Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 Mei 2018

Melacak Jejak Sejarah Pelabuhan Passokkoran

“…..Beru-beru di Mapilli,bungatanjong di Buku,allappasannapandeng di Tomadio….”
Jauh sebelum kedatangan bangsawan Gowa, Karaeng Toa atau Andi Masseua didaerah Buku tahun 1804. Buku pada abad pertengahan masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Passokkorang yang pusat pemerintahannya disekitar tepi sungai Maloso (Sekarang Kecamatan Mapilli), dimana wilayah kekuasaannya dikenal dengan sebutan Tallu Boccoe (Mapilli, Tomadio, dan Buku), hal ini dibuktikan dengan penggalan lirik lagu di atas.
Ketika seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Passokkorang dihancurkan oleh Kerajaan Balanipa sekitar abad 16 M, rakyat Passokkorang di wilayah Tallum Boccoe diusir dari daerahnya masing-masing. Buku yang kala itu merupakan pusat pelabuhan Kerajaan Passokkorang dan termasuk daerah yang ramai permukiman warga, dibumi hanguskan oleh Kerajaan Balanipa dan sekutunya. Semenjak itulah Buku menjadi kota mati hingga kelak dikemudian hari ditemukan kembali oleh Karaeng  Toa dari Gowa.
Passokkorang pada masanya termasuk salah satu kerajaan besar yang disegani dan ditakuti banyak kerajaan di tanah Mandar, termasuk Kerajaan Balanipa. Kebesaran kerajaan ini terletak pada kekuatan ekonomi, politik, dan strategi perang yang canggih, terutama pada rajanya yang dihormati oleh rakyatnya.
Kekuatan ekonomi dan politik Passokkorang ini terimpresi dalam wujud kerajaan maritim yang mengendalikan jalur perdagangan laut di Mandar sebelum kerajaan Balanipa transmutasi menjadi kerajaan maritim (dulu kerajaan agraris), bahkan sebelum Kerajaan Gowa juga menjadi kerajaan Maritim di Somba Opu pada abad 16 M. Kalau penulisan sejarah selama ini menganggap Kerajaan Gowa satu-satunyakerajaan maritim terbesar setelah runtuhnya Majapahit di pulau Jawa, maka hal itu dapat ditampik dengan bukti arkeologi buatan bangsa Cina yang banyak ditemukan di daerah Buku sekitar tahun 1960-70-an.
 Benda arkeologi atau porselin yang dimaksud itu berupa keramik, guci, mahkota dan sebagainya, yang disinyalir benda arkeologi tersebut adalah buatan pada masa Dinasti Tang (abad 7-10 M), Dinasti Song (abad 10-13 M), Dinasti Yuan (abad 13-14 M), dan Dinasti Ming (abad 14-17 M) di Cina. Penemuan benda-benda arkeologi ini setidaknya dapat meneguhkan rasio kita bahwa pada abad pertengahan di wilayah ini terdapat kerajaan maritim yang menjalin kontak dagang dengan kerajaan-kerajaan besar di negeri Cina. Dalam penelitian Anthony Reid di bukunya “Asia Tenggara DalamKurunNiaga 1450-1680”, menyebutkan bahwa perdagangan porselin lebih dominan dilakukan oleh pedagang-pedagang dari Cina di Nusantara.
Akan tetapi, jika menelusuri jejak pelabuhan Passokkorang di Buku dengan menggunakan pendekatan literatur-literatur sejarah mapan dan mainstream yang banyak ditulis oleh para sejarawan seperti misalnya karya monumental Tome Pires, Suma Oriental, maka tentu hasilnya adalah nihil. Bahkan dengan pendekatan ini, mustahil kita akan menemukan sebuah peta jalur perdagangan yang mengarah pada kawasan teluk Mandar, tepatnya di daerah Buku.
Namun sekali lagi, hasil penemuan benda-benda arkeologi sekiranya sudah geliat membuktikan keberadaan pelabuhan di Buku, dengan disertai kondisi ekologi yang tepat sebagaimana pendapat teoritis dari Adrian B. Lapian dalam bukunya, “Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke 16-17”. Menurutnya, bukti keberadaan sebuah pelabuhan terletak pada faktor ekologinya yang normal dimana kapal berlabu dengan aman, terlindung dari ombak besar, angin, dan arus yang kuat, serta tempat yang paling baik untuk berlabuh adalah pada sebuah sungai, agak jauh kedalam.
Teori Adrian B. Lapian di atas sepertinya suitabledengan kondisi ekologi Buku yang memang memiliki volume angin dan ombak yang sedang, tidak keras, serta keberadaan sungai Maloso (Mapilli) yang berbadan lebar dapat dijadikan tempat berlabu kapal-kapal besar. Selain pendekatan teoritis, bukti lain yang menguatkan keberadaan pelabuhan di Buku adalah adanya memori kolektif berupa sejarah lisan (oral history)masyarakat setempat tentang kapal-kapal besar yang sandar di bibir pantai buku sekitar tahun 1960-an.
Sungai Maloso pada awal abad 20 juga masih digunakan sebagai sarana lalu-lintas kapal-kapal besar. Pada masa ini juga pelabuhan di Buku dikenal dengan sebutan “Gudang”, yaitu tempat penyimpanan kopra yang akan dijual ke Makassar, Kalimantan dan Jawa. Kapal-kapal besar pada masa itu silih berganti datang mengangkut kopra-kopra yang telah tersedia di Gudang. Bahkan sebelum alat transportasi darat mulai marak muncul, masyarakat Mandar banyak menggunakan kapal yang tersedia di pelabuhan Buku untuk menuju ke Makassar dan daerah-daerah lainnya.
Jadi dapat dipastikan bahwa pelabuhan Kerajaan Passokkorang di Buku sebagai pusat perdagangan yang ramai didatangi oleh pedagang-pedagang dari Cina. Kontak dagang ini menjadikan Passokkorang sebagai kerajaan maritim terbesar yang dalam teks sejarah Mandar kebesarannya memang diakui oleh kerajaan-kerajaan lain di tanah Mandar. Mungkin atas kebesarannya itulah menjadi alasan atau motif politik oleh Kerajaan Balanipa dan sekutunya untuk menyerang dan menghancurkan Kerajaan Passokkorang.
Sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan, daerah Buku menjadi permukiman yang padat penduduk dan masyarakatnya masuk dalam kategori strata sosial dan ekonomi yang cukuptinggi, sebab barang-barang yang diperdagangkan oleh bangsa Cina pada masa itu tidak mudah dijangkau oleh masyarakat secara umum. Barang-barang impor dari Cina ini, di mata masyarakat Buku nampaknya diperlakukan begitu istimewa, karena dikubur bersama dengan jasad orang mati. Disini terlihat adanya pengaruh budaya Cina terhadap masyarakat Buku sangat kuat.
Tradisi menguburkan barang-barang berharga bersama jasad manusia bukanlah khas tradisi Indonesia, melainkan tradisi bangsa Cina. Tradisi ini lahir dari proses interaksi perdagangan ekonomi yang berumur lama, sehingga tak pelak pengaruhnya sampai pada hal ihwal kematian. Padahal sebelumnya tradisi kematian bagi orang-orang di Mandar tidak bersifat materialistik, yakni dengan tidak membawa barang-barang yang tergolong istimewa ke alam kubur.
Demikian halnya disebutkan dalambuku The Bugiskarya Christian Pelras, bahwa mayat orang-orang Bugis biasanya dikremasi dan abunya disimpan di dalam guci kemudian dikubur bersama porselin serta barang-barang berharga lain milik orang mati tersebut.
Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan tidak berfungsinya pelabuhan di Buku. Pertama, faktor politik; penghancuran dan penguasaan oleh Kerajaan Balanipa terhadap Passokkorang dimotivasi oleh kepentingan politik untuk menguasai jalur perdagangan di wilayah bagian Barat Sulawesi. Kedua, faktor ekologi; faktor ini tidak semata-mata penyebabutan alam, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor politik, yaitu pasca penghancuran Passokkorang, Buku menjadi kota mati hingga menyebabkan sungai maloso tak terawat yang pada akhirnya mengalami pendangkalan karena endapan tanah semakin meninggi serta bibir pantai Buku mulai ditumbui banyak bebatuan.  
Kini pelabuhan di Buku telah tiada dan muara sungai Maloso lama telah lama tertimbung tanah, akan tetapi bekas sungai Maloso ini masih dapat diidentifikasi dengan jelas meskipun sudah ditumbuhi banyak pohon rumbiah, pohon kelapa dan coklat milik petani. Menurut penuturan masyarakat setempat, terakhir kali sungai ini berfungsi sebagai jalur perdagangan sekitar abad 19 M. Namun masyarakat tidak mengetahui dengan pasti kapan sungai ini mulai tidak berfungsi. Sebagian masyarakat juga mengungkapkan bahwa sungai ini lambat laun mulai ditinggalkan oleh masyarakat ketika sungai Maloso yang hilirnya ke wilayah Buku bagian Barat yang berdekatan dengan daerah Garassi (bandingkan dengan Gresik di Jawa) dan Mampie (sekarang) mulai melebar dan membesar. Penting untuk diketahui bahwa sungai ini dulunya hanya sebagai saluran air (irigasi) yang digali oleh masyarakat untuk mengairi sawah-sawah mereka.
Membesarnya irigasi ini mungkin karena faktor tanah yang terbilang labil dan lebih didominasi oleh pasir. Orang tua penulis masih ingat jelas waktu masih kecil, katanya, seringkali melintasi irigasi ini hanya dengan melompat. Jadi, matinya alur sungai Maloso di Campalagian dan Buku kemungkinan besar disebabkan semakin melebarnya dan membesarnya arus air pada irigasi tersebut.
Sungaimati yang disebutkan di atas, sekarang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Lembang, dikedalaman 50-100 meter masih terdapat pasir-pasir yang membuktikan kalau Lembang dulunya adalah sungai besar dan salah satu pusat peradaban yang ada di tanah Mandar. Masyarakat sekitar banyak yang memanfaatkan pasirnya untuk keperluan pembangunan. Temuan lain yang lagi-lagi membuktikan secara gamblang, yakni adanya tanah galian untuk pencarian benda-benda arkeologi di sepanjang tepi sungai ini, tepat berada di Dusun Para’baya dan Belulu. 
Referensi
Adrian B. Lapian, PelayarandanPerniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17, Cet; I (Komunitas Bambu: Depok, 2008)
Anthony Reid, Asia Tenggara DalamKurunNiaga 1450-1680, Cet; I (YayasanObor Indonesia: Jakarta, 1992)
ChristianPelras, The Bugis, terj. ManusiaBugis, Cet. I, (Nalar: Jakarta, 2006)
Darmawan Mas’ud, Puang dan Daeng: Kajian Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar, Cet. I, (Yayasan Menara Ilmudan Zadahaniva Publishing: Makassar dan Surakarta, 2014)
Mattulada, MenyusuriJejak Kehadiran Makassar DalamSejarah, Cet; II (Ombak: Yogyakarta, 2011)
H.M. Tanawali Azis Syah, Sejarah Mandar: Polewali, Majene, dan Mamuju, Jilid I, II, dan III (Ujung Pandang: Yayasan al-Azis, 1998)
Mawardi Dumair Kasim, Bunga Rampai Litaq Mandar, 2004.
Wawancara dengan Ibu Saturi
Wawancara dengan Djamaluddin
Wawancara dengan Kaco. H
Oleh: SuardiKaco. H

