Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 Mei 2022

MOROMBIA

Proses pembuatan Sagu dari saripati pohon rombia ini disebut MOSAKUNG/MOROMBIA atau orang Mamuju menyebutnya pangkur. Aktivitas ini merupakan kebiasaan masyarakat Mamuju yang telah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Mosakung adalah proses awal pembuatan Sagu yang di olah dari batang pohon Sagu sebelum menjadi "LETTO'" atau biasa di sebut sari tepung sagu. 
Pohon sagu apabila sudah mencapai umur untuk bisa di olah maka akan diolah mulai, dari penebangan sampai proses dibajak isi dalamnya kemudian diperas biasanya dengan cara di injak injak sampai hancur dan diperas.
Seperti gambar di atas salah satu seorang sedang melakukan pangkur sagu mulai dari penebangan sampai proses pemerasan Sari Sagu. Bisanya aktivitas ini di lakukan Di dekat dimana ada mata air atau sungai untuk bisa melakukan proses pemerasan Sari Sagu atau disebut Molanda' karena proses tersebut sangat membutuhkan air yang banyak. 
Prosesnya sangatlah unik batang pohon sagu di babat hingga hancur kemudian isi batang pohon yang sudah hancur tadi di peras hingga menjadi sari sagu. 
Setelah semua proses telah selesai kemudian sari yang di peras tadi di taruh di wadah yang telah di desain khusus yang terbuat dari daun pohon sagu itu sendiri dan untuk membuatnya butuh orang yang ahli dalam menganyam nya agar sari sagu yang masih cair tidak tumpah. 
Hasil akhir dari sari Sagu yang mengendap inilah yang disebut LETTO' yang menjadi bahan baku olahan berbagai macam makanan khas Mandar Mamuju termasuk JEPA /KALUMPANG ROMBIA. 

Sabtu, 21 Mei 2022

SEKOMANDI

Sekomandi' adalah salah satu tenun ikat dengan motif tertua di Indonesia, merupakan tenunan khas daerah Rongkong - Seko dan Kalumpang. Sekomandi' berasal dari dua kata, yaitu "Seko" yang berarti persaudaraan atau kekeluargaan atau rumpun keluarga, dan "Mandi'" yang berarti kuat atau erat. Sehingga Sekomandi' dapat dimaknai sebagai "Ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang kuat dan erat".
Berdasarkan data yang diperoleh dari tutur, cerita/legenda salah seorang penenun yang masih tetap melakoni dan melestarikan Tenunan Sekomandi' di Kalumpang, menyatakan bahwa Sekomandi' awalnya ditemukan oleh nenek moyang orang Kalumpang dari Dusun Lebani bernama "Undai Kasalle" yang sedang berburu di hutan. Ketika berburu dalam hutan, anjing Undai Kasalle berhenti disebuah mulut gua lalu berlari masuk kedalam gua tersebut. Melihat hal tersebut, Undai Kasalle ikut masuk kedalam gua dan menemukan selembar daun besar yang sekilas terlihat seperti ular besar dengan motif yang aneh. Kemudian daun tersebut dibawa pulang dan diperlihatkan kepada istrinya, seketika itu pula istrinya jatuh pingsan lalu kesurupan. Dalam keadaan tidak sadar itulah, istri Undai Kasalle mendapatkan "Ilham" tentang cara membuat Tenunan Sekomandi'. Setelah sadar, istri Undai Kasalle mulai melakukan apa yang diilhamkan kepadanya, dia mulai memintal benang dari kapas lalu membuat pewarna dari campuran beberapa macam tanaman, kemudian merendam benang tersebut kedalam pewarna selama beberapa hari. Kejadian kesurupan ini terus berulang beberapa kali sampai tercipta sebuah Tenunan Sekomandi'.

Sekomandi' sampai saat ini masih tetap dibuat secara tradisional oleh pengrajin dengan menggunakan benang yang dipintal dari kapas dan bahan pewarna alami dari campuran ramuan seperti kemiri, akar mengkudu, daun tarum, lengkuas, kunyit, kapur sirih, pinang, abu dari kayu pallin dan beberapa kayu hutan. Yang paling khas dari bahan pewarna yang digunakan adalah cabe, sehingga dalam pembuatan pewarna sampai kain yang dihasilkan masih terasa hangat dari cabe.
Proses pembuatan kain tenun Sekomandi' terdiri dari beberapa tahapan, yaitu :
1. Proses Pemintalan Benang
Proses ini diawali dengan membersihkan kapas dari biji dan kotoran yang menempel, kemudian dipintal hingga terbentuk helaian benang yang halus dan bersih.
2. Proses Pewarnaan
Setelah pemintalan kapas menjadi benang, kemudian dilakukan proses pencelupan benang kedalam pewarna selam beberapa hari lalu benang dibentangkan. Proses pewarnaan ini memakan waktu selama kurang lebih sebulan sampai diperoleh warna yang diinginkan.
3. Proses Pengikatan
Setelah diperoleh benang berwarna, benang lalu diikat perkelompok yang masing-masing sekitar 10 (sepuluh) helai benang. Kemudian benang mulai dibentuk sesuai pola atau motif yang diinginkan dengan menggunakan teknik pengikatan benang pada alat yang disebut "Kaliuran" yang terbuat dari kayu atau bambu. Fungsi Kaliuran yaitu untuk menahan benang pada saat pengikatan agar benang tetap rapih setelah diikat sesuai motif atau corak kain.
4. Proses Penenunan
Penenunan merupakan proses terakhir dari pembuatan Sekomandi', dimana setelah benang diikat dan membentuk motif, kemudian benang ditenun hingga terbentuk kain Sekomandi'. Proses penenunan ini dapat berlangsung selama beberapa bulan bahkan sampai satu tahun, sesuai tingkat kesulitan dan lebar kain yang diinginkan.
Keunikan kain tenun Ikat Sekomandi, terdapat pada pola warna dan struktur kain. Dimana semua proses pengerjaannya dilakukan dengan tangan atau ditenun dengan menggunakan alat-alat tradisional lainnya. Dibutuhkan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan-bulan untuk memproduksi sehelai kain tenun ikat Sekomandi.
Saat ini, sudah tidak banyak orang yang bisa menenun kain ikat sekomandi.
Oleh karena itu diperlukan perhatian khusus agar kain warisan leluhur ini tetap lestari. Apalagi motif tenun ikat dari Kalumpang dikenal sebagai salah satu ragam motif tertua di dunia. (*)

Sumber : artikel web/blog/sosial media.

Minggu, 08 Mei 2022

"Mamose" Ritual Adat Masyarakat Tangkuo yang patut dilestarikan

Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu untuk tujuan yang simbolis. Seperti halnya tradisi yang ada di Desa Tabolang, kec. Topoyo, kab. Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, berupa RITUAL MAMOSE.
Ritual Mamose adalah adat orang Budong-Budong yang harus di lestarikan. Ritual Mamose berkaitan dengan kegiatan bercocok tanam yang dilakukan tiga kali dalam setahun. Yang pertama dilakukan sebelum masuk hutan atau lahan. Kedua dilakukan setelah selesai merumbut atau membersihkan lahan yang nantinya akan ditanami tanaman. Dan yang ketiga, dilakukan setelah panen.

Dalam mamose terdapat berbagai ritual yang dijalankan, mulai dengan melakukan aksi menggunakan parang di tempat terbuka di sekitaran rumah adat Budong-Budong serta disaksikan langsung oleh raja dan masyarakat. Dalam aksi Pamose (sebutan bagi tokoh adat yang sedang beraksi dengan berbicara bahasa Budong-Budong), Ia menyampaikan pesan-pesan terhadap raja maupun terhadap para masyarakat. Sebelum melakukan aksinya, terlebih dahulu iringi musik dengan gendang, saat Pamose menghadap ke Raja dan Tobara, musik gendang di hentikan lalu Pamose memohon izin terhadap raja dan juga terhadap Tobara (ini adalah sebutan bagi kepala adat).

Sehari sebelum melakukan ritual adat Mamose, maka didahului oleh kegiatan "Magora", yaitu kegiatan menggunakan perahu bermotor (Katingting) berjalan menelusuri sungai Budong-Budong. Saat menghampiri masyarakat yang sudah menunggu di tepian sungai, maka akan  di lakukan "Magane", yaitu kegiatan dengan menggunakan parang, bendera,obat tradisional yang diletakkan di atas piring dan juga sebatang kayu yang ditancapkan di tanah. Hal ini perlu dilakukan agar kiranya kegiatan yang dilakukan berjalan dengan lancar dan masyarakat diberi kesehatan. Dahulu kala bukan kayu yang di gunakan akan tetapi manusia yang di tanam sampai kepala, lalu di lempari kemudian kepalanya di ambil lalu diikat di atas bendera untuk di bawa di arak-arak di atas perahu. 
Agar masyarakat mengetahui kedatangan rombongan, ditiuplah "Tantuang" yang terbuat dari kerang berukuran besar, kemudian singgah di setiap tepian sungai bila ada yang menunggu di pinggiran sungai. Masyarakat yang menunggu di pinggir sungai lalu menghampiri rombongan lalu menyerahkan seperti rokok, makanan, minuman dan lain sebagainya, yang diterima langsung oleh Puntai yang merupakan tokoh adat. 

Puntai kemudian akan mengambil air dari sungai dan dari dalam perahu, kemudian dibasuhkan ke masyarakat yang sedang sakit. Sebelum rombongan kembali berangkat, maka kadang akan terjadi kehebohan yaitu siram menyiram antara rombongan dengan masyarakat yang berada di tepian sungai.

Itulah adat Ritual Mamose yang sudah turun-temurun dan masih berlaku hingga saat ini.

Jumat, 15 Oktober 2021

Pernikahan Dalam Adat dan Budaya Mamuju

Sebagaimana diketahui bahwa negara Republik Indonesia memiliki banyak ragam budaya, etnis dan agama. Masing-masing daerah mempunyai budaya dan adat istiadat sebagai ciri khas daerahnya. Seperti halnya dalam perkawinan, Mamuju memiliki adat tersendiri yang berbeda dengan etnis Mandar, meskipun Mamuju termasuk bagian dari etnis Mandar. Proses perkawinan adat Mamuju sama tetapi tidak serupa dengan perkawinan adat Mandar.

Ada sebuah pepatah yang mengatakan, lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalang.

Defenisi kawin ialah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri. Pengertian hakekat perkawinan menurut agama Islam ialah untuk mengikuti Sunnah Rasul Allah, Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam dalam membentuk keluarga yang sakinah warahmah, berbakti kepada Allah serta taat kepada orang tuanya.

Fase-fase perkawinan :

Untuk perkawinan yang wajar di Mamuju, dalam rangkaian pelaksanaannya melalui beberapa fase dan teknik perbincangan yang begitu halus dan sopan, baik sebelum maupun sesudahnya. Fase-fase tersebut adalah sebagai berikut :


Fase Pendahuluan Uru Pakita (Pandang Pertama)

Pada umumnya manusia yang normal pertumbuhan pada u muda akan mengalami suatu masa yang dikenal dengan mat baler (puber). Pada masa ini akan timbul beraneka raz perasaan yang melanda jiwanya antara lain berupa harap harapan dan kerinduan. Dan setelah ia menemukan dan meliha seorang gadis yang menarik perhatiannya maka ia dala menyatakan perasaannya itu terhadap sang gadis tersebut pada masa dahulu biasanya dibarengi dengan pantun atau kalinda'da.


