Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 20 September 2018

Fakta Pernah Terjadi Banjir Dahsyat di Mamuju (Mandar) 1938

Jika kita saat ini dihadapkan pada banyaknya daerah yang terdampak bencana alam berupa banjir yang melanda wilayah Sulawesi bahkan beberapa wilayah lainnya di Indonesia ini disebabkan pada awal bulan Desember 2019 sampai Januari 2020 saat ini curah hujan semakin intens turun hampir disemua wilayah di Indonesia. Di beberapa wilayah di Sulawesi Selatan - Barat juga baru baru ini terdampak banjir  seperti di Pare-pare, Pinrang, Barru, Pangkep dan bahkan di wilayah Sulawesi Barat (Mandar) juga dikabarkan ada beberapa titik wilayah yang terdampak banjir. Seperti di Mamuju Tengah di Kecamatan Pangale ada beberapa Desa yang terdampak. Dalam sejarah bencana alam seperti banjir bandang ini di wilayah Mandar antara lain Majene, Mapilli (Polewali), Mamasa Tapalang dan Mamuju pernah mengalami bencana banjir bandang terdahsyat pada masa lampau. Bencana tersebut ada dalam laporan pemberitaan media Hindia Belanda mengingat bencana tersebut terjadi pada masa Hindia Belanda masih menjajah di Indonesia, kejadian ini tercatat pada tanggal mulai 26 - 28 November 1938. Begitu dahsyatnya bencana ini sampai sampai menjadi topik utama disetiap koran koran Hindia Belanda bahkan di Eropa kala itu. Dalam salah satu artikel berita Leids Courant (Koran Leiden) mencatat hampir semua infrastruktur, rumah penduduk, pasar, pesanggrahan, kantor pejabat pemerintah, jembatan besar maupun yang kecil ambruk dan hanyut terbawa banjir, korban meninggal diperkirakan ± 65 orang dan 14 orang dinyatakan hilang tidak diketahui berapa korban sebenarnya dari kejadian tersebut secara keseluruhan. Di Kampung Malunda di sebutkan sekitar 400 rumah penduduk dan 126 rumah penduduk di Mamuju rusak dan ada 28 orang korban yang meninggal dunia. Belum ada kepastian berapa kerugian dan korban meninggal yang pasti, data data tersebut belum mencakup wilayah di Mandar lainnya seperti Majene, Mapilli, Mamasa dan lainnya.

Mobil pejabat pemerintah harus ditarik dari sungai ke tempat dangkal dan tidak terlalu berbatu di pantai. dikarenakan jembatan kayu hanyut oleh banjir , Mamudju, Mandar.
Rumah Penduduk Mamuju Rusak Setelah di terjang banjir bandang.
Jembatan kayu di Mamudju di tempat Kasiwah utama terpotong akibat dihantam banjir di Mandar , Sulawesi.
Dari data yang diperoleh baik berupa data laporan artikel koran maupun foto foto kejadian tidak menyebutkan secara pasti kerugian dan berapa jumlah korban dari dahsyatnya bencana banjir bandang tersebut. (sumber ; Leyds Courant, foto ; KITVL Troopen Museum).  Red- Arman Husain. 

Jembatan Sungai Mamuju Dan Banjir Bandang Tahun 1938 Di Mandar

Jembatan sungai Mamuju yang ada sekarang berlokasi di simpang lima jalur jalan poros Mamuju ke utara dibangun dimasa ini karena mengalami kerusakan akibat gempa bumi 6.2 M yang mengguncang Mamuju di awal tahun ini tepatnya 15 Januari lalu, mengingat usia jembatan sungai Mamuju ini sudah cukup tua sehingga pemerintah Kabupaten Mamuju berencana membangun jembatan pengganti yang lebih lebar dan kokoh dan saat ini sudah dibangun jembatan alternatif untuk dilalui sementara dalam proses pembangunan.

Fakta menarik dari jembatan di sungai Mamuju yang banyak masyarakat Mamuju tidak ketahui adalah jauh sebelumnya sudah ada jembatan Sungai Mamuju yang jadi jembatan penghubung antara kampung kasiwa (lingkungan kasiwa) dengan bagian utara yaitu kelurahan Mamunyu, kampung Tambi (kampung baru) jembatan ini dulunya berlokasi di kasiwa yang merupakan muara sungai ini, tepatnya disisi kanan pelabuhan kapal nelayan dan kapal dari pulau Karampuang. Disinilah letak jembatan sungai Mamuju pertama kali dibangun oleh masyarakat Mamuju. 

