Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Jumat, 09 Juni 2023

Mengurai Sejarah Lasalaga Dalam Perspektif Komparatif Literatur dan Folklore Mamuju

La Salaga dengan Keris Pusaka Manurung atau Keris Badung adalah mitos yang tak surut oleh zaman tak lekang oleh waktu dalam sejarah peradaban Mamuju. Cerita ini menjadi sebuah legenda yang berbalut mitos, sehinga cerita kesaktian pusaka Manurung menjadi bahan perbincangan dan perdebatan oleh kalangan budayawan dan penggiat sejarah di kabupaten Mamuju, menjadi sebuah cerita yang melegenda dengan gelaran ritual adat “Massosor Manurung” atau pencucian pusaka ini. Lasalaga dan Pusaka Keris Manurung adalah dua hal yang tidak terpisahkan karena dipercaya secara turun-temurun oleh masyarakat Mamuju sebagai pasangan legendaris antara benda pusaka dan seorang manusia yang dilahirkan secara bersamaan.

Cerita legenda ini sangat menarik untuk kita kaji bersama, pertama karena cerita legenda ini merupakan simbol kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Mamuju sebagai kerajaan yang ada di Mandar dengan kerajaan Badung yang berada di pulau Bali sehingga secara historis kerajaan Mamuju memiliki hubungan istimewa yang sampai hari ini masih terjaga. Yang kedua adalah karena cerita ini sudah sangat melegenda sehingga nilai nilai sejarah yang terkandung dalam cerita ini begitu kuat dalam ingatan dengan alur cerita yang melahirkan banyak kontroversi dari penuturan yang berbeda beda, ada beberapa versi cerita tapi nama tokoh dan alurnya tetap sama misalkan ada yang mengatakan bahwa Pusaka Manurung adalah keris yang berasal dari kerajaan Badung ada juga yang mengatakan berasal dari rahim ibunda Lasalaga atau kata lain lahir kembar dengan Lasalaga. 

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menguji dan mengkaji seperti apa cerita ini dalam metode berfikir yang lebih logis baik melalui pendekatan secara historis maupun pendekatan secara ilmiah dengan mengkomparasi beberapa data - data baik berupa literatur seperti lontrak Pattodioloang Balanipa Mandar, Lontrak Kurungan Bassi maupun data dari sumber naskah lainnya seperti arsip maupun beberapa data silsilah. Mengingat cerita legendaris ini diperkirakan terjadi pada periode abad ke 16 M. Dimasa ini kerajaan Mamuju belum menjadi sebuah kerajaan besar atau sebelum kerajaan Kurri-kurri di Selatan dan Managalllang dibagian Timur ditaklukkan oleh kerajaan Mamuju.

Cerita epik Lasalaga ini merupakan tutur lisan masyarakat Mamuju dengan segala kontroversi yang melatarbelakangi peristiwa dalam kisahnya. Lasalaga dikisahkan sebagai romantika percintaan antara dua manusia di Kerajaan Mamuju (Mandar) dan Kerajaan Badung (Bali) pada akhir abad ke 16 Masehi. Semula kami hanya mengambil sumber penulisan yang berasal dari sebuah manuskrip kuno berupa lontrak yang sudah ditransliterasikan kedalam bahasa Indonesia yang kemudian dijadikan satu buku. Berikut adalah kutipan yang tertulis dalam lontrak Pattodioloang Mandar :

Diammo pole puang Bali. Mera-arappuang tobainena Bali. Diammo uppessanni Maraqdia di Mamuju. Nauwamo maraqdia di Mamuju; Sauo mieq uragai. Sau-mi diuragai. Nauwamo tosau; inggae tama dibinanga. Mettamami dibinanga. Di lalani dibinanga, naummi maraqdia Mamuju di Lopinna, mallaulimmi naung maraqdia di Mamuju dilopinna Tomalolo. Bongi-bongi tomi tia mattambung to Mamuju batu binanga. Apa mauammi namalai Puangnga Bali dimaraqdia Mamuju. Meqitai lao mali-malimang, menggittir dami bondeq tangnga, iqdami mala messung lopinna, mattommi di Mamuju. Napebainemi
maraqdia Mamuju. Mangidammi, apamo nangidanni, tirang, iamo anna maqandemo tau tirang. Maqangidanni toi bua-bua aju apaq iamo nangidanni. Battangi, malaimi sau di banuanna. Polei sau meanaqmi tommuane, siolami dipeanang kobiq. Iyyamo disanga Lasalaga.

Sehingga suatu hari datanglah kapal-kapal dari kerajaan Badung- Bali berlabuh di kawasan pantai namun kapal kapal tersebut belum merapat dipelabuhan kasiwa. Baru setelah seorang masyarakat melaporkan kepada Maradia (raja Mamuju) bahwa ada rombongan kapal yang mendekati perairan Mamuju. Berkatalah Maradia ”Sau o mie' uragai ” makna kata ”uragai” berarti menemui atau menyuruh untuk menemui rombongan kapal itu. 

Maka berangkatlah orang suruhan Maradia menuju rombongan kapal orang Bali dan memerintahkan mereka untuk masuk ke muara sungai dan merapatkan kapal - kapal mereka ke dermaga (labuang) ”...Sau-mi diuragai. Nauwamo tosau; inggae tama dibinanga. Mettamami dibinanga. Di lalani dibinanga. naummi maraqdia Mamuju di Lopinna”. 
Kutipan lontrak menjelaskan bahwa setelah rombongan kapal -kapal orang Bali merapat ke tepian pantai Mamuju tepatnya didekat muara sungai Mamuju disebuah perkampungan yang disebut Kasiwa maka Maradia segera mengutus seseorang untuk menemui rombongan kapal orang - orang Bali dan Maradia memerintahkan untuk masuk ke muara sungai untuk berlabuh.

Penulis lontrak mengisyaratkan bahwa di dalam salah satu kapal tersebut membawa beberapa keluarga kerajaan Badung dan beberapa perempuan yang diceritakan memiliki paras yang cantik, sehingga disebut ”meraarrapuang tobainena bali” kalau kita mengartikan bahwa makna merrarapuang terdiri dari dua suku kata yaitu merrara - puang bermakna merarra = (berdarah), Puang : (bangsawan), atau Perempuan Bali yang berdarah bangsawan. 

Tentang maksud kedatangan orang - orang Bali ini dalam lontrak tidak disebutkan. Pendapat lain mengatakan bahwa kedatangan orang Bali adalah bertujuan untuk menghadiri undangan pesta makan atau kenduri seperti yang ditulis oleh Abdul Rasyid Kampil dalam tulisannya (Balada abad ke XVI Masehi). 

Bersambung....
Hub admin +62 856-5726-6525


Mengurai Sejarah Lasalaga Dalam Perspektif Komparatif Literatur dan Folklore Mamuju (bag.2)

Mengenai cerita legenda Lasalaga ini salah satunya telah ditulis dalam sebuah kumpulan catatan arsip berbahasa Belanda pada judul halaman ”Nota bevattende eenige gegevens betreffende het landschap Mamoedjoe”. Dalam TIJDSCHRIFT VOOR INDISCHE TAAL, LAND, EN VOLKENKUNDE. Terbit pada tahun 1911 Oleh Kumpulan Masyarakat Seni Dan Ilmu Batavia. Yang disusun dan ditulis kembali oleh DR. Ph. S. Van Ronkel. Pada sub judul; Legende omtrent de rijkssieraden.

 ”Op een goeden dag ankerde in de monding der Mamoedjoe rivier de prauw van den Balischen vorst van Badoeng, die herwaarts gekomen was om hanen gevechten bij te wonen. Diep verborgen in de prauw bleef zijn dochter”.
Terjemahan: ”Suatu hari, di muara sungai Mamudjoe, perahu raja Badoeng Bali yang datang ke sini untuk menonton sabung ayam berlabuh di muara sungai Mamujoe.  Putrinya tetap tersembunyi jauh di dalam prahu”.

Dalam catatan tersebut seolah bahwa kedatangan raja Bali ke Mamuju bertujuan bukan untuk menghadiri undangan untuk acara adat seperti yang sering di ceritakan akan tetapi untuk menghadiri undangan dari raja mamuju untuk mengadu ayam (sabung) dari Mamuju dengan ayam dari kerajaan Bali dan diantara mereka seorang perempuan yang cantik ikut pula dalam kapal rombongannya jauh tersembunyi dalam sebuah kamar di dalam perahu tersebut sehingga terdengarlah oleh raja Mamuju tentang kecantikan Putri Badung tersebut. 

”De zoon van den Maradia, die toenmaals aan het bestuur en gehuwd was met de dochter van den eersten tomakaka der Sinjonjoi. nenek Deilomale, hoorde de schoonheid van het Balische meisje roemen, wist de wachters met veel geld om te koopen en verbleef een nacht bij de schoone”.
Terjemahan: ”...Anak laki-laki Maradia yang saat itu sedang dalam pemerintahan, dan menikah dengan putri tomakaka pertama Sinjonjoi, nenek Deilomale (Daeng Lumalle).  Mendengar kecantikan gadis Bali dipuji, menyuap penjaga dengan uang banyak dan menginap semalam dengan si cantik..”

Anak laki-laki Maradia (raja) yang dimaksud adalah Tomejammeng anak dari Maradia Pue Todipali. Tomejammeng yang saat itu sebagai Maradia Mamuju sebenarnya terlebih dahulu sudah menikahi anak dari Tomakaka Padang (Sinyonyoi) yaitu cucu Daeng Lumalle bernama Topelipaq Karoroq, dari pernikahan pertamanya ini lahirlah seorang putra bernama Puatta di Mamuju dan garis keturunannya menjadi raja berikutnya di Mamuju. 

Secara jelas ini tertulis dalam Lontrak ;”...Tomejammeng mo mappakaiyyang litaq di Mamuju, iya tomo nipenang siola kobiq,  Sialami masapo pissang, Anaqmi Puatta di Mamuju, Puatta mo di Mamuju upeanani Tomatindo Disambajangnga, Tomatindo mo Disambajangngga uppeannani Tomatindo Dipuasana...” dan ”... Apa kaiyyangi anaq dininna di Mamuju, matemi amanna. Sauwi nala Tomamuju. Polei sau, iqdai napebei puang Bali. Malaimi Ieqmai. Polei leqmai, marusaqmi mamuju,  apaq anaq dininnamo maraqdia. Iqdamijari ande..”

Setelah menganalisa maksud kalimat lontrak dan catatan arsip diatas jelas kita bisa mendapatkan satu kesimpulan bahwa ”siala mosapopissang” dari pernikahan Tomejammeng dengan sepupunya Topelipaq Karoroq inilah yang melahirkan seorang anak bernama Puatta di Mamuju dan seterusnya adalah keturunannya yang menjadi raja di Mamuju. Maksud dari ”ana' dininna” adalah anaknya yang dari pernikahan sebelumnya. 

Selanjutnya Tomejammeng melihat sendiri kecantikan Sang Putri dan akhirnya menjalin suatu hubungan dan menikah hingga si perempuan mengidam. Berbeda dengan catatan arsip yang mengatakan mereka menjalin hubungan tanpa diketahui oleh siapapun sampai saat kembali pulang ke tanah Bali; 
"..De niets kwaads vermoedende vorst zeilde naar Bali terug en moest weldra outwaren dat zijne dochter zwanger was. Vol verontwaardiging verstiet hij haar en schonk zij in de wildernis het leven aan een zoon...". Terjemahan: ”Raja yang tidak curiga itu berlayar kembali ke Bali dan segera mengetahui bahwa putrinya hamil.  Dengan dipenuhi kemarahan, dia (raja) menolaknya, dan dia melahirkan seorang putra di padang gurun”. 

Sedangkan lontrak mengatakan : ”... naummi maraqdia Mamuju di Lopinna, mallaulimmi naung maraqdia di Mamuju dilopinna Tomalolo..” dan ”...Napebainemi maraqdia Mamuju. Mangidammi, apamo nangidanni, tirang. Iamo anna maqandemo tau tirang. Maqangidanni toi bua-bua aju apaq iamo nangidanni. Battangi, malaimi sau di banuanna. Polei sau meanaqmi tommuane..”. artinya; Turunlah raja Mamuju ke perahu wanita yang cantik itu (putri Bali) dan diperistrilah oleh raja Mamuju. Ngidam-lah, ngidam kemauan untuk makan tiram (sejenis kerang laut) itulah sehingga kita (orang Mamuju) juga makan tiram, dan juga buah-buahan yang diinginkan, Hamil-lah, sehingga pulanglah dia kekampungnya (Bali) sesampainya disana dia melahirkan anak laki-laki. 

Diceritakan bahwa setiap malam ketika mengunjungi putri Badung di kapal, di setiap malam pula beberapa orang suruhan raja turun kesungai untuk menutup jalur kapal dengan batu-batu agar kapal tersebut karam dan tidak bisa keluar dari muara sungai. Ada kesamaan alur cerita dari lontrak dan arsip namun berbeda menceritakan dalam hal hubungan antara keduanya, dalam lontrak dikatakan mereka menikah (napebaine) artinya memperistri putri Badung tapi dalam catatan arsip Belanda itu adalah kebalikannya. (Arman Husain 2023).

Hub admin +62 856-5726-6525


Kamis, 26 Januari 2023

Peranan Etnis Tionghoa Dalam Pembangunan Kabupaten Mamuju

 Partisipasi Membangun Bangsa Makin Terbuka

REFORMASI yang membuka keran persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh Warga Negara Indonesia (WNI), dinilai Hengky Hamdani, salah seorang warga Mamuju keturunan etnis Tionghoa, membuka lebar partisipasi membangun bangsa.


Apalagi Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan telah menempatkan etnis Tionghoa sama dan setara kedudukannya dengan WNI lainnya dalam hukum dan pemerintahan. Beberapa etnis Tionghoa di Mamuju, bahkan telah berkecimpung di ranah perpolitikan. Salah satu di antaranya adalah Willianto Tanta yang menjadi bendahara DPD I Partai Golkar Sulbar atau pemilik PT Karya Mandala Putra, Imming Wijaya, yang pernah duduk di kursi legislatif DPRD Mamuju selama dua periode.


“Dulu memang kami cuma bekerja di bidang perekonomian saja. Untuk jadi PNS, susah. Tetapi sejak reformasi, etnis Tionghoa juga sudah bisa jadi polisi, tentara, atau menteri. Di Makassar, sudah ada etnis Tionghoa yang ikut mencalonkan diri jadi walikota. Sekarang, perayaan Imlek juga sudah tanggal merah (hari libur nasional,red),” tuturnya.


Menurut Hengky, pada dasarnya warga keturunan Tionghoa sama dengan masyarakat lainnya yang memiliki nasionalisme yang tinggi dan mampu menjadi warga negara yang baik. Hanya saja diakuinya, pelibatan etnis Tionghoa dalam berbagai bidang, jarang dilakukan pada masa sebelum reformasi.


Meskipun demikian, ujar bapak dari tiga orang putra itu, asimilasi atau pembauran etnis Tionghoa dengan dengan warga atau etnis lain yang ada di Mamuju telah terbangun sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Hampir seluruh warga Mamuju yang terbilang telah lama menetap, dikenalnya dengan baik. Pengkotak-kotakan pribumi dan non pribumi juga tidak pernah ada.


Hengky meyakini, setiap suku pasti memiliki perbedaan sifat dan karakter. Filosofi yang dipegangnya ini membuat dia kadang lebih akrab dalam hubungan kekerabatan dengan etnis lainnya. “Tidak mesti bahwa kita hanya bergaul akrab dengan sesama Tionghoa saja. Saya bahkan lebih akrab dengan saudara dari suku lainnya,” kata pria kelahiran tahun 1945 itu.


Vihara kelurahan Binanga 

Jumlah penduduk Kabupaten Mamuju beberapa tahun yang lalu, ungkapnya, masih belum terlalu banyak. Hal ini juga yang membuat mereka lebih cepat akrab dan berbaur dengan warga lainnya. Apalagi penduduk di kota yang telah menjadi ibukota provinsi ini merupakan multietnis sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.


Kepedulian terhadap sesama yang tergolong kurang mampu atau tertimpa musibah, diwujudkan dengan melakukan kegiatan sosial. Dananya diperoleh dari sumbangan semua warga etnis Tionghoa di Mamuju sebagai saldo kas yang dikumpulkan setiap bulan.


Open house dengan mengundang kerabat, tetangga, atau teman, kata dia, juga telah dilakukan sejak dahulu untuk lebih menjalin keakraban. Memang diakuinya, kegiatan seperti ini jarang terlihat karena komunitas etnis Tionghoa di Mamuju tidak sebesar di kota-kota lain, seperti Makassar.


Kenali Bahasa dan Budaya Lokal


KEHADIRAN etnis Tionghoa di Mamuju diperkirakan telah ada sejak tahun 1920-an. Orang tua Hengky Hamdani, merupakan generasi pertama di kota itu. Lazimnya di kota-kota lain, mereka masuk melalui jalur perdagangan.


Didukung kota yang terbilang tidak luas, memudahkan proses asimilasi atau pembauran dengan warga lainnya. Salah satu upaya mempercepat hubungan kekerabatan dengan warga lain dengan mempelajari dan menguasai Bahasa Mamuju, karakter, dan budaya lokal, sehingga komunikasi terjalin baik dengan semua kalangan.


Kawasan pecinan dengan model rumah yang khas pernah ada di sekitar Jalan Yos Sudarso, tepat di depan Pantai Mamuju. Namun, lambat laun mereka semakin menyebar dan membaur dengan warga lainnya. Etnis Tionghoa yang umumnya berdagang, berada di sekitar tempat-tempat strategis yang ramai dikunjugi orang, misalnya pasar.


Tempat ini pulalah yang mempertemukan mereka dengan saudara lainnya dari etnis berbeda, sehingga terjadi asimilasi yang didasarkan prinsip saling membutuhkan. Pedagang membutuhkan konsumen, dan sebaliknya. Tentunya bukan hanya etnis Tionghoa yang memilih dagang sebagai mata pencarian, sehingga hubungan simbiosis semakin kompleks.


Hengky yang lahir, besar, dan beranak cucu di Mamuju, mengenang, sekitar tahun 1970-an, akses jalan darat belum terbuka. Hubungan dengan Makassar dilakukan dengan transportasi laut. Akses jalan darat baru terbuka dengan baik sekitar dekade 90-an.


Berasimilasi dengan Saling Menghormati


PEMBAURAN etnis Tionghoa dengan warga Mamuju dari etnis lainnya terus berlanjut hingga generasi berikutnya. Asimilasi dilakukan sampai pada bidang pendidikan. Tidak ada sekolah di Mamuju yang dieksklusifkan untuk kelompok tertentu.


Semua berbaur dalam satu sekolah yang di dalamnya tidak terdapat perbedaan berdasarkan kesukuan. Anak-anak etnis Tionghoa belajar di sekolah dasar yang juga digunakan warga lainnya agar dapat belajar membaurkan diri sejak dini.


Irwan, pemilik Toko Satu Dua, berharap keakraban dengan warga lainnya yang telah dilakukan orang tua sebelumnya, juga dilakukan generasi selanjutnya. “Memang beberapa warga lain yang baru masuk ke Mamuju, jarang kami kenal. Tapi kalau yang sudah lama tinggal di sini, hampir kami kenal semua,” katanya.


Sikap toleransi dan saling menghargai dengan sesama, pesannya, yang paling dibutuhkan agar dapat tetap menjalin hubungan kekerabatan dengan orang lain. Salah seorang saudara kandungnya yang memilih memeluk Agama Islam, ujarnya, sangat dihormatinya, termasuk seluruh pantangannya telah diketahuinya dengan baik.


“Kami tidak mengenal batasan hubungan sejak dahulu. Bahkan dulu, waktu penduduk Mamuju belum banyak seperti sekarang, kalau kita naik bus ke Makassar, semua penumpang kita kenal baik. Bapak saya dari Mandar, jadi sangat cepat akrab dengan warga lain. Apalagi kita biasa kumpul-kumpul kalau ada acara,” bebernya.


Kursi Legislatif Bukti Kepercayaan Masyarakat


KETUA Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Mamuju,  Imming Wijaya, mengaku salut dengan keterbukaan dan penerimaan warga di Mamuju terhadap etnis Tionghoa. Diskriminasi dari masyarakat dan pemerintah, secara umum, kata dia, tidak pernah dirasakan hingga keturunan generasi kelima saat ini. Memang diakuinya, kemungkinan masih ada segelintir orang yang masih membedakan, tetapi tidak dapat digeneralisasi.


“Sejak awal, mulai lahir, besar, dan beranak cucu, kami telah diterima dengan baik dan dapat berpartisipasi dalam banyak hal. Saya dapat duduk di kursi legislatif DPRD Mamuju selama dua periode, menjadi bukti, bahwa kami diterima di masyarakat untuk mewakili rakyat” tutur pria kelahiran Mamuju tahun 1954 silam.


Etnis Tionghoa di Mamuju sejak menjadi ibukota Provinsi Sulbar terus bertambah seiring pertumbuhan pembangunan dan perekonomian. Jumlah keluarga keturunan etnis Tionghoa yang tercatat (PSMTI) Mamuju saat ini sebanyak 120 kepala keluarga.


Saat Mamuju belum menjadi ibukota provinsi, jumlah etnis Tionghoa hanya sekitar 30 kepala keluarga. Pintu Mamuju semakin terbuka lebar setelah menjadi pusat kota dan etnis Tionghoa lainya terus berdatangan dari Kota Palopo, Makassar, dan kota-kota lainnya.


Imming, mengemukakan, pertambahan jumlah etnis Tionghoa serta lahirnya PSMTI sejak beberapa tahun lalu, juga semakin memperbesar jalinan hubungan kekerabatan dengan warga lainnya. Kegiatan bakti sosial untuk membantu warga yang kurang mampu, menjadi salah satu agenda rutin PSMTI

Senin, 23 Januari 2023

”Toriminggi” Keterasingan Suku Pembuni Dijaman Keterbukaan

Rumah mereka dibangun di atas pohon yang tingginya dapat mencapai 20 meter, bentuknya sangat sederhana, sehingga sering disebut sebagai rumah pohon. Selain rumah pohon, mereka juga kadang membangun rumah sederhana model panggung setinggi 2-3 meter. Lantainya terbuat dari bilah bambu atau kulit kayu yang dikelupas serta beralaskan tikar daun nipah atau daun pohon sagu yang dianyam seadanya. Karena keterbatasan alat, kedua jenis rumah ini hanya berdinding daun rotan, atau bahkan lebih banyak yang tidak berdinding. Tiang-tiang rumah mereka adalah batangan kayu bulat utuh yang berukuran tidak terlalu besar. Untuk menyambungkan bagian satu dengan yang lainnya, tidak menggunakan paku, melainkan cukup hanya diikat rotan. “Kayu yang kami gunakan untuk membangun rumah bukan jenis kayu yang kuat. Alat-alat yang kami miliki hanya parang dan kampak,” kata Naja.



Naja mengungkapkan, rumah yang dibangun seadanya itu digunakan paling lama enam bulan karena beberapa bagian rumah sudah dimakan rayap. Setelah itu, mereka berpindah tempat lagi dan membabat hutan untuk membuka lahan perkebunan serta membangun rumah pohon atau rumah panggung seadanya. 

Lahan yang pernah ditinggalkan akan didatangi kembali, jika mereka mempertimbangkan bahwa tanah tersebut telah subur kembali atau pohon yang telah tumbuh telah dapat ditumbangkan dengan bantuan kapak. Jika masih berupa alang-alang, mereka tidak akan kembali dan mencari lokasi yang jauhnya sekira 5-7 kolometer dari lokasi yang ditinggalkan.

Ada beberapa alasan mengapa mereka memilih hidup berpindah-pindah tempat. Mereka meninggalkan tanah yang telah digarap jika salah seorang anggota komunitas mereka ada yang sakit atau meninggal dunia. Tanah atau kawasan tersebut dianggap sudah tidak bersahabat lagi. Mereka harus berpindah jauh dari jasad yang disemayamkan, agar tidak terganggu dari arwah yang meninggal.

Alasan lain meninggalkan lahan yang telah dibuka untuk perkampungan dan digunakan sebagai kebun selama sekira enam bulan adalah masa panen telah habis. Ladang tempat menanam ubi atau jagung juga telah ditumbuhi rumput atau alang-alang yang tinggi. Suku Bunggu tidak terbiasa membersihkan ladang yang ditumbuhi rumput. Pada umumnya, mereka mengkonsumsi ubi dan jagung sebagai makanan pokok. Selain mudah ditanam, tanaman ini juga lebih cepat dipanen. Pohon sagu dijadikan sebagai lumbung pangan, laiknya gudang beras bagi kebanyakan orang yang menjadikan beras sebagai makanan pokok. Sagu menjadi salah satu bahan makanan pokok sambil menunggu berbuahnya tanaman ubi rambat dan jagung yang mereka tanam. 

Saat ini, Yadi, Naja dan sekira 30 KK Suku Bunggu yang ada di Desa Pakava mulai mengenal kehidupan yang lebih baik dibanding saat mereka menetap di hutan. Mereka mulai mengenal teknologi seperti televisi, radio, ataupun sepeda motor. Kendati masih menumpang nonton di televisi tetangga dari etnis lain, informasi dari luar mulai terserap.

Perempuan Suku Bunggu di Desa Pakava juga mulai mengenal susu instan untuk bayi mereka. “Kehidupan kami sekarang boleh dikata jauh berbeda dengan saudara-saudara kami yang masih ada di gunung, sekarang kami telah mengenal uang, pakaian dan kadang-kadang makan nasi. Dulu, pakaian kami terbuat dari kulit kayu yang dipukul-pukul sampai tipis. Kalau selalu hidup pindah-pindah, susah. Sekarang sudah ada teman dari suku lain. Tetapi adat tetap dipertahankan supaya tidak kena bencana,” beber Naja. Pola hidup sebagian masyarakat Suku Bunggu yang mulai berinteraksi dengan etnis lain memang sedikit berubah. Namun, ada satu yang tak pernah lekang tergerus arus perkembangan teknologi dan zaman, yakni Hukum Adat. Desa Pakava yang menjadi perkampungan Suku Bunggu yang terbuka, justru menjadi pusat pesta adat yang menjadi ritual tahunan.

Penataan perkampungan Suku Bunggu di Desa Pakava, Kecamatan Pasangkayu, Mamuju Utara, terbilang cukup apik. Bangunan dan model rumah memang sangat sederhana dan masih mendekati bentuk asli ketika masih hidup di daerah pegunungan dengan pola nomaden. Sisi kiri, kanan, dan belakang rumah telah dimanfaatkan sebagai perkebunan tanaman produktif, misalnya kakao dan jeruk. Di depan rumah Yadi, salah seorang tokoh adat yang merupakan raja Suku Bunggu yang ada di Mamuju Utara, berdiri sebuah bangunan tak berdinding yang cukup luas. Bangunan model panggung dan sangat sederhana dengan tiang penyangga yang cukup banyak ini dinamakan Bantaya. Di Bantaya inilah pertemuan maupun pesta adat Suku Bunggu dipusatkan.

Sejak masih hidup berpindah-pindah di hutan, Suku Bunggu telah mengenal permusyawaratan adat. Selain menaati hukum pemerintah, mereka juga sangat taat terhadap hukum adat. Salah seorang tokoh masyarakat Suku Bunggu di Desa Pakava, Naja, menuturkan, hukum adat ini lahir dari sesama Suku Kaili yang merupakan induk suku mereka. Hukum adat ini dibuat berdasarkan kesepakatan bersama dan tidak memihak kepada siapapun. Hukum tak tertulis ini mengatur sendi-sendi kehidupan sejak lahir sampai kembali ke sang pencipta dan diaplikasikan mulai dari bangun tidur sampai kembali ke pembaringan. Hukum ini menjadi norma yang diturunkan ke anak cucu mereka sebagai pedoman hidup agar tidak salah melangkah. Sebagai pengatur regulasi, mereka menunjuk orang yang dituakan. Setiap pelanggaran terhadap hukum adat dikenakan denda bagi pelakunya.

Pemberian hukuman bagi pelanggar hukum adat dibicarakan melalui musyawarah adat di Bantaya. Hukuman yang telah disepakati oleh semua warga yang hadir dalam musyawarah itulah yang harus dijalani oleh pelanggar hukum adat, jika telah ikhlas menjalaninya dan harus membayar dalam bentuk denda. Menurut Naja, hukuman terberat dalam hukum adat diberikan kepada warga dalam komunitas itu yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan. “Jangan memang membunuh teman atau siapapun. Jika ada yang membunuh, maka akan diikat dan dikubur bersama-sama dengan orang yang dibunuh. Semua warga kampung harus menyaksikan. Ini untuk menghindari dendam karena sudah dikubur sama-sama,” ungkapnya.

Hukum lain yang juga masih diterapkan adalah pemberian hukuman atau denda kepada warga yang diketahui memerkosa atau memegang perempuan. Warga yang diketahui memerkosa harus dinikahkan ditambah membayar denda 4-8 ekor babi. Prosesi pernikahannya juga melalui prosesi adat. Diakuinya, nikah adat memerlukan biaya yang cukup besar. Hukum adat yang tidak dilaksanakan, diyakini akan membuat anak cucu “salah jalan” dalam kehidupannya. 