Ma'lolang (Bertandang)

Untuk melanjutkan perkenalan, pemuda tersebut dengan gadis pandangan pertama itu sebagai akibat dari pandangan pertamanya terhadap sang gadis dan sekaligus bersilaturrahmi dengan orang tua gadis bersama keluarganya, maka pemuda tersebut melakukan kunjungan dinamai malolang (bertandang ke rumah sang gadis) pada waktu-waktu senggang terutama pada waktu malam dan sang pemuda sudah menentukan bahwa gadis inilah satu-satunya yang akan menjadi calon teman hidup d dalam suka dan duka, maka proses selanjutnya adalah sebagai berikut :


I. Ma'bisi' atau Memmanuq-manuq

Ketika dua insan yang berlainan jenis sudah saling jatuh cinta maka dengan secara rahasia pihak laki-laki mengutus seseora atau beberapa orang untuk berkunjung ke rumah p pa perempuan guna menyampaikan maksud dan niat sang pemud tersebut kepada orang tua pihak perempuan (gadis).

sebagai syarat pertama adanya sebuah harapan yang ingin disampaikan. Bingkisan tersebut dibungkus dalam beberapa buah sinto yang isinya terdiri dari rokok, sabun mandi, korek api dan lain-lain. Apabila harapan dan maksud tersebut mendapat sambutan positif, maka proses mabisi atau memanu-manu akan berkelanjutan, tetapi apabila niat dan harapan tersebut tidak mendapat sambutan atau ditolak, maka kunjungan mabisi dianggap tidak pernah ada dan bingkisan yang dibawa tidak dikembalikan yang di dalam istilah bahasa Mamuju disebut, nitibe naung di kalobo atau istilah lain tingkudu pute (di buang ke dalam lubang atau istilah lain adalah ludah yang sudah dibuang tidak mungkin dijilat kembali).


II. Mesudu atau Ma'dutá  (Pelamaran)

Pada tahap kegiatan pelamaran (mesudu/ma'duta) kedua belah pihak mempersiapkan diri dan menghadirkan sanak keluarga/famili dalam jumlah yang besar serta kedua belah pihak menunjuk juru biacara. Adapun perlengkapan atau bingkisan dari pihak keluarga orang tua laki-laki yang diantar ke rumah pihak perempuan dengan suatu rombongan yang sudah besar dengan membawa bingkisan berupa beberapa buah sinto dan balla-balla yang di dalamnya berisi rokok, sabun mandi, korek api, balla-balla berisi pisang, jeruk, nenas dan buah-buahan lainnya. Jumlah sinto dan balla-balla biasanya ditentukan dan diukur dari stratifikasi sosial seseorang yang akan melaksanakan perkawinan. Selain sinto, juga ada pakaian perempuan seperti pakaian dalam, alat make-up, sandal, handuk dan lain-lain. Barang bawaan ini diantar oleh para muda-mudi dan orang-orang tua keluarga, kerabat dan sahabat dari pihak laki-laki. Pelaksanaan ma'duta atau pelamaran ini biasanya dilakukan pada malam hari.


Bagi juru bicara pihak perempuan yang sudah dipersiapkan sudah dibekali beberapa buah amanah dan sebuah catatan perincian dan jumlah uang biaya perkawinan, uang mahar dan passorong ditambah emas, hewan dan bahan konsumsi lainnya sesuai kemampuan pihak laki-laki.


Setelah mengadakan negosiasi oleh kedua juru bicara yang b dibarengi dengan kiasan dan pantun (kalinda'da) catatan rencana perincian besarnya biaya dibungkus dalam amplop kemudian diserahkan kepada juru bicara pihak laki-laki, untuk dibawa dan dipertimbangkan oleh orang tua dan keluarga pihak laki-laki. Jika di dalam perkawinan ini stratifikasi (tingkat kebangsawanan) pihak perempuan lebih tinggi dari laki-laki, biasanya pihak orang tua perempuan meminta biaya perkawinan dalam jumlah besar yang biasa disebut mangalli rara (membeli darah). Sama halnya, bila pihak keluarga perempuan kurang setuju maka di sini juga meminta biaya perkawinan tinggi yang biasa disebut mendodo maroka (meminta dengan terpaksa). Bila keluarga pihak laki-laki menganggap permintaan keluarga perempuan sudah terlalu tinggi/besar sehingga pihak laki-laki tidak menyanggupinya, maka kembali keluarga laki-laki mengirim utusan ke rumah orang tua perempuan untuk menyampaikan permohonan maaf atas gagalnya rencana perkawinan dengan ungkapan dan kata-kata "rupanya Tuhan belum mempertemukan jodoh kedua anak tersebut dan istilah lain niala membali passolosuungang (kita kembali menjalin tali persaudaraan)".


Akibat gagalnya perkawinan tadi, maka seluruh barang bawaan dari pihak laki-laki yang sudah diterima harus dikembalikan dengan utuh kepada pihak laki-laki, tetapi sebaliknya kalau pihak laki-laki memutuskan atau membatalkan rencana perkawinan secara sepihak, maka segala macam bawaan dan rencana biaya perkawinan harus ditunaikan oleh pihak laki laki yakni membayar 50 % dari rencana semula dalam bahasa Mamuju disebut massorong sambare atau dengan istilah lain mappalumpa simbolong. Hal ini harus dilakukan karena oleh pihak keluarga perempuan sudah menanggung malu akibat batalnya rencana perkawinan.


III. Modore (Pertunangan)

Proses modore ini berlangsung mulai dari adanya kesepakatan bagi kedua belah pihak tentang biaya dan waktu pelaksanaan akad nikah dan biaya perkawinan sudah tuntas semuanya yang hal ini memakan waktu dari 1 bulan sampai 3 bulan, maka masa ini disebut modore. Selama waktu modore ini calon pengantin laki-laki diharuskan mengantar uang belanja dan bahan konsumsi ke rumah orang tua perempuan yang hal ini disebut mapakande manu artinya memberi makan ayam, karena ayam yang diikat sudah perlu diberi makan. Di daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Mandar pada khususnya ada suatu anggapan yang senantiasa dipelihara yaitu adanya suatu tanda kesungguhan hati dari kedua belah pihak untuk menepati janji dalam mewujudkan rencana pernikahan putra-putrinya, di mana hal tersebut dianggap tabu (pemali) untuk diabaikan seperti dilarangnya calon mempelai untuk bepergian jauh, umpamanya menaiki kendaraan seperti motor dan mobil serta melakukan pekerjaan yang mengakibatkan resiko tinggi, karena sangat peka (sensitive) rawan terhadap beberapa bencana. Masa inilah disebut sebagai waktu karapao-rapoanna (saat yang sensitive) bagi calon mempelai pria dan wanita.


a. Mesurobo

Beberapa hari sebelum pelaksanaan akad nikah oleh calon mempelai perempuan melakukan mandi uap yang dalam bahasa Mamuju disebut mesurobo serta pada siang dan terutama pada malam hari memakai bedak basah yang disebut tappung dengan tujuan agar badan pengantin perempuan menjadi halus dan berbau wangi semerbak. Mandi uap tujuannya juga sama yakni pengantin perempuan jika mengeluarkan keringat selalu berbau wangi/harum. Pada zaman dahulu calon pengantin perempuan dimasker atau dipercantik oleh seorang perempuan/ibu yang biasa disebut indo botting dengan cara sebagai berikut: alis dan bulu rambut yang berada di wajah/muka serta alis calon pengantin dirapikan dengan pisau yang tajam (desundu), selanjutnya di bagian bawah dan atas diratakan dengan sebuah batu gurinda yang disebut nigoso. Dijelaskan bahwa kegiatan mandi uap atau mesirobo biasanya dilakukan beberapa hari menjelang hari pernikahan. Caranya adalah sebagai berikut: calon pengantin perempuan duduk di atas bangunan yang terbuat dari bamboo setinggi kurang lebih 2 meter dengan 4 buah kaki dilengkapi tempat duduk di atasnya, sementara di tengahnya terdapat lubang yang dihubungkan dengan belanga (kurung tampo) yang berisikan ramuan-ramuan tradisional yang baunya sangat harum. Ketika air dalam belanga tersebut mendidih dan menghasilkan uap, maka uap tersebut tersalur melalui bamboo langsung ke sekujur badan calon pengantin yang sedang duduk dengan menggunakan sarung atau selimut yang dibungkus ke seluruh tubuhnya. Dengan demikian calon pengantin akan berbau harum sesuai dengan harumnya ramuan yang telah dimasukkan ke dalam belanga yang bercampur dengan air panas tadi.


b. Membaca Barzanji

Selanjutnya dalam rangka menyongsong pelaksanaan akad nikah, di rumah orang tua pengantin perempuan dilaksanakan acara pembacaan barzanji yang biasanya dilakukan pada malam hari atau ada juga yang melakukan pada pagi hari sebelum tamu-tamu umum datang. Acara ini dilakukan oleh tokoh agama yang berjumlah paling kurang 7 orang atau biasa berjumlah sampai 20 orang. Selain pembacaan barzanji sesudahnya diikuti pemukulan gendang rebana sambil menyanyi yang diikuti atau dikumandangkan oleh para penabuh rebana. Seusai pembacaan barzanji, para tokoh agama pada waktu pulang membawa bingkisan yang disebut kalu (bungkusan yang berisi pulut, telur, kado minnya dan pisang).


c. Manggantung Paleko

Di rumah orang tua pengantin perempuan dihiasi dengan berbagai macam kain warna (paleko) dan pada pintu gerbang dan sekeliling batayang digantung daun nyiur muda (daun niu). Kain warna putih (gandis) dibentangkan mulai dari pintu rumah sampai di dalam ruangan yang akan dilalui oleh pengantin laki-laki, panjang kain putih kurang lebih 10 meter bahkan ada yang lebih. Adapun arti bentangan kain ini ialah adat menerima tamu agung yang juga sama dengan adat di daerah lain seperti Bugis, Makassar bahkan Jawa. Selain kain putih biasanya juga dipakai kain merah.


d. Parrabana

Pukulan rebana dan genderang pamanca sangat perlu ada pada saat iring-iringan pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan (nitindor) bahkan dianggap tabu atau pemali jika tidak ada, karena merunut kebiasaan pada zaman dahulu kala jika ada pengantin tidak menyiapkan bunyi bunyian seperti rebana dan lain-lain. maka akibatnya anak dari pengantin tersebut tidak mendengar atau tuli dan bisu (tidak bisa bicara).


IV. Mappacci atau Mekalantigi

Sebagai rangkaian acara pernikahan adat terhadap etnis Makassar, Bugis dan Mandar, biasanya pada malam menjelang pelaksanaan pernikahan, diadakan acara mappacci atau mekalantigi. Acara ini merupakan malam bermuatan doa restu dari segenap keluarga dan handai taulan terutama bagi tokoh adat, dengan harapan kedua pasang pengantin tetap mendapat rahmat Tuhan dan tujuan selanjutnya agar pengantin mengikuti kebahagiaan tokoh adat yang mekalantigi mengikuti pecuru'na atau naola lalan basena, para orang tua dan tokoh adat yang telah sukses di dalam berumah tangga dikarunia anak serta rezeki yang halal dan banyak. Mappacci (bahasa Bugis), Mekalantigi (bahasa Mamuju) dan dalam bahasa Indonesia biasa pula disebut malam pacar, Pacar adalah daun tumbuhan yang digiling halus untuk memerahi kuku memerahi kuku bagi gadis-gadis. Tumbuhan tersebut dikenal dalam bahasa latin ialah LAWSONIA ALBA. Perkataan pacar boleh mengenai daun, boleh juga mengenai pohonnya atau kembangnya. Pacar itu mempunyai sifat-sifat magis dan dipergunakan tidak pada sembarang waktu. Mekalantigi dilaksanakan menjelang akad nikah diadakan di rumah calon mempelai perempuan atau di rumah masing-masing mempelai dan dihadiri oleh sejumlah laki-laki dewasa atau tetua dari rumpun keluarga sendiri dan tokoh adat. 


Pelaksanaan acara ini adalah berlaku bagi orang terutama Puang (bangsawan). turunan taupia (golongan adat), turunan joa/peampoan (yakni orang merdeka). Pelaksanaan mekalantigi dipandu oleh seorang orang tua yang mengerti masalah adat.


Sebelum acara mekalantigi dimulai oleh seorang perempuan tua (indo botting) terlebih dahulu mengadakan kegiatan menghiasi tempat tidur dengan cara sebagai berikut: menggantung paleko bissu, mempersiapkan lampu atau pallang yang terdiri dari pallang dan sulo langi. Selain itu mempersiapkan sia-sia dan jalappa yang dibunyikan pada saat mekalantigi dimulai, tempat tidur yang sudah dihiasi diletakkan sebuah bantal guling yang di atasnya diletakkan 7 buah sarung yang terlipat rapi, selanjutnya di atas sarung ditaruh daun pisang dan sebuah keris pusaka barangtuda' yaitu beras ditaruh pada sebuah piring besar dan di atasnya diletakkan 7 butir telur ayam dan beberapa keping uang logam. Kemudian tempat raja dan galaga'gar pitu dibuatkan pagar bambu yang dihiasi dengan rapi yang disebut balasuji. Di hadapan pengantin ada tempat yang berisikan kalantigi, ada setangkai rappa dan ada keris, ada kobokan yang berisi air. Bila acara mekalantigi mau dimulai, maka indo botting mulai membakar pallang dan sulo langi dan para orang tua yang memegang sia-sia dan jalappa mulai beraksi membunyikan musik tradisional tersebut.


- Sia sia adalah sebuah besi batangan yang menyerupai pisau. 

- Jalappa adalah dua buah besi tembaga yang berbentuk topi. Kedua benda ini adalah termasuk alat musik tradisional.


V. Akad Nikah

Upacara akad nikah ada yang dilaksanakan pada waktu siang hari sebelum matahari mencapai titik kulminasinya, ada pula yang melaksanakan pada malam hari. Dihadiri oleh keluarga dan kerabat serta handai taulan dari kedua belah pihak di rumah orang tua perempuan. Akad dilakukan oleh orang tua/wali perempuan atau yang diserahi kewalian itu. Biasanya yang diserahi kewalian orang tua perempuan. adalah kadhi/imam setempat. Selesai pelaksanaan akad nikah lalu pengantin laki-laki diantar oleh seorang keluarga pihak laki-laki melaksanakan nipasikanti (pertemuan pertama). Setelah selesai pelaksanaan akad nikah kemudian oleh salah seorang yang mewakili keluarga mempelai laki-laki mengantar dan membawa pengantin laki-laki ke suatu tempat atau kamar yang terlebih dahulu sudah disiapkan dan sebelum masuk kamar yang ditempati pengantin perempuan, maka wakil orang tua laki- laki yang mengantar tadi harus mengeluarkan uangnya membayar dengan uang ala kadarnya yang namanya kunci pembuka kamar. 


Setelah pintu terbuka, maka acara nipasikanti atau pertemuan pertama dimulai dengan memperkenankan pengantin laki-laki (suami) dengan pengantin perempuan (istri) yang sudah sah menjadi suami istri. Pada acara ini pihak pengantar pengantin laki-laki membacakan mantera (doa) dan pengantin suami istri setelah jabat tangan dengan ibu jari tangan bertemu kemudian biasanya kedua belah pihak masing-masing menggunakan cara dan taktik yang antara lain memegang anggota badan istrinya/suaminya dengan harapan istrinya tidak cepat layu atau tua, dan juga pada pertemuan kedua ibu jari tangan masing-masing berusaha tangannya lebih tinggi di atas dengan bermaksud siapa yang lebih tinggi dia akan menjadi pengendali dalam rumah tangganya. Ada pula memakai cara lain ialah menginjak kaki suami atau istrinya dengan harapan sama di atas.


Sesudah acara nipasikanti kedua pasang pengantin duduk di pelaminan yang selanjutnya oleh pihak pengantin laki-laki membaca sighat taklik atau berjanji dengan disaksikan oleh para keluarga dan undangan bahwa dia akan memperlakukan x istrinya dengan baik. Dalam acara ini juga seorang laki-laki setengah baya keluarga pihak laki-laki membawa dan menggendong 1 (satu) biji buah kelapa yang baru tumbuh dan biasa juga pohon rumbia yang baru tumbuh untuk diserahkan kepada keluarga pengantin perempuan dan selanjutnya diganti dengan sebuah sarung palaikat. Kelapa atau rumbia ini disebut sompa. Pada acara ini oleh protocol mempersilahkan wakil orang tua kedua mempelai untuk membawakan sepatah kata (selamat datang dan terima kasih dan selanjutnya nasehat perkawinan yang dibawakan oleh seorang ustadz).




VI. Nibungkes

Pada fase ini oleh kedua mempelai mandi bersama di rumah orang tua perempuan di sekitar posiq arriang (sokonguru). Acara ini dilaksanakan sesudah acara akad nikah atau sebelum resepsi. Pelaksanaannya sangat unik karena pada waktu akan mandi perempuan duduk di talutang (sejenis) alat tenun) dan sang laki-laki di atas anjoro timpoa (setandan kepala) yang. dihiasi dengan daun nyiur dan burobe. Selesai acara ini berarti selesailah seluruh rangkaian acara perkawinan itu dan keduanya (suami-istri) yang baru itu telah siap membina dan melayarkan bahtera rumah tangga. Air mandinya ditempatkan pada sebuah tempat air yang disebut katoaang yakni baskom yang terbuat dari tanah liat, air dicampur dengan bunga bungaan yang harum, daun pandang, burobe (bunga kelapa) dengan dipagari oleh daun nyiur yang muda.




VII. Nitindor (Arak) atau Nilekka

Pada fase ini pengantin laki-laki nitindor (diarak) ke rumah mempelai perempuan dengan memakai pakaian kebesaran sesuai dengan tingkat stratifikasi sosial kemasyarakatan. Kaum kerabat dengan berjalan kaki diantar oleh keluarga dan handai taulan menuju rumah pengantin perempuan. Seperangkat bawaan sesuai dengan kebiasaan seperti: minyak kelapa 1 (satu) belek, minyak tanah 1 (satu) belek, kande nikka (makanan kawin), beberapa buah sitto, anjoro tuo (cikal), bua loa (sejumlah uang), balla-balla, erang-erang dan hewan/kerbau atau sapi atau beras ikut diarak. Untuk menyemarakkan tolekka (arak arakan) ini, sekelompok parrawana (penabuh rebana) beraksi sepanjang jalan, bermula dari rumah pengantin laki-laki sampai ke rumah pengantin perempuan. Semua bawaan diantar oleh gadis-gadis dan pemuda/pemudi dengan berpakaian adat Mandar. Tiba di rumah pengantin perempuan, pengantin laki laki dan rombongannya dijemput dengan meriah dan penuh kehormatan dari pihak keluarga perempuan. Setelah rombongan pengantin laki-laki tiba di pekarangan rumah, saat itu dua orang keluarga pihak perempuan datang menjemput dengan membawa selembar sarung sutera sambil dipasangkan pada pengantin laki-laki seraya mengucapkan kata mempersilahkan masuk ke dalam rumah dengan segala kehormatan. Begitu pengantin laki-laki naik ke tangga atau memasuki rumah, maka semburan beras dari seorang wanita tua akan menjemputnya pula, dan di pintu masuk ruangan sang pengantin diharuskan 1. menginjak sebuah kapak dan daun rappa yang sudah disiapkan sebelumnya dan meminum seteguk air dari sebuah cerek yang disodorkan oleh seorang wanita tua yang telah menunggunya. Selanjutnya pengantin langsung duduk di ruangan depan rumah, kemudian disusul oleh rombongan pattindor beserta bawaannya. Pada masa lalu acara ini dilaksanakan pada waktu sore. Akan tetapi pada masa sekarang ini pelaksanaannya digabung dengan acara mallattigi, dan dilanjutkan dengan akad nikah.


Dalam acara ini para undangan yang hadir utamanya kaum keluarga membawa bingkisan berupa apa saja sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik berupa bahan pakaian, bahan makanan ataupun berupa uang. Yang tidak sempat pada kesempatan pertama itu kaum wanitanya datang menyusul sesudah acara akad nikah tersebut pada waktu sore atau malam hari. Hal seperti itu disebut "Massoloq" atau "Massanganaq" (mempererat tali kekeluargaan dan kekerabatan).



VIII. Marola atau Meondo' (berkunjung)

Pengantin perempuan berkunjung ke rumah orang tua pengantin laki-laki ditemani oleh sambainena (para sahabatnya) dan diantar oleh beberapa wanita dewasa dan tua. Acara ini dianggap sebagai penerimaan resmi antara mertua dengan menantu. Pada acara meondo' kedua pengantin duduk di tempat pelaminan dan oleh seorang perempuan tua atau indo botting melakukan acara nisipopo makan makanan manis (makan beras pulut dan minum palopo) seperti biasanya dilaksanakan pada waktu sore atau malam hari. Dalam kesempatan ini sang pengantin atau menantu menerima bingkisan dari mertuanya sesuai dengan kadar kemampuannya. Ada yang berupa pakaian, ada berupa emas atau perhiasan, ada pula berupa pohon dan bahkan ada pula berupa tanah pertanian, dan lain-lain. Selanjutnya kegiatan marola ini dilanjutkan kepada semua keluarga terdekat pihak laki-laki utamanya paman dan bibinya.


IX. Acara Nipasisakka

Di dalam perkawinan adat Mamuju Mandar ada suatu acara namanya nipasisakka yaitu para keluarga kedua mempelai datang berkumpul di rumah orang tua mempelai perempuan. Acara nipasisakka hampir mirip dengan kucing-kucingan dilaksanakan satu atau perkawinan selesai. dua malam, sesudah resepsi.


Setelah para keluarga yang terdiri dari orang tua, laki laki dan perempuan berkumpul duduk bersila pada suatu ruangan tamu besar dengan membuat lingkaran besar, maka pengantin perempuan yang biasanya didampingi oleh dua (2) orang sahabatnya muncul di tengah kerumunan keluarga yang ketiga-tiganya memakai dua buah sarung dengan kepalanya dibungkus, lucunya lagi sarung yang dipakai ketiganya sama sama warnanya sehingga bagi pengantin laki-laki sulit memburu dan menangkap isterinya. Setelah itu jika sudah bisa ditangkap pengantin perempuan tidak bisa langsung menyerahkan diri kepada suaminya karena merasa malu dan mempersenjatai dirinya dengan peniti dan barang tajam lainnya, hal ini disebut Maraju. Keadaan Maraju biasanya berlangsung 1 sampai 2 minggu.


Dampak dari keadaan ini tangan pengantin laki-laki penuh tusukan peniti yang mengakibatkan luka dan berdarah. Tapi pada akhirnya pengantin wanita menyerah dan kedua pengantin menikmati malam pertama nya.


Sumber: 

Selayang pandang sejarah adat kabupaten Mamuju. Oleh, Drs. H. Ince Abd. Rachman Thahir, MPA. (Alm). 2004.

Sabtu, 09 Oktober 2021

Si Cantik Samindara - Cerita Rakyat Mamuju


Dahulu kala ada empat orang bersaudara, satu orang tinggal di tempat arah terbitnya matahari yang satunya lagi tinggal ditempat arah terbenamnya matahari, sedangkan yang duanya lagi tinggal di sebuah tempat bernama Rante Kamande. Yang menetap di tempat arah terbitnya matahari mempunyai satu orang anak perempuan bernama Icci Elari Bittoeng, sedangkan yang tinggal menetap diarah matahari terbenam mempunyai satu orang anak perempuan bernama Inae Kaca Kamummu. Yang menetap di Rante Kamande saudara yang satunya mempunyai anak perempuan yang bernama Samindara dan yang satunya lagi punya anak laki-laki yang bernama Kunjung Barani.

Setelah Kunjung Barani dan Samindara telah berumur dewasa, Kunjung Barani suatu hari datang ketempat bermain bola raga dekat dengan rumah bibinya untuk bermain sepak raga. Dan suatu kejadian Kunjung Barani tidak sengaja menendang bola raganya kuat kuat dan melambung tinggi keatas langit namun naas bola raga itu jatuh diatas atap rumah Samindara, dan kebetulan memang Samindara ada di dalam rumanya dan mengambil bola tersebut dengan memanjat ke atap rumahnya lalu dilemparkannya kebawah. Karena memang sebelumnya Samindara tidak mau dilihat oleh laki laki manapun tapi disaat akan melemparkan bola raga tersebut maka terlihatlah tangannya oleh oleh Kunjung Barani.

Begitu setelah melihat tangan Samindara, Kunjung Barani langsung mendatangi rumah bibinya dan berkata “ Bibi aku melihat tangan seorang gadis tadi saat melemparkan bola ragaku, apakah bibi ada tinggal bersama seorang perempuan ?” Bibinya lantas menjawab” Ooh itu bukan perempuan siapa-siapa melainkan dia adalah sepupumu sendiri” jawab bibinnya, mendengar itu Kunjung Barani langsung diam dan berbalik badan pulang kerumahnya. Kunjung Barani yang baru tahu ternyata punya saudara sepupu seorang perempuan, membuatnya berfikir dan jadi penasaran bagaimana rupa sepupunya Samindara yang baru dia ketahui. Maka pada keesokan harinya Kunjung Barani mendatangi rumah bibinya dari arah belakang mencoba mengetahui bagaimana rupa Samindara, dengan mengintip dari balik celah didnding rumah bibinya yang ada, maka dilihatlah rupa Samindara yang ternyata sangat cantik menawan hati Kunjung Barani.
 
Gambar ilustrasi: Samindara

Setelah berhari hari lamanya Kunjung Barani semakin penasaran dengan Samindara saudara sepupunya sendiri, sampai sampai Kunjung Barani sering lupa makan dan mandi hanya karena memikirkan kecantikan Samindara. Pada suatu hari ibu Kunjung Barani memperhatikan tingkah laku anaknya yang mulai aneh tersebut, dan ibunya lantas bertanya padanya” Apa yang membuat kamu setiap hari hanya melamun terus sampai lupa makan dan mandi ?” dan mendengar pertanyaan ibunya Kunjung Barani kemudian menceritakan apa yang terjadi dengannya. Kemudian Kunjung Barani dengan spontan mengatakan akan melamar Samindara saudara sepupunya sendiri ”saya mau melamar Samindara” katanya. Singkat cerita diutuslah Lapadai salah seorang kerabatnya untuk melamar Samindara. 

Maka berangkatlah Lapadai untuk melamar Samindara dirumahnya, namun dalam perjalanan sebelum sampai kerumah Samindara, Lapadai menemukan Samindara sedang asyik bermain main di halaman rumahnya. Setibanya di dalam rumah Samindara bertanya kepada Lapadai “Apa tujuan Lapadai berkunjung kerumahnya, Lapadai tanpa basa basi segera menyampaikan apa yang menjadi tujuannya datang kerumah Samindara dan menjawab ”aku diutus untuk menyampaikan niat Kunjung Barani untuk melamarmu”. Samindara kaget dan langsung menjawab “Saya tidak menerima lamaran itu, saya tidak suka laki laki yang lidanya seperti pisang dan suka menyabung ayam !!” kata Samindara dengan nada keras. Samindara kemudian berkata lagi ”Bawalah kembali seserahan lamaranmu, kalau tidak aku akan lemparkan kesungai Tambayako” katanya dengan marah.

Lapadai pun terpaksa pulang dengan tangan hampa bahkan harus menerima cacian samindara. Dan sesampai dirumah Kunjung Barani bertanya pada Lapadai “Apakah lamaranku diterima ?” Lapadai menjawab “ditolak dan kita bahkan dihina oleh Samindara” mendengar itu Kunjung Berani sangat kecewa dan patah semangat. Melihat anaknya yang sangat kecewa sang ibupun berusaha menghibur hati Kunjung Barani yang gundah gulana, si ibu kemudian berkata “ kamu tidak usah kecewa dengan penolakan lamaran itu, masih ada perempuan yang pasti mau menerimanya jadi suami,maka ibunya pun mengatakan kalau masih ada anak saudaranya yang lain mungkin menerima lamaran Kunjung Barani. Sang ibu kemudian menunjukkan anak saudaranya yang tinggal disebuah tempat arah matahari terbit yang juga sepupu sekalinya bernama Icci Elari Bittoeng yang kecantikannya hampir sama dengan kecantikan Samindara. Namun Kunjung Barani menolak tawaran sang ibu dan beranjak tidur. Dalam tidurnya Kunjung Barani bermimpi melihat seorang anak yang bermain gasing dibawah kolong rumahnya, lalu anak itu kemudian berkata “Pergilah temui seorang kakek di Toraja, kamu akan melewati tujuh gunung, tujuh lembah dan kamu akan menemukan rumah Kakek itu” kata anak itu dalam mimpinya.

Tidak lama kemudian Kunjung Barani lantas menyuruh kerabatnya Lapadai untuk mendatangi Kakek tersebut sesuai yang ada di mimpinya, dan sampailah Lapadai dirumah Kakek itu di Toraja dan Lapadai disambut dengan sangat ramah oleh tuan rumah, berturut turut dari dalam ruang tengah rumah Kakek itu muncul istri – istrinya ke tujuh orang dan terakhir sang Kakek yang keluar dari ruang tengah rumahnya. Kakek tersebut kemudian bertanya kepada Lapadai apa maksud tujuannya datang kerumahnya, Lapadai kemudian menjawab “Saya hanya suruhan seseorang yang ingin belajar ilmu memikat perempuan yang telah menolaknya untuk dijadikan istri” jawab Lapadai dengan singkat. Si Kakek pun menjawab” ohh ,.. kalau itu bisa tapi ada syaratnya yang harus terpenuhi dan itu sangat berat”. Lapadai kemudian bertanya lagi “Apa syaratnya kek?”, Kakek kemudian menjelaskan “ Syaratnya 40 ekor kerbau beserta orang yang menarik masing masing kerbaunya, kerbau itu harus berbulu jarum emas, telinganya sepanjang lengan dan pinang yang dipanjat dengan cara membelakang dan buahnya di iris dengan telapak tangan.

Kakek itu kemudian pergi menuju kehalaman belakang rumahnya untuk memanjatkan buah pinang dengan cara memanjat terbalik dan mengambil tiga buah pinang dan memberikan kepada Lapadai dan sambil berpesan “Apabila Kunjung Barani mendatangi rumah Samindara dan mendapati Samindara dalam keadaan tertidur, maka bawalah kerbau kerbau itu dan kemudian kerbau itu di adu agar membuat keributan, maka setelah Samindara terbangun dari tidurnya, timang timanglah buah pinang ini agar dilihat oleh Samindara. Dan singkat cerita semua yang dipesan oleh Kakek itu terjadi juga dan dilakukan Kunjung Barani. Samindara yang sudah terbangun oleh ributnya suara kerbau yang beradu kemudian melihat Lapadai menggendong buah pinang itu dan Samindara lantas meminta buah itu namun Lapadai tidak memberikannya. Karena berulang ulang Samindara meminta buah pinang itu maka Lapadaipun memberinya sedikit lalu Lapadai hendak kembali pulang, disaat akan pulang itu tiba tiba Samindara berpesan “Besok pagi saya akan kerumah Kunjung Barani dan bersama –sama akan pergi ke sebuah pulau bernama pulau Sabakkatan” itulah pesan Samindara kepada Lapadai. Mendengar itu Lapadai segera pulang dan menemui Kunjung Barani dirumahnya dan menyampaikan pesan dari Samindara. Setelah mendapat pesan dari Lapadai maka Kunjung Barani segera membuat kamar yang berjumlah tujuh kamar.

Keesokan harinya Samindara benar-benar daatang kerumah Kunjung Barani diantar 80 orang dari kerabatnya. Sesampainya kerumah Kunjung Barani ia kemudian mengetuk pintu lalu berkata “Saya mau masuk kerumahmu untuk mendapatkan air untuk diminum”. Tapi Kunjung Barani tidak mau membukakan pintu rumahnya, tapi pintu rumahnya didobrak paksa sampai terbuka sampai ketujuh lapis kamar yang dibuat sebelumnya untuk menemui Kunjung Barani dikamar paling ujung. Setelah sampai kekamar Kunjung Barani ternyata sedang tidur, dan Samindarapun ikut tidur disamping Kunjung Barani..... (bersambung)