Diperkirakan jembatan ini dibangun pada masa periode kolonialisme di Mamuju atau bahkan sebelum penjajah Belanda menginjakkan kakinya di Mamuju dan ada kemungkinan jembatan tersebut dibangun pada masa Mamuju masih berbentuk kerajaan, namun sumber keterangan pastinya kapan jembatan ini mulai dibangun ini  belum bisa dipastikan. Sungai Mamuju pada mulanya bercabang dua pada sisi sungai yang sekarang adalah pelabuhan bongkar muat perahu kecil ini lebih lebar dari sisi yang satunya karena dimulut muara sungai ini terbentuk pulau kecil yang sekarang disebut (Tambongkeng) perlahan-lahan mendangkal karena endapan yang terbawa arus sungai yang pada akhirnya menutup aliran sungai disisi ini dan cenderung mengalir pada sisi yang lain.

Beberapa fakta yang menjadi sumber rujukan akan hal ini terdapat dalam beberapa dokumentasi foto foto dan arsip pemerintah Belanda bahwa disebutkan sebagai berikut; Na Mamoedjoe wordt de rivier van dien naam gepasseerd over een 4 M. breede, 57 M. lange, overdekte stevige brug en over Tambi langs aan 300 M. langen, stevigen karang dan Timboe bereikt vanwaar de weg zich voortzet afwisselend door heuvelterrein en vlakte naar het Noorden. (Nota Bevretende Het Landschaap Mamoedjoe - Indische Taal Land en Volkenkunde, hal. 46.) 

Dijelaskan bahwa; Sungai Mamoedjoe itu dilewati atau dilalui dengan jembatan yang kokoh dibuat dari batang pohon kelapa dan batang kayu dengan lebar 4 Meter, panjang jembatan 57 Meter, pada bagian atasnya tertutup oleh atap daun rumbia dan pada bahagian pondasi dari batu batu karang yang koko sebagai pondasi dan juga dasar jalanan batu dari Tambi kemudian mencapai Timboe sepanjang 300 Meter, jalanan ini terus menuju ke utara melalui medan berbukit. Data ini termuat dalam sebuah jurnal yang diterbitkan dalam dokumen berbentuk buku yang dicatat pada sekitar tahun 1910 dan terbit setahun setelahnya oleh kementrian daerah jajahan/koloni Hindia Belanda.

Keterangan ini diperkuat oleh beberapa dokumentasi foto foto yang dimuat oleh lembaga Museum Nasional Belanda dalam bentuk museum digital Tropenmuseum Nederland. Dalam keterangan salah satu foto itu menjelaskan; De houten Kasiwah-brug bij de hoofdplaats Mamudju in Mandar is door een overstroming (banjir) stuk geslagen Celebes. 
Jembatan Sungai Mamuju 1912 -1924

Dari keterangan foto tersebut kita bisa mengetahui bahwa dahulunya memang dimuara sungai Mamuju tepatnya di kampung Kasiwa yang sekarang lokasi jembatan ini berada (lihat peta dibawah) sekarang jembatan ini sudah tidak ada sejak hancur terkena dampak banjir bandang yang melanda Mamuju pada November 1938 yang juga sebagian besar melanda wilayah Mandar seperti Balanipa, Majene, Polewali, Mapilli dan Mamasa. 

Banjir yang terjadi ini karena curah hujan yang cukup tinggi dibeberapa minggu sebelumnya, Disebutkan bahwa dari informasi kantor pemberitaan Hindia Belanda di Makassar bahwa akibat dari bencana banjir ini menewaskan sekitar 65 orang dan 14 orang dinyatakan hilang dan kerusakan secara material tak terhitung diperkirakan 400 rumah penduduk secara keseluruhan di wilayah Mandar ini mengalami kerusakan yang cukup parah, termasuk fasilitas umum seperti pasar dan kantor pemerintah Hindia Belanda banyak yang rusak berat termasuk jembatan sungai Mamuju yang pertama ini.

Peta Muara Sungai Mamuju 
Lokasi Jembatan Kayu Kasiwa Pada Peta (Google Map) Dan Garis Pantai (Merah) Pada Tahun 1938

Peta Muara Sungai Mamuju




Kamis, 06 September 2018

Hapati Hasan Sang Pelopor Pembangunan Di Mamuju

H. Hapati Hasan, BA adalah merupakan sosok peletak dasar pembangunan di Kabupaten Mamuju. Ayahnya berasal dari Tapangkang (Tapalang Barat). Hapati sebenarnya adalah nama ibunya yang dilekatkan pada namanya. Ibunya adalah warga Baturoro Desa Tubo. Sejak kecil hingga dewasa Hapati Hasan menetap di Baturoro. Pada saat umurnya beranjak remaja, Ia sangat piawai memainkan kecapi (kacaping).

Dalam beberapa hasil penelusuran dan keterangan didapatkan bahwa sosok Hapati Hasan muda adalah seorang remaja yang nakal dan pemberani. Ia kerap mengencingi teman-temannya yang lagi asik kumpul-kumpul disebuah tempat. Biasanya ia mengambil tempat yang agak diatas dan kencing kebawah, sehingga teman-temannya tersiram air kencingnya.

Dimasa mudanya, ia mulai berpetualang ke daerah Kalimantan dengan mengendarai perahu layar. Dalam pelayarannya itu ia bertindak sebagai juru batu perahu yang berdiri didepan perahu untuk meneropong kedepan dan mengarahkan perahu kemana akan diarahkan. Sejak muda, ia sudah berpengalaman mengarungi lautan Majene, Mamuju, Kalimantan bahkan sebagian pulau Jawa sudah ia jelajahi. Hal tersebut juga ditunjang oleh ayahnya yang terkkenal memiliki banyak pohon kelapa. Inilah yang mendorongnya untuk kemudian menjadi pelaut dan pedagang kopra. Dalam berdagang pun ia sangat cermat soal hitung-menghitung sehingga ia dijadikan juru tulis.

Hapati Hasan muda juga salah satu yang menjadi anggita kelasykaran atau Kris Muda, wadah pejuang Mandar yang dipimpin oleh Andi Depu. Selain itu, ia jjuga aktif di perkumpulan Nahdhatul Ulama (NU), terlebih ibunya juga tercatat sebagai salah satu pengurus fatayat NU. Hapati Hasan juga aktif dikegiatan olahraga, ia jago main takrow dan berkuda. Jarak antara Tubo dan Tapalang baginya sangat dekat sebab ia bisa memacu kudanya dengan kencang tanpa pernah istirahat.

Pengembaraan Hapati Hasan sebagai pemuda berandal di Mandar ternyata bisa juga mengecap pendidikan. Setamat SR, ia melanjutkan SMP di Majene. Ia merantau ke sebuah daerah yang tak jauh. Tahun 1950 di Makassar ia mendaftar jadi tentara dan lulus. Setelah itu ia ikut pendidikan kemiliteran di Pakkatto’. Usai pendidikan, ia ditempatkan sebagai anggota batalion.
Pada saat bertugas di Batalion itulah ia ketemu dengan seorang dara pendamping hidupnya: seorang dara Jeneponto yang juga sedang menunaikan tugas sebagai guru SD Negeri di Bantaeng. Mereka akhirnya sepakat untuk menikah.


Dari Bantaeng ia dipindahkan ke Bone dengan pangkat Kapten. Ia dipercaya sebagai Pemegang Kas Militer (PKM). Usai tugas di Bone ia dipindahkan ke Makassar, ditarik ke Kodam 14 Makassar. Saat itu, situasi dan kondisi Makassar sedang genting, bukan hanya Makassar tapi Negara pun dalam keadaan genting sebab PKI akan melancarkan kudeta terhadap pemerintahan yang sah.  Kondisi tersebut membuat Hapati Hasan bekerja keras dan mulai membina pemuda di Makassar, termasuk di Bontorannu Kec. Mariso tempat ia tinggal dibentuk semacam pamswakarsa yang dijadikan kekuatan untuk melawan PKI di Makassar.

Rakyat dan tentara menyatu melawan PKI dan Hapati Hasan dipercaya membinan teriotorial yang ada di Mariso. Hal ini sejalan dg tugasnya membina pemuda bersama dengan tokoh agama yang bernama Musri Hamdan. Jika kudeta PKI berhasil maka yang pertama akan dibunuh adalah Musri Hamdan dan kedua adalah Hapati Hasan.

Pada penghujung tahun 1960-an, Mamuju masih sangat rawan. Ketika itu, baru saja usai pertikaian. Bupati Mamuju yang barus saja ditetapkan melalui SK Mendagri, Wahab Azasi dibunuh di daerah pergolakan. Untuk mengisi kekosongan pemerintahan haruslah menunjuk orang yang lebih tepat. Saat itu, masyarakat dan pemuda menginginkan Hapati Hasan untuk menduduki jabatan bupati. Hipermaju, adalah wadah berhimpunnya mahsiswa Mamuju di Makassar dipimpin oleh Gaus Bastari. Gaus Bastari memimpin sebuah delegasi untuk menghadap Gubernur Sulsel untuk menyampaikan pernyataan sikap mendukung Hapati Hasan sebagai Buapti Mamuju.
Bupati Mamuju H. Hapati Hasan.

Tahun 1969 H. Hapati Hasan BA resmi dilantik sebagai Bupati Mamuju. Hapati Hasan memerintah dengan kondisi Mamuju yang masih sangat tertinggal, penduduknya masih bisa dihitung jari termasuk rumah-rumah belum seberapa. Mamuju sebagi ibukota belumlah layak disebut kota, ia tampak sebagai gugusan perkampungan kumuh. Sarana transportasi lebih-lebih. Bahkan ketika Hapati Hasan dilantik saat itu, rombongan hanya bisa sampai di Majene, sebab kendaraan tak bisa tembus ke Mamuju. Rombongan kemudian mengalihkan perjalanan melalui laut.

Program pertama Hapati Hasan sebagai bupati adalah mengajak warga yang tinggal dipegunungan untuk mengungsi ke daerah pegunungan yang lebih aman. Namun warga Mamuju salah paham, mereka masih trauma dengan pergolakan-pergolakan yang terjadi sebelumnya. Mereka juga khawatir kedatangan tentara tujuh sepuluh di Mamuju. Dan kedatangan Hapati Hasan di  anggap bukan sebagai sosok yang diinginkan sebab mereka masih trauma dengan tentara, apalagi Hapati Hasan juga datang dengan latar belakang sebagai tentara.

Kondisi itu tidak membuat Hapati Hasan berkecil hati. Ia terus berupaya untuk menciptakan suasana yang kondusif sehingga membuat warga menjadi tertarik untuk kembali ke komunitas mereka yang tersebar di Mamuju. Inilah keberhasilan Hapati Hasan yang pertama setelah menjadi Bupati Mamuju.

Program kedua yang dilakukan oleh Hapati Hasan adalah pengembangan fisik bersinergi dengan pembangunan sumberdaya. Awal 1970-an, pembangunan sudah mulai Nampak. Kantor DPRD Mamuju mulai terbangun, bangunan tanggul yang ada di kota Mamuju, bahkan perintisan Bandara Tampa Padang sebagai tempat berpacunya pesawat terbang merupakan bangunan yang dirintis oleh Hapati Hasan pada tahun 1970-an.

Model kepemimpinan Hapati Hasan juga menggunakan sistim kekeluargaan, sehingga rumah jabatan bupati dijadikan sebagai rumah rakyat. Tak ada jarak antara bupati dengan warganya. Pemandangan di rujab ini membuat orang yang datang tak bisa membedakan mana anak bupati dan anak kebanyakan. Mereka kadang makan bersama dalam jumlah yang banyak. Bahkan tak jarang masyarakat yang kebetulan lewat diajak untuk singgah dan makan bersama. Kadang rumah jabatan bak dapur umum. Itulah yang dilakukan oleh Hapati Hasan dengan warga yang dipimpinnya. Ia berbaur begitu rupa, tak ada jarak, tak ada sekat yang membatasi.

Hamzah Hapati Hasan yang saat ini menjadi unsur pimpinan di DPRD Sulawesi Barat adalah anak ketujuh yang ikut berbaur dengan anak kebanyakan. Ia sangat dekat dengan ayahnya dan termasuk paling banyak menemani ayahnya tidur. Hamzah adalah sosok yang paling banyak merekam jejak ayahnya semasa memerintah sebagai bupati. Bisa dibayangkan ketika harus mengunjungi wilayah Pasangkayu dan Kalumpang saat itu. Tentu hal itu adalah salah satu kunjungan kerja yang paling mengerikan sebab wilayah tersebut adalah wilayah baru terbuka dan sangat kental dengan kejadian misterius yang kerap ia temukan dijalan.

Pada tahun 1976, Hapati Hasan bersama Hamzah ke Jakarta mengurus dana proyek untuk infrastruktur pembangunan Kabupaten Mamuju. Di Jakarta ia menginap di Hotel Indonesia, hotel paling mewah dan ternama di Jakarta saat itu. Urusan tersebut berjalan mulus dan sukses mengantongi anggaran sebesar 600 juta diantar langsung ke Mamuju. Dan infrastruktur yang dibangun dari anggaran tersebut adalah kota Mamuju yang ada sekarang (2006-ed.).
Hapati Hasan tidak saja mendorong pembangunan fisik. Pengembangan SDM juga ia benahi dengan mencetak kader pemuda potensial. Salah satu kadernya adalah Almalik Pababari yang waktu itu tengah bersekolah di APDN. Gaus Bastari juga merupakan kader muda yang ia persiapkan dan termasuk sangat dekat dengan Hapati Hasan. Atas ajakan Hapati Hasanlah, Gaus Bastari memilih Golkar sebagai kendaraan politiknya. Tentu saja masih banyak kader terbaiknya yang kini memegang jabatan penting di pemerintahan.

Ada hal yang paling berkesan dalam jejak kehidupan seorang Hapati Hasan. Pada Pemilu tahun 1971 (Pemilu pertama Orde Baru), GOLKAR memperoleh suara 99,9 persen dari jumlah pemilih yang ada. Ini menjadikan Hapati Hasan menjadi kader terbaik yang menjadikan Kabupaten Mamuju sebagai peraih suara terbanyak bersama Kabupaten Wajo. Hasil tersebut melahirkan sejumlah protes salah satu partai yang menganggap Hapati Hasan tak membuka ruang gerak kepada partai-partai selain Golkar untuk berkembang di Mamuju.

Protes tersebut menjadi laporan yang sampai ke Makassar, di meja petinggi militer di Sulawesi Selatan. Hapati Hasan pun dipanggil oleh Litsus Kodam untuk klarifikasi. Dihadapan Litsus, Hapati Hasan menjelaskan bahwa ia tak pernah memasung demokrasi di Mamuju. Perolehan Golkar di Mamuju adalah murni hasil kerja nyata dari partai Golkar, sebab partai lain, jangankan aktifitasnya kantor sekretariatnya saja tak ada. Litsus Kodam pun mafhum dan menganggap bahwa perolehan suara Golkar di Mamuju adalah murni, bukan rekayasa. 
    
Komitmen Hapati Hasan datang ke mamuju adalah untuk membangun. Itu terbukti dengan pembangunan pasar sentral pertama di Mamuju. Kolaborasi antara rakyat pemerintah terjadi. Rakyat yang mengangkut pasir dan batu, sementara pemerintah yang menyiapkan bahan-bahan bangunan lainnya termasuk pembiayaan pasar tersebut. Hapati Hasan tampil sebagai pendorong gerak maju pembangunan di tengah-tengah warganya. Pengabdiannya adalah membangun. Saat pertama dilantik, ia membawa satu tim inti dari Makassar yang disebutnya sebagai gerbong pembangunan, menemaninya merancang konsep-konsep pembangunan Kabupaten Mamuju.

Ayah Wilianto (pengusaha sukses yang saat ini menjadi pemilik PT. Passokkorang dan d’Maleo Hotel), juga seorang penguasaha sukses di Mamuju, ia seorang keturunan China adalah sosok yang kerap membantu Hapati Hasan saat menemui kendala keuangan dalam pemerintahannya. Ia kerap membantu bupati dalam membayarkan gaji guru-guru dan staf di kantor kabupaten. Dialah partner bupati dalam membangun.  
     
Akses perdagangan untuk meningkatkan laju perekonomian ia buka ke Kalimantan dan Makassar, bahkan ke pulau Jawa. Mamuju adalah daerah penghasil kelapa (kopra) yang menjadi andalan perdagangan regional, meski sesungguhnya Mamuju memiliki banyak sumber daya alam, tapi belum terkelola dengan baik. Hasil hutan berupa rotan dan kayu hutan mulai dibukakan akses dan ini sangat diminati oleh pengusaha-pengusaha dari tanah Jawa.

Hubungan dengan petinggi-petinggi di daerah sekitar wilayah Mandar juga sangat dekat. Jika dalam perjalanan dari Mamuju ke Makassar, maka ia akan singgah dan bermalam di Majene sehingga dikenal dengan sebuatan daerah transit.

Perkembangan Kota Mamuju pada periode pertamanya memang belum terlalu signifikan peningkatannya, tapi tata kota sudah mulai terlihat. Pada periode keduanya, Mamuju sudah mulai berubah. Kantor Buapti yang dahulu berdinding papan diganti menjadi lebih permanen (sekarang jadi kantor Panwaslu Kabupaten Mamuju). Jalan Mamuju-Majene sudah terbuka. Rumah makan yang tadinya sangat susah ditemukan sudah mulai menjamur. Tak hanya kota yang dibangun, Tarailu yang jaraknya ratusan kilo bahkan jadi prioritas pembangunan. Ia memperkenalkan transmigrasi lokal (translokal). Warga Bugis pun berbondong-bondong datang ke Tarailu dan menjadi komunitas yang padat.

Adat dan kearifan-kearifan lokal juga dibangkitkan lewat cara memposisikan Andi Maksum DAI, salah seorang pemangku adat Mamuju menjadi Ketua DPRD Mamuju. Begitupun Gaus Bastari juga pernah jadi Ketua DPRD Mamuju ketika ia menjadi Bupati. Gaus Bastari bahkan dinobatkan sebagai Ketua DPRD kabupaten termuda di Indonesia. Itu artinya bahwa Hapati Hasan member ruang gerak kepada pemuda-pemuda potensi berkembang, bersama-sama membangun kabupaten Mamuju.      

Periode kedua sebagai Bupati Mamuju hanya ia jalani selama 3 tahun sebab di tahun keempat (1978) ia mengalami sakit serius. Kondisi fisiknya menurun.Ia lalu berkesimpulan untuk mengundurkan diri menjadi bupati sebab membangun sebuah daerah tak hanya butuh semangat, tapi juga dibutuhkan fisik yang prima. Lagi-lagi Hapati Hasan membuat sebuah keputusan bijak yang mungkin hanyan segelintir orang yang mampu untuk melakukannya. 
  
Hapati Hasan betul-betul menjadi bupati yang tak kenal lelah, ia terus berjuang untuk mengubah Mamuju menjadi sebuah daerah yang maju. Kondisi fisiknya sesungguhnya sudah mulai pulih pada tahun 1982, sehingga terdengar rumor bahwa ia digadang-gadang akan di angkat menjadi Bupati Majene, tapi kemudian ia tolak dan memilih untuk istirahat saja. Ketika suatu saat penyakitnya kambuh kembali, rupanya maut sudah menjemput dan membawanya menghadap Tuhan-Nya untuk selama-lamanya.
    

________________

  sumber: Bupati ke-4 Kabupaten Mamuju, Sarman Sahuding, 2006

Minggu, 02 September 2018

Menelusuri Jejak Kerajaan Mandar Dari Kaili Sampai Tomini

Suatu perkembangan baru pada abad ke 15, yaitu tampilnya beberapa kerajaan kecil di pesisir barat jazirah selatan dalam hal kekuatan maritim, tampilnya kerajaan Mandar dalam pengawasan jalur pelayaran perdagangan ke utara Sulawesi, semakin ramainya pelayaran niaga dikawasan itu telah mendorong kerajaan Gowa yang berada dibawah pemerintahan raja Tumapparissi Kollonna (1510-1546) bergiat untuk mengembangkan bandar niaganya. kerajaan Kaili dan Gorontalo berada dibawah kekuasaannya Pada tahun 1638 Kerajaan Mamuju menyerahkan pengawasan Gorontalo kepada Kerajaan Gowa Makassar secara damai. [1]

Pada tanggal 2 Mei 1888, Gubernur Belanda di Makassar datang ke Sulawesi Tengah untuk melantik raja Benawa ke-8, La Makagili Tomaidoda Pue Nggue (1888-1902), sekaligus menyelesaikan sengketa perbatasan wilayah kerajaan antara kerajaan Toli-toli, kerajaan Mamuju dan Benawa. Dari konflik tersebut akhirnya VOC membuat Lange Contract pada April 1888 untuk ditandatangani oleh raja La Makagili Tomaidoda dan tentang pembukaan jalur laut 14 Koningklij Paketvaart Maastchappij  (KPM), Singgah sekali dalam dua minggu adalah jalur pelayaran kapal uap perusahaan Belanda yang sahamnya dikuasai swasta, Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) itu untuk menghubungkan lalu-lintas perdagangan antara dua pusat perdagangan, Makassar di selatan dan Manado di utara, selain melegitimasi kekuasaan Belanda di masa itu bagi tata niaga perdagangan (kopra) dan juga atas Selat Makassar,[1] Yang jauh hari telah mengikat Benawa melalui Traktat Benawa tahun 1667 yang selanjutnya mengikat Donggala (Kaili) melalui perjanjian penyerahan emas kepada VOC pasca ditandatanganinya Perjanjian Bongaya oleh kerajaan Gowa pada 18 November 1667 di Makassar.

Kontrak penjualan emas kerajaan Benawa dengan VOC, mengakibatkan Belanda campur tangan mengamankan kapal dagangnya dari gangguan perompak laut terutama bajak laut dari Mindanao (Filiphina) yang sering menganggu jalur dagang diselat Makassar. Sehingga pada tahun 1862 di Kerajaan Mamuju pihak Belanda menyerahkan Akta Panjang yang ditandatangani oleh Maradika NaE Sukur, yang isi pernyataan tersebut adalah menyerahkan kekuasaan monopoli perdagangan jalur laut Mamuju kepada VOC. Serta penangkapan bajak laut yang harus diadili oleh militer VOC. 

Adanya pengaruh kekuasaan kerajaan Mandar di kawasan ini telah diketahui sejak kedatangan armada kapal yang diawaki oleh tiga orang Punggawa kerajaan Mandar dan salah satunya menjadi pendiri kerajaan Moutong di Tomini. Begitupun dengan kerajaan-kerajaan ditanah Kaili diketahui dengan adanya kesamaan budaya dan adat dengan kerajaan dari Mamuju (Mandar) dapat diketahui dari istilah-istilah yang dipakai untuk perangkat kerajaan, ada kesamaan dengan penyebutan gelar yang ada di kerajaan Mamuju seperti ; Baligau, Ponggawa, Pabicara, Madika/ Maradika dan istilah untuk Pue dan Puang yang juga dipakai oleh kerajaan kerajaan ditanah Kaili.

Dalam sumber sejarah yang lain adalah disebutkan bahwa cikal bakal keturunan raja-raja di Teluk Tomini adalah berasal dari Mandar, Tomini berasal dari kata Tomene, yang berarti To= Orang, Mene = Mandar untuk penyebutan bagi meraka kepada orang Mandar. Silsilah kerajaan Kasimbar terdapat tokoh yang dikenal dengan Arajang Patae Kaci yang kawin dengan Putri Olongian setempat. Yang berhubungan dengan sejarah kuno tentang kedatangan ekspedisi dari Mandar dibawah komando tiga orang ; Toriwoseang, Magau Dianggu dan Pueta Karikaca dan Pueta Karikaca inilah yang meneruskan perjalanan ke Teluk Tomini dan kawin di Kasimbar dan menjadi raja ditempat ini. Di Teluk Tomini, dinasti istana Tojo dan Moutong didirikan masing-masing oleh para pendatang Bugis dan Mandar di paruh ke dua abad 18 (Adriani and A.C Kruyt, 1912–14, I: 76; Riedel 1870b: 561)



Menurut tradisi lisan bahwa tokoh inilah yang mengadakan penaklukkan dari Tolole sampai ke Molosipat. Berkuasanya Sigi ke Molosipat di utara mungkin terjadi sebelum datangnya penguasa Mandar mendirikan Moutong. Karena seorang Putri Sigi bernama Pue Kurukere (dae Sarame) menjadi Madika di Tawaeli maka wilayah Sigi dari Tawaeli sampai Molosipat diberikan kepada Tawaeli. Kemudia cucu dari Kurukere ini bernama Yonggebodo (Magau ke II dari Tawaeli kawin dengan seorang Putri bangsawan Mandar yang bernam Irawe Mas. Selanjutnya sementara anak Olongian setempat (cucu dari Pueta Karikaca), yang bernama Pua Woli menikah dengan Sappewali yang juga keturunan bangsawan Mandar. Kemudian Sappewali ini menjadi raja Toribulu, dari perkawinan inilah lahirlah anak bernama Pika (Wanita) yang kawin dengan Tombolotutu raja Moutong.

Kerajaan Moutong adalah merupakan suatu kerajaan yang cikal bakal rajanya adalah  keturunan Mandar, dalam tradisi lisan diketahui bahwa ada kerajaan kuno bernama Kerajaan Lambunu yang rajanya berasal dari Lampasio yang merupakan kerajaan bersaudara dengan kerajaan Toli-toli, sebelum berdirinya kerajaan Moutong oleh Manggalatung yang merupakan anak keturunan raja di Mandar, wilayah Lambunu ini meliputi Moutong sampai Tomini dari kerajaan Lambunu inilah didapatkan informasi bahwa ada seorang raja dari Mamuju (Mandar) yang bernama Nae,[2] setelah kematian istrinya lalu menitipkan putranya yang bernama Manggalatung untuk dipelihara oleh raja Lambunu sampai dewasa. Setelah anak ini dewasa ayahnya datang menjemputnya tapi kemudian ayahnya (NaE) mendudukkannya sebagai raja di Moutong (yang dalam bahasa Mandar berarti mottong atau tinggal) pada tahun 1771.[3] 

Sebelum Manggalatung dilantik jadi raja Moutong tahun 1778 dan telah ada perjanjian antara raja Mamuju (Nae) dan raja Lambunu, bahwa hak raja Lambunu haruslah dihormati oleh raja Moutong dan dibuatlah suatu ikrar “kalau raja Moutong dalam kesusahan maka kerajaan Lambunu membantunya begitupun sebaliknya“.[4]


Bersambung...