Jumat, 02 Maret 2018

Sejarah Awal Masuknya Islam di Mamuju


Kabupaten Mamuju terdapat beberapa agama dan aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya seperti agama : Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik, Konghuchu, dan lain sebagainya, keberagaman  ini dimungkinan karena Kabupaten Mamuju berada pada posisi perlintasan jalur darat maupun laut sehingga kawasan ini merupakan spot pertemuan berbagai agama, suku bangsa dan kebudayaan seperti dari jalur darat antara Manado, Palu dan Makassar, sedangkan jalur laut dari Samarinda, Balikpapan (Kalimantan Timur) Manado (Sulawesi Utara), Bali, NTB dan Maluku.

Agama Islam adalah agama mayoritas penduduknya  adalah dengan jumlah sekitar 222.396, Jiwa, Kristen Protestan 25.267, Katholik 2.368 , Hindu 2.375, Budha 104. Dengan ditunjang tempat peribadatan dalam menjalankan kegiatan-kegiatan keagamaan masing-masing telah terbangun tempat peribadatan yang keseluruhan dari agama yang ada di kabupaten Mamuju adalah seperti Masjid yang ada di kabupaten Mamuju sekitar 482 buah, Mushollah 82, Gereja 179 dan Pura 17 serta 1 buah Wihara. [1

Khusus Agama Islam, dipercaya telah berkembang di Mamuju sekitar abad ke- 17 Masehi, dengan berdirinya beberapa mesjid tertua seperti yang ada di Kecamatan Mamuju kelurahan Binanga yaitu masjid Nurul Muttahida yang dulunya bernama masjid Kayu langka sesuai dengan namanya lokasi masjid ini yaitu berada di lingkungan Kayu Langka, masjid ini diperkirakan berdiri pada tahun 1928, yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat Kasiwa, kemudian pada tahun 1936, oleh K.H Muhammad Thahir (Annangurutta’ Imam lapeo) masjid tersebut dilakukan penentuan arah kiblat dan beberapa kali pemugaran dan perluasan areal masjid.


Masjid Kajulangka
Mesjid Kayulangka



Tahun 1951 diadakan perbaikan kembali yang pelopori oleh beberapa tokoh masyarakat kasiwa dan kayu langka yaitu Mansyur Anwar, Padjallo, Salima, Abd. Rasyid dan Nurdin Dg Gassing. Pada tahun 1957 bangunan ini pernah terbengkalai karena ditinggalkan oleh masyarakat Mamuju yang mengungsi meninggalkan kampung halamannya karena kekacauan yang terjadi akibat pemberontakan DI/TII pimpinan Abdul Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan yang saat itu membakar habis seluruh bangunan-bangunan rumah, pasar-pasar, gudang dan istana kerajaan Mamuju semuanya habis terbakar kecuali bangunan Masjid ini. 

Adapula yang menduga bahwa masuknya Islam di Mamuju diperkirakan dibawa oleh seorang penyiar Islam bernama Puatta Karama,(belum ada sumber yang menguatkan pendapat tersebut sehingga kami juga belum bisa menjadikan sumber penulisan disini - Red). Sebenarnya dari awal sejarah masuknya Islam ke Sulawesi sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-15 Masehi antara tahun 1465-1485, Sulawesi Selatan sebagai daerah maritim sangat memungkinkan masuk Islam bersamaan dengan masuknya Islam di daerah-daerah pesisir lainnya, mengingat letak gorgrafisnya termasuk jalur perdagangan.


Mengenai masuknya Islam pertama kali di daerah Mandar terdapat tiga pendapat seperti berikut :
1. Menurut Lontara Balanipa, masuknya Islam di Mandar dipelopori oleh Abdurrahim Kamaluddin yang juga dikenal sebagai Tosalamaq Dibinuang. Ia mendarat di pantai Tammangalle Balanipa. Orang pertama ialah Kanne Cunang Maraqdia ‘Raja’ Pallis, kemudian Kakanna I Pattang Daetta Tommuane, raja Balanipa ke-4. 
2. Menurut Lontara Gowa, masuknya Islam di Mandar dibawa oleh Tuanta Syekh Yusuf (Tuanta Salamaka).
3. Menurut salah sebuah surat dari Mekah, masuknya Islam di Sulawesi (Mandar) dibawa oleh Sayid Al-Adiy bergelar Guru Ga’de berasal dari Arab keturunan Malik Ibrahim dari Jawa. 

Pendapat yang kedua diatas secara tidak langsung ditolak oleh Dr. Abu Hamid yang dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa Syekh Yusuf Tuanta Salamaka tidak pernah kembali ke Sulawesi Selatan sejak kepergiannya ke Pulau Jawa sampai dibuang ke Kolombo Srilanka, kemudian ke Afrika Selatan dan meninggal di sana. Diperkirakan agama Islam masuk ke daerah Mandar berlangsung dalam abad-16. Tersebutlah para pelopor yang membawa dan menyebarkan Islam di Mandar yaitu Syekh Abdul Mannan (Tosalamaq Disalabose), Sayid Al-Adiy, Abdurrahim Kamaluddin, Kapuang Jawa (R.M Suryodilogo) dan Sayid Zakariah.  

Syekh Abdul Mannang bergelar Tosalama di salabose, pembawa dan penganjur Islam pertama masuk diwilayah Kerajaan Banggae, diperkirakan pada abad ke- 16. Pada masa itu yang menjadi raja Banggae adalah Tomatindo di Masigi putra Daetta Melattoq Putri Tomakaka/ Mara'dia Totoli, membangun dan menjadi imam pertama Masjid Salabose, Banggae. Makamnya terletak di arah utara, 500 meter dari Mesjid tersebut. Sayid Al-Adiy dimakamkan di Lambanan, Kec. Balanipa, Kab. Polman. Abdurrahim Kamaluddin adalah penganjur Islam di kerajaan Balanipa Mandar. Ada juga yang mengatakan bahwa dialah kemudian bergelar Tosalamaq Tuan di Binuang.

Islam masuk di kerajaan Pamboang, dibawa oleh Sayyid Zakariyah, di awal abad ke-17. Sayyid (Syekh) Zakariyah bergelar Puang Disomba berasal dari Magribi jazirah Arab. Raja Pamboang masa itu I Salarang I Daeng Mallari  atau digelar Tomatindo di Sambayanna  yang kawin dengan Puatta Boqdi putri raja Pamboang. Raja Pamboang, permaisuri dan seluruh warga istana semuanya masuk Islam. Sesudah meninggal raja Pamboang itu bergelar Tomatindo diagamana/ disambayanna yang bermakna orang yang meninggal dalam beribadah (sholat), Permaisurinya bergelar Tomecipo’ (Orang yang Bertelekung) atau orang yang memakai mukenah. Menurut Andi Syaiful Sinrang, Islam dibawa masuk pertama kali oleh I Salarang Tomatindo diagamana yang pernah menjadi Mara’dia Pamboang pada tahun 1608 dan telah menjalin hubungan persahabatan dengan Aji Makota Sultan Kutai VI (1545-1610), yang dibuktikan dengan adanya syair:
“...tenna diandi ada’na, nama’ anna’ jambatang, anna silosa, Kute anna Pamboang...”
Artinya; andaikata ada jalan akan kubuat jembatan agar tersambung  kutai dengan pamboang. Dan yang paling terkenal, syair lagu “Tengga-tenggang Lopi”, yang didalamnya mensiratkan orang Mandar tidak mau makan babi yang dihidangkan bangsawan di Kutai. 

Raden Mas Suryo Adilogo adalah panglima perang Kerajaan Islam Mataram pada masa raja Sultan Agung. Sebenarnya, kedatangan Raden Mas Suryo Adilogo ke Mandar itu karena malu kepada rajanya atas kegagalannya mengusir Belanda di Batavia pada 1628-1629. Pada saat lari inilah, ia kemudian memutuskan untuk mencari gurunya, Syekh Zakaria. Awalnya, ia ke Kalimantan, lalu ke Mamuju, dan akhirnya bertemu gurunya di Pamboang. Setelah menetap di Pamboang, Mara'dia Pamboang menikahkannya dengan salah seorang putrinya, Icci Puang. Ia meninggal di Galung-galung, Desa Lalampanua, Kecamatan Pamboang. 

Akselerasi proses awal islamisasi di Sulawesi Selatan sangat ditunjang dengan sistem pendekatan yang dilakukan oleh tiga orang tokoh penganjur Islam di daerah ini (Trio Datuk), masing-masing Datuk Patimang, Datuk ri Tiro dan Datuk ri Bandang. Mereka menerapkan pendekatan adaptasi struktural dan kultural yakni lewat jalur struktur birokrasi (raja) dan adat-istiadat serta tradisi masyarakat lokal. Menurut Taufik Abdullah, keharusan adaptasi kultural dan struktural semacam itu, merupakan hal yang wajar dalam proses akulturasi. Karena, makin besar rasa pengorbanan dari penerima maka seretlah proses itu berjalan. Sebaliknya, makin terasa persambungan dengan tradisi, makin lancar proses tersebut berjalan.

Dengan masuknya Islam raja Gowa, hasrat Datuk ri Bandang untuk mengembangkan Islam secara maluas ke seluruh kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan memperoleh peluang untuk terealisasikan. Datuk ri Bandang mengajurkan raja Gowa I Mangngarangi Daeng Manra’bia (Sultan Alauddin Tomenanga ri Gaunna) untuk mengajak raja-raja lain menerima agama Islam. Anjuran tersebut diterima baik oleh raja Gowa. Beliau mengirim surat ajakan disertai dengan hadiah berupa emas ke 20 kerajaan yang dianggap berpengaruh di Sulawesi Selatan pada waktu itu. 
Sementara itu di Mandar Islam diterima pertama sebagai agama resmi oleh Kerajaan Balanipa pada tahun 1615 bertepatan dengan masa pemerintahan raja Balanipa ke 4 bernama Daetta Tumuanne (Ahmad Rahman, 1990). Jadi masuknya Islam di Mamuju (Mandar) secara pasti diperkirakan pada akhir abad ke-16, sampai pada awal abad ke 17 M. Yang pada saat itu raja yang memerintah di Mamuju adalah I Salarang (La Salaga) dan kemudian diteruskan oleh keturunannya yaitu Tomatindo di Puasana.
Lambatnya pengaruh Islam di Mamuju ini disebabkan masih kuatnya pengaruh animisme di masyarakat Mamuju saat itu. Ini adalah fakta sejarah yang mengungkapkan bahwa masuknya Islam di pertama kali di Mamuju, bukan seperti yang dianggap oleh penulis sejarah yang lain bahwa Islam di bawa oleh para pedagang Melayu atau Arab secara langsung ke Mamuju.

Seperti halnya dengan kedatangan penyiar Islam dari tanah Minangkabau lainnya seperti Ince Mandacingi yang kawin dengan anak bangsawan di Mamuju, Jamarro Dg Macanning yang kemudian menurungkan gelar Pam Ince di kabupaten Mamuju ini diperkirakan pada tahun 1925 pada saat terjadinya gerakan perjuangan melalui organisasi-organisasi Islam Muhammadiyah dan Sarekat Dagang Islam di Mamuju yang terlebih dahulu telah datang di Sulawesi Tengah (Donggala) tahun 1912.

Kamis, 01 Maret 2018

Pue Tonileo dan Kehadiran Tomaka Botteng Di Mamuju

Pue Tonileo adalah Raja Mamuju yang bernama yang bertahta hanya dalam masa yang singkat antara 1700 sampai tahun 1709, setelah Maradika sebelumnya  wafat. Dalam masa jabatannya yang terbilang singkat itu ternyata kepemimpinan Pue Tonileo tidak disenangi oleh rakyatnya sendiri, sebagian ada yang menganggap hal itu terjadi karena cara memimpinnya yang kurang bijaksana sehingga banyak yang tidak senang,  dari kalangan kerabat dan saudaranya menentang dan ingin membunuh Pue Tonileo, pada akhirnya Pue Tonileo memilih untuk meletakkan jabatannya.

Dalam sumber cerita yang lain dianggap bahwa karena adanya perselisihan dengan saudara-sudaranya yang ingin menjadi raja di Mamuju sehingga menghasut rakyat untuk melawan, Pue Tonielo meninggalkan tahtanya disebabkan oleh perseteruan yang disebabkan oleh rasa iri dari saudara kandungnya sehingga terjadi konflik dan menyebabkan pemerintahan Pue Tonileo mengalami kemunduran dan tidak bisa memerintah dengan baik, Pue Tonielo pun memutuskan untuk meletakkan jabatan sebagai Maradika dan mengasingkan diri ke tanah Kaili (Sulawesi Tengah).

Keadaan Masyarakat Mamuju sepeninggal Pue Tonileo tidak lebih baik justru semakin terpuruk dan dalam kondisi yang memprihatinkan, terjadi kekacauan di dalam lingkungan istana bahkan masyarakat Mamuju saling memerangi dengan yang lain disebabkan tidak ada lagi pemimpin yang bisa memberikan solusi atas persoalan di dalam masyarakat itu sendiri. 

Singkat cerita akhirnya para golongan bangsawan dan tokoh tokoh adat mengadakan pertemuan atau musyawarah untuk mencari solusi atas kekosongan pemimpin (raja) di Mamuju dan disepakatilah untuk melibatkan dan meminta pendapat kerajaan Balanipa di Mandar yang juga sebagai pemimpin atau bapak persekutuan kerajaan-kerajaan Pitu Baqbana Binanga.

Disepakatilah oleh Arajang (Raja) Balanipa di Mandar untuk segera mengutus salah seorang bangsawan di kerajaan Balanipa untuk menjadi pengganti Pue Tonielo untuk sementara dan atas persetujuan anggota persekutuan kerajaan di Mandar saat itu sampai kondisi di lingkungan kerajaan Mamuju benar-benar kondusif, maka terpilihlah Pammarica atau Puang Marica yang ditunjuk sesuai keputusan Arajang Balanipa saat itu dan terlebih lagi melihat Pammarica adalah mantan raja Balanipa yang ke 12, cucu dari Maradia Daetta, Maradia ke 4 kerajaan Balanipa dan telah berpengalaman mengatur pemerintahan di kerajaan Balanipa sebelumnya.

Setelah melalui proses musyawarah dan di sepakatilah keputusan tersebut, Pammarica menerima keputusan tersebut dengan syarat agar disiapkan tanah dan rumah sebagai tempat tinggal di Mamuju dan dalam perjalan ke Mamuju harus dikawal oleh beberapa orang yang pemberani karena dianggap perjalanan ke Mamuju sangat berbahaya dan penuh dengan gangguan para perampok dan bajak laut sehingga di ambillah keputusan untuk melakukan perjalan darat ke Mamuju yang dianggap lebih aman dibanding perjalanan melalui laut. 

Maka diadakanlah perundingan untuk menentukan siapa yang menjadi pengantar Pammarica ke Mamuju, akan tetapi tidak ada satupun dari kalangan pemberani dan bangsawan di Balanipa yang mau mengawal perjalanannya, ini menandakan bahwa besarnya resiko melewati perbatasan menuju ke Mamuju. Arajang Balanipa akhirnya mengundang Tomakaka Rantebulawang, Tomakaka Mambi, Tomakaka Aralle, Rante Salubanua, Pamusuang, Salurindu, Botteng dan Ta’bang untuk dipilih sebagai pengawal dan perundingan itu dipimping oleh Tomakaka Aralle maka ditunjuklah Tomakaka Botteng dua orang sebagai wakil dari Toraja dan beberapa orang lainnya untuk jadi pengawal Pammarica ke Mamuju. 

Tomakaka Botteng inilah yang kelak menjadi cikal bakal nenek moyang penduduk di Mamuju yang sekarang mendiami suatu wilayah di Mamuju  di daerah Botteng. Jadi Botteng berasal dari kata Tobuttu atau orang-orang dari gunung, yang kemudian diberi kehormatan menjadi salah satu pemangku adat di kerajaan Mamuju.

Setibanya di Mamuju Pammarica disambut  dengan sukacita oleh rakyat Mamuju termasuk para pemangku adat kerajaan Mamuju di daerah perbukitan yang sekarang disebut Simbuang dan perjalanan menuju ke Sapo Kayyang (Istana) Mamuju di Pesisir Pantai di sebuah wilayah bernama Kasiwa, di pimpin oleh Tomakaka Sinyonyoi perjalanan pun dilanjutkan.

Dalam perjalanan itu rombongan kerajaan dan masyarakat yang menjemputnya tiba disuatu tempat di pesisir pantai yang disebut Bonepaas saat ini dan dibuatlah sebuah perjanjian (talliq) dengan Tomakaka Botteng bahwa mulai saat itu Tomakaka Botteng adalah bagian dari kerajaan Mamuju dan diberikan tanah mendiami wilayah Mamuju diatas gunung yang sekarang dikenal dengan nama Desa Botteng sampai ke anak cucunya dengan ditandai penanaman dua pohon kayu sebagai tanda persaudaraan Tomakaka Botteng di gunung dengan masyarakat Mamuju di pesisir.

Tak berselang lama Pammarica pun diangkat menjadi Maradika dan menempati tanah yang konon katanya disediakan oleh masyarakat Kasiwa, Pammarica adalah bangsawan Mandar pertama yang memerintah di kerajaan Mamuju, setelah berberapa bulan lamanya Pammarica menjadi Maradika di Mamuju keadaan di Mamuju tidak berubah sedikitpun bahkan semakin kacau, kehidupan semakin pailit, hasil panen dan hasil melaut justru semakin tidak mencukupi sehingga oleh orang Mamuju menamakan situasi tersebut dengan ma’barata semenjak Pue Tonileo meninggalkan masyarakatnya. Sehingga di syairkan dalam kehidupan masyarakat saat itu dengan ungkapan kehilangan yang cukup menyedihkan yaitu;
“Manu tammeciccoroko’, Bombang tammessamba’, Pa’lungang tammemmoni, Buakaju tammemburra’…
Artinya : Ayam tidak lagi berkokok, ombak tak lagi mengalung, lesung tak lagi berbunyi, Pohon tak lagi berbunga.

Dalam situasi yang tidak menentu ini Pammarica tidak sanggup melihat penderitaan di masyarakat yang semakin hari semakin terpuruk, maka di adakanlah pertemuan kembali untuk mencari jalan keluar dari persoalan-persoalan yang menimpa rakyat Mamuju saat itu. Maka berkumpullah para tetua adat dan bangsawan untuk duduk bersama mencari keputusan yang tepat sehingga di sepakatilah usulan untuk memanggil kembali Pue Tonileo yang dianggap memiliki kemampuan ghaib dan kesaktian untuk mengatasi segala kesulitan dan perpecahan dikalangan bangsawan dan masyarakat Mamuju.

Sampai diutuslah seseorang ke Kaili untuk menyampaikan maksud dari para tetua adat dikerajaan Mamuju agar Pue Tonileo kembali ke Mamuju menjadi Maradika seperti keinginan rakyatnya. Terjadi perbedaan versi cerita antara tokoh bangsawan, penutur sejarah dan sebagian masyarakat yang ada di Mamuju, adapula yang mengatakan bahwa Pue Tonileo tidak dimakamkan di Mamuju karena Pue Tonileo tidaklah meninggal di Mamuju melainkan di tanah Kaili (sulawesi tengah), dikarenakan Pue Tonileo tidak pernah datang kembali ke Mamuju setelah meletakkan jabatannya sebagai Maradika.

Kenapa ke Kaili, sebab Kaili pada saat itu adalah masih menjadi wilayah kerajaan Mamuju (Surumana-Donggala) Kaili merupakan wilayah taklukan kerajaan Mamuju. 

Minggu, 25 Februari 2018

Sekilas Sejarah Kelam DI/ TII Di Mamuju dan Mamasa.

Pemberontakan DI/TII yang melawan Pemerintah/Negara Kesatuan Republik Indonesia berdampak besar kepada rakyat Mamuju pada awal tahun 1950-an.  
DI atau Darul Islam yang artinya Rumah Islam atau Negara Islam. Pada mulanya DI dikenal sebagai DII (Darul Islam Indonesia) atau Negara Islam Indonesia (NII). Sebagai sebuah negara maka pencetusnya membentuk tentara negara yang disebut Tentara Islam Indonesia (TII). Dalam pemberontakannya gerakan separatis ini lebih populer dengan nama DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia).

Darul Islam adalah gerakan politik yang diproklamirkan pada tanggal, 7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, di desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kewedanaan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Selanjutnya dalam perkembangannya, DI menyebar hingga ke hampir seluruh wilayah Jawa Barat, wilayah perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah, terus ke Aceh yang dipimpin Daud Beureueh, Kalimantan Selatan dipimpin Ibnu Hadjar, Jawa Tengah dipimpin Amir Fatah dan Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzakkar. Tujuannya adalah menjadikan Indonesia sebagai negara Theokrasi dengan agama Islam sebagai Dasar Negara. Dalam proklamasinya : Hukum yang berlaku adalah Hukum Islam. Dalam UUD Negara Islam Indonesia, dinyatakan bahwa negara berdasarkan Islam. Hukum yang tertinggi adalah Al-Qur’an dan Hadits. Bagian dari proklamasi a.l. menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk memproduk undang-undang yang berlandaskan Syari’at Islam dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Qur’an dan Hadits Shahih yang mereka sebut hukum syariat Islam sesuai dalam Qur’an Surah 5, Al-Maidah ayat 50.

Dalam naskah Proklamasi Negara Islam Indonesia (Darul Islam Indonesia) hal itu nampak jelas seperti di bawah ini :

PROKLAMASI BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA
Asjhadu anla ilaha illallah wa ashadoe anna Moehammadar Rasoeloellah.
Kami Oemat Islam Bangsa Indonesia menjatakan :
Berdirinya “ NEGARA ISLAM INDONESIA”.
Maka hoekoem jang berlakoe atas Negara Islam Idonesia itoe ialah : HOEKOEM  ISLAM.
                                                Allahoe Akbar ! Allahoe Akbar!  Allahoe Akbar !

                        Atas nama Oemat Islam Bangsa Indonesia
  Imam Negara Islam Indonesia,
t.t.d.
                (S. M. KARTOSOEWIRJO)

                 Madinah Indonesia, 12 Sjawal 1368 / 7 Agoetoes 1949.

Di Sulawesi Selatan, pada masa revolusi fisik melawan Belanda terbentuk perlawanan rakyat dengan nama Kesatuan Gerilja Sulawesi Selatan (KGSS). Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pasukan gerilya ini statusnya tidak jelas. Pemerintah pusat membuat kebijakan untuk menampung pasukan gerilya semacam ini di seluruh wilayah Indonesia  dengan membentuk Corps Tjadangan Nasional (CTN) yang berfungsi untuk mobilisasi nasional yang terbentuk secara spontan, yang pada prinsipnya adalah kesukarelaan untuk membela negaranya.

Presiden Sukarno selanjutnya menugaskan putra asal Sulawesi Selatan, Letkol (Overste) Kahar Muzakkar untuk menangani KGSS agar ditampung dalam CTN. Setelah CTN terbentuk, Kahar mulai kecewa karena ia hanya diangkat menjadi wakil komandan CTN yang dipimpin oleh Kolonel Warrow asal Sulawesi Utara. Pimpinan TNI waktu itu Mayjen A.H. Nasution, merasionalisasi TNI karena jumlahnya terlampau banyak. Pasukan CTN yang terdiri atas rakyat sipil bersenjata eks gerilyawan zaman perjuangan kemerdekaan akan diterima menjadi anggota TNI setelah melalui seleksi. Pasukan CTN pimpinan Kahar Muzakkar banyak yang tidak lulus seleksi karena masalah pendidikan formal.  Kahar meminta kepada atasannya agar seluruh anggota CTN eks pasukan KGSS dimasukkan dalam TNI tanpa diseleksi dengan pertimbangan menghargai jasa mereka di zaman perjuangan kemerdekaan. Kahar ingin membentuk pasukan CTN ini dalam Brigade Hasanuddin yang akan dipimpinnya. Usulan Kahar tidak diterima oleh atasannya waktu itu, Letkol A. Kawilarang sebagai Panglima TNI/APRIS Territorium VII di Makassar. Penolakan ini membuat Kahar makin kecewa dan bersama ribuan anggota pasukannya meninggalkan markas mereka di Barakka pada tanggal 17 Agustus 1951 dan masuk hutan dengan membawa senjata yang lumayan banyak  dan selanjutnya memberontak melawan pemerintah pusat.

Seorang putra Mamasa yang menjadi anggota KGSS dan masuk CTN adalah Paulus Sila’ba, seorang pemuda asal Taora dan Efraim Tane’ dari Sodangan.
Pasukan CTN pimpinan Kahar yang masuk hutan pada mulanya merupakan perlawanan rakyat Sulsel kepada pemerintah pusat. Karena itu ketika berada dalam hutan, Kahar mengajak semua rakyat Sulawesi berjuang. Ajakan ini pernah ditujukan juga kepada Pendeta R.M. Thumo melalui Surat langsung dari Kahar. Surat ini dikemudian hari dibawa oleh de Jong ke Belanda. Paulus Sila’ba kemudian berjuang di daerah Mamuju bersama komandan pasukannya Pa’ Bicara Bulan asal Pattae’, yang dikemudian hari memimpin DI/TII di Mamuju.

Sebelum Paulus Sila’ba datang membentuk OPR Galumpang, rakyat Buntu Malangka’ berinisiatif membentuk Pasukan Kemanan  yang diberi nama PK (Penjaga Keamanan) Buntu Malangka’ dipimpin oleh Anton Pua’tipanna.
Tahun 1955 pasukan  PK Buntu Malangka’ menyerang pasukan DI/TII dengan hanya bersenjatakan tombak dan parang dipimpin oleh Fredrik Laka’.  Pasukan PK terdiri dari pemuda asal kampung Taora, Sumua’, Kayu Berang dan Salutambun. 

Suatu saat awal tahun 1955 Pasukan DI/TII dipimpin oleh Salo’do’ dalam perjalanan dari Mamuju dan singgah di Katimba. Pasukan DI/TII ini diserang jam 08.00 pagi oleh kurang lebih 500-an pasukan PK Buntu Malangka’ sambil berteriak. Ketika mereka menyerang, pasukan DI/TII menembaki mereka dengan persenjataan lengkap termasuk senjata otomatis Bren menyebabkan PK Buntu Malangka’ mengundurkan diri.
Tahun 1958 OPR terbentuk di Mambi. Di Buntu Malangka’ terbentuk OPR Kompi Aralle dipimpin olek Matius Sigalotang. Regu 2 dipimpin oleh Matius Makaringi’. Pasukan OPR dilatih oleh TNI dari Kodam IV Hasanuddin antara lain Sersan Markus asal Sindagamanik, Sersan Petrus asal Sumua’ dan Pilipus asal Taora.
Penyerangan ke-2 dilakukan tahun 1958 dengan menyergap pasukan DI/TII di kampung Palliabu, desa Malatiro. Pasukan DI/TII terbunuh 8 orang.


Dalam perjuangannya, Kahar kemudian berbalik haluan, tentara CTN-nya kemudian dijadikan Tentara Islam Indonesia (TII) Sulawesi untuk lebih mudah menarik simpati rakyat. Ia terus mencari dukungan dan berusaha menghubungi Kartosuwirjo di Jawa Barat. Secara de facto dan de jure pada bulan Januari 1952 Kahar Muzakkar bersama Kasso Abdul Gani mendeklarasikan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwirjo di Jawa Barat. Kartosuwirjo selanjutnya menunjuk Kahar sebagai panglima TII di Sulawesi. Beberapa Komandan ex-CTN tidak mau bergabung ke TII-nya Kahar a.l : Andi Selle (Pinrang/Polewali),  Andi Sose’(Enrekang/Tator), M. Daeng Sibali (Takalar). Namun pada saat Kahar Muzakkar dioperasi militer oleh TNI , Andi Sose dan Andi Selle sikapnya abu-abu karena menurut laporan intel militer kedua komandan pasukan ini memberi bantuan senjata dan amunisi kepada pasukan Kahar Muzakkar secara diam-diam.
Sejak saat itu mulailah pasukan DI/TII menekan kehidupan rakyat Mamasa, Tator, Galumpang, Polewali dan Seko. Banyak orang Kristen dan penganut aluktoyolo/ mappurondo dipaksa masuk Islam seperti di daerah Sabura’, daerah Batu-Pa’pandanan, Polewali, di Kalosi-Losi, Kurrak, Ulu Manda’, Daerah Suppiran dan beberapa kampung lainnya. Rakyat di daerah tersebut  selalu kontak dengan DI/TII karena daerahnya merupakan jalur operasi DI/TII. Jalur-jalur operasi DI/TII di sekitar Tator, Enrekang, Pinrang, Mamasa, Majene dan Mamuju antara lain :

(1) Palopo – Seko – Mangki – Mamuju.
(2) Mamuju–Aralle–Mambi Matangnga–Riso–Polewali–Pinrang.
(3) Mamuju – Aralle – Mambi – Matangnga – Polewali – Pinrang.
(4) Mamuju–Aralle–Mambi–Matangnga–Sumarorong–Messawa–  Suppiran –  Pinrang.
(5) Enrekang –Bau - Simbuang – Suppiran – Rayan - Pinrang.
(6) Riso – Messawa – Simbuang – Bau - Enrekang.
(7) Majene–Ulumanda’–Aralle–Mambi–Matangnga–Messawa–Suppiran – Enrekang.

Akibat gangguan pemberontakan DI/TII maka pemerintah RI memberlakukan SOB (Staat van Orlog Beleg) yaitu masa keadaan darurat perang. Untuk mengamankan Sulawesi Selatan pemerintah pusat mendatangkan pasukan dari Jawa antara lain dari Batalyon 422/Diponegoro,  Batalyon Poncowati, Pasukan Badak Hitam dari Aceh, Pasukan Tengkorak Putih  dari Batalyon Siliwangi dan  Batalyon  Bukit Barisan.

Di wilayah Komando Daerah Teritorium VII (Kodam  yang kemudian berubah menjadi Kodam XIV /Hasanuddin, lalu kembali menjadi Kodam VII/Wirabuana) ditempatkan Pasukan TNI antara lain Batalyon 710 dipimpin Andi Selle Mattola dengan wilayah Korem Pinrang, Polewali, Majene dan Mamuju. Batalyon 720 dipimpin Andi Sose dengan wilayah Korem Tator, Luwu dan Enrekang. Selanjutnya kedua Komandan Batalyon ini sangat berpengaruh dalam sejarah perjuangan rakyat Mamasa dan Tator antara tahun 1952 sampai dengan tahun 1964.

Kamis, 22 Februari 2018

Prajurit Itu Bernama Petrus Hendrikus Pulles

Pemuda itu bernama lengkap Coobler Petrus Hendrikus Pulles lahir di Waalwijk (Belanda)pada tanggal 11 Maret 1884 dan meninggal di Mamuju (Sulawesi Barat- Indonesia) pada tanggal 20 Agustus 1907. Dia adalah sorang putra dari pasangan Johannes Pulles dan Wilhelmina Hoppenbrouwers.

Berprofesi sebagai pembuat sepatu adalah sebuah profesi yang sudah umum dan menjadi kebanggan pemuda dikota Waalwijk kala itu. Waalwijk adalah sebuah kota yang cukup luas yang berada disebuah wilayah Langstraat Provinsi North Barabant wilayah bagian utara Kerajaan Belanda yang memang sudah terkenal  berabad-abad lalu sebagai pusat pembuatan sepatu di Belanda, disini pulalah tempat berdirinya museum kulit dan sepatu Belanda.

Pada tanggal 8 Desember 1902, dia meninggalkan Waalwijk untuk secara sukarela bergabung dengan Pasukan Kolonial Belanda pada usia 18 tahun.  Koloniaal Werfdepot di Harderwijk, sebuah kesatuan unit angkatan perang Kerajaan Belanda yang sudah ada sejak 1830 dibawah Kementrian Koloni Hindia Belanda (Dutch Coloonial Ministree) yang merekrut dan mempersiapkan wajib militer untuk ditempatkan di koloni-koloni Hindia Belanda, yang juga adalah asal muasal tentara KNIL Belanda lahir. Warfdepot adalah unit angkatan darat yang merupakan milisi militer atau wajib militer Belanda. Di sana dia mendapatkan pelatihan militer sekitar enam minggu, para prajurit disiapkan untuk dinas tersebut dan kemudian berangkat ke Indonesia.




Petrus Hendrikus Pulles ditempatkan di Komando Militer Sulawesi, Manado dan Timor, sebagai pasukan tambahan paruh waktu kedua ditahun 1907. Bersama-sama dengan pasukan Marechausee (Marsose) diperintahkan oleh Gubernur Hindia Belanda di Makassar untuk menumpas perlawanan Punggawa Malolo dan Atjo Ammana Andang di Ladang Kassa Mamuju. 

Perlawanan rakyat Mamuju yang dimotori oleh Punggawa Malolo terbilang cukup sulit untuk dipatahkan, selain kondisi alam dan letak pertahanan yang cukup merepotkan pasukan Belanda. 

Akhirnya pada saat pertempuran tersebut sangat menciutkan nyali pasukan Belanda untuk bergerak memasuki Benteng pertahanan, pasukan yang tergabung dari beberapa unit itu terdiri dari orang pribumi sendiri seperti Jawa, Ambon dan Eropa itu ragu ragu untuk menyerang pasukan Punggawa Malolo karena korban telah berjatuhan dan pada akhirnya Petrus Pulles mengambil keputusan untuk maju dan mulai menyerang Pasukan Punggawa Malolo. 

Walaupun akhirnya Pasukan Punggawa Malolo dapat ditaklukkan setelah terjadi pertempuran yang cukup sengit, Petrus Pulles akhinya tewas terbunuh bersama- sama beberapa orang rekannya termasuk Letnan G.C Bubberman dalam operasi militer di Ladang Kassa, Mamuju pada tanggal 20 Agustus 1907.

Dengan Keputusan Kerajaan Belanda No. 45 dari 5 Desember 1908 ia diangkat menjadi ksatria militer kelas Willemsorde ke-4. Dalam daftar Kanselir Pesanan Belanda secara anumerta. (Arman Husain_ 2017)



Sumber :

Rabu, 05 Juli 2017

Maradika, Zelfbestuure Sampai Syuyitso

Masa pemerintahan kerajaan di Mamuju berlaku sejak berdirinya kerajaan Mamuju sekitar abad ke 14.M, sedangkan kepala pemerintahan kerajaan disebut Maradika sama halnya dengan kerajaan kerajaan di wilayah Mandar, istilah untuk raja adalah Maraqdia, Maradika atau Arajang  yang didasari dengan sistem monarchy absolut atau jabatan yang diwariskan karena pejabat kerajaan hanya berlaku pada garis keturunan bangsawan kerajaan yang pada umumnya berlaku di seluruh Indonesia dan dunia pada umumnya, pada tatanan sistem pemilihan pemangku jabatan di kerajaan Mamuju berdasarkan pada hasil keputusan musyawarah (sitammu ujuq)

Tujuh Dewan Hadat atau disebut Galaqgar Pitu, yang berfungsi sebagai lembaga adat yang membantu raja dalam menjalankan roda pemerintahan dan masing masing dipegang oleh orang yang terpilih sesuai tata cara adat yang berlaku. berikut adalah nama- nama pemegang jabatan Maradika di Kerajaan Mamuju dengan masa jabatannya ;


Adapun struktur lembaga adat Galaqgar Pitu  dan tugas pokoknya adalah sebagai berikut :

1.  Baligau atau setingkat dengan wakil raja, fungsinya adalah sebagai penasehat dan wakil raja dalam mengambil keputusan dan melaksanakan keputusan raja.

2.  
Pue Ballung, tugas dan fungsinya adalah sebagai hakim dan pemutus perkara dalam masyarakat dan adat.

3.  Pue Pepaq, tugas dan fungsinya sebagai koordinator dalam urusan keamanan dan ketertiban.

4.  Pue Tobone – bone, tugas dan fungsinya mengatur dan mengawasi pelabuhan (syahbandar), urusan perdagangan.

5.   Pue Tokasiwa, tugas dan fungsinya adalah kesejahteraan rakyat.

6.   Paqbicara, tugas dan fungsinya adalah sebagai juru bicara raja.

7.   Kadhi, bertugas sebagai hakim dalam hukum keagamaan dan hakim.

Dari ketujuh anggota hadat tersebut disebut Dewan Hadat Besar dan masing-masing dibantu oleh beberapa hadat kecil yang terdiri dari ; To Matoa Baligau, To Matoa Pepaq, To Matoa Ballung, To Matoa Bone- bone, To Matoa Kasiwa, Pangulu, Tokkayyang di Padang, To Matoa Joaq, Punggawa di Rangas, Punggawa di Sumare, Punggawa di Sinyonyoi, Tomakaka di Botteng, So’boq, Tobara di Topoyyo, Salim Tanabalang dan Kamangkasaran. Masing –masing hadat tersebut mewakili masyarakat di wilayah hadat tersendiri dan berfungsi membantu Galaqgar Pitu dalam menjalankan tugasnya di dalam organisasi kelembagaan adat di kerajaan Mamuju (Abd. Rahman Thahir, Selayang Pandang Adat Mamuju)


Pada awal abad  ke XX, Belanda menetapkan wilayah – wilayah jajahannya dengan sistem administrasi residensial yang terbagi – bagi menurut Afdeling, Landschaap, Onder afdeling, dan distrik. Afdeling di kepalai oleh seorang Asisten Residen, dan dibawah afdeling terbagi lagi atas beberapa Onder Afdeling yang kepalai oleh seorang Controlleur dan onder afdeling dibagi atas beberapa wilayah Swapraja sesuai dengan wilayah kerajaan - kerajaan, dan raja diberi wewenang menjadi kepala pemerintah tersendiri (Zelfbestuurder), dibawah Swapraja terdapat Distrik dan raja yang mengangkat kepala distrik dan kepala kampung. Mamuju dan Tapalang menjadi wilayah Onder afdeling berada dibawah Afdeling Mandar.


