Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Senin, 26 Februari 2018

Jejak Perlawanan di Benteng Kassa (Kabar Buruk Dari Pesisir)

Pemuda itu terlihat panik, seolah membawa kabar yang akan membuat majikannya murka. Sudah setengah hari ia berlari dari pesisir untuk mencapai bukit Kassa, terlihat lelah diwajahnya namun ia terus berlari dan tidak menghentikan langkahnya.

Tidak jauh dari depannya, seorang petani berpakaian lusuh berjalan semakin mendekat ke arahnya. Ia membawa sebilah cangkul di tangan kanannya dan memikul seikat kayu di pundak kirinya. Dari raut wajah petani itu terlukis kebingungan melihat sosok pemuda yang berlari kencang ke arahnya.

Semakin jauh pemuda itu berlari, ia melewati sekelompok masyarakat yang sedang memanen sawahnya. Tampak gembira terlihat di wajah para petani itu. Maklum satu tahun sebelumnya, sawah di daerah ini gagal panen akibat kekeringan panjang yang melanda desa. Namun, pemuda itu tak menghiraukan kondisi disekitarnya ia semakin kencang berlari menjauh dari pandangan mata dan hilang ditelan pepohonan yang lebat di perbukitan.

Sudah tiga pemukiman yang ia lewati dan satu sungai yang telah diseberangi, pakaiannya yang basah saat menyeberangi sungai kering diperjalanan selama ia berlari, begitupun keringat yang bercucuran dari tubuhnya. “Kenapa Tadende,” terdengat suara dari balik bukit. Suara tersebut masih samar, ia hanya menoleh sedikit dan melanjutkan perjalanannya. “Kenapa Tadende,” suara yang sama terdengar namun kali ini gaungnya jelas terdengar bahkan dari jarak 100 meter pun terdengar jelas. Seketika itu ia berhenti. Dari balik pohon kapuk raksasa yang menjulang tinggi muncul sesosok manusia kekar, pandangannya tajam, rambutnya sedikit beruban, dan sebilah parang di tangan kanannya. Ia kaget, “Astaga,” teriaknya. “Siapa yang muncul dari pohon angker itu,” bisiknya dalam hati sambil menghilangkan kepanikan yang terpancar dari wajahnya.

Konon, pohon kapuk berukuran raksasa itu angker bagi semua penduduk yang berada di daerah itu ditambah sebongkah batu raksasa berada dua langkah orang dewasa berada dekat dari pohon itu. Menurut tetua di kampung, pohon kapuk dan batu raksasa di desa itu dihuni oleh penjaga raksasa yang siap mengambil dan melenyapkan manusia yang bermain di daerah itu. Jarang yang berani lewat disekitar pohon itu sejak hilangnya Pua’ Cambang dua tahun yang lalu. Mengingat kisah itu, Tadende semakin panik. Namun ia berusaha untuk menguasai diri dan mengatur nafas yang sejak tadi terdengar tidak teratur akibat berlari dari pesisir.

Ia melupakan semua yang terjadi beberapa saat sebelumnya. “Kenapa Tadede,” kalimat itu terdengar lagi dengan nada yang berbeda Tadende tersadar dan bisa menguasai diri. Astaga, ternyata kita’ Pua’,” jawab Tadende dengan nada yang lega. Orang tua itu adalah Pua’ Jonga, salah seorang kesatria di daerah itu. Ia masih paman dari Tadende dari garis keturunan ibunya yang berasal dari Mambi. “Darimana saja kau, kenapa terburu-buru,” Tanya Pua’ Jonga. “Kau terlihat panik, apa yang kau bawa?,” sambungnya dengan tatapan yang tajam.

“Kapal besar, kapal besar, kapal besar,” jawabnya dengan terbata-bata. Ia hanya menyebutkan Kapal Besar, Ada kapal, bawa pasukan,” tambahnya, Mendengar berita itu, sontak Pua’ Jonga kaget, “Siapa yang bawa pasukan?” . “Rambutnya kuning, ” Tadende menjelaskan. Mendengar ciri-ciri itu, terlintas di benak Pua’ Jonga, “Balanda,” bisiknya dalam hati. Kabar kedatangan Belanda sudah tersebar keseluruh penjuru Nusantara, namun saat itu Belanda hanya menduduki pulau Jawa dan Sumatera. “Cepat sampaikan pada Punggawa,” seru Pua’ Jonga. Mendengar perintah itu, Tadende langsung berlari kencang menjauh dari pohon angker itu, seketika itu ia hilang dari pandangan mata.
Begitupun Pua’ Jonga, ia langsung bergegas menghilang ke arah utara dan menghilang dibalik pepohonan.

****
Setelah hampir sehari ia berlari, akhirnya Tadenda tiba disebuah perkampungan yang dihuni oleh banyak penduduk. Kampung ini adalah kampong terakhir sebelum sampai di Bukit Kassa. “Kebetulan,” ucapnya dengan nada berbisik. Wajahnya ceria ketika tiba di perkampungan itu. “Kebetulan Punggawa ada disini,” masih dengan nada berbisik.

Tadende berlari menghampiri sesosok manusia yang tidak jauh dari tempatnya berpijak. Pria itu berbadan kekar, rambutnya panjang sebahu dan terurai rapi. Disamping kiri dan kanannya turut menyertai dua orang lelaki berbadan kekar pula. Setiap orang yang berpapasan dengannya memberi hormat pada pria itu. “Daeng, Daeng, Daeng,” teriak Tadende. Mendengar teriakan itu, pria berambut gondrong tadi tiba-tiba berhenti dan berbalik kearah suara. Tadende menghampiri dengan wajah cemas. “Kenapa Dende,? ” tanya pria itu dengan raut wajah kebingungan. “Anu Daeng,” balas Tadende. Sebelum melanjutkan jawabannya, pria itu langsung menyela, “Kenapa kau kebingungan, kabar apa yang kau bawa sehingga kau tak bisa berkata-kata,” tanya pria itu kembali. “Ada kapal yang berlabuh di Labuang, beserta pasukannya,” jawab Tadende dengan mantap. “Kapal apa itu?,” pria itu kembali bertanya. “Balanda Daeng, Balanda” kata Tadende. “Balanda,” nada tinggi terdengar dari pria itu. Tiba-tiba raut wajahnya memerah, dua orang pria yang mengiringinya pun menampakkan ekspresi yang sama. “Kurang ajar, berani-beraninya,” ucap pria itu dengan nada marah. Mendengar percakapan itu, sontak situasi di desa itu hening. Aktifitas terhenti sejenak. “Kalau begitu, Dende panggil Taunding kalian bersama-sama ke Labuang amati pergerakan mereka dan berikan laporan secepatnya,” perintah pria itu. Mendengar kata-kata pria itu Tadende bergegas meninggalkan tempat itu berlari kearah pesisir.

“Segera beritahu Maradika akan kabar ini,” pria itu memberi perintah pada salah seorang yang mengiringinya. “Kau, cepat kumpulkan para tetua dan kita bertemu di Kassa,” perintahnya lagi pada pria yang mengiringinya. Pria itu akhirnya bergegas menuju Bukit Kassa dengan iringan sekelompok pasukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar