Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Kamis, 09 Juni 2022

Sejarah gempa di pesisir Sulawesi Barat.

Gempa di Sulbar
Mamuju dan daerah lain di pesisir Sulbar beberapa kali diguncang gempa, salah satu yang cukup besar terjadi pada 2021 lalu. Gempa ini didahului gempa pembuka M5,9 pada 14 Januari 2021, pukul 14:35:49 (WITA). Selanjutnya disusul gempa utama M6,2 pada 15 Januari 2021 pukul 02.28 WITA dan serangkaian gempa susulan.

Pada 1820 gempa disertai tsunami memporak porandakan wilayah Makassar dan pada Tanggal 12 Agustus 1915 adalah peristiwa gempa bumi dalam catatan awal sejarah gempa di pesisir Sulawesi Barat, sebuah surat kabar milik Pemerintah Hindia-Belanda Het Vaderland edisi 23 Desember 1915 memberitakan pada 12 Agustus 1915 bahwa sekitar pukul 3.30 sore, terjadi gempa kuat yang dirasakan di Mandhar (Sulbar), Luewoe (Luwu), Boni (Bone) dan Pare-Pare. Di Mandhar dilaporkan terjadi guncangan paling kuat dan berdampak, di mana gempa susulan dirasakan di Mandhar dan di Pare-Pare hingga pukul 9.30 malam. 
Adapun durasi gempa masing-masing adalah 1/2 dan 1/4 menit di Madjene pada kedua waktu yang disebutkan. 
Guncangan gempa susulan terjadi di Mamudju (Mamuju) hingga 20 Agustus 1915. 
Kemudian Pada tanggal 11 April 1967 dengan magnitudo M 6,3 di daerah Polewali Mandar. Berdasarkan catatan korban atau kerusakan, gempa yang menimbulkan tsunami tersebut telah menyebabkan 13 orang meninggal dunia.

Sejarah gempa serupa yang kedua, yaitu terjadi pada tanggal 23 Februari 1969, di mana gempa bumi tektonik yang terjadi di daerah Majene ini telah menyebabkan catatan korban maupun kerusakan terbanyak di Pantai barat, sqaat itu, gempa berkekuatan 6,9 SR dengan kedalaman 13 kilometer. Bencana ini menyebabkan 64 jiwa dinyatakan wafat, 97 orang luka-luka dan lebih dari 12 ribu rumah dilaporkan rusak, dermaga pelabuhan pun pecah dampak tsunami setinggi 4 meter di Pelattoang, dan 1,5 meter di Parasanga dan Palili.  

Berikutnya, gempa kuat yang ketiga terjadi di daerah Mamuju dengan kekuatan magnitudo M 6,7 pada tanggal 8 Januari 1984.

Berdasarkan catatan BMKG, akibat guncangan gempa kuat ini tidak ada korban yang meninggal dunia, tetapi banyak rumah rusak maksimum karena intensitas guncangan di Mamuju mencapai VII MMI.

Tak hanya itu, gempa merusak hingga menimbulkan tsunami di pesisir Sulbar pun tercatat beberapa kali. Di antaranya pada 23 Desember 1915 (magnitudo tidak diketahui), 11 April 1967 mengakibatkan tsunami, 23 Februari 1969 mengakibatkan tsunami, 6 September 1972 mengakibatkan tsunami, 8 Januari 1984, serta 7 November 2020. Kekuatan gempa tersebut tercatat berada di atas magnitudo 5.
Kondisi geologi dan tektonik Sulbar
Dalam Ulasan Guncangan Tanah Akibat Gempa Mamuju Sulbar 15 Januari 2021, Bidang Seismolog Teknik BMKG menjelaskan, Pulau Sulawesi terbentuk dari proses tektonik yang rumit. Peneliti Hall dan Wilson (2000) menggunakan istilah suture untuk menggambarkan kerumitan tektonik yang terjadi di Indonesia, termasuk di Sulawesi.

"Menurut Hall dan Wilson, suture Sulawesi terbentuk akibat proses tumbukan antara kontinen dan kontinen (Paparan Sunda dan Australia) yang merupakan daerah akresi yang sangat kompleks, tersusun oleh fragmen ofiolit, busur kepulauan dan kontinen," kutip Seismolog BMKG dalam ulasan tersebut.  

Pembentukan suture Sulawesi diperkirakan terjadi pada Kala Oligosen Akhir dan berlanjut hingga Miosen Awal. Hingga saat ini, diperkirakan deformasi tersebut masih berlangsung.

Secara geologi, daerah Mamuju disusun oleh batuan gunung api Adang, batuan gunung api Talaya, batu gamping Formasi Mamuju, batu gamping Anggota Tapalang Formasi Mamuju, dan endapan aluvium. Aktivitas gunung api purba mengontrol pembentukan morfologi berupa perbukitan. 

Ini terlihat dari adanya beberapa pusat erupsi gunung api di Mamuju, terutama di daerah yang didominasi oleh batuan nephrite, tephriphonolite, phonotephrite, dan phonolite. Batuan-batuan tersebut berkomposisi ultrapotasik yang terbentuk pada tatanan tektonik benua aktif dengan kerak benua mikro blok Sulawesi.

Sumber: Daryono BMKG dan berbagai sumber artikel.

Minggu, 29 Mei 2022

Assamaturuang di Lombong (Perjanjian di Lombong)

Perjanjian ini berlatar belakang dari perseteruan antara Daeng Riosoq raja Balanipa dengan raja Pambauang yang bergelar Tomatindo di Bata. Perseteruan itu terjadi karena Daeng Riosoq (setelah wafat bergelar Tonipilong) merebut istri Tomatindo di Bata yang bernama Ipura Paraqbueq. Ipura Paraqbueq adalah cucu dari Maradia Mamuju Tomatindo di Puasana. Pada saat itu, Ipura Paraqbueq merupakan wanita tercantik di seluruh Mandar sehingga mampu menggoyahkan iman Daeng Riosoq dan merebutnya secara paksa dengan kekuatan senjata.


Akibat peristiwa ini, Tomatindo di Bata bersama para pengawalnya meninggalkan Pambauang menuju ke Ulumandaq dan meminta bantuan pada Tomakakaq Ulumandaq untuk mengambil kembali Ipura Paraqbueq istrinya. Atas saran dan petunjuk Tomakakaq Ulumandaq, Tomatindo di Bata melakukan penyamaran dengan merubah penampilannya. Dengan ditemani anjing pemburu yang bergelar Itattibayo, Tomatindo di Bata masuk di kerajaan Balanipa menyamar sebagai seorang Tomakakaq. Satu-satunya yang mengenalnya hanyalah Ipura Paraqbueq dengan melihat cincin dan mendengar suaranya.


Disaat Tomatindo di Bata meminta segelas air untuk minum, Ipura Paraqbueq menyuruh seorang nelayan mengantarkan air dalam gelas yang kemudian di bawa kembali oleh pelayan pada Ipura Paraqbueq. Melihat cincin tersebut, Ipura Paraqbueq sudah seratus persen yakin kalau itu adalah suaminya. Ipura Paraqbueq akhirnya mencari akal dan berpura-pura mengidam mau makan daging rusa hasil tangkapan suaminya sendiri. Lalu dimintanya pada Daeng Riosoq untuk pergi berburu rusa. 


Daeng Riosoq yang tidak mengetahui keadaan sebenarnya, merasa sangat bersuka cita mendengar pengakuan Ipura Paraqbueq yang telah mengidam. Karena cinta dan sayangnya yang teramat dalam, Daeng Riosoq akhirnya berangkat berburu dengan meminjam anjing Tomatindo di Bata. Setelah daeng Riosoq pergi, Tomatindo di Bata tidak menyia-nyiakan kesempatan dan segera pergi membawa istrinya ke Ulumandaq.


Di Ulumandaq, Ipura Paraqbueq tidak bisa bertahan lama karena tidak terbiasa makan tanpa lauk ikan. Dengan persetujuan dan bantuan Tomakakaq Ulumandaq yang memintakan tempat di daerah pantai, maka Tomatindo di Bata bersama istrinya serta pengawal-pengawalnya tinggal dan bermukim di Malundaq.Dari usaha memintakan tempat bermukim ainilah terjadinya Perjanjian Lombong atau Assamaturuang di Lombong, karena tempat diadakannya kesepakatan ini adalah di Lombong Malundaq.


