Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Minggu, 25 Februari 2018

Sekilas Sejarah Kelam DI/ TII Di Mamuju dan Mamasa.

Pemberontakan DI/TII yang melawan Pemerintah/Negara Kesatuan Republik Indonesia berdampak besar kepada rakyat Mamuju pada awal tahun 1950-an.  
DI atau Darul Islam yang artinya Rumah Islam atau Negara Islam. Pada mulanya DI dikenal sebagai DII (Darul Islam Indonesia) atau Negara Islam Indonesia (NII). Sebagai sebuah negara maka pencetusnya membentuk tentara negara yang disebut Tentara Islam Indonesia (TII). Dalam pemberontakannya gerakan separatis ini lebih populer dengan nama DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia).

Darul Islam adalah gerakan politik yang diproklamirkan pada tanggal, 7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, di desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kewedanaan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Selanjutnya dalam perkembangannya, DI menyebar hingga ke hampir seluruh wilayah Jawa Barat, wilayah perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah, terus ke Aceh yang dipimpin Daud Beureueh, Kalimantan Selatan dipimpin Ibnu Hadjar, Jawa Tengah dipimpin Amir Fatah dan Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzakkar. Tujuannya adalah menjadikan Indonesia sebagai negara Theokrasi dengan agama Islam sebagai Dasar Negara. Dalam proklamasinya : Hukum yang berlaku adalah Hukum Islam. Dalam UUD Negara Islam Indonesia, dinyatakan bahwa negara berdasarkan Islam. Hukum yang tertinggi adalah Al-Qur’an dan Hadits. Bagian dari proklamasi a.l. menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk memproduk undang-undang yang berlandaskan Syari’at Islam dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Qur’an dan Hadits Shahih yang mereka sebut hukum syariat Islam sesuai dalam Qur’an Surah 5, Al-Maidah ayat 50.

Dalam naskah Proklamasi Negara Islam Indonesia (Darul Islam Indonesia) hal itu nampak jelas seperti di bawah ini :

PROKLAMASI BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA
Asjhadu anla ilaha illallah wa ashadoe anna Moehammadar Rasoeloellah.
Kami Oemat Islam Bangsa Indonesia menjatakan :
Berdirinya “ NEGARA ISLAM INDONESIA”.
Maka hoekoem jang berlakoe atas Negara Islam Idonesia itoe ialah : HOEKOEM  ISLAM.
                                                Allahoe Akbar ! Allahoe Akbar!  Allahoe Akbar !

                        Atas nama Oemat Islam Bangsa Indonesia
  Imam Negara Islam Indonesia,
t.t.d.
                (S. M. KARTOSOEWIRJO)

                 Madinah Indonesia, 12 Sjawal 1368 / 7 Agoetoes 1949.

Di Sulawesi Selatan, pada masa revolusi fisik melawan Belanda terbentuk perlawanan rakyat dengan nama Kesatuan Gerilja Sulawesi Selatan (KGSS). Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pasukan gerilya ini statusnya tidak jelas. Pemerintah pusat membuat kebijakan untuk menampung pasukan gerilya semacam ini di seluruh wilayah Indonesia  dengan membentuk Corps Tjadangan Nasional (CTN) yang berfungsi untuk mobilisasi nasional yang terbentuk secara spontan, yang pada prinsipnya adalah kesukarelaan untuk membela negaranya.

Presiden Sukarno selanjutnya menugaskan putra asal Sulawesi Selatan, Letkol (Overste) Kahar Muzakkar untuk menangani KGSS agar ditampung dalam CTN. Setelah CTN terbentuk, Kahar mulai kecewa karena ia hanya diangkat menjadi wakil komandan CTN yang dipimpin oleh Kolonel Warrow asal Sulawesi Utara. Pimpinan TNI waktu itu Mayjen A.H. Nasution, merasionalisasi TNI karena jumlahnya terlampau banyak. Pasukan CTN yang terdiri atas rakyat sipil bersenjata eks gerilyawan zaman perjuangan kemerdekaan akan diterima menjadi anggota TNI setelah melalui seleksi. Pasukan CTN pimpinan Kahar Muzakkar banyak yang tidak lulus seleksi karena masalah pendidikan formal.  Kahar meminta kepada atasannya agar seluruh anggota CTN eks pasukan KGSS dimasukkan dalam TNI tanpa diseleksi dengan pertimbangan menghargai jasa mereka di zaman perjuangan kemerdekaan. Kahar ingin membentuk pasukan CTN ini dalam Brigade Hasanuddin yang akan dipimpinnya. Usulan Kahar tidak diterima oleh atasannya waktu itu, Letkol A. Kawilarang sebagai Panglima TNI/APRIS Territorium VII di Makassar. Penolakan ini membuat Kahar makin kecewa dan bersama ribuan anggota pasukannya meninggalkan markas mereka di Barakka pada tanggal 17 Agustus 1951 dan masuk hutan dengan membawa senjata yang lumayan banyak  dan selanjutnya memberontak melawan pemerintah pusat.

Seorang putra Mamasa yang menjadi anggota KGSS dan masuk CTN adalah Paulus Sila’ba, seorang pemuda asal Taora dan Efraim Tane’ dari Sodangan.
Pasukan CTN pimpinan Kahar yang masuk hutan pada mulanya merupakan perlawanan rakyat Sulsel kepada pemerintah pusat. Karena itu ketika berada dalam hutan, Kahar mengajak semua rakyat Sulawesi berjuang. Ajakan ini pernah ditujukan juga kepada Pendeta R.M. Thumo melalui Surat langsung dari Kahar. Surat ini dikemudian hari dibawa oleh de Jong ke Belanda. Paulus Sila’ba kemudian berjuang di daerah Mamuju bersama komandan pasukannya Pa’ Bicara Bulan asal Pattae’, yang dikemudian hari memimpin DI/TII di Mamuju.

Sebelum Paulus Sila’ba datang membentuk OPR Galumpang, rakyat Buntu Malangka’ berinisiatif membentuk Pasukan Kemanan  yang diberi nama PK (Penjaga Keamanan) Buntu Malangka’ dipimpin oleh Anton Pua’tipanna.
Tahun 1955 pasukan  PK Buntu Malangka’ menyerang pasukan DI/TII dengan hanya bersenjatakan tombak dan parang dipimpin oleh Fredrik Laka’.  Pasukan PK terdiri dari pemuda asal kampung Taora, Sumua’, Kayu Berang dan Salutambun. 

Suatu saat awal tahun 1955 Pasukan DI/TII dipimpin oleh Salo’do’ dalam perjalanan dari Mamuju dan singgah di Katimba. Pasukan DI/TII ini diserang jam 08.00 pagi oleh kurang lebih 500-an pasukan PK Buntu Malangka’ sambil berteriak. Ketika mereka menyerang, pasukan DI/TII menembaki mereka dengan persenjataan lengkap termasuk senjata otomatis Bren menyebabkan PK Buntu Malangka’ mengundurkan diri.
Tahun 1958 OPR terbentuk di Mambi. Di Buntu Malangka’ terbentuk OPR Kompi Aralle dipimpin olek Matius Sigalotang. Regu 2 dipimpin oleh Matius Makaringi’. Pasukan OPR dilatih oleh TNI dari Kodam IV Hasanuddin antara lain Sersan Markus asal Sindagamanik, Sersan Petrus asal Sumua’ dan Pilipus asal Taora.
Penyerangan ke-2 dilakukan tahun 1958 dengan menyergap pasukan DI/TII di kampung Palliabu, desa Malatiro. Pasukan DI/TII terbunuh 8 orang.


Dalam perjuangannya, Kahar kemudian berbalik haluan, tentara CTN-nya kemudian dijadikan Tentara Islam Indonesia (TII) Sulawesi untuk lebih mudah menarik simpati rakyat. Ia terus mencari dukungan dan berusaha menghubungi Kartosuwirjo di Jawa Barat. Secara de facto dan de jure pada bulan Januari 1952 Kahar Muzakkar bersama Kasso Abdul Gani mendeklarasikan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwirjo di Jawa Barat. Kartosuwirjo selanjutnya menunjuk Kahar sebagai panglima TII di Sulawesi. Beberapa Komandan ex-CTN tidak mau bergabung ke TII-nya Kahar a.l : Andi Selle (Pinrang/Polewali),  Andi Sose’(Enrekang/Tator), M. Daeng Sibali (Takalar). Namun pada saat Kahar Muzakkar dioperasi militer oleh TNI , Andi Sose dan Andi Selle sikapnya abu-abu karena menurut laporan intel militer kedua komandan pasukan ini memberi bantuan senjata dan amunisi kepada pasukan Kahar Muzakkar secara diam-diam.
Sejak saat itu mulailah pasukan DI/TII menekan kehidupan rakyat Mamasa, Tator, Galumpang, Polewali dan Seko. Banyak orang Kristen dan penganut aluktoyolo/ mappurondo dipaksa masuk Islam seperti di daerah Sabura’, daerah Batu-Pa’pandanan, Polewali, di Kalosi-Losi, Kurrak, Ulu Manda’, Daerah Suppiran dan beberapa kampung lainnya. Rakyat di daerah tersebut  selalu kontak dengan DI/TII karena daerahnya merupakan jalur operasi DI/TII. Jalur-jalur operasi DI/TII di sekitar Tator, Enrekang, Pinrang, Mamasa, Majene dan Mamuju antara lain :

(1) Palopo – Seko – Mangki – Mamuju.
(2) Mamuju–Aralle–Mambi Matangnga–Riso–Polewali–Pinrang.
(3) Mamuju – Aralle – Mambi – Matangnga – Polewali – Pinrang.
(4) Mamuju–Aralle–Mambi–Matangnga–Sumarorong–Messawa–  Suppiran –  Pinrang.
(5) Enrekang –Bau - Simbuang – Suppiran – Rayan - Pinrang.
(6) Riso – Messawa – Simbuang – Bau - Enrekang.
(7) Majene–Ulumanda’–Aralle–Mambi–Matangnga–Messawa–Suppiran – Enrekang.

Akibat gangguan pemberontakan DI/TII maka pemerintah RI memberlakukan SOB (Staat van Orlog Beleg) yaitu masa keadaan darurat perang. Untuk mengamankan Sulawesi Selatan pemerintah pusat mendatangkan pasukan dari Jawa antara lain dari Batalyon 422/Diponegoro,  Batalyon Poncowati, Pasukan Badak Hitam dari Aceh, Pasukan Tengkorak Putih  dari Batalyon Siliwangi dan  Batalyon  Bukit Barisan.

Di wilayah Komando Daerah Teritorium VII (Kodam  yang kemudian berubah menjadi Kodam XIV /Hasanuddin, lalu kembali menjadi Kodam VII/Wirabuana) ditempatkan Pasukan TNI antara lain Batalyon 710 dipimpin Andi Selle Mattola dengan wilayah Korem Pinrang, Polewali, Majene dan Mamuju. Batalyon 720 dipimpin Andi Sose dengan wilayah Korem Tator, Luwu dan Enrekang. Selanjutnya kedua Komandan Batalyon ini sangat berpengaruh dalam sejarah perjuangan rakyat Mamasa dan Tator antara tahun 1952 sampai dengan tahun 1964.

2 komentar:

  1. Tabe' Bang, sumber dri mana kita' pkai di tulisan ta'?

    BalasHapus
  2. Tulisan ini harap cantumkan buku sumber dan penulisnya ?????

    BalasHapus