Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Rabu, 06 Juni 2018

Manusia Pertama Di Wilayah Mandar

Sejak dimulainya penggalian di daerah Sampaga pada bulan Mei 1933 di Lembah Sungai Karama Kabupaten Mamuju yang menemukan beberapa peralatan prasejarah seperti batu dan gerabah. Yang lalu kemudian dilanjutkan dengan dua kali penelitian di tempat yang sama di Bukit Kamassi’ yang menemukan alat-alat seperti pisau, kapak batu, kapak batu segi empat mata panah yang halus, beserta pecah-pecahan tendiker yang berukir. Penggalian pertamanya sendiri dilakukan oleh PV. Van Callenfels pada tahun 1933 di bagian tikur sedangkan penelitian yang kedua dilakukan oleh Dr. HR. Van Heekeren (1949) menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu, yang ada kemiripannya dengan Neolithic di Luzon (Philipina), Manchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan di bagian selatan puncak Magassi’ ini juga ditemukan gerabah berhiasyang dinilai oleh para arkeolog telah menunjukkan keteraturan kebudayaan di daerah Kalumpang Kabupaten Mamuju ini terlingkup dalam satu wilayah Sa-huynh Kalanay, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan Pasifik.

Hal berikutnya juga pernah dilakukan oleh Dr. FDK Bosch yang mencoba membandingkan hasil temuan Amiruddin Maula salah seorang tokoh pendidik di Kabupaten Majene yang menemukan Patung dan dibandingkannya dengan patung Budha dari Solok Sumatera Barat, Kotabangun Jambi, Kalimantan Barat, Gunung Lawu, Jawa Tengah, kesimpulannya, tidak ada satupun kemiripan atasnya. Dan setelah dibandingkan dengan patung budha yang ada di India, Muka dan Gandhara, kesimpulannya kemudian bahwa patung tersebut dipengaruhi oleh gaya dan kemiripan dengan Budha Greeco yang ada di India Selatan yang beraliran kesenian Amarawati yang juga sangat besar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-2 dan 7 Masehi. (ibid).

Dari sini kemudian dapat diterjemahkan bahwa keberadaan Manusia pertama di Mandar sesungguhnya telah lama ada. Hal itu dikuatkan oleh hitungan abad yang menjadi dasar dan pertimbangan atas temuan-temuan tersebut diatas. Yang kemudian diperkuat lagi oleh hasil penelitan yang konon pernah dilakukan HR Van Heekern bahwa kapak-kapak pembias yang ditemukan di Indonesia ada kemiripan dengan yang ditemukan di Yunan dan Tongkin (Tiongkok Selatan). Hal ini menguatkan pemahaman dan lalu melahirkan kesimpulan bahwa, orang-orang Austronesia sesungguhnya berasal dari Yunan dan Tongkin dan masuk ke Indonesia sejak 1000 tahun yang lalu. 

Beranjak dari pengertian diatas ini, hal yang juga mungkin ada baiknya jika di ungkap adalah, tentang pandangan lain yang menjelaskan bahwa orang Sulawesi Selatan-termasuk Mandar-pada umumnya berasal dari ras Mongoloid yang masuk melalui jalur Philipina, lalu menyeberang ke Sulawesi dengan jalan menyusuri Selat Makassar dan merapat di pesisiran Barat Pulau Sulawesi. Konon seperti dikisahkan pula bahwa, kedatangan mereka pertama kali secara berkelompok dan bertahap. Awalnya tinggal dan berdiam didaratan dekat pesisiran, lalu dengan perlahan mereka lalu masuk gunung dan tinggal di gua-gua, hidup berburu dan mengembara di hutan-hutan. Ibrahim Abbas (1999).

Mandar seperti halnya komunitas tradisoinal dan klasik lainnya yang juga mengalami kekaburan mata rantai sejarahnya, kalau tidak kasar disebut sebagai keterputusan pintalan sejarah. Hal mana lebih di akibatkan oleh adanya kepercayaan bahwa kelahiran manusia pertama di Mandar lahir dan turun secara sporadis dari khayangan atau turun dari langit (manusia langit-pen), seperti di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya Tomanurung yang konon adalah manusia pertama di Mandar. Lahir dari belahan bambu atau yang lebih dikenal dengan Tobisse ditallang. Atau yang lahir dan miniti dari atas buih air laut yang dikenal dengan To Kombong di bura atau yang terbuang dari perut ikan hiu yang dikenal dengan Tonisesse di Tingalor. Hal ini tentu sulit untuk dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Namun itulah realitas kesejarahan yang lalu melegenda dan di yakini adanya oleh sebagian besar masyarakat Mandar, dan Konon termaktub dalam lontar (naskah lokal-pen). Lebih jauh dari itu, To Manurung inilah kemudian yang juga di yakini menjadi cikal keturunan manusia pertama dan penguasa pertama di Tanah Mandar.

Dari tujuh orang putra-putri Pongkapadang, kemudian lahir sebelas orang cucu Pongka Padang. Inilah yang kemudian menurunkan orang-orang Mamasa secara khusus dan Sulawesi Barat secara umum, masing -masing:
1. Dettumanan di Tabulahan, 
2. Ampu Tengnge’(tammi’) di Bambang, 
3. Daeng Matana di Mambi, 
4. Ta Ajoang di Matangnga, 
5. Daeng Malulung di Balanipa (Tinambung), 
6. Daeng Maroe di Taramanu’ (Ulu Manda’),
7. Makke Daeng di Mamuju, 
8. Tambuli Bassi di Tappalang, 
9. Sahalima di Koa (Tabang), 
10. Daeng Kamahu, Ta Kayyang Pudung di Sumahu’ (Sondoang), 
11. Ta La’binna di Lohe Galumpang (Mangki tua).

Dalam beberapa Lontar di Mandar sepakat menunjuk bahwa Manusia pertama adalah yang berkembang di Mandar, ditemukan di Hulu Sungai Saddang dan merekalah Tomanurung (orang yang turun dari langit atau juga disebut turun dari kayangan,titisan Dewa) dan Tokombong dibura bernama Tobanuapong  yang memperistrikan Tobisse Ditallang yang melahirkan lima orang bersaudara,yang pertama bernama I Landobeluaq dialah berdiam di Makassar kedua bernama I lasokkepang, dialah yang berdiam di Beluak yang ketiga bernama I landoguttu di Ulu Sadang, yang keempat bernama Usuksabangang dialah yang tinggal di Karonnangan kelima bernama Pakdorang dialah yang berdiam di Bittuang.

Namun versi lain juga ada yang menyebutkan bahwa awal muasal manusia Mandar adalah Pongkapadang yang merupakan turunan dari Tobisse di Tallang dan Tokombong di Bura yang lalu melahirkan 7 anak di hulu Sungai Sa’ dang yang kemudian menyebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Salah satu diantaranya adalah Pongkapadang yang kemudian menurut penuturan sejarah memilih berdiam di Tabulahan dan menikahi seorang gadis yang kemudian dikenal bernama Torije’ne. Kedua pasangan ini kemudian beranak pinak yang kemudian di percaya menjadi pemimpin di beberapa kerajaan di Mandar. Sekitar abad ke-11 M. (Sarman Sahudding. 2004).

Pongkapadang adalah salah satu dari tujuh orang anak hasil perkawinan Tomanurung (orang yang turun dari langit atau juga disebut turun dari kayangan (titisan Dewa) dan Tokombong dibura bernama Tobanuapong yang memperistrikan Tobisse ditallang melahirkan sebelas orang anak yaitu:
1.   Daeng Tumanan (Dettumanang)
2.   Lamber susu (lombeng susu)
3.   Daeng Mangana
4.   Sahalima
5.   Palao
6.   To andiri
7.   Daeng palulung
8.   Todipikung
9.   Tolambana
10. Topani bulu
11. Topalili
Dari kesebelas anak tersebut diatas yang kemudian menyebar keseluruh penjuru dalam wilayah Mandar dan yang paling menonjol keberadaannya adalah Topalili yang melahirkan Todipaturung dilangi dan Lamberesusu yang menetap di Kalumpang (Mamuju) yang dalam catatan sejarah menurungkan 41 (empat puluh satu) Tomakaka yang masing masing bermukim dalam wilayah Mandar saat ini.

Dari sumber cerita rakyat ada juga manusia sebelas persi Tabulahan yang menurut sumber ini juga adalah anak cucu dari Pongkopadang yang menetap di Ulu Salu yaitu lima orang terdiri dari :
1.     Daeng Tumanan 
2.     Daeng matana
3.     Tammi
4.     Taajoang
5.     Sahalima
Dan enam orang di antaranya berkembang di Pitu Babana Binanga yaitu terdiri :
1.      Daeng mallullung di Tara manu”
2.      Tola’binna di Kalumpang
3.      Tokarambatu di Simboro
4.      Tambulu bassi di Tappalang
5.      Tokayyang pudung di Mekkatta
Dari beberapa versi yang terurai di atas yang masing-masing mempunyai dasar untuk layak dipercaya bahwa Nenek Moyang orang Mandar Suku Mandar berasal dari Hulu Sungai Saddang yaitu Pongkopadang sebagai cikal bakal penduduk yang mendiami kawasan Mandar yang dalam perjalanan selanjutnya oleh generasi mereka terjalin kembali hubungan kekerabatan dan perkawinan di antara satu dengan yang lain.


Rumah Tomakaka Daeng Tumanang Di Tabulahan. Sumber  Wikimedia, KITVL 

Adapun yang menyebabkan Zaman Tomanurung tidak di masukkan sebagai Salah satu periode dalam Zaman sejarah Mandar adalah karena Tomanurung itu sendiri masih tanda Tanya atau dengan kata lain adalah sebuah legenda dan mitos, walaupun cerita mengenai Tomanurung terdapat pula dalam beberapa lontar Mandar.

Dari uraian diatas, jelas menunjukkan kesipangsiuran sejarah yang sungguh akan membingungkan. Namun tetap mesti dicatat, sebab penyaksian atas kejadian-kejadian yang terjadi dan diyakini adalah realitas kesejarahan yang juga bertumpuk pada alasan-alasan historis yang memang susah di tampik. Kendati memang, setiap orang yang akan melakukan pendalaman atas zaman prasejarah di Mandar akan mengalami kesulitan-kesulitan, bahkan kebuntuan.

Utamanya diakibatkan belum adanya kesepakatan antara peneliti dan para pelaku sejarah dan kebudayaan yang koncern terhadap Mandar atas zaman dan periodisasi prasejah di Mandar. Sementara satu sisi realitas-realitas pemahaman historis tersebut tetap hidup berkembang hingga kini di masyarakatnya.

Maka menarik apa yang diungkap oleh Mundarjito (1982) bahwa tidak semua pikiran manusia dapat diwujudkan kedalam tingka laku lahiriah. Sama seperti bahwa, tidak semua bahwa hasil budaya (sebagai fossilized behavior) mencerminkan mental template (deetz) dari seluruh pikiran dan tingkah laku manusia yang sanggup terekam dalam wujud benda budaya. Yang ada hanyalah sebagian kecil saja, dari sekian banyak benda budaya yang dapat selamat hingga kini. Sebagian besar rusak, sebagian besar hilang. Sedangkan sebagian besar lainnya masih berada di tanah dan dalam air.

Bahkan lebih jauh Rathje dan Schiffer, (1980) menyebutkan kendati benda bertulisan, yang itupun kalau diketemukan, telah memuat pikiran manusia dan masyarakat. Tetapi tidak lantas dapat dikatakan telah menjangkau semua asfek kehidupan semua golongan masyarakat masa lalu. Sebab bisa saja ada belum tentu mengandung kebenaran sepenuhnya. Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya bias dari penulis masa lalu atau peneliti masa kini. Dari pandangan ini dapat disimpulkan bahwa kian abstrak sasaran studi, maka akan kian menajam pula metodologi yang mesti digunakan. Atau makin jauh masa-masa yang ingin dipelajari, maka makin sukar pula mengurangi kesenjangan-kesenjangan di dalamnya. (Arman Husain 2017). - Revisi 16 Juli 2021-

2 komentar:

  1. saya orang mamuju bolehkah sy mendapatkan kontak anda

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh,.. tapi isikan dulu nama email dan nama lengkap anda di kolom" Hubungi Kami" atau disini -- https://mamunyuku.blogspot.com/p/contact-us.html

      Hapus