Perjanjian ini terjadi pada sekitar abad XVII masehi dengan pihak-pihak yang terlibat yaitu : Tomatindo di Bata dengan istrinya Ipura Paraqbueq, Tomakakaq Ulumandaq, Pueq di Lombong, Mosso dan Bambangang, Tomakakaq Sambawo, Pueq di Salutambung, Libaq dan Balanggitang. Secara lengkap, kesepakatan yang dihasilkan dalam perjanjian Lombong adalah sebagai berikut :

”Nawei engenang naengei mappassau nyawana mappalewa anaoang paqmaiqna Maraqdia di Pambauang sappelluq-uang tedzong ingganna naulle nakae-kaer manuqna siola palluppuinna, niwengang toi leqboq nanaengei mandoang manjala palluppuinna, ingganna lekkotang.”


Terjemahan : Diberi tempat untuk ditempati memulihkan semangatnya, menghilangkan kesedihan hatinya pada raja Pambauang, sekubangan kerbau sejauh yang dapat dijelajah ayam dan pengawal-pengawalnya, juga diberi laut untuk tempat memancing dan menjala sebatas pada kedalaman setinggi lutut.

”Napoadzaq adzaqna naporapang rapanna odzi adzaq odzi biasa di litaqna di Pambauang.”

Terjemahan :Dia bebas memakai hukum dan aturan serta adat istiadatnya sendiri, sebagaimana yang berlaku di Pambauang.

”Diapiangammi tandi akadzakeang, tandi peoqdong tandi pelango tanna olleq boning tannala pangolleq, tannande pakkira-kira tammappikkir dipettilluqna sawa dipewetona lambaru, tandi paumo dibandangang di kondo bulo. ”


Terjemahan :

Dia pada kebaikan tidak pada keburukan, terhindar dari makanan yang bertulang dan minuman yang beracun, tak terjangkau air pasang tak terkena banjir, terluput dari iri terhindar gigitan ular, juga pada sengatan ikan pari, lebih-lebih dari srangan musuh.

”Lumbang pai pasorang, reppoq pai kondo bulo maqguliling annaq nalosai muaq diang namappakkesar.”


Terjemahan : Nanti roboh benteng pertahanan, patah remuk semua tombak dan parang pusaka, baru musuh bisa menyentuh raja Pambauang bersama pengawal-pengawalnya.

”Moaq meloq-I membaliq di litaqna, tanna eloqna di nassa genainna, naiya engenanna membaliq diassalna.”


Terjemahan : Bila dia ingin kembali ke negerinya (Pambauang), terserah bila sudah merasa mampu dan sanggup. Adapun perkampungan yang ditempatinya akan kembali pada pemiliknya semula.


Pada peristiwa ini, ada yang berpendapat bahwa selama di Malunda Tomatindo di Bata masih menjadi raja Pambauang dan menjalankan roda pemerintahan di Malunda dan ada pula yang berpendapat bahwa Tomatindo di Bata telah digantikan oleh raja yang lain. Sementara perkampungan yang ditempatinya tidak pernah dikosongkan sampai masuknya Belanda dan tempat tersebut tetap diperintah oleh raja Pambauang.


Daftar Kepustakaan:

- Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.

- Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.

- H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.

- Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.

- Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982

- Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar Proyek IDKD Sulsel 1985.

- A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987

- A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.

- A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.

- Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.


Sumber Data

- Sumber tertulis ;

Lontar Balanipa Mandar

Lontar Sendana Mandar

Lontar Pattappingang Mandar

Lembar Perjanjian kuno

Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar


- Sumber Wawancara ;

H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar

Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar

Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar

Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar

Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar

Daeng Matona – Hadat Pamoseang

Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq

Jumat, 27 Mei 2022

MOROMBIA

Proses pembuatan Sagu dari saripati pohon rombia ini disebut MOSAKUNG/MOROMBIA atau orang Mamuju menyebutnya pangkur. Aktivitas ini merupakan kebiasaan masyarakat Mamuju yang telah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Mosakung adalah proses awal pembuatan Sagu yang di olah dari batang pohon Sagu sebelum menjadi "LETTO'" atau biasa di sebut sari tepung sagu. 
Pohon sagu apabila sudah mencapai umur untuk bisa di olah maka akan diolah mulai, dari penebangan sampai proses dibajak isi dalamnya kemudian diperas biasanya dengan cara di injak injak sampai hancur dan diperas.
Seperti gambar di atas salah satu seorang sedang melakukan pangkur sagu mulai dari penebangan sampai proses pemerasan Sari Sagu. Bisanya aktivitas ini di lakukan Di dekat dimana ada mata air atau sungai untuk bisa melakukan proses pemerasan Sari Sagu atau disebut Molanda' karena proses tersebut sangat membutuhkan air yang banyak. 
Prosesnya sangatlah unik batang pohon sagu di babat hingga hancur kemudian isi batang pohon yang sudah hancur tadi di peras hingga menjadi sari sagu. 
Setelah semua proses telah selesai kemudian sari yang di peras tadi di taruh di wadah yang telah di desain khusus yang terbuat dari daun pohon sagu itu sendiri dan untuk membuatnya butuh orang yang ahli dalam menganyam nya agar sari sagu yang masih cair tidak tumpah. 
Hasil akhir dari sari Sagu yang mengendap inilah yang disebut LETTO' yang menjadi bahan baku olahan berbagai macam makanan khas Mandar Mamuju termasuk JEPA /KALUMPANG ROMBIA. 

Sabtu, 21 Mei 2022

SEKOMANDI

Sekomandi' adalah salah satu tenun ikat dengan motif tertua di Indonesia, merupakan tenunan khas daerah Rongkong - Seko dan Kalumpang. Sekomandi' berasal dari dua kata, yaitu "Seko" yang berarti persaudaraan atau kekeluargaan atau rumpun keluarga, dan "Mandi'" yang berarti kuat atau erat. Sehingga Sekomandi' dapat dimaknai sebagai "Ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang kuat dan erat".
Berdasarkan data yang diperoleh dari tutur, cerita/legenda salah seorang penenun yang masih tetap melakoni dan melestarikan Tenunan Sekomandi' di Kalumpang, menyatakan bahwa Sekomandi' awalnya ditemukan oleh nenek moyang orang Kalumpang dari Dusun Lebani bernama "Undai Kasalle" yang sedang berburu di hutan. Ketika berburu dalam hutan, anjing Undai Kasalle berhenti disebuah mulut gua lalu berlari masuk kedalam gua tersebut. Melihat hal tersebut, Undai Kasalle ikut masuk kedalam gua dan menemukan selembar daun besar yang sekilas terlihat seperti ular besar dengan motif yang aneh. Kemudian daun tersebut dibawa pulang dan diperlihatkan kepada istrinya, seketika itu pula istrinya jatuh pingsan lalu kesurupan. Dalam keadaan tidak sadar itulah, istri Undai Kasalle mendapatkan "Ilham" tentang cara membuat Tenunan Sekomandi'. Setelah sadar, istri Undai Kasalle mulai melakukan apa yang diilhamkan kepadanya, dia mulai memintal benang dari kapas lalu membuat pewarna dari campuran beberapa macam tanaman, kemudian merendam benang tersebut kedalam pewarna selama beberapa hari. Kejadian kesurupan ini terus berulang beberapa kali sampai tercipta sebuah Tenunan Sekomandi'.

Sekomandi' sampai saat ini masih tetap dibuat secara tradisional oleh pengrajin dengan menggunakan benang yang dipintal dari kapas dan bahan pewarna alami dari campuran ramuan seperti kemiri, akar mengkudu, daun tarum, lengkuas, kunyit, kapur sirih, pinang, abu dari kayu pallin dan beberapa kayu hutan. Yang paling khas dari bahan pewarna yang digunakan adalah cabe, sehingga dalam pembuatan pewarna sampai kain yang dihasilkan masih terasa hangat dari cabe.
Proses pembuatan kain tenun Sekomandi' terdiri dari beberapa tahapan, yaitu :
1. Proses Pemintalan Benang
Proses ini diawali dengan membersihkan kapas dari biji dan kotoran yang menempel, kemudian dipintal hingga terbentuk helaian benang yang halus dan bersih.
2. Proses Pewarnaan
Setelah pemintalan kapas menjadi benang, kemudian dilakukan proses pencelupan benang kedalam pewarna selam beberapa hari lalu benang dibentangkan. Proses pewarnaan ini memakan waktu selama kurang lebih sebulan sampai diperoleh warna yang diinginkan.
3. Proses Pengikatan
Setelah diperoleh benang berwarna, benang lalu diikat perkelompok yang masing-masing sekitar 10 (sepuluh) helai benang. Kemudian benang mulai dibentuk sesuai pola atau motif yang diinginkan dengan menggunakan teknik pengikatan benang pada alat yang disebut "Kaliuran" yang terbuat dari kayu atau bambu. Fungsi Kaliuran yaitu untuk menahan benang pada saat pengikatan agar benang tetap rapih setelah diikat sesuai motif atau corak kain.
4. Proses Penenunan
Penenunan merupakan proses terakhir dari pembuatan Sekomandi', dimana setelah benang diikat dan membentuk motif, kemudian benang ditenun hingga terbentuk kain Sekomandi'. Proses penenunan ini dapat berlangsung selama beberapa bulan bahkan sampai satu tahun, sesuai tingkat kesulitan dan lebar kain yang diinginkan.
Keunikan kain tenun Ikat Sekomandi, terdapat pada pola warna dan struktur kain. Dimana semua proses pengerjaannya dilakukan dengan tangan atau ditenun dengan menggunakan alat-alat tradisional lainnya. Dibutuhkan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan-bulan untuk memproduksi sehelai kain tenun ikat Sekomandi.
Saat ini, sudah tidak banyak orang yang bisa menenun kain ikat sekomandi.
Oleh karena itu diperlukan perhatian khusus agar kain warisan leluhur ini tetap lestari. Apalagi motif tenun ikat dari Kalumpang dikenal sebagai salah satu ragam motif tertua di dunia. (*)

Sumber : artikel web/blog/sosial media.

Minggu, 08 Mei 2022

"Mamose" Ritual Adat Masyarakat Tangkuo yang patut dilestarikan

Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu untuk tujuan yang simbolis. Seperti halnya tradisi yang ada di Desa Tabolang, kec. Topoyo, kab. Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, berupa RITUAL MAMOSE.
Ritual Mamose adalah adat orang Budong-Budong yang harus di lestarikan. Ritual Mamose berkaitan dengan kegiatan bercocok tanam yang dilakukan tiga kali dalam setahun. Yang pertama dilakukan sebelum masuk hutan atau lahan. Kedua dilakukan setelah selesai merumbut atau membersihkan lahan yang nantinya akan ditanami tanaman. Dan yang ketiga, dilakukan setelah panen.

Dalam mamose terdapat berbagai ritual yang dijalankan, mulai dengan melakukan aksi menggunakan parang di tempat terbuka di sekitaran rumah adat Budong-Budong serta disaksikan langsung oleh raja dan masyarakat. Dalam aksi Pamose (sebutan bagi tokoh adat yang sedang beraksi dengan berbicara bahasa Budong-Budong), Ia menyampaikan pesan-pesan terhadap raja maupun terhadap para masyarakat. Sebelum melakukan aksinya, terlebih dahulu iringi musik dengan gendang, saat Pamose menghadap ke Raja dan Tobara, musik gendang di hentikan lalu Pamose memohon izin terhadap raja dan juga terhadap Tobara (ini adalah sebutan bagi kepala adat).

Sehari sebelum melakukan ritual adat Mamose, maka didahului oleh kegiatan "Magora", yaitu kegiatan menggunakan perahu bermotor (Katingting) berjalan menelusuri sungai Budong-Budong. Saat menghampiri masyarakat yang sudah menunggu di tepian sungai, maka akan  di lakukan "Magane", yaitu kegiatan dengan menggunakan parang, bendera,obat tradisional yang diletakkan di atas piring dan juga sebatang kayu yang ditancapkan di tanah. Hal ini perlu dilakukan agar kiranya kegiatan yang dilakukan berjalan dengan lancar dan masyarakat diberi kesehatan. Dahulu kala bukan kayu yang di gunakan akan tetapi manusia yang di tanam sampai kepala, lalu di lempari kemudian kepalanya di ambil lalu diikat di atas bendera untuk di bawa di arak-arak di atas perahu. 
Agar masyarakat mengetahui kedatangan rombongan, ditiuplah "Tantuang" yang terbuat dari kerang berukuran besar, kemudian singgah di setiap tepian sungai bila ada yang menunggu di pinggiran sungai. Masyarakat yang menunggu di pinggir sungai lalu menghampiri rombongan lalu menyerahkan seperti rokok, makanan, minuman dan lain sebagainya, yang diterima langsung oleh Puntai yang merupakan tokoh adat. 

Puntai kemudian akan mengambil air dari sungai dan dari dalam perahu, kemudian dibasuhkan ke masyarakat yang sedang sakit. Sebelum rombongan kembali berangkat, maka kadang akan terjadi kehebohan yaitu siram menyiram antara rombongan dengan masyarakat yang berada di tepian sungai.

Itulah adat Ritual Mamose yang sudah turun-temurun dan masih berlaku hingga saat ini.