa tidak dikembalikan yang di dalam istilah bahasa Mamuju disebut, nitibe naung di kalobo atau istilah lain tingkudu pute (di buang ke dalam lubang atau istilah lain adalah ludah yang sudah dibuang tidak mungkin dijilat kembali).


II. Mesudu atau Ma'dutá  (Pelamaran)

Pada tahap kegiatan pelamaran (mesudu/ma'duta) kedua belah pihak mempersiapkan diri dan menghadirkan sanak keluarga/famili dalam jumlah yang besar serta kedua belah pihak menunjuk juru biacara. Adapun perlengkapan atau bingkisan dari pihak keluarga orang tua laki-laki yang diantar ke rumah pihak perempuan dengan suatu rombongan yang sudah besar dengan membawa bingkisan berupa beberapa buah sinto dan balla-balla yang di dalamnya berisi rokok, sabun mandi, korek api, balla-balla berisi pisang, jeruk, nenas dan buah-buahan lainnya. Jumlah sinto dan balla-balla biasanya ditentukan dan diukur dari stratifikasi sosial seseorang yang akan melaksanakan perkawinan. Selain sinto, juga ada pakaian perempuan seperti pakaian dalam, alat make-up, sandal, handuk dan lain-lain. Barang bawaan ini diantar oleh para muda-mudi dan orang-orang tua keluarga, kerabat dan sahabat dari pihak laki-laki. Pelaksanaan ma'duta atau pelamaran ini biasanya dilakukan pada malam hari.


Bagi juru bicara pihak perempuan yang sudah dipersiapkan sudah dibekali beberapa buah amanah dan sebuah catatan perincian dan jumlah uang biaya perkawinan, uang mahar dan passorong ditambah emas, hewan dan bahan konsumsi lainnya sesuai kemampuan pihak laki-laki.


Setelah mengadakan negosiasi oleh kedua juru bicara yang b dibarengi dengan kiasan dan pantun (kalinda'da) catatan rencana perincian besarnya biaya dibungkus dalam amplop kemudian diserahkan kepada juru bicara pihak laki-laki, untuk dibawa dan dipertimbangkan oleh orang tua dan keluarga pihak laki-laki. Jika di dalam perkawinan ini stratifikasi (tingkat kebangsawanan) pihak perempuan lebih tinggi dari laki-laki, biasanya pihak orang tua perempuan meminta biaya perkawinan dalam jumlah besar yang biasa disebut mangalli rara (membeli darah). Sama halnya, bila pihak keluarga perempuan kurang setuju maka di sini juga meminta biaya perkawinan tinggi yang biasa disebut mendodo maroka (meminta dengan terpaksa). Bila keluarga pihak laki-laki menganggap permintaan keluarga perempuan sudah terlalu tinggi/besar sehingga pihak laki-laki tidak menyanggupinya, maka kembali keluarga laki-laki mengirim utusan ke rumah orang tua perempuan untuk menyampaikan permohonan maaf atas gagalnya rencana perkawinan dengan ungkapan dan kata-kata "rupanya Tuhan belum mempertemukan jodoh kedua anak tersebut dan istilah lain niala membali passolosuungang (kita kembali menjalin tali persaudaraan)".


Akibat gagalnya perkawinan tadi, maka seluruh barang bawaan dari pihak laki-laki yang sudah diterima harus dikembalikan dengan utuh kepada pihak laki-laki, tetapi sebaliknya kalau pihak laki-laki memutuskan atau membatalkan rencana perkawinan secara sepihak, maka segala macam bawaan dan rencana biaya perkawinan harus ditunaikan oleh pihak laki laki yakni membayar 50 % dari rencana semula dalam bahasa Mamuju disebut massorong sambare atau dengan istilah lain mappalumpa simbolong. Hal ini harus dilakukan karena oleh pihak keluarga perempuan sudah menanggung malu akibat batalnya rencana perkawinan.


III. Modore (Pertunangan)

Proses modore ini berlangsung mulai dari adanya kesepakatan bagi kedua belah pihak tentang biaya dan waktu pelaksanaan akad nikah dan biaya perkawinan sudah tuntas semuanya yang hal ini memakan waktu dari 1 bulan sampai 3 bulan, maka masa ini disebut modore. Selama waktu modore ini calon pengantin laki-laki diharuskan mengantar uang belanja dan bahan konsumsi ke rumah orang tua perempuan yang hal ini disebut mapakande manu artinya memberi makan ayam, karena ayam yang diikat sudah perlu diberi makan. Di daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Mandar pada khususnya ada suatu anggapan yang senantiasa dipelihara yaitu adanya suatu tanda kesungguhan hati dari kedua belah pihak untuk menepati janji dalam mewujudkan rencana pernikahan putra-putrinya, di mana hal tersebut dianggap tabu (pemali) untuk diabaikan seperti dilarangnya calon mempelai untuk bepergian jauh, umpamanya menaiki kendaraan seperti motor dan mobil serta melakukan pekerjaan yang mengakibatkan resiko tinggi, karena sangat peka (sensitive) rawan terhadap beberapa bencana. Masa inilah disebut sebagai waktu karapao-rapoanna (saat yang sensitive) bagi calon mempelai pria dan wanita.


a. Mesurobo

Beberapa hari sebelum pelaksanaan akad nikah oleh calon mempelai perempuan melakukan mandi uap yang dalam bahasa Mamuju disebut mesurobo serta pada siang dan terutama pada malam hari memakai bedak basah yang disebut tappung dengan tujuan agar badan pengantin perempuan menjadi halus dan berbau wangi semerbak. Mandi uap tujuannya juga sama yakni pengantin perempuan jika mengeluarkan keringat selalu berbau wangi/harum. Pada zaman dahulu calon pengantin perempuan dimasker atau dipercantik oleh seorang perempuan/ibu yang biasa disebut indo botting dengan cara sebagai berikut: alis dan bulu rambut yang berada di wajah/muka serta alis calon pengantin dirapikan dengan pisau yang tajam (desundu), selanjutnya di bagian bawah dan atas diratakan dengan sebuah batu gurinda yang disebut nigoso. Dijelaskan bahwa kegiatan mandi uap atau mesirobo biasanya dilakukan beberapa hari menjelang hari pernikahan. Caranya adalah sebagai berikut: calon pengantin perempuan duduk di atas bangunan yang terbuat dari bamboo setinggi kurang lebih 2 meter dengan 4 buah kaki dilengkapi tempat duduk di atasnya, sementara di tengahnya terdapat lubang yang dihubungkan dengan belanga (kurung tampo) yang berisikan ramuan-ramuan tradisional yang baunya sangat harum. Ketika air dalam belanga tersebut mendidih dan menghasilkan uap, maka uap tersebut tersalur melalui bamboo langsung ke sekujur badan calon pengantin yang sedang duduk dengan menggunakan sarung atau selimut yang dibungkus ke seluruh tubuhnya. Dengan demikian calon pengantin akan berbau harum sesuai dengan harumnya ramuan yang telah dimasukkan ke dalam belanga yang bercampur dengan air panas tadi.


b. Membaca Barzanji

Selanjutnya dalam rangka menyongsong pelaksanaan akad nikah, di rumah orang tua pengantin perempuan dilaksanakan acara pembacaan barzanji yang biasanya dilakukan pada malam hari atau ada juga yang melakukan pada pagi hari sebelum tamu-tamu umum datang. Acara ini dilakukan oleh tokoh agama yang berjumlah paling kurang 7 orang atau biasa berjumlah sampai 20 orang. Selain pembacaan barzanji sesudahnya diikuti pemukulan gendang rebana sambil menyanyi yang diikuti atau dikumandangkan oleh para penabuh rebana. Seusai pembacaan barzanji, para tokoh agama pada waktu pulang membawa bingkisan yang disebut kalu (bungkusan yang berisi pulut, telur, kado minnya dan pisang).


c. Manggantung Paleko

Di rumah orang tua pengantin perempuan dihiasi dengan berbagai macam kain warna (paleko) dan pada pintu gerbang dan sekeliling batayang digantung daun nyiur muda (daun niu). Kain warna putih (gandis) dibentangkan mulai dari pintu rumah sampai di dalam ruangan yang akan dilalui oleh pengantin laki-laki, panjang kain putih kurang lebih 10 meter bahkan ada yang lebih. Adapun arti bentangan kain ini ialah adat menerima tamu agung yang juga sama dengan adat di daerah lain seperti Bugis, Makassar bahkan Jawa. Selain kain putih biasanya juga dipakai kain merah.


d. Parrabana

Pukulan rebana dan genderang pamanca sangat perlu ada pada saat iring-iringan pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan (nitindor) bahkan dianggap tabu atau pemali jika tidak ada, karena merunut kebiasaan pada zaman dahulu kala jika ada pengantin tidak menyiapkan bunyi bunyian seperti rebana dan lain-lain. maka akibatnya anak dari pengantin tersebut tidak mendengar atau tuli dan bisu (tidak bisa bicara).


IV. Mappacci atau Mekalantigi

Sebagai rangkaian acara pernikahan adat terhadap etnis Makassar, Bugis dan Mandar, biasanya pada malam menjelang pelaksanaan pernikahan, diadakan acara mappacci atau mekalantigi. Acara ini merupakan malam bermuatan doa restu dari segenap keluarga dan handai taulan terutama bagi tokoh adat, dengan harapan kedua pasang pengantin tetap mendapat rahmat Tuhan dan tujuan selanjutnya agar pengantin mengikuti kebahagiaan tokoh adat yang mekalantigi mengikuti pecuru'na atau naola lalan basena, para orang tua dan tokoh adat yang telah sukses di dalam berumah tangga dikarunia anak serta rezeki yang halal dan banyak. Mappacci (bahasa Bugis), Mekalantigi (bahasa Mamuju) dan dalam bahasa Indonesia biasa pula disebut malam pacar, Pacar adalah daun tumbuhan yang digiling halus untuk memerahi kuku memerahi kuku bagi gadis-gadis. Tumbuhan tersebut dikenal dalam bahasa latin ialah LAWSONIA ALBA. Perkataan pacar boleh mengenai daun, boleh juga mengenai pohonnya atau kembangnya. Pacar itu mempunyai sifat-sifat magis dan dipergunakan tidak pada sembarang waktu. Mekalantigi dilaksanakan menjelang akad nikah diadakan di rumah calon mempelai perempuan atau di rumah masing-masing mempelai dan dihadiri oleh sejumlah laki-laki dewasa atau tetua dari rumpun keluarga sendiri dan tokoh adat. 


Pelaksanaan acara ini adalah berlaku bagi orang terutama Puang (bangsawan). turunan taupia (golongan adat), turunan joa/peampoan (yakni orang merdeka). Pelaksanaan mekalantigi dipandu oleh seorang orang tua yang mengerti masalah adat.


Sebelum acara mekalantigi dimulai oleh seorang perempuan tua (indo botting) terlebih dahulu mengadakan kegiatan menghiasi tempat tidur dengan cara sebagai berikut: menggantung paleko bissu, mempersiapkan lampu atau pallang yang terdiri dari pallang dan sulo langi. Selain itu mempersiapkan sia-sia dan jalappa yang dibunyikan pada saat mekalantigi dimulai, tempat tidur yang sudah dihiasi diletakkan sebuah bantal guling yang di atasnya diletakkan 7 buah sarung yang terlipat rapi, selanjutnya di atas sarung ditaruh daun pisang dan sebuah keris pusaka barangtuda' yaitu beras ditaruh pada sebuah piring besar dan di atasnya diletakkan 7 butir telur ayam dan beberapa keping uang logam. Kemudian tempat raja dan galaga'gar pitu dibuatkan pagar bambu yang dihiasi dengan rapi yang disebut balasuji. Di hadapan pengantin ada tempat yang berisikan kalantigi, ada setangkai rappa dan ada keris, ada kobokan yang berisi air. Bila acara mekalantigi mau dimulai, maka indo botting mulai membakar pallang dan sulo langi dan para orang tua yang memegang sia-sia dan jalappa mulai beraksi membunyikan musik tradisional tersebut.


- Sia sia adalah sebuah besi batangan yang menyerupai pisau. 

- Jalappa adalah dua buah besi tembaga yang berbentuk topi. Kedua benda ini adalah termasuk alat musik tradisional.


V. Akad Nikah

Upacara akad nikah ada yang dilaksanakan pada waktu siang hari sebelum matahari mencapai titik kulminasinya, ada pula yang melaksanakan pada malam hari. Dihadiri oleh keluarga dan kerabat serta handai taulan dari kedua belah pihak di rumah orang tua perempuan. Akad dilakukan oleh orang tua/wali perempuan atau yang diserahi kewalian itu. Biasanya yang diserahi kewalian orang tua perempuan. adalah kadhi/imam setempat. Selesai pelaksanaan akad nikah lalu pengantin laki-laki diantar oleh seorang keluarga pihak laki-laki melaksanakan nipasikanti (pertemuan pertama). Setelah selesai pelaksanaan akad nikah kemudian oleh salah seorang yang mewakili keluarga mempelai laki-laki mengantar dan membawa pengantin laki-laki ke suatu tempat atau kamar yang terlebih dahulu sudah disiapkan dan sebelum masuk kamar yang ditempati pengantin perempuan, maka wakil orang tua laki- laki yang mengantar tadi harus mengeluarkan uangnya membayar dengan uang ala kadarnya yang namanya kunci pembuka kamar. 


Setelah pintu terbuka, maka acara nipasikanti atau pertemuan pertama dimulai dengan memperkenankan pengantin laki-laki (suami) dengan pengantin perempuan (istri) yang sudah sah menjadi suami istri. Pada acara ini pihak pengantar pengantin laki-laki membacakan mantera (doa) dan pengantin suami istri setelah jabat tangan dengan ibu jari tangan bertemu kemudian biasanya kedua belah pihak masing-masing menggunakan cara dan taktik yang antara lain memegang anggota badan istrinya/suaminya dengan harapan istrinya tidak cepat layu atau tua, dan juga pada pertemuan kedua ibu jari tangan masing-masing berusaha tangannya lebih tinggi di atas dengan bermaksud siapa yang lebih tinggi dia akan menjadi pengendali dalam rumah tangganya. Ada pula memakai cara lain ialah menginjak kaki suami atau istrinya dengan harapan sama di atas.


Sesudah acara nipasikanti kedua pasang pengantin duduk di pelaminan yang selanjutnya oleh pihak pengantin laki-laki membaca sighat taklik atau berjanji dengan disaksikan oleh para keluarga dan undangan bahwa dia akan memperlakukan x istrinya dengan baik. Dalam acara ini juga seorang laki-laki setengah baya keluarga pihak laki-laki membawa dan menggendong 1 (satu) biji buah kelapa yang baru tumbuh dan biasa juga pohon rumbia yang baru tumbuh untuk diserahkan kepada keluarga pengantin perempuan dan selanjutnya diganti dengan sebuah sarung palaikat. Kelapa atau rumbia ini disebut sompa. Pada acara ini oleh protocol mempersilahkan wakil orang tua kedua mempelai untuk membawakan sepatah kata (selamat datang dan terima kasih dan selanjutnya nasehat perkawinan yang dibawakan oleh seorang ustadz).




VI. Nibungkes

Pada fase ini oleh kedua mempelai mandi bersama di rumah orang tua perempuan di sekitar posiq arriang (sokonguru). Acara ini dilaksanakan sesudah acara akad nikah atau sebelum resepsi. Pelaksanaannya sangat unik karena pada waktu akan mandi perempuan duduk di talutang (sejenis) alat tenun) dan sang laki-laki di atas anjoro timpoa (setandan kepala) yang. dihiasi dengan daun nyiur dan burobe. Selesai acara ini berarti selesailah seluruh rangkaian acara perkawinan itu dan keduanya (suami-istri) yang baru itu telah siap membina dan melayarkan bahtera rumah tangga. Air mandinya ditempatkan pada sebuah tempat air yang disebut katoaang yakni baskom yang terbuat dari tanah liat, air dicampur dengan bunga bungaan yang harum, daun pandang, burobe (bunga kelapa) dengan dipagari oleh daun nyiur yang muda.