Besar denda yang diberikan kepada pelanggar hukum adat disesuaikan kesalahan dan hasil keputusan musyawarah warga. Untuk pelanggaran yang tergolong ringan, denda dapat dibayar jika penerima denda telah ikhlas menerima denda dan mengakui kesalahannya. “Kalau belum ikhlas, jangan dulu diberi dendanya. Tapi denda itu akan menjadi utang dan dianggap berdosa jika belum dibayar,” terang Naja.

Suku Bunggu juga mengenal pesta adat yang digelar setahun sekali antara Mei-Juni dan dilaksanakan selama tiga hari. Pesta adat ini menjadi ajang pertemuan seluruh Suku Bunggu baik yang telah hidup berbaur, maupun yang masih hidup di pegunungan. Pesta adat ini merupakan ritual memperingati kelahiran anak dan dilaksanakan secara bersamaan di Bantaya. Beberapa ritual unik dilakukan dalam pesta adat ini. Untuk memanggil semua komunitas Suku Bunggu yang tersebar di pedalaman, mereka tidak dipanggil satu persatu. Mereka kirimkan tanda melalui angin, panggil mereka dengan proses adat. Memang hanya orang tertentu saja yang tahu panggilan itu dan inilah yang disebarkan ke satu kampung (dalam satu komunitas).

Suku Bunggu yang hidup di pedalaman merasa lebih senang mengasingkan diri dan tidak terbiasa melihat orang banyak. Umumnya mereka hidup berkelompok dalam jumlah kecil. Untuk menemukan komunitas Suku Bunggu yang tinggal di hutan, cukup sulit. Mereka menetap jauh di pedalaman di tengah hutan yang masih lebat serta medan yang harus ditempuh sangat berat. Suku Bunggu yang hidup di pedalaman tidak terbiasa bertemu orang lain di luar komunitasnya. Jika mengetahui kehadiran orang lain, mereka menghilang dan lari ke hutan. Bagi warga yang tinggal di sekitar Pasangkayu, Suku Bunggu dikenal memiliki kelebihan menyelinap dan menghilang di balik pohon dengan cepat, beberapa warga menyebutnya dengan nama Topembuni.

Suku Bunggu juga memiliki senjata rahasia yang mematikan. Orang-orang menyebut senjata ini dengan nama sumpit. Meskipun berada dalam radius puluhan meter, senjata ini langsung dapat mengenai lawannya. Sumpit ini terbuat dari buluh yang bulat dan bagian tengahnya berlubang. Penggunaan senjata beracun yang mematikan ini dengan cara ditiup. Senjata sumpit ini merupakan senjata kebanggan Suku Bunggu dan menjadi senjata utamanya. Namun, mereka memiliki kekhasan tidak akan pernah mengganggu orang lain jika tidak diganggu. (Revisi)



Sumber : Suku Bunggu Mamuju Utara, Tak lagi dipohon inginkan kehidupan lebih baik. https://aryafatta.wordpress.com/2008/01/14/suku-bunggu-mamuju-utara/

Minggu, 22 Januari 2023

Penja; Ikan Endemik Hingga Balutan Mitos dan Prinsip Moral Masyarakat Pesisir Mandar

Ikan Penja yang juga biasa disebut ikan seribu karena ikan ini sifatnya bergerombol dan merupakan ikan khas masyarakat ini hanya terdapat di perairan Mandar. Pada umumnya di Mamuju ikan ini disebut ”Duwang” sedangkan di wilayah Mandar wilatah bagian keselatan di sebut ”Penja" bahkan keluar daerah lebih dikenal dengan nama Penja. Penja atau Duwang ini merupakan komoditas dagang dan sumber makanan khas yang dari dahulu yang menjadi primadona masyarakat Mandar. Selain sebagai komoditas dagang juga membantu peningkatan ekonomi dimasyarakat sekitar pesisir dan sungai.

Penja atau Duwang adalah juga merupakan sumber gizi keluarga dengan berbagai olahan masakan yang khas di Sulawesi Barat pada umumnya dari ikan yang masih segar dan ada juga yang dikeringkan lebih dahulu atau biasa disebut ”Duwang Marogang”. Cara dikeringkan ini agar Penja tidak membusuk dan lebih tahan lama, komoditas Duwang ”marogang= kering, ini lebih diminati pasar karena selain rasanya lebih gurih juga dapat disimpan dalam waktu yang lama. 

