Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Senin, 26 Februari 2018

Jejak Perlawanan di Benteng Kassa

Punggawa Malolo tampak termenung di atas sebuah batu besar di Bukit Kassa sambil memandang kearah pesisir semenanjung laut Mamuju, disampingnya tampak Tatamalea dengan serius mengasah sebilah tombak yang sering digunakan sang Punggawa saat bertempur.

Di dekat Batu besar itu, Tadende yang berada di atas pohon memandangi sang Punggawa dengan serius. Sesekali Punggawa Malolo memalingkan pandangannya ke arah selatan. “Bagaimana kabar mereka di Budong-budong, Punggawa Malolo berbalik ke Arah Tatamalea dengan serius. “Tenang saja Daeng, Pue pasti bisa mengatasi pasukan-pasukan Balanda itu,” sanggah Tatamale sambil tertawa. “Apa lagi ada Daenna Maccirinnai, Parrimuku, dan Pattolo Lipu yang terkenal dengan keberanian dan kehebatannya. Ditambah lagi Pua’ Indaya dan pasukan dari Mambinya,” Tatamalea meyambung ucapannya. Dari atas pohon yang lebat itu, Tadende mendengar percakapan tuannya. Dalam benaknya ia teringat dengan peristiwa dua tahun lalu di Bukit Pambe’besan.

Tahun 1905 kapal putih milik Belanda berlabuh di Rangas, saat itu Maradika Mamuju beserta Gala’gar Pitu tak berdaya untuk memberikan perlawanan dan menandatangani sebuah perjanjian di atas kapal tersebut yang dikenal dengan Korte Verkalaring. Beberapa tokoh dan kesatria Mamuju tidak menerima perjanjian yang disepakati antara adat Mamuju dan Belanda yang dinilai melukai harkat dan martabat rakyat Mamuju. Akhirnya, mereka bersepakat untuk memberikan perlawanan dan membuat sebuah Benteng pertahanan.
Masih teringat dalam benaknya ketika Taunding memberikan kabar dari Pattangarang akan datangnya Rombongan yang dipimpin oleh Pattana Bone (Pue Bone) dan Daenna Maccirinnai menuju arah Pambe’besan.

Rombongan ini singgah di Pambe’besan untuk beristirahat dari perjalanan panjang ketika Matahari hampir tepat berada di atas. Diantara rombongan itu tampak pula rombongan dari Mambi yang dipimpin oleh Pua’ Indaya. Kedatangan rombongan Mamuju ini membuat penghuni Pambe’besan sibuk untuk memberikan penyambutan. Ammana Andang dan beberapa petinggi Sinyonyoi sibuk memberikan perintah untuk persiapan penyembutan itu. Suasana Pembe’besan begitu meriah hari itu .Ketika sampai di Pambe’besan, Punggawa Malolo langsung meberikan salam kepada rombongan Pattana Bone. “Assalamualaikum Pue,” ucap Punggawa Malolo sambil menyalami Pattana Bone. "Walaikum salam,” balas rombongan Pattana Bone dengan serentak. “Suatu kehormatan rombongan Maradika mengunjungi tempat kami,” ucap Punggawa Malolo.

Akhirnya rombongan Pattana Bone beristirahat dibeberapa pemukiman yang ada di Pambe’besan, Sementara itu Pattana Bone dan beberapa petinggi melakukan perbincangan di atas Sapo Kayyang Pambe’besan. Diantara semua petinggi yang hadir di Pambe’besan, hanya Pattolo Lipu yang tidak ikut berbincang di Sapo Kayyang Punggawa Malolo. Ia lebih memilih untuk berkeliling di sekitar pemukiman Sinyonyoi. Mungkin karena jiwa mudanya yang masih membara.