VII. Nitindor (Arak) atau Nilekka

Pada fase ini pengantin laki-laki nitindor (diarak) ke rumah mempelai perempuan dengan memakai pakaian kebesaran sesuai dengan tingkat stratifikasi sosial kemasyarakatan. Kaum kerabat dengan berjalan kaki diantar oleh keluarga dan handai taulan menuju rumah pengantin perempuan. Seperangkat bawaan sesuai dengan kebiasaan seperti: minyak kelapa 1 (satu) belek, minyak tanah 1 (satu) belek, kande nikka (makanan kawin), beberapa buah sitto, anjoro tuo (cikal), bua loa (sejumlah uang), balla-balla, erang-erang dan hewan/kerbau atau sapi atau beras ikut diarak. Untuk menyemarakkan tolekka (arak arakan) ini, sekelompok parrawana (penabuh rebana) beraksi sepanjang jalan, bermula dari rumah pengantin laki-laki sampai ke rumah pengantin perempuan. Semua bawaan diantar oleh gadis-gadis dan pemuda/pemudi dengan berpakaian adat Mandar. Tiba di rumah pengantin perempuan, pengantin laki laki dan rombongannya dijemput dengan meriah dan penuh kehormatan dari pihak keluarga perempuan. Setelah rombongan pengantin laki-laki tiba di pekarangan rumah, saat itu dua orang keluarga pihak perempuan datang menjemput dengan membawa selembar sarung sutera sambil dipasangkan pada pengantin laki-laki seraya mengucapkan kata mempersilahkan masuk ke dalam rumah dengan segala kehormatan. Begitu pengantin laki-laki naik ke tangga atau memasuki rumah, maka semburan beras dari seorang wanita tua akan menjemputnya pula, dan di pintu masuk ruangan sang pengantin diharuskan 1. menginjak sebuah kapak dan daun rappa yang sudah disiapkan sebelumnya dan meminum seteguk air dari sebuah cerek yang disodorkan oleh seorang wanita tua yang telah menunggunya. Selanjutnya pengantin langsung duduk di ruangan depan rumah, kemudian disusul oleh rombongan pattindor beserta bawaannya. Pada masa lalu acara ini dilaksanakan pada waktu sore. Akan tetapi pada masa sekarang ini pelaksanaannya digabung dengan acara mallattigi, dan dilanjutkan dengan akad nikah.


Dalam acara ini para undangan yang hadir utamanya kaum keluarga membawa bingkisan berupa apa saja sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik berupa bahan pakaian, bahan makanan ataupun berupa uang. Yang tidak sempat pada kesempatan pertama itu kaum wanitanya datang menyusul sesudah acara akad nikah tersebut pada waktu sore atau malam hari. Hal seperti itu disebut "Massoloq" atau "Massanganaq" (mempererat tali kekeluargaan dan kekerabatan).



VIII. Marola atau Meondo' (berkunjung)

Pengantin perempuan berkunjung ke rumah orang tua pengantin laki-laki ditemani oleh sambainena (para sahabatnya) dan diantar oleh beberapa wanita dewasa dan tua. Acara ini dianggap sebagai penerimaan resmi antara mertua dengan menantu. Pada acara meondo' kedua pengantin duduk di tempat pelaminan dan oleh seorang perempuan tua atau indo botting melakukan acara nisipopo makan makanan manis (makan beras pulut dan minum palopo) seperti biasanya dilaksanakan pada waktu sore atau malam hari. Dalam kesempatan ini sang pengantin atau menantu menerima bingkisan dari mertuanya sesuai dengan kadar kemampuannya. Ada yang berupa pakaian, ada berupa emas atau perhiasan, ada pula berupa pohon dan bahkan ada pula berupa tanah pertanian, dan lain-lain. Selanjutnya kegiatan marola ini dilanjutkan kepada semua keluarga terdekat pihak laki-laki utamanya paman dan bibinya.


IX. Acara Nipasisakka

Di dalam perkawinan adat Mamuju Mandar ada suatu acara namanya nipasisakka yaitu para keluarga kedua mempelai datang berkumpul di rumah orang tua mempelai perempuan. Acara nipasisakka hampir mirip dengan kucing-kucingan dilaksanakan satu atau perkawinan selesai. dua malam, sesudah resepsi.


Setelah para keluarga yang terdiri dari orang tua, laki laki dan perempuan berkumpul duduk bersila pada suatu ruangan tamu besar dengan membuat lingkaran besar, maka pengantin perempuan yang biasanya didampingi oleh dua (2) orang sahabatnya muncul di tengah kerumunan keluarga yang ketiga-tiganya memakai dua buah sarung dengan kepalanya dibungkus, lucunya lagi sarung yang dipakai ketiganya sama sama warnanya sehingga bagi pengantin laki-laki sulit memburu dan menangkap isterinya. Setelah itu jika sudah bisa ditangkap pengantin perempuan tidak bisa langsung menyerahkan diri kepada suaminya karena merasa malu dan mempersenjatai dirinya dengan peniti dan barang tajam lainnya, hal ini disebut Maraju. Keadaan Maraju biasanya berlangsung 1 sampai 2 minggu.


Dampak dari keadaan ini tangan pengantin laki-laki penuh tusukan peniti yang mengakibatkan luka dan berdarah. Tapi pada akhirnya pengantin wanita menyerah dan kedua pengantin menikmati malam pertama nya.


Sumber: 

Selayang pandang sejarah adat kabupaten Mamuju. Oleh, Drs. H. Ince Abd. Rachman Thahir, MPA. (Alm). 2004.