A. Djalaluddin Ammana Inda
sebagai Zelfbestuure Mamuju (foto: 1938)

Indonesia pada waktu masih menjadi Hindia Belanda, terdiri atas daerah-daerah yang diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda (Rechtstreeks Bestuurgebeid) dan daerah-daerah yang pemerintahannya diserahkan kepada Zelfbestuurders. Sejak pertama kalinya penjajah Belanda (VOC) datang di Indonesia melakukan perdagangan dan berhasil mendapatkan simpati dari raja-raja, kemudian dengan ambisi menguasai perdagangan rempah-rempah dibuatlah sebuah perjanjian dengan pihak Belanda sebagai mitra dagang dengan kesepakatan saling menguntungkan kedua pihak. Dalam hal ini pihak Belanda (VOC) adalah punya kedudukan lebih rendah dari pihak kerajaan sehingga pada saatnya kedudukan dan kekuasaan Belanda semakin kuat di Indonesia keadaan berubah menjadi terbalik sehingga pihak Belanda dalam perjanjian adalah pihak yang lebih kuat dari kedudukan raja-raja, dalam praktek kolonialisme pihak Belanda dengan leluasa mengatur dan mengangkat raja dan melakukan campur tangan dalam pemerintahan kerajaan  sehingga ditetapkanlah raja sebagai pemerintahan dibawah kekuasaan Belanda secara otonom dengan istilah Swaparaja.


Status Swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi berhak mengatur urusan administrasi, hukum, dan budaya internalnya, sesuai dengan wilayah kerajaan-kerajaan, dan raja diberi wewenang menjadi kepala pemerintah tersendiri (Zelfbestuurder), dibawah Swapraja terdapat distrik setingkat dengan kepala desa dan raja yang mengangkat kapala distrik dan kepala kampung. Kerajaan Mamuju dan Tapalang menjadi wilayah Onder afdeling berada dibawah Afdeling Mandar. Pada masa pendudukan Jepang  tahun 1942, sistem pemerintahan tidak berubah dan tetap berjalan meskipun Belanda telah meninggalkan daerah ini, Jepang mengambil alih kekuasaan pemerintahan Belanda dan hanya mengganti istilah atau nama- namanya saja, seperti; Asisten residen menjadi Kenharikan, Controuler menjadi Bunken Kanriken, Raja menjadi Syuyitso, Kepala Kampung menjadi Sontiyo dsb.


Kedatangan Jepang di Sulawesi Selatan, pada mulanya disambut baik oleh rakyat karena dianggap Jepang telah membebaskan mereka dari penjajahan Belanda.
Kepercayaan bangsa Indonesia kepada Jepang semakin kuat karena Jepang tidak melarang dikibarkannya Sang Merah Putih dan menyanyikan Lagu Indonesia Raya diperbolehkan pada saat itu, sehingga pengibaran bendera Merah Putih di daratan Mamuju terjadi pada bulan Februari 1946 dengan megah. Ternyata dibalik Propaganda  Jepang yang terkenal ialah A3 , Jepang  sebagai pemimpin, pelindung, cahaya dan menjadi saudara tua bangsa Asia hanyalah propaganda perang yang lancarkan oleh Kekaisaran Jepang untuk menguasai negara negara di kawasan Asia.


Pada tanggal 30 April 1945 diadakan rapat umum yang dihadiri oleh Ir. Soekarno di lapangan Hasanuddin Makassar, acara pengibaran bendera Merah Putih di pimpin langsung oleh Ir. Soekarno, dan Djalaluddin Ammana Inda bertugas sebagai penggerek bendera pada saat itu atas inisiatif organisasi perjuangan SUDARA (Sumber Darah Rakyat) yang dipelopori Dr. G.S.S.J. Ratulangi dan Andi Mappanyuki. (Arman Husain 2017)


-----------------------------------------

Sabtu, 10 Juni 2017

Perlawanan Menentang Kolonialisme Belanda Di Kerajaan Mamuju

Pada permulaan abad ke XX berbagai usaha yang dilakukan kolonial Belanda mengarah kepada hegemoni di berbagai pelosok yang berpotensial memberikan keuntungan. Usaha ini diarahkan kepada eksploitasi daerah-daerah di luar Pulau Jawa atau hampir seluruh daerah di Nusantara. Hal ini disebabkan antara lain perebutan daerah kekuasaan negara imperialis yang secara berlomba-lomba mencari daerah jajahan di daerah Asia dan Afrika. Sejak itu politik Kolonial diterapkan dengan tujuan menguasai daerah daerah produksi bahan-bahan mentah bagi kepentingan industri negara imperialis. Untuk memenuhi kepentingan politik kolonial Belanda, di seluruh wilayah Nusantara dimunculkan praktek kolonial yang memungkinkan penaklukkan terhadap daerah-daerah jajahan adalah membuat kontrak politik  yang mengikat rakyat pribumi. Usaha ini lebih jelasnya dimaktubkan dalam traktak antara pemerintah Kolonial dan para raja setempat sebagai dalih terselubung untuk menguasai daerah jajahan (Hosea 1993:12)

Sejak berlakunya kontrak panjang (Lange Kontract) kehidupan rakyat pribumi semakin sulit. Isi Kontrak tersebut, membuat semakin parah keadaan kedudukan kerajaan-kerajaan di Nusantara karena Kerajaan-kerajaan tersebut, dilarang melakukan perlawanan terhadap Kolonial dan para tuan tanah pihak Kolonial Belanda. Akibat semua itulah timbul protes akan keberadaan Lange Kontract seperti dikerajaan  Gowa, PerjanjianBongaya (1667). Isi perjanjian tersebut merugikan kedua belah pihak.  ( Abdul Razak Dg.Patunru,1996:33-34).

Hingga abad ke XIX,Lange Kontract masih berlaku dibeberapa wilayah di Nusantara bahkan pada saat terjadinya Perang Aceh dan perang-perang lain di Pulau Jawa. Ikatan perjanjian tersebut merampas hak-hak pribumi yang telah disepakati bersama bahwa traktat tersebut menjamin kedua belah pihak saling menguntungkan hal ini terjadi akibat tindakan kolonial Belanda disertai tindakan provokasi militer dalam usaha-usaha mematuhi isi dari Lange Kontrak.

Meskipun para penguasa Mandar menandatangani pembaharuan Kontrak Bungayya (1824), yang menetapkan pihak pemerintah kolonial  Belanda sebagai (pelindung dan perantara) namun bagi kerajaan kerajaan sekutu memandang konsep ini menunjukkan kedudukan yang setara. Karena negeri mereka bukan wilayah taklukan dan pemerintahannya tetap mengikuti pola pemerintahan yang terbina sejak dulu. Hal inilah yang sering menimbulkan konflik antara pemerintah kolonial Belanda dengan pihak-pihak kerajaan kerajaan sekutu dikawasan ini, termasuk kerajaan kerajaan di daerah Mandar.