Suasana di Sapo Kayyang Pambe’besan tampak tegang. Dalam hatinya Punggawa Malolo sudah bisa menebak maksud dan tujuan rombongan dari Mamuju ini. “Ini pasati berhubungan dengan Balanda,” bisiknya dalam hati. “Tabe’ Daeng, kami telah merepotkan masyarakat disini,” ucap Daenna Maccirinnai sambil menghela nafas. “Tentu maksud kedatangan kami sudah Daeng Ketahui, apalagi kabar berlabuhnya Kapal Putih di Rangas telah tersebar kesluruh penjuru angin,” sambung Daenna Maccirinnai yang memandangi Punggawa Malolo. “Ayo Daeng kita bersatu di Budong-Budong untuk bertempur melawan penjajah Balanda,” ucap Daenna Maccirinnai dengan nada yang lebih tegas sambil memegang badik di pinggangnya. Punggawa Malolo terdiam dan menghela nafas, sesekal ia berbalik ke arah Ammana Andang yang duduk mendampinginya. “Maaf beribu maaf Pue, kami telah membicarakan persoalan ini sebelumnya soal keputusan Maradika dan Gala’gar Pitu soal Balanda,” ucapnya sambil menatap mata Daenna Maccirinnai dengan tajam. Tiba-tiba Punggawa Malolo memalingkan pandangannya ke arah Pattana Bone.“Kami sudah memutuskan untuk memberikan perlawanan di Sinyonyoi,” ia me nyambung ucapannya.“Dari dulu kau tidak berubah,” kata Pue Bone sambil menggelangkan kepala. “Kau memang anaknya Pasikking, tidak jauh beda dengan ayahmu,” cetus Pue Bone dengan tersenyum. Tadende yang mendengar perbincangan ini membuatnya gemetar, ia berada di barisan belakang Punggawa Malolo, ia hanya menundukkan kepala sambil sesekali memandangi tuannya yang terlibat perbincangan hebat dengan kesatria dari Mamuju ini. Sesekali ia memandang ke arah Daenna Maccirinnai namun tak kuasa menantapnya lama. “Inilah pemberani dari Mamuju, dari dulu saya hanya mendengar kabar mereka. Hari ini saya berhdapan langsung dengan mereka,” bisiknya dalam hati. “Bukan maksus kami untuk menolak, tapi mungkin kita bisa melakukan perlawanan di tempat yang berbeda,” tiba-tiba Ammana Andang bersuara. Saat itu Tadende serasa ingin bersuara namun tak kuasa ia bersuara. Padahal dia hanya ingin berkata “Betul Pue”. Namun ia menjadi orang bisu ketika berada di depan kesatria-kesatria ini. 

Perbincangan terus berlangsung alot. Tiba-tiba Punggawa Malolo berbalik kearah jendela yang berada di dekatnya. “Tampaknya waktu shalat Dhuhur sudah masuk, mari kita shalat dulu,” ucap Punggawa Malolo. Perbincangan di Sapo Kayyang Pambe’besan berakhir, hasilnya sudah jelas Punggawa Malolo lebih memilih untuk bertahan di Sinyonyoi.

Tak lama setelah itu, usai melaksanakan shlat Ashar, rombongan Pue Bone pun meninggalkan Pambe’besan dengan berat hati.“Kalau begitu, kami pamit untuk melanjutkan perjalanan. Kalian berhati-hatilah terhadap Balanda,” kata Pue Bone. “Berita dari Makassar, Balanipa, dan Pamboang mengatakan jika mereka memiliki senjata yang belum pernah dilihat sebelumnya. Apalagi Balanda ini dikenal licik,” kata Pue Bone sambil memegang pundak Punggawa Malolo. “Terima kasih Pue sudah mampir di tempat kami, semoga kita bisa bertemu lagi,” balas Puggawa Malolo.

Akhirnya, Rombongan dari Mamuju ini melanjutkan perjalanan. “Sampai ketemu lagi Dende,” dari barisan Pue Bone seseorang berteriak hingga tiga kali. Dia adalah Tabose, saudara sesusu Tadende yang pernah diasuh oleh ibunya di Sinyonyoi. Tadende meneteskan air mata sambil tersenyum ke arah rombongan Pattana bone. Begitulah peristiwa yang terlintas dalam ingatannya ketika Rombongan dari Mamuju menyambangi Bukit Pembe’besan tempat Punggawa Malolo dan Ammana Andang menyusun pasukannya.

Bersambung....

1 komentar: