Pue Tonileo
adalah Raja Mamuju yang bernama yang bertahta hanya dalam masa yang singkat antara 1700 sampai tahun 1709, setelah
Maradika sebelumnya wafat. Dalam masa jabatannya yang
terbilang singkat itu ternyata kepemimpinan Pue Tonileo tidak disenangi oleh
rakyatnya sendiri, sebagian ada yang menganggap hal itu terjadi karena cara memimpinnya yang kurang bijaksana sehingga banyak yang tidak senang, dari kalangan kerabat dan saudaranya menentang dan ingin membunuh Pue
Tonileo, pada akhirnya Pue Tonileo memilih untuk meletakkan jabatannya.
Dalam sumber
cerita yang lain dianggap bahwa karena adanya perselisihan dengan
saudara-sudaranya yang ingin menjadi raja di Mamuju sehingga menghasut rakyat untuk
melawan, Pue Tonielo meninggalkan tahtanya disebabkan oleh perseteruan yang
disebabkan oleh rasa iri dari saudara kandungnya sehingga terjadi konflik dan
menyebabkan pemerintahan Pue Tonileo mengalami kemunduran dan tidak bisa
memerintah dengan baik, Pue Tonielo pun memutuskan untuk meletakkan jabatan sebagai
Maradika dan mengasingkan diri ke tanah Kaili (Sulawesi Tengah).
Keadaan
Masyarakat Mamuju sepeninggal Pue Tonileo tidak lebih baik justru semakin
terpuruk dan dalam kondisi yang memprihatinkan, terjadi kekacauan di dalam
lingkungan istana bahkan masyarakat Mamuju saling memerangi dengan yang lain
disebabkan tidak ada lagi pemimpin yang bisa memberikan solusi atas persoalan
di dalam masyarakat itu sendiri.
Singkat cerita akhirnya para golongan
bangsawan dan tokoh tokoh adat mengadakan pertemuan atau musyawarah untuk
mencari solusi atas kekosongan pemimpin (raja) di Mamuju dan disepakatilah untuk
melibatkan dan meminta pendapat kerajaan Balanipa di Mandar yang juga sebagai
pemimpin atau bapak persekutuan kerajaan-kerajaan Pitu Baqbana Binanga.
Disepakatilah
oleh Arajang (Raja) Balanipa di Mandar untuk segera mengutus salah seorang
bangsawan di kerajaan Balanipa untuk menjadi pengganti Pue Tonielo untuk
sementara dan atas persetujuan anggota persekutuan kerajaan di Mandar saat itu sampai
kondisi di lingkungan kerajaan Mamuju benar-benar kondusif, maka terpilihlah Pammarica
atau Puang Marica yang ditunjuk sesuai keputusan Arajang Balanipa saat itu dan
terlebih lagi melihat Pammarica adalah mantan raja Balanipa yang ke 12, cucu
dari Maradia Daetta, Maradia ke 4 kerajaan Balanipa dan telah berpengalaman
mengatur pemerintahan di kerajaan Balanipa sebelumnya.
Setelah
melalui proses musyawarah dan di sepakatilah keputusan tersebut, Pammarica
menerima keputusan tersebut dengan syarat agar disiapkan tanah dan rumah
sebagai tempat tinggal di Mamuju dan dalam perjalan ke Mamuju harus dikawal
oleh beberapa orang yang pemberani karena dianggap perjalanan ke Mamuju sangat
berbahaya dan penuh dengan gangguan para perampok dan bajak laut sehingga di ambillah
keputusan untuk melakukan perjalan darat ke Mamuju yang dianggap lebih aman dibanding
perjalanan melalui laut.
Maka diadakanlah perundingan untuk menentukan siapa
yang menjadi pengantar Pammarica ke Mamuju, akan tetapi tidak ada satupun dari
kalangan pemberani dan bangsawan di Balanipa yang mau mengawal perjalanannya,
ini menandakan bahwa besarnya resiko melewati perbatasan menuju ke Mamuju. Arajang
Balanipa akhirnya mengundang Tomakaka Rantebulawang, Tomakaka Mambi, Tomakaka
Aralle, Rante Salubanua, Pamusuang, Salurindu, Botteng dan Ta’bang untuk
dipilih sebagai pengawal dan perundingan itu dipimping oleh Tomakaka Aralle
maka ditunjuklah Tomakaka Botteng dua orang sebagai wakil dari Toraja dan
beberapa orang lainnya untuk jadi pengawal Pammarica ke Mamuju.
Tomakaka
Botteng inilah yang kelak menjadi cikal bakal nenek moyang penduduk di Mamuju
yang sekarang mendiami suatu wilayah di Mamuju
di daerah Botteng. Jadi Botteng berasal dari kata Tobuttu atau
orang-orang dari gunung, yang kemudian diberi kehormatan menjadi salah satu pemangku
adat di kerajaan Mamuju.
Setibanya
di Mamuju Pammarica disambut dengan
sukacita oleh rakyat Mamuju termasuk para pemangku adat kerajaan Mamuju di
daerah perbukitan yang sekarang disebut Simbuang dan perjalanan menuju ke Sapo
Kayyang (Istana) Mamuju di Pesisir Pantai di sebuah wilayah bernama Kasiwa, di pimpin oleh Tomakaka
Sinyonyoi perjalanan pun dilanjutkan.
Dalam
perjalanan itu rombongan kerajaan dan masyarakat yang menjemputnya tiba disuatu
tempat di pesisir pantai yang disebut Bonepaas saat ini dan dibuatlah sebuah
perjanjian (talliq) dengan Tomakaka Botteng bahwa mulai saat itu Tomakaka
Botteng adalah bagian dari kerajaan Mamuju dan diberikan tanah mendiami wilayah
Mamuju diatas gunung yang sekarang dikenal dengan nama Desa Botteng sampai ke anak
cucunya dengan ditandai penanaman dua pohon kayu sebagai tanda persaudaraan Tomakaka
Botteng di gunung dengan masyarakat Mamuju di pesisir.
Tak
berselang lama Pammarica pun diangkat menjadi Maradika dan menempati tanah yang
konon katanya disediakan oleh masyarakat Kasiwa, Pammarica adalah bangsawan
Mandar pertama yang memerintah di kerajaan Mamuju, setelah berberapa bulan
lamanya Pammarica menjadi Maradika di Mamuju keadaan di Mamuju tidak berubah
sedikitpun bahkan semakin kacau, kehidupan semakin pailit, hasil panen dan
hasil melaut justru semakin tidak mencukupi sehingga oleh orang Mamuju menamakan
situasi tersebut dengan ma’barata semenjak
Pue Tonileo meninggalkan masyarakatnya. Sehingga di syairkan dalam kehidupan
masyarakat saat itu dengan ungkapan kehilangan yang cukup menyedihkan yaitu;
“Manu tammeciccoroko’, Bombang tammessamba’,
Pa’lungang tammemmoni, Buakaju tammemburra’…
Artinya :
Ayam tidak lagi berkokok, ombak tak lagi mengalung, lesung tak lagi berbunyi,
Pohon tak lagi berbunga.
Dalam
situasi yang tidak menentu ini Pammarica tidak sanggup melihat penderitaan di
masyarakat yang semakin hari semakin terpuruk, maka di adakanlah pertemuan
kembali untuk mencari jalan keluar dari persoalan-persoalan yang menimpa rakyat
Mamuju saat itu. Maka berkumpullah para tetua adat dan bangsawan untuk duduk
bersama mencari keputusan yang tepat sehingga di sepakatilah usulan untuk
memanggil kembali Pue Tonileo yang dianggap memiliki kemampuan ghaib dan
kesaktian untuk mengatasi segala kesulitan dan perpecahan dikalangan bangsawan
dan masyarakat Mamuju.
Sampai
diutuslah seseorang ke Kaili untuk menyampaikan maksud dari para tetua adat
dikerajaan Mamuju agar Pue Tonileo kembali ke Mamuju menjadi Maradika seperti
keinginan rakyatnya. Terjadi perbedaan versi cerita antara tokoh bangsawan,
penutur sejarah dan sebagian masyarakat yang ada di Mamuju, adapula yang
mengatakan bahwa Pue Tonileo tidak dimakamkan di Mamuju karena Pue Tonileo
tidaklah meninggal di Mamuju melainkan di tanah Kaili (sulawesi tengah), dikarenakan Pue Tonileo tidak pernah datang kembali ke
Mamuju setelah meletakkan jabatannya sebagai Maradika.
Kenapa
ke Kaili, sebab Kaili pada saat itu adalah masih menjadi wilayah kerajaan Mamuju
(Surumana-Donggala) Kaili merupakan wilayah taklukan kerajaan Mamuju.
Maaf, itu pamusuang mungkin maksud anda Pamoseang! Sekedar koreksi saja
BalasHapusPue tonielo th.1700-1709 9th bertahta...
BalasHapusKalau perjanjian tamajarra itu tahun berapa y,, yg diwakili oleh tomejammeng..