Namun kesepakatan itu tidak dilaksanakan sepenuh hati dan semangat perlawanan terus berlanjut. (Amir 2011:238) menyatakan “ walaupun raja raja telah  menandatangani Pembaharuan Kontrak Bungayya, akan tetapi tidak mempunyai arti banyak,karena pada umumnya raja raja tidak banyak menghiraukan seruan kita”(C.Nooteboom). Hal ini ditandai dengan banyaknya aksi perompakan yang dilakukan oleh perompak Mandar yang mengancam kebijakan perdagangan bebas, dan juga kerugian bagi pelayaran dan perdagangan maritim kolonial Belanda. Itulah sebabnya 5 Juli 1850 Gubernur Sulawesi bermohon kepada Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia, agar diberikan wewenang untuk mengatasi perompakan laut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah semua tindakan yang bertentangan dengan kontrak politik yang telah ditandatangani oleh Maraqdia-Maraqdia di Mandar.

Sedangkan Penandatanganan Kontrak Panjang atau Lange Contract di Kerajaan Mamuju ditandatangani pada tanggal 31Oktober 1862  oleh Nae Sukur dan Hadatnya, selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1869 dilakukan penandatanganan kontrak tambahan (perlindungan terhadap jalur-jalur telepon). Juga oleh Maraqdia Mamuju dan Hadatnya  hingga 3 Mei 1889 tepatnya 10 tahun kemudian, diadakan penandatangan kontrak tambahan (pencegahan pengangkutan keluar masuk kebutuhan perang). 

Setelah Nae Sukur digantikan oleh Karanene diadakan penandatanganan kontrak dan  Akte pengukuhan pada 30 September 1896. Penandatangan kontrak lanjutan yang juga ditanda tangani oleh Karanene pada, 15 mei 1899  tentang kontrak tambahan pertambangan. Hingga 5 oktober 1905, Karanene selaku Maraqdia Mamuju dan anggota Hadatnya kembali menandatangani pembaharuan Kontrak Panjang. Pada masa ini Maraqdia Karanene meletakkan jabatannya sebagai Maraqdia Mamuju.(1908).

Sementara itu di Kerajaan Tappalang, juga menandatangani Kontrak panjang pada 31 Oktober 1862 oleh Maraqdia Tappalang Cakeo Daeng Mariba (Pua Caco Tomanggang Gagallang Patta-ri Malunda) Pabbicara Tappalang pengganti Maraqdia Tappalang dan hadatnya.
 
Dalam keadaan Tappalang yang tidak memiliki Maraqdia, diambil alih oleh Maraqdia Mamuju Nae Sukur sebagai Maraqdia Tappalang serta hadat Tappalang, Nae Sukur kembali menandatangani kontrak panjang pada tanggal 5  Desember 1868. Pengganti Maraqdia Tappalang Nae Sukur berikutnya adalah Pabanari Daeng Natonga  (1889-1892) dan digantikan lagi oleh Andi Musa Paduwa Limba (1892-1908), beserta Hadatnya melakukan penandatanganan  kontrak panjang dan Akte pengukuhannya pada 31 oktober 1892 selama masa pemerintahan Andi Musa Paduwa Limba, penandatangan kontrak tambahan (pertanian dan pertambangan) dengan kolonial Belanda kembali dilakukan pada, 23 Juni 1897 kemudian penandatanganan pembaharuan kontrak panjang dengan kolonial Belanda pada 11 Juni 1905.


Ilustarsi Pertempuran Di Benteng Kayu Mangiwang Budong- Budong

Selama pemberlakuan kontrak dan kerjasama kerajaan kerajaan di Mamuju dengan kolonial Belanda. Menyebabkan konflik dan perlawanan menentang perjanjian dan melakukan perlawanan terhadap Kolonial Belanda di Kemaradikaan Mamuju, perlawanan dan penentangan ini dilakukan oleh para bangsawan yang digelari Puang dan Daeng, Punggawa Malolo (Daeng Mattinja), Aco Ammana Andang, Daengna Maccirinnae, Pattolo Lipu, Lalla Parimuku dan Pattana Bone. merupakan pemimpin perlawananan di Kemaradikaan Mamuju.

Sementara itu di Kerajaan Tappalang  (J.W.Leyds 1938:39) mengungkapkan bahwa pada tahun 1905 di Cendrana dan Tapalang, baik pihak pemerintah maupun pada anggota Anggota Hadat tidak bisa menyatukan pikiran antara mereka dengan sikap penuh ketegasan dari pemerintah Hindia Belanda dapatlah diakhiri keadaan tanpa pemerintahan (Oktober 1905). Pemerintah Kolonial Belanda akhirnya menguasai Kemaradikaan Tappalang

Di Kemaradikaan Mamuju dan Tapalang perlawanan rakyat menentang kolonial Belanda ditandai, setelah pemberlakuan Lange Kontrak ini, yang dimulai sejak ditandatanganinya  oleh Nae Sukur dari tahun 1862 hingga akhir 1907 oleh Maradika Karanene. Perlawanan atas pemberlakuan lange kontract ini dimulai oleh seorang cucu raja Tapalang yang bernama Matalungru (Pattalundru) 1863, setelah Nae Sukur sebagai pengganti maradika Tappalang menandatanganinya atas nama maradika Tappalang yang kemudian memancing kemarahan Matalungru sebagai keturunan maradika Tappalang, kemudian perlawanan rakyat Mamuju selanjutnya di tahun 1905, oleh Punggawa Malolo yang berlangsung di Benteng Kassa Sinyonyoi kemudian ditahun yang sama, Daenna Maccirinae, Pattolo Lipu dan Pattana Bone di Benteng Kayu Mangiwang dimana, para pemimpin perlawanan tewas, ditangkap dan diasingkan. Menyoroti beberapa perlawanan ini tidak satupun perlawanaan yang di pimpin langsung oleh raja atau Maradika tapi dipimpin oleh seorang tokoh bangsawan, bersama dengan rakyat dalam hal ini masyarakat pedesaan, yang justru memiliki dinamika untuk berusaha memperbaiki keadaan dan nasibnya.

Tokoh tokoh perlawanan yang melakukan perlawanan terhadap kolonialisasi Belanda di Mamuju, bukanlah raja atau maradika, Matalungru adalah seorang cucu raja Tapalang, kakek Matalungru digantikan oleh Nae Sukur sebagai raja Tapalang sekaligus sebagai raja Mamuju, sementara Daenna Maccirinnae, Pattololipu,Punggawa Malolo (daeng Mattinja) juga hanyalah bangsawan yang menentang dan memberontak atas kekuasaan pemerintah Belanda. 

Jika menyimak berbagai perlawanan yang timbul di Mandar dan Mamuju  tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang mendorong tercetusnya peristiwa itu. Daengna Maccirinnae,, Daeng Mattinja (punggawa malolo) dan Aco Ammana Andang. Sebagai tokoh-tokoh yang mempelopori timbulnya aksi perlawanan yang tidak takut dan pantang menyerah ketika Pemerintah Hindia Belanda mencoba melaksanakan praktek kolonialisasi di Mamuju. Intervensi Belanda di Mamuju dengan tujuan kolonoialisasi dan menanamkan kekuasaan didaerah tersebut ditandai dengan penandatangan Lange Kontract. Kedatangan pemerintah Hindia Belanda di Mamuju ini melalui tanah Mandar yang telah terlebih dahulu dikuasai, membawa Belanda juga memasuki wilayah Mamuju dan sekitarnya  (Sumber : Het nieuws van den dag voor Ned. Indie, tanggal 24 Agustus 1908, lembar ke-2 Verbannen) 

Pada tahun 1863, di Tapalang perlawanan dilakukan oleh Matalungru, sementara  pada tahun 1906, Perjungan Punggawa Malolo Daeng Mattinja, Aco Amanna Andang yang merupakan adik raja Mamuju Jalaluddin Ammana inda berfokus di Sinyonyoi Benteng kassa dimulai tahun 1907 saat Belanda masuk ke Sulawesi Selatan dengan militer dan bersamaan dengan itu juga turut ikut campur dalam masalah kerajaan di Tapalang (Mamuju). Perlawanan ini berakhir tahun 1907 dimana perlawanan ini bisa dipadamkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tewasnya Punggawa Malolo,  Aco Ammana Andang dan tokoh – tokoh pejuang di Sinyonyoi (Kec. Kalukku) serta Daengna Maccirinnae yang berjuang di Budong-Budong Benteng Kayu Mangiwang kemudian diasingkan bersama Pattololipu ke Jepara dan Cilacap (Arman.Husain_2017).