Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Senin, 26 Februari 2018

Jejak Perlawanan di Benteng Kassa (Punggawa Dari Tanah Manakarra)

“Diam! Diam! Diam!, diam kalian semua?”, teriak sesosok pria berambut panjang berbadan kekar, Sontak seisi ruangan terdiam, semua mata tertuju pada sumber suara yang menggetarkan ruangan. “Tidak mungkin kita menyerah pada mereka, ini tanah kelahiran kita, tanah yang akan tetap menjadai milik kita hingga anak cucu kelak, ini siri’ ” tegas pria berambut gondrong kali ini dengan posisi berdiri dan mengepalkan tangannya.

“Apa kalian sudah tidak punya siri’ dalam diri yang kalian bangga-banggakan itu? Dimana daengku’ yang katanya pemberani? ” sambungnya dengan nada yang lebih keras sambil mengarahkan pandangannya ke depan dan tertuju pada seorang pria tepat berada di depannya. “Tidak ada kata menyerah, tidak ada kompromi, kalau nyawa ini yang harus jadi taruhannya, akan kukorbankan untuk tanah dan masa depan anak cucu kita,” ruangan semakin hening hanya sesekali terdengar kicauan burung dan desir ombak seperti mengaminkan teriakan pria berbadan kekar.

Semua orang yang ada dalam ruangan tertunduk dan tak ada yang berani bersuara, hanya sesekali terdengar suara hembusan nafas dari beberapa orang yang ada dalam ruangan. “Sabar! Sabar! , ini harus dibicarakan dengan cermat, dengan kepala dingin jangan dengan emosi,” salah seorang pria bersuara dengan nada yang lebih lembut sambil memegang badik badik tepat di depannya. “Kalau masalah ini, tidak ada kata kompromi, kita harus melawan. Harga dirii kita diinjak-injak. Lebih baik aku mati dari pada diperintah oleh mereka itu!,” balas pria gondrong kali ini dengan menghunus sebilah pedang ke arah langit-langit ruangan. “Jika kalian tetap dengan pendirian, silahkan!. Aku juga tetap dengan pendirianku, jika ada diantara kalian bersama meraka berarti sejak saat itu kita bersebelahan dan tidak ada hubungan lagi, katakana pada mereka, Aku tunggu di Sinyonyoi di bukit Pambe’besan” sambil menyarungkan pedangnnya pria tadi berbalik dan meninggalkan ruangan, beberapa orang ikut bersamanya.

Setelah pria gondrong dan beberapa orang meninggalkan ruangan seorang pria tiba-tiba berdiri dan tampak terlihat keragu-raguan dari tingkahnya. “Tabe’ Pue, saya harus ikut keluar, beliau yang telah membesarkanku dan saya sudah menganggapnya ayah!,” ucapnya sambil membukkukkan badan. Ia pun keluar dari ruangan dan mengejar rombongan pria yang menggetarkan ruangan sebelumnya.

Hanya beberapa orang yang ada dalam ruangan rapat. Tidak ada lagi yang berani meninggalkan ruangan setelah pemuda tadi. “Apa yang dikatakannya memang ada betulnya, namun kita tidak bisa terlalu terburu-buru mengambil sikap. Harus dengan kepala yang jernih, namun tidak serta-merta juga kita sepakat dengan apa yang disyaratkan oleh Balanda,” seorang pria menghangatkan suasana ruangan yang semakin tegang. “Baiklah rapat ini kita tunda dulu untuk beberapa waktu kedepan,”.

*********

5 hari yang lalu Balanda membuang jangkar di perairan Rangas, 3 buah kapal lengkap dengan pasukan bersandar di pelabuhan rangas. Maradika dan beberapa Punggawanya diundang untuk membicarakan sesuatu di atas kapal hitam denga bendera, merah, putih, biru.

Di tanah Manakarra hingga daerah pelosok tersiar gosip, bahwa Maradika telah menyerah kepada Balanda, inilah yang menjadi gejolak yang berkembang di Tanah Makkedaeng ini. Tanpa melakukan pembicaraan dengan pihak kerajaan, beberapa Punggawa telah menyatakan mengangkat senjata meskipun Maradika sendiri belum memberikan pernyataan resminya. Beberapa orang menganggap Maradika dan kroni-kroninya lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Dari gosip yang terserbar, pihak Kerajaan Belanda menginginkan agar semua senjata diletakkan dan semua daerah Manakarra diserahkan kepada Pihak Kerajaan dan mengangkat Gubernur Jendral untuk wilayah Manakarra. Sebelum Mamuju, beberapa daerah di Tanah Mandar telah berhasil diamankan oleh pihak Kerajaan Belanda, meski masih ada perlawanan yang dipimpin oleh Calo Ammana Wewang di Pamboang.

Sementara itu, kekuatan besar di Tanah Sulawesi telah dikuasai oleh Kerajaan Belanda yaitu Gowa Tallo di Makassar dan Kerajaan Bone di Bugis. Beberapa Punggawa dari tanah Mandar juga sempat berjuang di dua kerajaan itu.

Sejak dulu, Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar telah menjalin aliansi termasuk saat kedatangan Belanda pertama kalinya ke Tanah Sulawesi. Bahkan perkawinan silang sering terjadi untuk menguatkan kekerabatan., namun beberapa dari mereka tercerai berai akibat politik adu domba yang dijalankan pihak Belanda. Termasuk Bugis dan Makassar yang merupakan dua kekuatan yang besar yang saat itu dipimpin oleh kesatria yang di hormati di tanah ini Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin.

Belanda telah menyisir hampir seluruh pesisir Sulawesi, kali ini giliran tanah Mandar. Sebelum datang dengan senjata, Belanda sebelumnya telah datang sebagai pedangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar