Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Tampilkan postingan dengan label Cerita Rakyat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Rakyat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 Juni 2018

Ritual Adat Kuno " Massasaq "


Salah satu ritual adat kuno di tanah Manakarra adalah ritual adat "massasaq" atau mengiris dalam maknanya adalah memutilasi anggota tubuh manusia (baca ; korban) sampai mati. ritual ini diperkirakan telah ada sejak zaman dahulu dimana masyarakat pada saat itu masih dalam kepercayaan kepada dewa - dewa (paganisme) dan benda benda (dinamisme), ritual adat ini perlahan lahan ditinggalkan sejak berdirinya kerajaan di Mamuju, yang ditandai dengan masuknya ajaran hindu, islam dan budha yang disebarkan oleh pedagang dan pendeta pendeta yang datang di wilayah Mamuju seperti dari pedagang pedagang dan utusan kerajaan kerajaan di sulawesi dan Bali. Menurut narasumber kami yang telah berumur sekitar delapan puluh lima tahun lebih, hal ini bersumber dari nenek narasumber yang berusia sampai seratus lebih masih mendapati nenek buyutnya melakukan ritual adat tersebut, dan turun temurun diceritakan kepadanya sampai keanak cucunya.

Ritual adat massasaq ini hampir mirip dengan ritual adat di berbagai belahan dunia lainnya, Suku Aztec misalnya yang mendiami wilayah Meksiko sampai Amerika saat ini terkenal dengan ritual adat memberi persembahan korban manusia kepada dewa dewa yang dianggap sebagai rasa syukur atas panen, kesembuhan dan lain sebagainya, seperti halnya di wilayah Kalumpang ternyata ada juga ritual adat seperti massasaq ini sebagai persembahan kepada dewa dengan mengorbangkan salah satu anggota keluarga atau budak yang dimiliki yang sampai saat ini sering disebut sebut "diparrara" atau di kurbankan untuk menghindari angkara murka dewa atau penghuni tempat tempat yang dianggap dihuni oleh mahluk yang ghaib. Menurut cerita orang tua kami bahwa di Mamuju dahulu ada sebuah tempat pembuangan mayat yang telah dikorbangkan sehingga tempat tersebut terdapat banyak sisa sisa tulang belulang dan tengkorak manusia disebuah tempat yg sekarang di sebut Tambungkeng, di lingkungan Kasiwa. Entah apakah cerita tersebut benar atau tidak yang jelas memang banyak cerita cerita tersebut yg diceritakan oleh orang tua. Menurut narasumber kami ritual adat


Tengkorak Manusia yang jadi korban ritual adat
ini tidak banyak yang tahu khususnya di wilayah Mamuju karena dianggap tabu untuk dibicarakan oleh orang orang dahulu " jari itte todapaq ampunna melo marasa hasil pangumaang_na harus mattinjaq mako di dewa namassasaq batuanna" artinya jadi jika seseorang menginginkan hasil panen yang melimpah dalam usahanya bercocok tanam orang tersebut harus melakukan nazar (bernazar) akan mengorbankan budaknya. Adapun tradisi massasaq itu dilakukan dengan cara memberi makan kepada korban dengan "kande tobarani " ( makanan seorang pemberani), sampai korban tersebut akan merasa kerasukan dan tidak merasakan apapun, setelah diberi makan maka diundanglah seorang algojo atau eksekutor untuk melaksanakan tugasnya mula mula korban akan di tanya  algojo apakah dia siap jika anggota tubuhnya diambil " nakuala matammu, nakuala talingammu, nakuala aqbaqmu (saya akan ambil matamu, telingamu, kepalamu,) jika korban sudah mengiyakan maka sang algojo akan mulai mengiris satu persatu anggota tubuh korban tersebut sampai kepala dipenggal dan mati.

ihhh.. begitu mengerikannya ritual adat tersebut ..! sampai kami menanyakan ke narasumber bagaimana jika korban itu tidak siap dan berniat melarikan diri.? itu tidak akan mungkin karena kondisi pada saat itu korban sudah diberi makanan yang diberi mantra mantra yang mengakibatkan korban menurut saja, tutur narasumber kami bersemangat. kami pun melanjutkan pertanyaan lain karena waktu untuk wawancara sudah cukup. nah itulah sekilas yang dapat kami tuturkan adapun kebenarannya hanya tuhan yang tahu, Allahualam _(Arman Husan)

Senin, 26 Februari 2018

Jejak Perlawanan di Benteng Kassa

Punggawa Malolo tampak termenung di atas sebuah batu besar di Bukit Kassa sambil memandang kearah pesisir semenanjung laut Mamuju, disampingnya tampak Tatamalea dengan serius mengasah sebilah tombak yang sering digunakan sang Punggawa saat bertempur.

Di dekat Batu besar itu, Tadende yang berada di atas pohon memandangi sang Punggawa dengan serius. Sesekali Punggawa Malolo memalingkan pandangannya ke arah selatan. “Bagaimana kabar mereka di Budong-budong, Punggawa Malolo berbalik ke Arah Tatamalea dengan serius. “Tenang saja Daeng, Pue pasti bisa mengatasi pasukan-pasukan Balanda itu,” sanggah Tatamale sambil tertawa. “Apa lagi ada Daenna Maccirinnai, Parrimuku, dan Pattolo Lipu yang terkenal dengan keberanian dan kehebatannya. Ditambah lagi Pua’ Indaya dan pasukan dari Mambinya,” Tatamalea meyambung ucapannya. Dari atas pohon yang lebat itu, Tadende mendengar percakapan tuannya. Dalam benaknya ia teringat dengan peristiwa dua tahun lalu di Bukit Pambe’besan.

Tahun 1905 kapal putih milik Belanda berlabuh di Rangas, saat itu Maradika Mamuju beserta Gala’gar Pitu tak berdaya untuk memberikan perlawanan dan menandatangani sebuah perjanjian di atas kapal tersebut yang dikenal dengan Korte Verkalaring. Beberapa tokoh dan kesatria Mamuju tidak menerima perjanjian yang disepakati antara adat Mamuju dan Belanda yang dinilai melukai harkat dan martabat rakyat Mamuju. Akhirnya, mereka bersepakat untuk memberikan perlawanan dan membuat sebuah Benteng pertahanan.
Masih teringat dalam benaknya ketika Taunding memberikan kabar dari Pattangarang akan datangnya Rombongan yang dipimpin oleh Pattana Bone (Pue Bone) dan Daenna Maccirinnai menuju arah Pambe’besan.

Rombongan ini singgah di Pambe’besan untuk beristirahat dari perjalanan panjang ketika Matahari hampir tepat berada di atas. Diantara rombongan itu tampak pula rombongan dari Mambi yang dipimpin oleh Pua’ Indaya. Kedatangan rombongan Mamuju ini membuat penghuni Pambe’besan sibuk untuk memberikan penyambutan. Ammana Andang dan beberapa petinggi Sinyonyoi sibuk memberikan perintah untuk persiapan penyembutan itu. Suasana Pembe’besan begitu meriah hari itu .Ketika sampai di Pambe’besan, Punggawa Malolo langsung meberikan salam kepada rombongan Pattana Bone. “Assalamualaikum Pue,” ucap Punggawa Malolo sambil menyalami Pattana Bone. "Walaikum salam,” balas rombongan Pattana Bone dengan serentak. “Suatu kehormatan rombongan Maradika mengunjungi tempat kami,” ucap Punggawa Malolo.

Akhirnya rombongan Pattana Bone beristirahat dibeberapa pemukiman yang ada di Pambe’besan, Sementara itu Pattana Bone dan beberapa petinggi melakukan perbincangan di atas Sapo Kayyang Pambe’besan. Diantara semua petinggi yang hadir di Pambe’besan, hanya Pattolo Lipu yang tidak ikut berbincang di Sapo Kayyang Punggawa Malolo. Ia lebih memilih untuk berkeliling di sekitar pemukiman Sinyonyoi. Mungkin karena jiwa mudanya yang masih membara.

Suasana di Sapo Kayyang Pambe’besan tampak tegang. Dalam hatinya Punggawa Malolo sudah bisa menebak maksud dan tujuan rombongan dari Mamuju ini. “Ini pasati berhubungan dengan Balanda,” bisiknya dalam hati. “Tabe’ Daeng, kami telah merepotkan masyarakat disini,” ucap Daenna Maccirinnai sambil menghela nafas. “Tentu maksud kedatangan kami sudah Daeng Ketahui, apalagi kabar berlabuhnya Kapal Putih di Rangas telah tersebar kesluruh penjuru angin,” sambung Daenna Maccirinnai yang memandangi Punggawa Malolo. “Ayo Daeng kita bersatu di Budong-Budong untuk bertempur melawan penjajah Balanda,” ucap Daenna Maccirinnai dengan nada yang lebih tegas sambil memegang badik di pinggangnya. Punggawa Malolo terdiam dan menghela nafas, sesekal ia berbalik ke arah Ammana Andang yang duduk mendampinginya. “Maaf beribu maaf Pue, kami telah membicarakan persoalan ini sebelumnya soal keputusan Maradika dan Gala’gar Pitu soal Balanda,” ucapnya sambil menatap mata Daenna Maccirinnai dengan tajam. Tiba-tiba Punggawa Malolo memalingkan pandangannya ke arah Pattana Bone.“Kami sudah memutuskan untuk memberikan perlawanan di Sinyonyoi,” ia me nyambung ucapannya.“Dari dulu kau tidak berubah,” kata Pue Bone sambil menggelangkan kepala. “Kau memang anaknya Pasikking, tidak jauh beda dengan ayahmu,” cetus Pue Bone dengan tersenyum. Tadende yang mendengar perbincangan ini membuatnya gemetar, ia berada di barisan belakang Punggawa Malolo, ia hanya menundukkan kepala sambil sesekali memandangi tuannya yang terlibat perbincangan hebat dengan kesatria dari Mamuju ini. Sesekali ia memandang ke arah Daenna Maccirinnai namun tak kuasa menantapnya lama. “Inilah pemberani dari Mamuju, dari dulu saya hanya mendengar kabar mereka. Hari ini saya berhdapan langsung dengan mereka,” bisiknya dalam hati. “Bukan maksus kami untuk menolak, tapi mungkin kita bisa melakukan perlawanan di tempat yang berbeda,” tiba-tiba Ammana Andang bersuara. Saat itu Tadende serasa ingin bersuara namun tak kuasa ia bersuara. Padahal dia hanya ingin berkata “Betul Pue”. Namun ia menjadi orang bisu ketika berada di depan kesatria-kesatria ini. 

Perbincangan terus berlangsung alot. Tiba-tiba Punggawa Malolo berbalik kearah jendela yang berada di dekatnya. “Tampaknya waktu shalat Dhuhur sudah masuk, mari kita shalat dulu,” ucap Punggawa Malolo. Perbincangan di Sapo Kayyang Pambe’besan berakhir, hasilnya sudah jelas Punggawa Malolo lebih memilih untuk bertahan di Sinyonyoi.

Tak lama setelah itu, usai melaksanakan shlat Ashar, rombongan Pue Bone pun meninggalkan Pambe’besan dengan berat hati.“Kalau begitu, kami pamit untuk melanjutkan perjalanan. Kalian berhati-hatilah terhadap Balanda,” kata Pue Bone. “Berita dari Makassar, Balanipa, dan Pamboang mengatakan jika mereka memiliki senjata yang belum pernah dilihat sebelumnya. Apalagi Balanda ini dikenal licik,” kata Pue Bone sambil memegang pundak Punggawa Malolo. “Terima kasih Pue sudah mampir di tempat kami, semoga kita bisa bertemu lagi,” balas Puggawa Malolo.

Akhirnya, Rombongan dari Mamuju ini melanjutkan perjalanan. “Sampai ketemu lagi Dende,” dari barisan Pue Bone seseorang berteriak hingga tiga kali. Dia adalah Tabose, saudara sesusu Tadende yang pernah diasuh oleh ibunya di Sinyonyoi. Tadende meneteskan air mata sambil tersenyum ke arah rombongan Pattana bone. Begitulah peristiwa yang terlintas dalam ingatannya ketika Rombongan dari Mamuju menyambangi Bukit Pembe’besan tempat Punggawa Malolo dan Ammana Andang menyusun pasukannya.

Bersambung....

Jejak Perlawanan di Benteng Kassa (Punggawa Dari Tanah Manakarra)

“Diam! Diam! Diam!, diam kalian semua?”, teriak sesosok pria berambut panjang berbadan kekar, Sontak seisi ruangan terdiam, semua mata tertuju pada sumber suara yang menggetarkan ruangan. “Tidak mungkin kita menyerah pada mereka, ini tanah kelahiran kita, tanah yang akan tetap menjadai milik kita hingga anak cucu kelak, ini siri’ ” tegas pria berambut gondrong kali ini dengan posisi berdiri dan mengepalkan tangannya.

“Apa kalian sudah tidak punya siri’ dalam diri yang kalian bangga-banggakan itu? Dimana daengku’ yang katanya pemberani? ” sambungnya dengan nada yang lebih keras sambil mengarahkan pandangannya ke depan dan tertuju pada seorang pria tepat berada di depannya. “Tidak ada kata menyerah, tidak ada kompromi, kalau nyawa ini yang harus jadi taruhannya, akan kukorbankan untuk tanah dan masa depan anak cucu kita,” ruangan semakin hening hanya sesekali terdengar kicauan burung dan desir ombak seperti mengaminkan teriakan pria berbadan kekar.

Semua orang yang ada dalam ruangan tertunduk dan tak ada yang berani bersuara, hanya sesekali terdengar suara hembusan nafas dari beberapa orang yang ada dalam ruangan. “Sabar! Sabar! , ini harus dibicarakan dengan cermat, dengan kepala dingin jangan dengan emosi,” salah seorang pria bersuara dengan nada yang lebih lembut sambil memegang badik badik tepat di depannya. “Kalau masalah ini, tidak ada kata kompromi, kita harus melawan. Harga dirii kita diinjak-injak. Lebih baik aku mati dari pada diperintah oleh mereka itu!,” balas pria gondrong kali ini dengan menghunus sebilah pedang ke arah langit-langit ruangan. “Jika kalian tetap dengan pendirian, silahkan!. Aku juga tetap dengan pendirianku, jika ada diantara kalian bersama meraka berarti sejak saat itu kita bersebelahan dan tidak ada hubungan lagi, katakana pada mereka, Aku tunggu di Sinyonyoi di bukit Pambe’besan” sambil menyarungkan pedangnnya pria tadi berbalik dan meninggalkan ruangan, beberapa orang ikut bersamanya.

Setelah pria gondrong dan beberapa orang meninggalkan ruangan seorang pria tiba-tiba berdiri dan tampak terlihat keragu-raguan dari tingkahnya. “Tabe’ Pue, saya harus ikut keluar, beliau yang telah membesarkanku dan saya sudah menganggapnya ayah!,” ucapnya sambil membukkukkan badan. Ia pun keluar dari ruangan dan mengejar rombongan pria yang menggetarkan ruangan sebelumnya.

Hanya beberapa orang yang ada dalam ruangan rapat. Tidak ada lagi yang berani meninggalkan ruangan setelah pemuda tadi. “Apa yang dikatakannya memang ada betulnya, namun kita tidak bisa terlalu terburu-buru mengambil sikap. Harus dengan kepala yang jernih, namun tidak serta-merta juga kita sepakat dengan apa yang disyaratkan oleh Balanda,” seorang pria menghangatkan suasana ruangan yang semakin tegang. “Baiklah rapat ini kita tunda dulu untuk beberapa waktu kedepan,”.

*********

5 hari yang lalu Balanda membuang jangkar di perairan Rangas, 3 buah kapal lengkap dengan pasukan bersandar di pelabuhan rangas. Maradika dan beberapa Punggawanya diundang untuk membicarakan sesuatu di atas kapal hitam denga bendera, merah, putih, biru.

Di tanah Manakarra hingga daerah pelosok tersiar gosip, bahwa Maradika telah menyerah kepada Balanda, inilah yang menjadi gejolak yang berkembang di Tanah Makkedaeng ini. Tanpa melakukan pembicaraan dengan pihak kerajaan, beberapa Punggawa telah menyatakan mengangkat senjata meskipun Maradika sendiri belum memberikan pernyataan resminya. Beberapa orang menganggap Maradika dan kroni-kroninya lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Dari gosip yang terserbar, pihak Kerajaan Belanda menginginkan agar semua senjata diletakkan dan semua daerah Manakarra diserahkan kepada Pihak Kerajaan dan mengangkat Gubernur Jendral untuk wilayah Manakarra. Sebelum Mamuju, beberapa daerah di Tanah Mandar telah berhasil diamankan oleh pihak Kerajaan Belanda, meski masih ada perlawanan yang dipimpin oleh Calo Ammana Wewang di Pamboang.

Sementara itu, kekuatan besar di Tanah Sulawesi telah dikuasai oleh Kerajaan Belanda yaitu Gowa Tallo di Makassar dan Kerajaan Bone di Bugis. Beberapa Punggawa dari tanah Mandar juga sempat berjuang di dua kerajaan itu.

Sejak dulu, Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar telah menjalin aliansi termasuk saat kedatangan Belanda pertama kalinya ke Tanah Sulawesi. Bahkan perkawinan silang sering terjadi untuk menguatkan kekerabatan., namun beberapa dari mereka tercerai berai akibat politik adu domba yang dijalankan pihak Belanda. Termasuk Bugis dan Makassar yang merupakan dua kekuatan yang besar yang saat itu dipimpin oleh kesatria yang di hormati di tanah ini Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin.

Belanda telah menyisir hampir seluruh pesisir Sulawesi, kali ini giliran tanah Mandar. Sebelum datang dengan senjata, Belanda sebelumnya telah datang sebagai pedangan.

Jejak Perlawanan di Benteng Kassa (Kabar Buruk Dari Pesisir)

Pemuda itu terlihat panik, seolah membawa kabar yang akan membuat majikannya murka. Sudah setengah hari ia berlari dari pesisir untuk mencapai bukit Kassa, terlihat lelah diwajahnya namun ia terus berlari dan tidak menghentikan langkahnya.

Tidak jauh dari depannya, seorang petani berpakaian lusuh berjalan semakin mendekat ke arahnya. Ia membawa sebilah cangkul di tangan kanannya dan memikul seikat kayu di pundak kirinya. Dari raut wajah petani itu terlukis kebingungan melihat sosok pemuda yang berlari kencang ke arahnya.

Semakin jauh pemuda itu berlari, ia melewati sekelompok masyarakat yang sedang memanen sawahnya. Tampak gembira terlihat di wajah para petani itu. Maklum satu tahun sebelumnya, sawah di daerah ini gagal panen akibat kekeringan panjang yang melanda desa. Namun, pemuda itu tak menghiraukan kondisi disekitarnya ia semakin kencang berlari menjauh dari pandangan mata dan hilang ditelan pepohonan yang lebat di perbukitan.

Sudah tiga pemukiman yang ia lewati dan satu sungai yang telah diseberangi, pakaiannya yang basah saat menyeberangi sungai kering diperjalanan selama ia berlari, begitupun keringat yang bercucuran dari tubuhnya. “Kenapa Tadende,” terdengat suara dari balik bukit. Suara tersebut masih samar, ia hanya menoleh sedikit dan melanjutkan perjalanannya. “Kenapa Tadende,” suara yang sama terdengar namun kali ini gaungnya jelas terdengar bahkan dari jarak 100 meter pun terdengar jelas. Seketika itu ia berhenti. Dari balik pohon kapuk raksasa yang menjulang tinggi muncul sesosok manusia kekar, pandangannya tajam, rambutnya sedikit beruban, dan sebilah parang di tangan kanannya. Ia kaget, “Astaga,” teriaknya. “Siapa yang muncul dari pohon angker itu,” bisiknya dalam hati sambil menghilangkan kepanikan yang terpancar dari wajahnya.

Konon, pohon kapuk berukuran raksasa itu angker bagi semua penduduk yang berada di daerah itu ditambah sebongkah batu raksasa berada dua langkah orang dewasa berada dekat dari pohon itu. Menurut tetua di kampung, pohon kapuk dan batu raksasa di desa itu dihuni oleh penjaga raksasa yang siap mengambil dan melenyapkan manusia yang bermain di daerah itu. Jarang yang berani lewat disekitar pohon itu sejak hilangnya Pua’ Cambang dua tahun yang lalu. Mengingat kisah itu, Tadende semakin panik. Namun ia berusaha untuk menguasai diri dan mengatur nafas yang sejak tadi terdengar tidak teratur akibat berlari dari pesisir.

