Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Kamis, 01 Maret 2018

Pue Tonileo dan Kehadiran Tomaka Botteng Di Mamuju

Pue Tonileo adalah Raja Mamuju yang bernama yang bertahta hanya dalam masa yang singkat antara 1700 sampai tahun 1709, setelah Maradika sebelumnya  wafat. Dalam masa jabatannya yang terbilang singkat itu ternyata kepemimpinan Pue Tonileo tidak disenangi oleh rakyatnya sendiri, sebagian ada yang menganggap hal itu terjadi karena cara memimpinnya yang kurang bijaksana sehingga banyak yang tidak senang,  dari kalangan kerabat dan saudaranya menentang dan ingin membunuh Pue Tonileo, pada akhirnya Pue Tonileo memilih untuk meletakkan jabatannya.

Dalam sumber cerita yang lain dianggap bahwa karena adanya perselisihan dengan saudara-sudaranya yang ingin menjadi raja di Mamuju sehingga menghasut rakyat untuk melawan, Pue Tonielo meninggalkan tahtanya disebabkan oleh perseteruan yang disebabkan oleh rasa iri dari saudara kandungnya sehingga terjadi konflik dan menyebabkan pemerintahan Pue Tonileo mengalami kemunduran dan tidak bisa memerintah dengan baik, Pue Tonielo pun memutuskan untuk meletakkan jabatan sebagai Maradika dan mengasingkan diri ke tanah Kaili (Sulawesi Tengah).

Keadaan Masyarakat Mamuju sepeninggal Pue Tonileo tidak lebih baik justru semakin terpuruk dan dalam kondisi yang memprihatinkan, terjadi kekacauan di dalam lingkungan istana bahkan masyarakat Mamuju saling memerangi dengan yang lain disebabkan tidak ada lagi pemimpin yang bisa memberikan solusi atas persoalan di dalam masyarakat itu sendiri. 

Singkat cerita akhirnya para golongan bangsawan dan tokoh tokoh adat mengadakan pertemuan atau musyawarah untuk mencari solusi atas kekosongan pemimpin (raja) di Mamuju dan disepakatilah untuk melibatkan dan meminta pendapat kerajaan Balanipa di Mandar yang juga sebagai pemimpin atau bapak persekutuan kerajaan-kerajaan Pitu Baqbana Binanga.

Disepakatilah oleh Arajang (Raja) Balanipa di Mandar untuk segera mengutus salah seorang bangsawan di kerajaan Balanipa untuk menjadi pengganti Pue Tonielo untuk sementara dan atas persetujuan anggota persekutuan kerajaan di Mandar saat itu sampai kondisi di lingkungan kerajaan Mamuju benar-benar kondusif, maka terpilihlah Pammarica atau Puang Marica yang ditunjuk sesuai keputusan Arajang Balanipa saat itu dan terlebih lagi melihat Pammarica adalah mantan raja Balanipa yang ke 12, cucu dari Maradia Daetta, Maradia ke 4 kerajaan Balanipa dan telah berpengalaman mengatur pemerintahan di kerajaan Balanipa sebelumnya.

Setelah melalui proses musyawarah dan di sepakatilah keputusan tersebut, Pammarica menerima keputusan tersebut dengan syarat agar disiapkan tanah dan rumah sebagai tempat tinggal di Mamuju dan dalam perjalan ke Mamuju harus dikawal oleh beberapa orang yang pemberani karena dianggap perjalanan ke Mamuju sangat berbahaya dan penuh dengan gangguan para perampok dan bajak laut sehingga di ambillah keputusan untuk melakukan perjalan darat ke Mamuju yang dianggap lebih aman dibanding perjalanan melalui laut. 

Maka diadakanlah perundingan untuk menentukan siapa yang menjadi pengantar Pammarica ke Mamuju, akan tetapi tidak ada satupun dari kalangan pemberani dan bangsawan di Balanipa yang mau mengawal perjalanannya, ini menandakan bahwa besarnya resiko melewati perbatasan menuju ke Mamuju. Arajang Balanipa akhirnya mengundang Tomakaka Rantebulawang, Tomakaka Mambi, Tomakaka Aralle, Rante Salubanua, Pamusuang, Salurindu, Botteng dan Ta’bang untuk dipilih sebagai pengawal dan perundingan itu dipimping oleh Tomakaka Aralle maka ditunjuklah Tomakaka Botteng dua orang sebagai wakil dari Toraja dan beberapa orang lainnya untuk jadi pengawal Pammarica ke Mamuju. 

