Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Kamis, 26 Januari 2023

Peranan Etnis Tionghoa Dalam Pembangunan Kabupaten Mamuju

 Partisipasi Membangun Bangsa Makin Terbuka

REFORMASI yang membuka keran persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh Warga Negara Indonesia (WNI), dinilai Hengky Hamdani, salah seorang warga Mamuju keturunan etnis Tionghoa, membuka lebar partisipasi membangun bangsa.


Apalagi Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan telah menempatkan etnis Tionghoa sama dan setara kedudukannya dengan WNI lainnya dalam hukum dan pemerintahan. Beberapa etnis Tionghoa di Mamuju, bahkan telah berkecimpung di ranah perpolitikan. Salah satu di antaranya adalah Willianto Tanta yang menjadi bendahara DPD I Partai Golkar Sulbar atau pemilik PT Karya Mandala Putra, Imming Wijaya, yang pernah duduk di kursi legislatif DPRD Mamuju selama dua periode.


“Dulu memang kami cuma bekerja di bidang perekonomian saja. Untuk jadi PNS, susah. Tetapi sejak reformasi, etnis Tionghoa juga sudah bisa jadi polisi, tentara, atau menteri. Di Makassar, sudah ada etnis Tionghoa yang ikut mencalonkan diri jadi walikota. Sekarang, perayaan Imlek juga sudah tanggal merah (hari libur nasional,red),” tuturnya.


Menurut Hengky, pada dasarnya warga keturunan Tionghoa sama dengan masyarakat lainnya yang memiliki nasionalisme yang tinggi dan mampu menjadi warga negara yang baik. Hanya saja diakuinya, pelibatan etnis Tionghoa dalam berbagai bidang, jarang dilakukan pada masa sebelum reformasi.


Meskipun demikian, ujar bapak dari tiga orang putra itu, asimilasi atau pembauran etnis Tionghoa dengan dengan warga atau etnis lain yang ada di Mamuju telah terbangun sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Hampir seluruh warga Mamuju yang terbilang telah lama menetap, dikenalnya dengan baik. Pengkotak-kotakan pribumi dan non pribumi juga tidak pernah ada.


Hengky meyakini, setiap suku pasti memiliki perbedaan sifat dan karakter. Filosofi yang dipegangnya ini membuat dia kadang lebih akrab dalam hubungan kekerabatan dengan etnis lainnya. “Tidak mesti bahwa kita hanya bergaul akrab dengan sesama Tionghoa saja. Saya bahkan lebih akrab dengan saudara dari suku lainnya,” kata pria kelahiran tahun 1945 itu.


Vihara kelurahan Binanga 

Jumlah penduduk Kabupaten Mamuju beberapa tahun yang lalu, ungkapnya, masih belum terlalu banyak. Hal ini juga yang membuat mereka lebih cepat akrab dan berbaur dengan warga lainnya. Apalagi penduduk di kota yang telah menjadi ibukota provinsi ini merupakan multietnis sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.


Kepedulian terhadap sesama yang tergolong kurang mampu atau tertimpa musibah, diwujudkan dengan melakukan kegiatan sosial. Dananya diperoleh dari sumbangan semua warga etnis Tionghoa di Mamuju sebagai saldo kas yang dikumpulkan setiap bulan.


Open house dengan mengundang kerabat, tetangga, atau teman, kata dia, juga telah dilakukan sejak dahulu untuk lebih menjalin keakraban. Memang diakuinya, kegiatan seperti ini jarang terlihat karena komunitas etnis Tionghoa di Mamuju tidak sebesar di kota-kota lain, seperti Makassar.


Kenali Bahasa dan Budaya Lokal


KEHADIRAN etnis Tionghoa di Mamuju diperkirakan telah ada sejak tahun 1920-an. Orang tua Hengky Hamdani, merupakan generasi pertama di kota itu. Lazimnya di kota-kota lain, mereka masuk melalui jalur perdagangan.


Didukung kota yang terbilang tidak luas, memudahkan proses asimilasi atau pembauran dengan warga lainnya. Salah satu upaya mempercepat hubungan kekerabatan dengan warga lain dengan mempelajari dan menguasai Bahasa Mamuju, karakter, dan budaya lokal, sehingga komunikasi terjalin baik dengan semua kalangan.


Kawasan pecinan dengan model rumah yang khas pernah ada di sekitar Jalan Yos Sudarso, tepat di depan Pantai Mamuju. Namun, lambat laun mereka semakin menyebar dan membaur dengan warga lainnya. Etnis Tionghoa yang umumnya berdagang, berada di sekitar tempat-tempat strategis yang ramai dikunjugi orang, misalnya pasar.


Tempat ini pulalah yang mempertemukan mereka dengan saudara lainnya dari etnis berbeda, sehingga terjadi asimilasi yang didasarkan prinsip saling membutuhkan. Pedagang membutuhkan konsumen, dan sebaliknya. Tentunya bukan hanya etnis Tionghoa yang memilih dagang sebagai mata pencarian, sehingga hubungan simbiosis semakin kompleks.


Hengky yang lahir, besar, dan beranak cucu di Mamuju, mengenang, sekitar tahun 1970-an, akses jalan darat belum terbuka. Hubungan dengan Makassar dilakukan dengan transportasi laut. Akses jalan darat baru terbuka dengan baik sekitar dekade 90-an.


Berasimilasi dengan Saling Menghormati


PEMBAURAN etnis Tionghoa dengan warga Mamuju dari etnis lainnya terus berlanjut hingga generasi berikutnya. Asimilasi dilakukan sampai pada bidang pendidikan. Tidak ada sekolah di Mamuju yang dieksklusifkan untuk kelompok tertentu.


Semua berbaur dalam satu sekolah yang di dalamnya tidak terdapat perbedaan berdasarkan kesukuan. Anak-anak etnis Tionghoa belajar di sekolah dasar yang juga digunakan warga lainnya agar dapat belajar membaurkan diri sejak dini.


Irwan, pemilik Toko Satu Dua, berharap keakraban dengan warga lainnya yang telah dilakukan orang tua sebelumnya, juga dilakukan generasi selanjutnya. “Memang beberapa warga lain yang baru masuk ke Mamuju, jarang kami kenal. Tapi kalau yang sudah lama tinggal di sini, hampir kami kenal semua,” katanya.


Sikap toleransi dan saling menghargai dengan sesama, pesannya, yang paling dibutuhkan agar dapat tetap menjalin hubungan kekerabatan dengan orang lain. Salah seorang saudara kandungnya yang memilih memeluk Agama Islam, ujarnya, sangat dihormatinya, termasuk seluruh pantangannya telah diketahuinya dengan baik.


“Kami tidak mengenal batasan hubungan sejak dahulu. Bahkan dulu, waktu penduduk Mamuju belum banyak seperti sekarang, kalau kita naik bus ke Makassar, semua penumpang kita kenal baik. Bapak saya dari Mandar, jadi sangat cepat akrab dengan warga lain. Apalagi kita biasa kumpul-kumpul kalau ada acara,” bebernya.


Kursi Legislatif Bukti Kepercayaan Masyarakat


KETUA Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Mamuju,  Imming Wijaya, mengaku salut dengan keterbukaan dan penerimaan warga di Mamuju terhadap etnis Tionghoa. Diskriminasi dari masyarakat dan pemerintah, secara umum, kata dia, tidak pernah dirasakan hingga keturunan generasi kelima saat ini. Memang diakuinya, kemungkinan masih ada segelintir orang yang masih membedakan, tetapi tidak dapat digeneralisasi.


“Sejak awal, mulai lahir, besar, dan beranak cucu, kami telah diterima dengan baik dan dapat berpartisipasi dalam banyak hal. Saya dapat duduk di kursi legislatif DPRD Mamuju selama dua periode, menjadi bukti, bahwa kami diterima di masyarakat untuk mewakili rakyat” tutur pria kelahiran Mamuju tahun 1954 silam.


Etnis Tionghoa di Mamuju sejak menjadi ibukota Provinsi Sulbar terus bertambah seiring pertumbuhan pembangunan dan perekonomian. Jumlah keluarga keturunan etnis Tionghoa yang tercatat (PSMTI) Mamuju saat ini sebanyak 120 kepala keluarga.


Saat Mamuju belum menjadi ibukota provinsi, jumlah etnis Tionghoa hanya sekitar 30 kepala keluarga. Pintu Mamuju semakin terbuka lebar setelah menjadi pusat kota dan etnis Tionghoa lainya terus berdatangan dari Kota Palopo, Makassar, dan kota-kota lainnya.


Imming, mengemukakan, pertambahan jumlah etnis Tionghoa serta lahirnya PSMTI sejak beberapa tahun lalu, juga semakin memperbesar jalinan hubungan kekerabatan dengan warga lainnya. Kegiatan bakti sosial untuk membantu warga yang kurang mampu, menjadi salah satu agenda rutin PSMTI

Senin, 23 Januari 2023

”Toriminggi” Keterasingan Suku Pembuni Dijaman Keterbukaan

Rumah mereka dibangun di atas pohon yang tingginya dapat mencapai 20 meter, bentuknya sangat sederhana, sehingga sering disebut sebagai rumah pohon. Selain rumah pohon, mereka juga kadang membangun rumah sederhana model panggung setinggi 2-3 meter. Lantainya terbuat dari bilah bambu atau kulit kayu yang dikelupas serta beralaskan tikar daun nipah atau daun pohon sagu yang dianyam seadanya. Karena keterbatasan alat, kedua jenis rumah ini hanya berdinding daun rotan, atau bahkan lebih banyak yang tidak berdinding. Tiang-tiang rumah mereka adalah batangan kayu bulat utuh yang berukuran tidak terlalu besar. Untuk menyambungkan bagian satu dengan yang lainnya, tidak menggunakan paku, melainkan cukup hanya diikat rotan. “Kayu yang kami gunakan untuk membangun rumah bukan jenis kayu yang kuat. Alat-alat yang kami miliki hanya parang dan kampak,” kata Naja.



Naja mengungkapkan, rumah yang dibangun seadanya itu digunakan paling lama enam bulan karena beberapa bagian rumah sudah dimakan rayap. Setelah itu, mereka berpindah tempat lagi dan membabat hutan untuk membuka lahan perkebunan serta membangun rumah pohon atau rumah panggung seadanya. 

Lahan yang pernah ditinggalkan akan didatangi kembali, jika mereka mempertimbangkan bahwa tanah tersebut telah subur kembali atau pohon yang telah tumbuh telah dapat ditumbangkan dengan bantuan kapak. Jika masih berupa alang-alang, mereka tidak akan kembali dan mencari lokasi yang jauhnya sekira 5-7 kolometer dari lokasi yang ditinggalkan.

Ada beberapa alasan mengapa mereka memilih hidup berpindah-pindah tempat. Mereka meninggalkan tanah yang telah digarap jika salah seorang anggota komunitas mereka ada yang sakit atau meninggal dunia. Tanah atau kawasan tersebut dianggap sudah tidak bersahabat lagi. Mereka harus berpindah jauh dari jasad yang disemayamkan, agar tidak terganggu dari arwah yang meninggal.

Alasan lain meninggalkan lahan yang telah dibuka untuk perkampungan dan digunakan sebagai kebun selama sekira enam bulan adalah masa panen telah habis. Ladang tempat menanam ubi atau jagung juga telah ditumbuhi rumput atau alang-alang yang tinggi. Suku Bunggu tidak terbiasa membersihkan ladang yang ditumbuhi rumput. Pada umumnya, mereka mengkonsumsi ubi dan jagung sebagai makanan pokok. Selain mudah ditanam, tanaman ini juga lebih cepat dipanen. Pohon sagu dijadikan sebagai lumbung pangan, laiknya gudang beras bagi kebanyakan orang yang menjadikan beras sebagai makanan pokok. Sagu menjadi salah satu bahan makanan pokok sambil menunggu berbuahnya tanaman ubi rambat dan jagung yang mereka tanam. 

Saat ini, Yadi, Naja dan sekira 30 KK Suku Bunggu yang ada di Desa Pakava mulai mengenal kehidupan yang lebih baik dibanding saat mereka menetap di hutan. Mereka mulai mengenal teknologi seperti televisi, radio, ataupun sepeda motor. Kendati masih menumpang nonton di televisi tetangga dari etnis lain, informasi dari luar mulai terserap.

Perempuan Suku Bunggu di Desa Pakava juga mulai mengenal susu instan untuk bayi mereka. “Kehidupan kami sekarang boleh dikata jauh berbeda dengan saudara-saudara kami yang masih ada di gunung, sekarang kami telah mengenal uang, pakaian dan kadang-kadang makan nasi. Dulu, pakaian kami terbuat dari kulit kayu yang dipukul-pukul sampai tipis. Kalau selalu hidup pindah-pindah, susah. Sekarang sudah ada teman dari suku lain. Tetapi adat tetap dipertahankan supaya tidak kena bencana,” beber Naja. Pola hidup sebagian masyarakat Suku Bunggu yang mulai berinteraksi dengan etnis lain memang sedikit berubah. Namun, ada satu yang tak pernah lekang tergerus arus perkembangan teknologi dan zaman, yakni Hukum Adat. Desa Pakava yang menjadi perkampungan Suku Bunggu yang terbuka, justru menjadi pusat pesta adat yang menjadi ritual tahunan.

Penataan perkampungan Suku Bunggu di Desa Pakava, Kecamatan Pasangkayu, Mamuju Utara, terbilang cukup apik. Bangunan dan model rumah memang sangat sederhana dan masih mendekati bentuk asli ketika masih hidup di daerah pegunungan dengan pola nomaden. Sisi kiri, kanan, dan belakang rumah telah dimanfaatkan sebagai perkebunan tanaman produktif, misalnya kakao dan jeruk. Di depan rumah Yadi, salah seorang tokoh adat yang merupakan raja Suku Bunggu yang ada di Mamuju Utara, berdiri sebuah bangunan tak berdinding yang cukup luas. Bangunan model panggung dan sangat sederhana dengan tiang penyangga yang cukup banyak ini dinamakan Bantaya. Di Bantaya inilah pertemuan maupun pesta adat Suku Bunggu dipusatkan.

Sejak masih hidup berpindah-pindah di hutan, Suku Bunggu telah mengenal permusyawaratan adat. Selain menaati hukum pemerintah, mereka juga sangat taat terhadap hukum adat. Salah seorang tokoh masyarakat Suku Bunggu di Desa Pakava, Naja, menuturkan, hukum adat ini lahir dari sesama Suku Kaili yang merupakan induk suku mereka. Hukum adat ini dibuat berdasarkan kesepakatan bersama dan tidak memihak kepada siapapun. Hukum tak tertulis ini mengatur sendi-sendi kehidupan sejak lahir sampai kembali ke sang pencipta dan diaplikasikan mulai dari bangun tidur sampai kembali ke pembaringan. Hukum ini menjadi norma yang diturunkan ke anak cucu mereka sebagai pedoman hidup agar tidak salah melangkah. Sebagai pengatur regulasi, mereka menunjuk orang yang dituakan. Setiap pelanggaran terhadap hukum adat dikenakan denda bagi pelakunya.

Pemberian hukuman bagi pelanggar hukum adat dibicarakan melalui musyawarah adat di Bantaya. Hukuman yang telah disepakati oleh semua warga yang hadir dalam musyawarah itulah yang harus dijalani oleh pelanggar hukum adat, jika telah ikhlas menjalaninya dan harus membayar dalam bentuk denda. Menurut Naja, hukuman terberat dalam hukum adat diberikan kepada warga dalam komunitas itu yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan. “Jangan memang membunuh teman atau siapapun. Jika ada yang membunuh, maka akan diikat dan dikubur bersama-sama dengan orang yang dibunuh. Semua warga kampung harus menyaksikan. Ini untuk menghindari dendam karena sudah dikubur sama-sama,” ungkapnya.

Hukum lain yang juga masih diterapkan adalah pemberian hukuman atau denda kepada warga yang diketahui memerkosa atau memegang perempuan. Warga yang diketahui memerkosa harus dinikahkan ditambah membayar denda 4-8 ekor babi. Prosesi pernikahannya juga melalui prosesi adat. Diakuinya, nikah adat memerlukan biaya yang cukup besar. Hukum adat yang tidak dilaksanakan, diyakini akan membuat anak cucu “salah jalan” dalam kehidupannya. 

Besar denda yang diberikan kepada pelanggar hukum adat disesuaikan kesalahan dan hasil keputusan musyawarah warga. Untuk pelanggaran yang tergolong ringan, denda dapat dibayar jika penerima denda telah ikhlas menerima denda dan mengakui kesalahannya. “Kalau belum ikhlas, jangan dulu diberi dendanya. Tapi denda itu akan menjadi utang dan dianggap berdosa jika belum dibayar,” terang Naja.

Suku Bunggu juga mengenal pesta adat yang digelar setahun sekali antara Mei-Juni dan dilaksanakan selama tiga hari. Pesta adat ini menjadi ajang pertemuan seluruh Suku Bunggu baik yang telah hidup berbaur, maupun yang masih hidup di pegunungan. Pesta adat ini merupakan ritual memperingati kelahiran anak dan dilaksanakan secara bersamaan di Bantaya. Beberapa ritual unik dilakukan dalam pesta adat ini. Untuk memanggil semua komunitas Suku Bunggu yang tersebar di pedalaman, mereka tidak dipanggil satu persatu. Mereka kirimkan tanda melalui angin, panggil mereka dengan proses adat. Memang hanya orang tertentu saja yang tahu panggilan itu dan inilah yang disebarkan ke satu kampung (dalam satu komunitas).

Suku Bunggu yang hidup di pedalaman merasa lebih senang mengasingkan diri dan tidak terbiasa melihat orang banyak. Umumnya mereka hidup berkelompok dalam jumlah kecil. Untuk menemukan komunitas Suku Bunggu yang tinggal di hutan, cukup sulit. Mereka menetap jauh di pedalaman di tengah hutan yang masih lebat serta medan yang harus ditempuh sangat berat. Suku Bunggu yang hidup di pedalaman tidak terbiasa bertemu orang lain di luar komunitasnya. Jika mengetahui kehadiran orang lain, mereka menghilang dan lari ke hutan. Bagi warga yang tinggal di sekitar Pasangkayu, Suku Bunggu dikenal memiliki kelebihan menyelinap dan menghilang di balik pohon dengan cepat, beberapa warga menyebutnya dengan nama Topembuni.

Suku Bunggu juga memiliki senjata rahasia yang mematikan. Orang-orang menyebut senjata ini dengan nama sumpit. Meskipun berada dalam radius puluhan meter, senjata ini langsung dapat mengenai lawannya. Sumpit ini terbuat dari buluh yang bulat dan bagian tengahnya berlubang. Penggunaan senjata beracun yang mematikan ini dengan cara ditiup. Senjata sumpit ini merupakan senjata kebanggan Suku Bunggu dan menjadi senjata utamanya. Namun, mereka memiliki kekhasan tidak akan pernah mengganggu orang lain jika tidak diganggu. (Revisi)



Sumber : Suku Bunggu Mamuju Utara, Tak lagi dipohon inginkan kehidupan lebih baik. https://aryafatta.wordpress.com/2008/01/14/suku-bunggu-mamuju-utara/

Minggu, 22 Januari 2023

Penja; Ikan Endemik Hingga Balutan Mitos dan Prinsip Moral Masyarakat Pesisir Mandar

Ikan Penja yang juga biasa disebut ikan seribu karena ikan ini sifatnya bergerombol dan merupakan ikan khas masyarakat ini hanya terdapat di perairan Mandar. Pada umumnya di Mamuju ikan ini disebut ”Duwang” sedangkan di wilayah Mandar wilatah bagian keselatan di sebut ”Penja" bahkan keluar daerah lebih dikenal dengan nama Penja. Penja atau Duwang ini merupakan komoditas dagang dan sumber makanan khas yang dari dahulu yang menjadi primadona masyarakat Mandar. Selain sebagai komoditas dagang juga membantu peningkatan ekonomi dimasyarakat sekitar pesisir dan sungai.

Penja atau Duwang adalah juga merupakan sumber gizi keluarga dengan berbagai olahan masakan yang khas di Sulawesi Barat pada umumnya dari ikan yang masih segar dan ada juga yang dikeringkan lebih dahulu atau biasa disebut ”Duwang Marogang”. Cara dikeringkan ini agar Penja tidak membusuk dan lebih tahan lama, komoditas Duwang ”marogang= kering, ini lebih diminati pasar karena selain rasanya lebih gurih juga dapat disimpan dalam waktu yang lama. 

Ikan Penja atau Duwang

Masakan dari ikan Penja ini sangat beragam baik yang masih segar maupun sudah dikeringkan seperti: di Pepes atau dalam bahasa Mamujunya disebut di ”Pais”( di masak dengan asap dibungkus daun pisang) dan ”kajokkos”(dimasak dengan dibungkus daun pisang dalam wadah), di piyapi (dimasak bersama air campuran bumbu khusus), di goreng biasanya Penja yang sudah dikeringkan, perkedel dan dimasak dengan cara ” di lawar” (tanpa proses menggunakan api tapi dengan perasan air jeruk nipis dan bumbu kemudian dimakan mentah-mentah) kemudian ada juga cara ”ambar” (dengan cara dimasak sebagai lapisan masakan ”Jepa" dari bahan sagu dan parutan kelapa tua, sama halnya hamburger tapi cara pengolahannya yang lebih unik dan tradisional. 

Berbagai olahan 

Bentuk dan ukuran ikan penja yang hanya sekitar ± 25-30 mm, berbentuk bulat lonjong seperti cerutu (Torpedo) ini dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya secara bergerombol akan bergerak mendekati pantai dalam perjalananya ikan ikan ini akan masuk ke muara sungai sampai jauh ke hulu dan selanjutnya berkembang menjadi ikan dewasa yang dikenal dengan nama lain di daerah pegunungan yaitu ikan epung. Ikan ini tidak selalu ada untuk ditangkap karena kemunculannya hanya diwaktu- waktu tertentu saja atau musiman, ikan ini akan muncul menurut siklus waktunya yang sudah bisa diperhitungkan, dahulu masyarakat nelayan yang mengetahui atau memperkirakan kemunculan ikan penja adalah dengan memeriksa isi perut ikan cakalang yang diperoleh nelayan. 

Dahulu masyarakat Mamuju dalam upaya menangkap ikan penja ini biasanya menggunakan jaring halus yang diikat ke kayu atau bambu dengan bentuk menyilang atau melingkar, alat penangkap ikan ini disebut”bunde'” atau juga bisa disebut ”Sambe-sambeq” ditangkap dengan cara alat bunde' berfungsi sebagai serokan di taruh ke dalam sungai sedikit agak tenggelam kemudian orang tersebut berjalan agak pelan dan mendorong bunde' kedepan sekitar beberapa menit kemudian diangkat keatas permukaan air begitu seterusnya, ada juga yang menggunakan tehnik menjaring seperti pukat namun menggunakan jaring yang lebih halus. 

Alat penangkap ikan Penja ”sambe/ bundeq.

Dalam usaha penangkapan ikan tersebut bukan ditentukan berapa banyaknya ikan ini kita tangkap akan tetapi lebih pada bagaimana membentuk moralitas  masyarakat disekitar sungai ikan ini muncul, dengan mengedepankan sikap saling menghargai dan saling berbagi. Seperti jika ada orang yang datang ke pantai saat musim penangkapan ikan penja dan menginginkan ikan tersebut dibagi dengannya, maka harus diberi walapun sedikit karena itu adalah sebuah hal yang dilarang dan menyebabkan ikan ini akan menghilang dalam waktu dekat. 

Tidak munculnya ikan penja juga diyakini berhubungan dengan perilaku melanggar norma adat-istiadat dan agama yang terjadi di sekitar pantai di mana biasanya ikan tersebut muncul, diyakini oleh masyarakat setempat, ikan penja yang diketahui telah muncul, bisa hilang tiba-tiba seperti ditelan lautan jika di kampung tersebut dalam waktu bersamaan ada warga yang meninggal atau ada masyarakat yang berbuat maksiat maka musim berikutnya ikan penja bisa tidak muncul, bahkan sampai beberapa musim ikan tersebut tidak akan datang di tempat itu.

Mengenai asal-usul ikan Penja atau Duwang  ini, masih jadi misteri dimasyarakat Mandar sehingga kemunculan ikan ini seringkali dikaitkan dengan mitos tentang Tomanurung dan hal-hal ghaib lainnnya. Masyarakat Mandar percaya bahwa ikan ini adalah anugerah yang patut di syukuri sebab ikan ini merupakan hewan endemik khas sulawesi bagian barat dan sekitarnya yang tidak ada di daerah lain di Nusantara. Ada juga kepercayaan masyarakat bahwa ikan ini merupakan perwujudan dari Tomanurung sehingga ikan ini juga sering disebut Ikan Manurung. 

Pernah saya (Pen. Red) mendengar cerita dari orang tua bahwa ikan Penja atau Duwang ini bermetamorfosis menjadi ulat dan kemudian menjadi kumbang, ceritanya begini : ikan ini setelah masuk kemuara akan terus berenang sampai ke hulu sungai kemudian dihulu sungai ikan -ikan ini akan menempel di akar akar pohon yang menjuntai kesungai kemudian perlahan-lahan memanjat sampai keatas batang pohon dan menuju cabang sampai rantingnya, tidak lama kemudian akan bermutasi seperti kepompong dan kemudian berubah menjadi kumbang, allahualam begitulah cerita itu pernah tersampaikan, mengenai apakah itu sebuah mitos atau hanya cerita fiktif saya tidak begitu tahu dan pahami karena memang diluar nalar saya sebagai manusia biasa. 
(Arman Husain 23)

Sumber: 
Diolah dari berbagai sumber.








Selasa, 13 Desember 2022

Puatta Karema, sang pendamai yang terlupakan oleh sejarah. (bag.II)

Kerajaan Mamuju pasca diangkatnya Pammarica sebagai Maradika atau raja sementara untuk mengatasi terjadinya kekacauan di kalangan masyarakat Mamuju kala itu setelah beberapa golongan bangsawan kerajaan mengkudeta kepemimpinan Pue Tonileo yang dianggap sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya, ada beberapa pendapat dari para pemerhati sejarah yang berpendapat bahwa Pue Tonileo ini suka menggauli perempuan yang dia senangi walaupun itu istri orang lain, mengambil secara paksa ternak maupun hasil kebun masyarakatnya tanpa belas kasihan, ada juga yang berpendapat bahwa Pue Tonileo ini tidak disenangi oleh kalangan keturunan bangsawan kerajaan Mamuju yang lain karena dianggap bukanlah pewaris tahta kerajaan yang seharusnya menjadi Maradika sehingga saudara- saudaranya iri dan tidak senang kepadanya dan melakukan tindakan kudeta untuk merebut tahta kerajaan dari Pue Tonileo. 

Jika seandainya putra mahkota anak Pue Tonileo tidak pergi meninggalkan kerajaan Mamuju menuju Toli-toli mungkin Pammarica tidak akan menjadi raja di Mamuju saat itu, karena pihak kerajaan sendiri telah memanggil putra mahkota itu kembali ke Mamuju untuk diangkat menjadi pewaris tahta kerajaan, namun ia menolak tawaran tersebut karena merasa ketakutan akan terbunuh juga. Pue Tonileo ini dikenal sakti dan memiliki ilmu yang tinggi, menurut penuturan sumber informasi penulis, bahwa Pue Tonileo ini diangkat sebagai raja pada saat itu karena keberaniannya dan kesaktiannya menumpas pemberontakan yang akan menghancurkan kerajaan Mamuju, walaupun bukan dari bangsawan pewaris tahta kerajaan. 

Setelah Pammarica meletakkan jabatannya sebagai raja di Mamuju, maka hadat kerajaan Mamuju pun melantik Puatta Karema sebagai raja selanjutnya. Puatta Karema dianggap berhak mewarisi kerajaan Mamuju karena masih dari garis keturunan Tomatindo di Puasana bin Tomatindo di Sambayanna Maradika Mamuju sebelumnya. Puatta Karema menikahi anak Maradia Sendana Tomatindo di Balitung dan memiliki keturunan yang kemudian mewarisi kerajaan Mamuju setelahnya yaitu Ammana Kombi.

Puatta Karema pada masa menjabat sebagai Maradika Mamuju diberi kepercayaan untuk mendamaikan kekacauan akibat Sengketa letak batas batas wilayah kerajaan kerajaan di Appeq Ba'bana Binanga seperti kerajaan Pamboang, Banggae, Sendana dan Balanipa yang sering terjadi setiap saat. Hal ini tercatat dalam lontrak Pattapiangang di Pamboang yang ditulis oleh Leqdang Paqbicara Adolang kerajaan Pamboang. 

Berikut adalah kisah penentuan tapal batas yang tercatat dalam lontrak Pattapiangang Pamboang. Itulah sebabnya maka dijemputlah Puatta Karema di Mamuju, setibanya Puatta Karema dinaikkanlah ke usungan dan diusunglah ke perbertasan yang disebut Batu-batu, batas antara Pamboang dan Banggae. Setiba diperbatasan berkatalah Puatta Karema; ”Kalian dua Daeng.. dua ba'ba binanga, lihatlah, kalau saya meludah kesebelah kanan berarti itulah bahagian dari Banggae dan kalau saya meludah kekiri berarti itulah bahagian dari Pamboang. 

Ilustrasi

Setelah itu maka dilanjutkanlah perjalanan ke sebuah tempat yang disebut buttu Pangnganaang Ulu, berkata lagi Puatta Karema; Disinilah bagian wilayah Banggae dan adapun tanah yang datar itu adalah tempat singgahnya Ba'ba Binanga yaitu Balanipa dan Sendana. Adapun perbatasan ini Asambi Puayang adalah juga termasuk wilayah Pamboang. Setelah ditetapkannya batas antara Pamboang dan Banggae maka perjalanan pun dilanjutkan lagi sehingga sampailah disuatu tempat yang disebut Tanete Tarrauwwe atau disebut juga Pattoqdoang Bandera kemudian lanjut lagi menuruni lembah dan mendaki gunung hingga ke Buttu Baya atau Buttu Tallu Sulapaq, lalu berhentilah usungan Puatta Karema karena disinilah pertemuan tiga batas wilayah kerajaan yaitu Balanipa, Pamboang dan Banggae, lalu berkatalah Puatta Karema; Dengarkanlah kalian semua tallu ba'ba binanga (Balanipa, Pamboang dan Banggae) Kalau saya menghadap ke Balanipa berarti itulah milik Balanipa, kalau saya menghadap ke Banggae berarti itulah milik Banggae dan begitupun kalau saya menghadap ke Pamboang berarti itulah milik Pamboang. 

Demikianlah ketentuan yang ditetapkan oleh Puatta Karema maka perjalanan kembali dilanjutkan lagi hingga sampai ke muara sungai Punna Nombong dan kemudian menyusuri tepian sungai lembang mombi disinilah letak persengketaan antara Hadat Alu dan Hadat Adolang sehingga masing-masing telah mendirikan benteng untuk mempertahankan wilayahnya disinilah terjadi peperangan antar Maradia Paccalo-caloq dari hadat Adolang dan Puatta I Saragian dari hadat Alu. Berkatalah Maradia; Tidak usah kita bersengketa lagi, lebih baik mengadakan kesepakatan. Dan tercapailah kesepakatan antara Maradia Paccalo-caloq dan Puatta I Saragian dan beberapa anggota hadat kerajaan. Adapun kesepakatan yang dicapai adalah sungai Mombi yang jadi batas antara dua wilayah hadat Alu dan Adolang kemudian disahkan oleh Puatta Karema. 

Rombongan pengusung Puatta Karema akhirnya tiba di lembang Mosso' dan Puatta Karema memerintahkan untuk menghentikan perjalanan dan turun dari usungan dan berkata; Hendaklah kalian menggenggam erat hasil kesepakatan kalian antara Sendana dan Pamboang, sebab jalur jalur yang sudah kita lewati itulah batas-batas kalian, kepada Sendana agar tidak mengambil lewati batas Pamboang begitupun sebaliknya Pamboang tidak boleh melewati garis batas ke Sendana. Begitulah sekilas tentang peran Puatta Karema dalam mendamaikan dan diberi kepercayaan untuk menentukan batas-batas wilayah kerajaan, Pamboang, Banggae, Sendana dan Balanipa. 

Bukan tidak mungkin bahwa sosok Puatta Karema ini dipercaya karena sifat kejujuran dan keadilan yang dimilikinya sehingga diberikan sebuah peranan yang begitu besar dalam perdamaian dikerajaan Pitu Ba'bana Binanga. Sampai hari ini nama Puatta Karema masih tetap hidup dalam hati dan pikiran masyarakat Mamuju tapi tidak sedikit pula banyak yang keliru dan tidak memahami tokoh bangsawan dan sekaligus penganjur agama ini, banyak yang menyangka kalau Puatta Karema ini adalah tokoh yang sama dengan Puatta Karama' karena nama gelaran yang sangat mirip sekali sehingga untuk memahami letak makam beliau saja mereka kadang keliru. Untuk pembahasan ini apakah sama Puatta Karema dan Puatta Karama' kita kupas ditulisan yang lain.(Arman-22)
Bersambung...
Login


Sabtu, 12 November 2022

Nae Sukur Dan Latar Konflik di Kerajaan Mamuju 1883-1888.

Maradika yang bergelar La Manuka ini bernama asli Abdul Rahman Nae Syukur, bertahta menjadi raja di Tapalang pada tahun 1867 - 1869 menggantikan Pua Caco Tamanggong Gagallang Patta ri Malunda atau juga bernama asli Cakeo Dg. Marriba yang sebelumnya adalah seorang bangsawan pemuka hadat kerajaan Tapalang. Nae Sukur adalah anak dari penguasa atau raja Mamuju Abd. Maalim Daeng Lotong atau Nae lotong yang bergelar Malloanging dan ibunya bernama I Panre putri dari raja Mamuju sebelumnya Daenna Samani To Mejanggu alias Tomampellei Kasugikanna.


Pada masa kepemimpinan Abd. Maalim Nae Lotong di Tapalang (1850-1862) telah terjadi peristiwa perompakan kapal milik Abdul Rachman yang hendak berlayar menuju Kutai Kartanegara, berangkat dari Makassar pada 14 Maret 1856 dan berlayar melalui jalur pantai Tapalang dan akhirnya karam dipantai Dungkait Tapalang pada 25 Maret 1856 dan kemudian dirompak dan kemudian kapal itu dibakar oleh orang orang Dungkait dan Tapalang, kuat dugaan bahwa yang memimpin perompakan ini adalah salah seorang bangsawan Tapalang bernama Pattalunru dan atas peristiwa inilah yang memicu terjadinya kemarahan Gubernur Hindia Belanda dan segera meminta ganti rugi atau kompensasi kepada kerajaan Tapalang dengan mengirimkan utusan kekerajaan Tapalang menggunakan kapal uap Admiral Kingsbergen untuk menyampaikan surat Gubernur tertanggal 6 April 1856 namun pihak kerajaan Tapalang tidak menanggapi dan merasa tidak bertanggungjawab dengan kejadian tersebut selain itu karena Tapalang tidak merasa terikat kontrak perjanjian dengan Pemerintah Belanda.


Sehubungan dengan persoalan perompakan tersebut, pemerintah kolonial Belanda dalam keputusannya pada 16 Mei 1856 No.2, memberikan wewenang kepada gubernur Sulawesi untuk melakukan tindakan tegas apabila mara’dia Tapalang dan Mamuju tidak mengabulkan semua tuntutan yang diminta. Gubernur Sulawesi diharapkan dapat menggunakan sarana yang ada untuk memaksakan mereka memenuhi tuntutan ganti rugi yang diajukan dan menghukum raja-raja itu atau menjatuhkan hukuman terhadap kampung-kampung yang bersalah. Oleh karena hingga awal Juni 1856, tuntutan tersebut masih belum dikabulkan semuanya, hanya sebagian kecil dari barang-barang yang dirompak dapat ditemukan kembali, maka dikirim sebuah pasukan ekspedisi ke Tapalang dan Mamuju pada 10 Juni 1856. Pasukan ekspedisi ini merupakan gabungan dari kekuatan angkatan laut dan darat yang terdiri atas kapal perang (fregat) Palembang, kapal uap Admiraal van Kingsbergen, dan kapal penjelajah Nomor 18 serta 50 di samping satu kesatuan yang diangkut dengan sebuah kapal perang berkekuatan seorang perwira dan 25 orang serdadu. Setelah pasukan ekspedisi tiba di tempat, segera menyampaikan tuntutan ganti rugi dalam waktu 36 jam tidak dikabulkan, maka kedua kampung tersebut akan dibakar dan dihancurkan. Meskipun demikian, pemangku adat Mamuju dan putra mara’dia Mamuju yang bernama Nae Sukur menyatakan tidak mampu untuk membayar ganti rugi yang dituntut. Oleh karena tuntutan tersebut tidak dipenuhi dan seiring dengan berlalunya batas waktu yang ditentukan, maka penghancuran Tapalang dan Tanjung Kait dilakukan tanpa ada perlawanan yang berarti. Penghancuran Tapalang dilakukan pada 19 Juni sementara Tanjung Kait dilakukan pada 20 Juni 1856. Berkali-kali kejadian yang sama kembali terulang di pantai Mandar antara 1858 sampai 1859 hingga pada Oktober 1863. 


Pada permulaan tahun 1862 Maradia Mamuju dan Tapalang Malloanging Nae Lotong mundur dari jabatannya sebagai raja di Tapalang karena merasa sudah tidak mampu melanjutkan jabatannya karena telah lanjut usia, maka digantikan oleh menantu laki lakinya I Samani bergelar Tomessu Ri Atapang (1862-1864). Dimasa kepemimpinan I Samani tidaklah lebih baik dari sebelumnya, pada Oktober 1863 kembali terjadi peristiwa perompakan dan penjarahan dilakukan rakyat Tapalang dan kembali memicu reaksi pemerintah Hindia Belanda atas pembangkangan terhadap kontrak perjanjian yang sudah disepakati pada 31 Oktober 1862. Pada awal tahun 1864 I Samani diturunkan sebagai raja oleh kesepakatan para hadat kerajaan Tapalang dan digantikan oleh Pua Caco Tomanggong Patta Ri Malunda yang juga adalah seorang bangsawan Tapalang yang sebelumnya adalah anggota hadat sebagai Pa'bicara di kerajaan Tapalang, namun pengangkatannya sebagai raja belum mendapat restu dari pemerintah Belanda sehingga pihak pemerintah Belanda memanggilnya untuk datang ke Makassar untuk mempertegas dan menyatakan dirinya untuk patuh pada perjanjian kontrak dengan pemerintah Belanda, namun Pua Caco menolak keinginan pemerintah Belanda untuk datang ke Makassar.


Sebagai Gubernur Hindia Belanda Celebes, J. Anthonius Bakkers memandang segera mengganti raja Tapalang Cakeo Daeng Marriba atau Pua Caco, pemecatan ini dilakukan untuk mempermudah legitimasi peraktek kolonisasi di wilayah Tapalang yang saat itu masih rawan dengan pembangkangan terhadap kebijakan dan kepentingan Kerajaan Belanda diwilayah Tapalang, maka pada Desember 1867 ditunjuklah Na'e Sukur yang juga menjabat sebagai Raja Mamuju atas persetujuan hadat Kerajaan Tapalang untuk diangkat jadi Raja Tapalang, namun Nae Sukur masih berada di Makassar saat itu sehingga pengangkatannya diundur sampai Januari 1868.


Selama memerintah di Kerajaan Tapalang Nae Sukur kurang disenangi oleh beberapa kalangan bangsawan sehingga timbul perselisihan yang kemudian mendapat penentangan dari beberapa tetua adat dan kepala kampung di Tapalang ditahun 1875 terutama perseteruan dengan Hadat kerajaan Tapang akibat sikap dari beberapa bangsawan yang menjabat di kerajaan menilai Nae Sukur terlalu tunduk pada Belanda, puncak dari perseteruan ini adalah pecahnya perang saudara antara pihak Nae Sukur dikerajaan Mamuju dan Tappalang dengan pihak I Samanangngi dan Pattalunru dikawasan hutan Karama pada tahun 1883. Pada pertempuran pertama armada perang kerajaan Mamuju dibawah pimpinan Andi Calla yang juga anak sulung dari Nae Sukur memimpin penyerangan ke Karama, I Samanangngi sendiri adalah sepupu dari Nae Sukur dari jalur ibunya. I Samanangngi dianggap banyak merugikan kerajaan dengan melanggar kontrak perjanjian dengan pihak kerajaan Belanda dengan melakukan perompakan dan menjarah kapal-kapal dagang yang melintas diperairan Mamuju dan Tapalang. 


Selain itu I Samanangngi telah melindungi Pattalunru yang diburu oleh pihak kerajaan Belanda karena selain penjarahan juga menangkap awak kapal untuk dijual sebagai budak pekerja sehingga hal inilah yang oleh pihak Belanda sangat merasa terganggu dengan aktifitas perompakan ini, jelas sangat menganggu keamanan perdagangannya dijalur pantai Tapalang dan Mamuju. I Samanangngi mendeklarasikan diri sebagai penguasa di wilayah Pangale Karama dengan memimpin pemberontak dengan gelar Maradia Pangale Tomampellei Sanjatana. Dalam pertempuran ini Andi Calla tewas ditangan pasukan Maradia Pangale dan berhasil memukul mundur pasukan kerajaan Mamuju dengan kekalahan ini Nae Sukur lantas berinisiatif meminta bantuan pasukan kepada kerajaan Belanda melalui Gubernur Hindia Belanda pada tanggal 5 Juni 1888 di Makassar.


Permintaan bantuan ini lantas mendapat respon dari pemerintah Belanda dengan mengirimkan satu batalyon prajurit dan tiga unit kapal perang bermesin uap antara lain; H.M. Koning,  H.M.Prins Hendrik dan H.M. Madoera dan berangkat ke Karama pada 19 Juni 1888, pada 23 Juni ketiga kapal perang kerajaan Belanda ini membombardir wilayah Pangale dari segala arah dengan dukungan pasukan marinir dan pasukan kerajaan Mamuju. Namun I Samanangngi dan Pattalunru ini lebih cerdik dengan tidak melakukan perlawanan, mereka mengajak semua masyarakat Pangale untuk meninggalkan rumah rumah dan perahunya menuju kehutan yang paling jauh kedalam untuk menghindari jatuhnya korban, prajurit kerajaan Mamuju kemudian membakar rumah dan perahu sebagian milik masyarakat Pangale ini dan pulang dengan tangan hampa.  Baru sebulan kemudian Raja Mamuju Nae Sukur mendapat kabar bahwa Pattalunru siap menyerahkan diri namun hal tersebut tidak pernah terjadi karena mereka tetap bersembunyi dan masih melakukan perlawanan. 


Pada masa pemerintahan Maradika Nae Sukur di Kerajaan Mamuju telah beberapa kali terjadi pembaharuan kontrak dan penandatangan kontrak baru diantaranya tanggal 3 Mei 1889 Perjanjian pengesahan dan persetujuan penyerahan hak mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap kabel Telegraf oleh rakyatnya kea Gubernemen dan pada tanggal 23 April 1890 tentang penetapan peraturan pemasukan dan pengeluaran senjata api, peluru dan mesiu. Dimasa kekuasaan Nae Sukur sebagai Maradia Tapalang (1867 – 1889), telah menandatangani kontrak panjang pada 3 Februari 1868 dan kembali menandatangani Pembaruan Kontrak pada 5 Desember 1868. 


Setelah Maradika Nae Sukur wafat pada tanggal 29 Juli 1895 di Mamuju yang kemudian digantikan oleh menantunya Karanene sebagai Maradika selanjutnya di kerajaan Mamuju oleh Dewan Hadat kerajaan Mamuju dipilihlah Karanene (1895 – 1908) sebagai pengganti raja karena hanya dia yang memenuhi syarat sebagai raja (Maradika) dan dilantik ditahun itu juga.Satu tahun menjabat sebagai raja, Karanene kembali menandatangani kontrak sebagai transisi pemegang kekuasaan raja Mamuju atas penandatanganan kontrak di tahun 31 Oktober 1862 dengan model kontrak tahun 1894 sekaligus sebagai perpanjangan penandatangan kontrak baru.


Karanene yang juga biasa digelar Maradika Pua Aji atau raja yang sudah melaksanakan haji sebagai Maradika Mamuju dan anggota hadatnya kembali menandatangani kontrak tambahan (Suppletoir Contract) Konsesi Pertambangan  pada 13 Juni dan Oktober 1905 dan perpanjangan kontrak pada tahun 1908. Pada masa ini maradika Karanene meletakkan jabatannya dan mengundurkan diri sebagai Maradika Mamuju tahun 1909, raja inilah yang banyak dikecam oleh kalangan keluarga bangsawan kerajaan Mamuju atas sikapnya yang tunduk kepada Belanda yang sebagian menganggapnya sebagai tindakan pengkhianatan atas perjuangan rakyat Mamuju sehingga timbullah perlawanan dari beberapa kalangan keluarga kerajaan di  Benteng Kayu Mangiwang Budong - budong dan di Kassa Sinyonyoi tahun 1907 sampai 1909.


Dalam pertempuran tersebut gugur beberapa orang keluarga kerajaan itu antara lain: Mantaroso Pattana Bone, Tamangujuk Daeng Mattinja Punggawa Malolo, Atjo Ammana Andang dan lainnya. Dengan peristiwa tersebut Maradika merasa telah menyesal dan atas permintaan sendiri Beliau mengundurkan diri dari tahtanya sebagai Maradika dan sebagai penggantinya terpilihlah iparnya Djalaloeddin Ammana Inda (1908 -1950) sebagai Maradika selanjutnya yang juga adalah anak dari mantan raja Mamuju Nae Sukur.(Arman Husain 2022)

Login