Ia melupakan semua yang terjadi beberapa saat sebelumnya. “Kenapa Tadede,” kalimat itu terdengar lagi dengan nada yang berbeda Tadende tersadar dan bisa menguasai diri. Astaga, ternyata kita’ Pua’,” jawab Tadende dengan nada yang lega. Orang tua itu adalah Pua’ Jonga, salah seorang kesatria di daerah itu. Ia masih paman dari Tadende dari garis keturunan ibunya yang berasal dari Mambi. “Darimana saja kau, kenapa terburu-buru,” Tanya Pua’ Jonga. “Kau terlihat panik, apa yang kau bawa?,” sambungnya dengan tatapan yang tajam.

“Kapal besar, kapal besar, kapal besar,” jawabnya dengan terbata-bata. Ia hanya menyebutkan Kapal Besar, Ada kapal, bawa pasukan,” tambahnya, Mendengar berita itu, sontak Pua’ Jonga kaget, “Siapa yang bawa pasukan?” . “Rambutnya kuning, ” Tadende menjelaskan. Mendengar ciri-ciri itu, terlintas di benak Pua’ Jonga, “Balanda,” bisiknya dalam hati. Kabar kedatangan Belanda sudah tersebar keseluruh penjuru Nusantara, namun saat itu Belanda hanya menduduki pulau Jawa dan Sumatera. “Cepat sampaikan pada Punggawa,” seru Pua’ Jonga. Mendengar perintah itu, Tadende langsung berlari kencang menjauh dari pohon angker itu, seketika itu ia hilang dari pandangan mata.
Begitupun Pua’ Jonga, ia langsung bergegas menghilang ke arah utara dan menghilang dibalik pepohonan.

****
Setelah hampir sehari ia berlari, akhirnya Tadenda tiba disebuah perkampungan yang dihuni oleh banyak penduduk. Kampung ini adalah kampong terakhir sebelum sampai di Bukit Kassa. “Kebetulan,” ucapnya dengan nada berbisik. Wajahnya ceria ketika tiba di perkampungan itu. “Kebetulan Punggawa ada disini,” masih dengan nada berbisik.

Tadende berlari menghampiri sesosok manusia yang tidak jauh dari tempatnya berpijak. Pria itu berbadan kekar, rambutnya panjang sebahu dan terurai rapi. Disamping kiri dan kanannya turut menyertai dua orang lelaki berbadan kekar pula. Setiap orang yang berpapasan dengannya memberi hormat pada pria itu. “Daeng, Daeng, Daeng,” teriak Tadende. Mendengar teriakan itu, pria berambut gondrong tadi tiba-tiba berhenti dan berbalik kearah suara. Tadende menghampiri dengan wajah cemas. “Kenapa Dende,? ” tanya pria itu dengan raut wajah kebingungan. “Anu Daeng,” balas Tadende. Sebelum melanjutkan jawabannya, pria itu langsung menyela, “Kenapa kau kebingungan, kabar apa yang kau bawa sehingga kau tak bisa berkata-kata,” tanya pria itu kembali. “Ada kapal yang berlabuh di Labuang, beserta pasukannya,” jawab Tadende dengan mantap. “Kapal apa itu?,” pria itu kembali bertanya. “Balanda Daeng, Balanda” kata Tadende. “Balanda,” nada tinggi terdengar dari pria itu. Tiba-tiba raut wajahnya memerah, dua orang pria yang mengiringinya pun menampakkan ekspresi yang sama. “Kurang ajar, berani-beraninya,” ucap pria itu dengan nada marah. Mendengar percakapan itu, sontak situasi di desa itu hening. Aktifitas terhenti sejenak. “Kalau begitu, Dende panggil Taunding kalian bersama-sama ke Labuang amati pergerakan mereka dan berikan laporan secepatnya,” perintah pria itu. Mendengar kata-kata pria itu Tadende bergegas meninggalkan tempat itu berlari kearah pesisir.

“Segera beritahu Maradika akan kabar ini,” pria itu memberi perintah pada salah seorang yang mengiringinya. “Kau, cepat kumpulkan para tetua dan kita bertemu di Kassa,” perintahnya lagi pada pria yang mengiringinya. Pria itu akhirnya bergegas menuju Bukit Kassa dengan iringan sekelompok pasukan.