Tomakaka Botteng inilah yang kelak menjadi cikal bakal nenek moyang penduduk di Mamuju yang sekarang mendiami suatu wilayah di Mamuju  di daerah Botteng. Jadi Botteng berasal dari kata Tobuttu atau orang-orang dari gunung, yang kemudian diberi kehormatan menjadi salah satu pemangku adat di kerajaan Mamuju.

Setibanya di Mamuju Pammarica disambut  dengan sukacita oleh rakyat Mamuju termasuk para pemangku adat kerajaan Mamuju di daerah perbukitan yang sekarang disebut Simbuang dan perjalanan menuju ke Sapo Kayyang (Istana) Mamuju di Pesisir Pantai di sebuah wilayah bernama Kasiwa, di pimpin oleh Tomakaka Sinyonyoi perjalanan pun dilanjutkan.

Dalam perjalanan itu rombongan kerajaan dan masyarakat yang menjemputnya tiba disuatu tempat di pesisir pantai yang disebut Bonepaas saat ini dan dibuatlah sebuah perjanjian (talliq) dengan Tomakaka Botteng bahwa mulai saat itu Tomakaka Botteng adalah bagian dari kerajaan Mamuju dan diberikan tanah mendiami wilayah Mamuju diatas gunung yang sekarang dikenal dengan nama Desa Botteng sampai ke anak cucunya dengan ditandai penanaman dua pohon kayu sebagai tanda persaudaraan Tomakaka Botteng di gunung dengan masyarakat Mamuju di pesisir.

Tak berselang lama Pammarica pun diangkat menjadi Maradika dan menempati tanah yang konon katanya disediakan oleh masyarakat Kasiwa, Pammarica adalah bangsawan Mandar pertama yang memerintah di kerajaan Mamuju, setelah berberapa bulan lamanya Pammarica menjadi Maradika di Mamuju keadaan di Mamuju tidak berubah sedikitpun bahkan semakin kacau, kehidupan semakin pailit, hasil panen dan hasil melaut justru semakin tidak mencukupi sehingga oleh orang Mamuju menamakan situasi tersebut dengan ma’barata semenjak Pue Tonileo meninggalkan masyarakatnya. Sehingga di syairkan dalam kehidupan masyarakat saat itu dengan ungkapan kehilangan yang cukup menyedihkan yaitu;
“Manu tammeciccoroko’, Bombang tammessamba’, Pa’lungang tammemmoni, Buakaju tammemburra’…
Artinya : Ayam tidak lagi berkokok, ombak tak lagi mengalung, lesung tak lagi berbunyi, Pohon tak lagi berbunga.

Dalam situasi yang tidak menentu ini Pammarica tidak sanggup melihat penderitaan di masyarakat yang semakin hari semakin terpuruk, maka di adakanlah pertemuan kembali untuk mencari jalan keluar dari persoalan-persoalan yang menimpa rakyat Mamuju saat itu. Maka berkumpullah para tetua adat dan bangsawan untuk duduk bersama mencari keputusan yang tepat sehingga di sepakatilah usulan untuk memanggil kembali Pue Tonileo yang dianggap memiliki kemampuan ghaib dan kesaktian untuk mengatasi segala kesulitan dan perpecahan dikalangan bangsawan dan masyarakat Mamuju.

Sampai diutuslah seseorang ke Kaili untuk menyampaikan maksud dari para tetua adat dikerajaan Mamuju agar Pue Tonileo kembali ke Mamuju menjadi Maradika seperti keinginan rakyatnya. Terjadi perbedaan versi cerita antara tokoh bangsawan, penutur sejarah dan sebagian masyarakat yang ada di Mamuju, adapula yang mengatakan bahwa Pue Tonileo tidak dimakamkan di Mamuju karena Pue Tonileo tidaklah meninggal di Mamuju melainkan di tanah Kaili (sulawesi tengah), dikarenakan Pue Tonileo tidak pernah datang kembali ke Mamuju setelah meletakkan jabatannya sebagai Maradika.

Kenapa ke Kaili, sebab Kaili pada saat itu adalah masih menjadi wilayah kerajaan Mamuju (Surumana-Donggala) Kaili merupakan wilayah taklukan kerajaan Mamuju. 

2 komentar:

  1. Maaf, itu pamusuang mungkin maksud anda Pamoseang! Sekedar koreksi saja

    BalasHapus
  2. Pue tonielo th.1700-1709 9th bertahta...
    Kalau perjanjian tamajarra itu tahun berapa y,, yg diwakili oleh tomejammeng..

    BalasHapus