Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Rabu, 06 Juni 2018

Kalumpang Dan Situs Neolitik Tertua Dunia


Kalumpang, sebagai hunian dari masa neolitik pertama kali diperkenalkan oleh Dr. P.V Stein Callenfels, seorang prehistorian berkembangsaan Belanda yang pada jaman kolonial bekerja di Lembaga purbakala (Oudheidkundige Dienst). Dialah yang memperkenalkan situs-situs di Kalumpang dalam lingkup international dengan mengkomunikasikan hasil penelitiannya di Situs Kamansi pada Kongres Prasejarah Asia Timur Jauh di Manila tahun 1951 dan menerbitkannya dalam Journal of East Asiatic Studies, 1952 (Simanjuntak, 2007). Hasil penelitian tersebut telah memicu lahirnya banyak penelitian di wilayah itu, hingga pada tahun 2007 oleh Truman Simanjuntak, melahirkan berbagai perdebatan yang menarik tentang kronologis kehadiran penutur austronesia di Kalumpang.Callenfels (1951) menyimpulkan bahwa budaya kalumpang hadir dalam 3 fase. Fase pertama yakni Protoneolitik, yang dicirikan kapak tajaman miring, proto tipe kapak bahu, alat-alat hoabinhian dan gerabah primitif. Fase kedua yakni neolitik, yang dicirikan oleh kapak diupam halus dan gerabah polos. Fase ketiga dicirikan oleh mata panah, pahat kecil dan gerabah hias gores. Ditambahkan pula bahwa gelombang pertama dan ketiga berasal dari utara, melewati Filipina dan lebih jauh lagi dari Manchuria.

Dr. Piter Van Callenfels 
Heekeren (1972) pada penelitian yang bersamaan cenderung menyimpulkan bahwa budaya Kalumpang hanya terdiri dari 2 fase saja. Fase pertama yakni neolitik awal, yang dicirikan oleh kapak lonjong dengan irisan ellipsoidal yang di antaranya berbentuk asimetris, alat pemukul kulit kayu, dan gerabah polos dan hias motif garis- garis lurus dengan lingkaran lingkaran kecil. Fase kedua yakni neolitik akhir, yang dicirikan oleh beliung persegi diupam, beliung kecil, mata tombak diupam, mata panah, alat-alat bor, gergaji dan gerabah hias pola lingkaran kecil dan hias tepi kerang yang merupakan pengaruh dongson. Ia juga berpendapat bahwa kedua fase ini berasal dari Cina selatan dan mencapai Sulawesi lewat jalur utara.*(Budyanto & Suryatman).

Patung Budha Sikendeng 
Kalumpang, bukan sekedar kecamatan terluas di pegunungan Mamuju, ibu kota Sulawesi Barat. Daerah yang mencakup komunitas adat Tana Lotong itu menyimpan sejuta kisah asal muasal peradaban manusia di Sulawesi. Bangsa Austronesia, bangsa penutur yang berasal dari Asia daratan diyakini kali pertama menginjakkan kaki di wilayah ini. Keberadaan bangsa yang menurunkan populasi di sepanjang Pasifik sampai Madagaskar, serta Selandia Baru sampai Hawaii itu terlacak melalui penemuan sejumlah situs di wilayah tersebut. Situs ini diyakini berusia sekitar 3.600 tahun sebelum masehi. Terbilang tua, lantaran mendekati catatan waktu penutur Austronesia kuno menyebar di nusantara sekitar 4.000 SM.

Temuan arkeologi yang termasyur di wilayah itu adalah situs Minanga Sipakko dan Kamassi. Penemuan yang kelak dikenal sebagai situs Kalumpang itu merupakan wilayah pegunungan yang menyimpan alat-alat prasejarah seperti gerabah, tembikar, mata panah dan kapak batu. Situs ini kali pertama diperkenalkan Dr. P.V Stein Callenfels, peneliti Belanda yang menggali di wilayah tersebut pada 1933. Ia melakukan penelitian setelah tiga tahun sebelumnya penilik sekolah Amiruddin Maulana menemukan sebuah patung Buddha berjubah perunggu di Sikendeng, tepi Sungai Karama. Patung yang kini tersimpan di Museum La Galigo, kompleks benteng Fort Rotterdam Makassar, Sulawesi Selatan, itu terbilang berbeda dari kebanyakan patung Buddha di nusantara. Patung diduga dipengaruhi gaya Budha Greeco, di India Selatan, tepatnya aliran kesenian Amarawati. Aliran yang pengaruhnya cukup besar ke kawasan Asia Tenggara pada abad 2 hingga 7 Masehi

Dr. P. Stein Callenfels lantas menginformasikan temuannya dalam Kongres Prasejarah Asia Timur di Manila pada 1951. Ilmuan dunia pun berdatangan ke Kalumpang hingga sekarang. Mereka terus menghasilkan penemuan baru yang kini diperkirakan mencapai 12 situs. Yang menarik di antaranya adalah Batu Tabuqung, sebuah kompleks makam kuno di Dusun Kondobulo. Pemakaman ini mirip situs Londa di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, lantaran kerangka manusia tak dikubur, melainkan disimpan dalam peti kayu berukir yang diletakkan di tebing batu. Konon, kerangka kuno tersebut jauh lebih besar ukuran normal orang Indonesia. Sepeninggal Stein-Callenfels penelitian dilanjutkan oleh H.R. van Heekeren pada tahun 1949 di Situs Kamassi. Ketika melakukan penggalian, Heekeren mendapatkan laporan dari penduduk setempat yang menemukan temuan yang serupa di Minanga Sipakko. Kemudian pada saat perjalanan pulang ke Kalumpang, Heekeren mencoba melakukan peninjauan langsung ke Minanga Sipakko yang hanya sebatas survei permukaan. Hasilnya ditemukan pecahan- pecahan tembikar polos dan berhias, beliung persegi, kapak lonjong, mata tombak, mata panah, pahat batu, batu asah, batu pipisan, dan alat pemukul kulit kayu. Pada tahun 1969 R.P. Soejono dan D.J. Mulvaney mengadakan penelitian berupa peninjauan lapangan di gua-gua Maros di Sulawesi Selatan, tepatnya di Gua Batu Ejaya, Gua Ulu Leang 2, dan Gua Ulu Wao. Dari hasil peninjauan tersebut ditemukan beberapa pecahan tembikar yang jika dilihat dari motif dan teknik hiasnya memperlihatkan kesamaan dengan tembikar Kalumpang. Pada tahun 1970 penelitian dilanjutkan oleh Uka Tjandrasasmita dan Abu Ridho yang menyatakan bahwa tembikar Kalumpang memiliki persebaran yang cukup luas di Sulawesi Selatan, yaitu hingga ke daerah Maros (Ulu Wae, Ulu Leang, Leang Burung, dan Batu Ejaya, dekat Bantaeng) dan juga ke arah selatan Makassar, tepatnya di Desa Takalar. Pada tahun 1981 pembahasan tembikar Kalumpang dilakukan oleh Nurhadi dalam skripsinya yang berjudul Gerabah Prasejarah Kalumpang. Dalam penelitiannya Nurhadi menggunakan data himpunan tembikar koleksi Museum Nasional yang merupakan hasil temuan ekskavasi Stein-Callenfels tahun 1933, Heekeren tahun 1949, dan himpunan tembikar dari pemerintah daerah setempat.(Ridwan Alimuddin)

Situs Minanga Sipakko Kalumpang
Pada bulan Mei 1933 diadakan penggalian oleh A.A.Cense di daerah Sampaga tepatnya di lembah sungai Karama, Kabupaten Mamuju dan menemukan beberapa peralatan pra-sejarah yaitu batu dan gerabah. Kegiatan tersebut kemudian di lanjutkan oleh PV Van Callenfels dengan menggali di bagian timur bukit Kamassi, dan menemukan alat-alat berupa: Pisau, kapak batu, kapak batu segi empat, mata panah yang halus, dan pecahan-pecahan tembikar yang berdekorasi. Penggalian tersebut di laksanakan pada tanggal Z5 September 1933 sampai 17 Oktober 1933.



Penggalian kedua di lakukan oleh Dr. HR. Van Hee Karem dari tanggal 23 Agustus sampai September 1949 di bagian selatan puncak kamasi, 13 meter di atas permukaan sungai. Penggalian itu menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu yang ada kesamaannya dengan alat Neolithic di Luzon (philipina), Manchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Juga di temukan gerabah yang berhias. Gerabah yang berhias di nilai oleh para arkeolog mempunyai corak yang tinggi dengan desain halus memberikan pertanda bahwa kebudayaan di daerah Kalumpang di kembangkan oleh masyarakat yang telah teratur sifatnya. Kebudayaan yang terlingkup dalam satu wilayah Sa Huynh Kalanay, yaitu wilayah yang meliputi daerah Cina, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan pasifik.
Eskavasi Situs Minanga Sipakko

Di daerah Sampaga atau kurang lebih 10 km dari muara sungai Karama, masuk ke pedalaman Sekendeng, Amiruddin Maulana ,tokoh pendidik di Kabupaten Majene, menemukan patung Budha perunggu. Oleh Dr.FDK Bosch, setelah membandingkan patung-patung Budha yang ada di Jawa tengah (Borobudur), Palembang, patung Hindu Jawa,dan Hindu Sumatera, memberikan kesimpulan bahwa gaya patung tersebut mempunyai ciri khas tersendiri. Setelah membandingkan dengan patung Budha dari Sholok, Jambi, kota bangun, Kalimantan barat, Gunung lawu, Jawa tengah, Bosch juga menyimpulkan bahwa palung yang di temukan tersebut tidak mempunyai kesamaan.

Oleh karena tidak ada kesamaan yang dapat di temukan di Indonesia, maka perbandingan dengan patung-patung Budha yang ada di India, Muka dan Gandara, di lakukan. Dan kesimpulannya adalah bahwa patung tersebut di pengaruhi oleh gaya Budha Greeco di mana gaya ini juga terdapat di India Selatan, tepatnya aliran kesenian Amarawati. Aliran ini sangat besar pengaruhnya ke kawasan Asia Tenggara pada abad 2-7 M. Dikuatkan dengan penemuan berbagai kecek perunggu, kancing yang di gunakan sebagai pengusir roh-roh jahat bagi dukun sewaktu upacara kelahiran bayi memperlihatkan juga adanya kesamaan dengan genta-genta perunggu dari India selatan. Dari sejarah India selatan telah di ketahui bahwa Dinasti Catawahana dalam memerintah terkenal sebagai penganut kuat agama Budha aliran hinayana sewaktu abad ke-Z M dan selanjutnya tersebar ke kawasan Asia tenggara.

Pada perkembangan Catawahana, sangat memperlihatkan aktivitas-aktivitas di bidang Maritim dan aliran Budha Hinayana melebarkan sayapnya ke Asia Tenggara dengan melalui perdagangan laut dan penyebaran terjadi pada abad ke-2 M, Dari berbagai penemuan-penemuan di alas, Salahuddin Mahmud seorang peneliti Mandar, menyimpulkan bahwa di daerah Kalumpang pernah terdapat sebuah kerajaan yang telah menjalani hubungan dengan daerah luar adapun pelabuhannya terdapat di Sekendeng, Hal tersebut di perkuat dengan memperhatikan letak muara sungai Karama yang berhadapan dengan muara sungai Mahakam di pulau Kalimantan, yang juga banyak di layari untuk memasuki daerah pedalaman Kalimantan. Adapun di hulu sungai Mahakam terdapat kerajaan Kutai yang sangat termasuk pada abad ke-4 M. Dengan demikian ke-rajaan di Kalumpang tersebut merupakan kerajaan yang tertua di daerah Mandar. Di duga kerajaan-kerajaan yang terdapat di Kalumpang berpindah ke pegunungan, tepatnya ke Toraja atau ke Luwu berhubungan dengan adanya invansi Militer dari luar atau adanya wabah penyakit yang menyerang daerah tersebut.

Perpindahan tersebut di buktikan dengan berlanjutnya desain dari corak ukiran yang tinggi nilai seninya yang masih di lanjutkan tradisinya oleh masyarakat Toraja dewasa ini. Sebagaimana cerita yang umum berkembang di masyarakat Indonesia mengenai asal usul nenek moyang mereka, di Mandar juga di kenal dengan orang yang turun dari kayangan yang akan memimpin manusia di muka bumi yang dikenal sebagai Tomanurung. Menjelmanya Tomanurung di atas muka bumi, menurut legenda dan mitos, adalah muncul dari belahan bambu (tobisse di tallang) ada juga turunan Bidadari yang tertawan di bumi karena di intip oleh pangeran yang kemudian menyembunyikan sayapnya. Selain itu ada juga Tomanurung yang menjelma dan meniti di atas buih aliran sungai (tokombong di bura) ada yang di hempaskan dari perut ikan hiu dan menjelma menjadi manusia (tonisesse di tingalor atau tobisse diare bau). Semua mitos-mitos tersebut di anggap keturunan pertama atau cikal bakal penguasa yang ada di daerah Mandar. (Arman_H.2017)

2 komentar:

  1. Mungkin bisa di bedakan mana tanah mandar dan mana peradaban Mamuju. Karna Mamuju bukan suku mandar

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau Mamuju bukan suku Mandar, anda berdasarkan apa dan berikan alasan yg bisa dipertanggungjawabkan.

      Hapus