Ikan Penja atau Duwang

Masakan dari ikan Penja ini sangat beragam baik yang masih segar maupun sudah dikeringkan seperti: di Pepes atau dalam bahasa Mamujunya disebut di ”Pais”( di masak dengan asap dibungkus daun pisang) dan ”kajokkos”(dimasak dengan dibungkus daun pisang dalam wadah), di piyapi (dimasak bersama air campuran bumbu khusus), di goreng biasanya Penja yang sudah dikeringkan, perkedel dan dimasak dengan cara ” di lawar” (tanpa proses menggunakan api tapi dengan perasan air jeruk nipis dan bumbu kemudian dimakan mentah-mentah) kemudian ada juga cara ”ambar” (dengan cara dimasak sebagai lapisan masakan ”Jepa" dari bahan sagu dan parutan kelapa tua, sama halnya hamburger tapi cara pengolahannya yang lebih unik dan tradisional. 

Berbagai olahan 

Bentuk dan ukuran ikan penja yang hanya sekitar ± 25-30 mm, berbentuk bulat lonjong seperti cerutu (Torpedo) ini dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya secara bergerombol akan bergerak mendekati pantai dalam perjalananya ikan ikan ini akan masuk ke muara sungai sampai jauh ke hulu dan selanjutnya berkembang menjadi ikan dewasa yang dikenal dengan nama lain di daerah pegunungan yaitu ikan epung. Ikan ini tidak selalu ada untuk ditangkap karena kemunculannya hanya diwaktu- waktu tertentu saja atau musiman, ikan ini akan muncul menurut siklus waktunya yang sudah bisa diperhitungkan, dahulu masyarakat nelayan yang mengetahui atau memperkirakan kemunculan ikan penja adalah dengan memeriksa isi perut ikan cakalang yang diperoleh nelayan. 

Dahulu masyarakat Mamuju dalam upaya menangkap ikan penja ini biasanya menggunakan jaring halus yang diikat ke kayu atau bambu dengan bentuk menyilang atau melingkar, alat penangkap ikan ini disebut”bunde'” atau juga bisa disebut ”Sambe-sambeq” ditangkap dengan cara alat bunde' berfungsi sebagai serokan di taruh ke dalam sungai sedikit agak tenggelam kemudian orang tersebut berjalan agak pelan dan mendorong bunde' kedepan sekitar beberapa menit kemudian diangkat keatas permukaan air begitu seterusnya, ada juga yang menggunakan tehnik menjaring seperti pukat namun menggunakan jaring yang lebih halus. 

Alat penangkap ikan Penja ”sambe/ bundeq.

Dalam usaha penangkapan ikan tersebut bukan ditentukan berapa banyaknya ikan ini kita tangkap akan tetapi lebih pada bagaimana membentuk moralitas  masyarakat disekitar sungai ikan ini muncul, dengan mengedepankan sikap saling menghargai dan saling berbagi. Seperti jika ada orang yang datang ke pantai saat musim penangkapan ikan penja dan menginginkan ikan tersebut dibagi dengannya, maka harus diberi walapun sedikit karena itu adalah sebuah hal yang dilarang dan menyebabkan ikan ini akan menghilang dalam waktu dekat. 

Tidak munculnya ikan penja juga diyakini berhubungan dengan perilaku melanggar norma adat-istiadat dan agama yang terjadi di sekitar pantai di mana biasanya ikan tersebut muncul, diyakini oleh masyarakat setempat, ikan penja yang diketahui telah muncul, bisa hilang tiba-tiba seperti ditelan lautan jika di kampung tersebut dalam waktu bersamaan ada warga yang meninggal atau ada masyarakat yang berbuat maksiat maka musim berikutnya ikan penja bisa tidak muncul, bahkan sampai beberapa musim ikan tersebut tidak akan datang di tempat itu.

Mengenai asal-usul ikan Penja atau Duwang  ini, masih jadi misteri dimasyarakat Mandar sehingga kemunculan ikan ini seringkali dikaitkan dengan mitos tentang Tomanurung dan hal-hal ghaib lainnnya. Masyarakat Mandar percaya bahwa ikan ini adalah anugerah yang patut di syukuri sebab ikan ini merupakan hewan endemik khas sulawesi bagian barat dan sekitarnya yang tidak ada di daerah lain di Nusantara. Ada juga kepercayaan masyarakat bahwa ikan ini merupakan perwujudan dari Tomanurung sehingga ikan ini juga sering disebut Ikan Manurung. 

Pernah saya (Pen. Red) mendengar cerita dari orang tua bahwa ikan Penja atau Duwang ini bermetamorfosis menjadi ulat dan kemudian menjadi kumbang, ceritanya begini : ikan ini setelah masuk kemuara akan terus berenang sampai ke hulu sungai kemudian dihulu sungai ikan -ikan ini akan menempel di akar akar pohon yang menjuntai kesungai kemudian perlahan-lahan memanjat sampai keatas batang pohon dan menuju cabang sampai rantingnya, tidak lama kemudian akan bermutasi seperti kepompong dan kemudian berubah menjadi kumbang, allahualam begitulah cerita itu pernah tersampaikan, mengenai apakah itu sebuah mitos atau hanya cerita fiktif saya tidak begitu tahu dan pahami karena memang diluar nalar saya sebagai manusia biasa. 
(Arman Husain 23)

Sumber: 
Diolah dari berbagai sumber.