[1] Leonard Y, Andaya. The Herritage of Arung Palakka. 1981, Hal. 19.
[2] NaE adalah nama gelar bangsawan Mamuju yang juga adalah marga untuk menunjukkan masih keturunan bangsawan murni, tapi dari sumber ini tidak disebutkan nama lengkapnya.
[3] Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. , Anhar Gonggong dkk. 1984. Hal. 43/44.
[4] ibid_ 




Apa Motif Orang Mandar Ke Pesisir Teluk Tomini?


Kajian tentang migrasi orang Mandar ke bagian barat dan selatan Nusantara relatif memadai dibandingkan penyebaran orang Mandar ke kawasan utara dan timur.

Kampung-kampung Mandar ada puluhan di sekian ratus pulau di Selat Makassar, Laut Jawa dan bagian barat Laut Flores atau utara Bali dan Jawa Timur. Beberapa kampung Mandar yang pernah saya datangi langsung yang mana di situ masih kental praktek budaya-budaya Mandar (bahasa, ritual, teknologi, dll) bisa dilihat di Pulau Masalembu, Kepulauan Pagarungan, utara Pulau Bali dan beberapa pulau di Kepulauan Spermonde. Kampung Mandar juga melimpah di pulau kecil di timur Kalimantan Selatan, termasuk Pulau Laut beribukota Kotabaru.

Tidak hanya hanya itu, kajian tentang penyebaran orang Mandar tersebut sudah banyak dilakukan. Atau setidaknya menjadi bagian ketika para peneliti mengkaji penyebaran orang Bugis. Tapi bagaimana dengan penyebaran orang Mandar ke bagian utara dan timur Nusantara? Secara pribadi saya belum pernah menemukan (itu tidak berarti bahwa kajiannya tidak ada). Padahal bila ditelisik lebih jauh dan mendalam, penyebaran orang-orang yang tinggal di pesisir Teluk Mandar juga terjadi masif dan merentang ke ratusan tahun lampau.

Salah satu faktanya adalah penamaan Teluk Tomini itu sendiri yang berarti Teluk Orang Mandar. Dipikir-pikir, sepertinya itu adalah jejak orang Mandar yang paling “Wah”, yang tercatat di peta dunia. Apalagi status Teluk Tomini yang merupakan salah satu teluk terbesar di dunia. Memang sih ada juga Teluk Mandar, tapi luasnya ga seberapa dan itu wajar, kan lokasinya memang dekat.

Bukan hanya itu, daerah Gorontalo pun pernah di bawah kekuasaan orang-orang Mandar ketika bersekutu dengan Kerajaan Gowa Tallo. Hanya saja, belum ada ditemukan kajian ilmiah komprehensif yang membahas kenapa orang Mandar jauh-jauh ke Gorontalo dan pesisir timur Pulau Sulawesi ‘berkuasa’.

Menarik untuk dikaji tentang migrasi orang Mandar ke pesisir timur Sulawesi Tengah. Bukan apa, kalau kesananya menggunakan perahu atau lewat laut, itu jaraknya bisa sampai 2.000 km (hampir sama jaraknya ke utara Filipina). Meski itu bukan hal mustahil, tapi jika menggunakan jalur laut melewati utara Pulau Sulawesi, itu sulit dilakukan di masa lampau yang alasannya hanya untuk ekspansi politik. Yang paling masuk akal adalah jalur darat.

“Ya, di Sulawesi Tengah itu ada jalur di leher Sulawesi yang dulu digunakan sebagai jalur darat orang Mandar menyeberang dari Selat Makassar ke Teluk Tomini. Oleh orang penduduk asli di sana dikiranya orang Mandar orang dari gunung, padahal mereka datang dari sisi barat Pulau Sulawesi,” kata Zulkifly Pagessa yang akrab disapa Uun, pekerja seni Sulawesi Tengah kepada saya beberapa waktu lalu saat membicarakan fenomena penyebaran orang Mandar di Sulawesi Tengah.

Jika betul jalur itu yang digunakan, maka orang Mandar hanya berlayar sekira 500 km untuk kemudian jalan kaki atau menggunakan kuda melewati bagian “leher” Pulau Sulawesi yang paling ‘sempit’ menuju pantai timur. Jika ditarik garis lurus jaraknya tak seberapa, berkisar 20  - 30 km. Amat ringkas bila dibandingkan jauh-jauh berputar ke utara lalu ke ti mur (Menado) lalu turun ke selatan terus belok lagi ke barat.

Persebaran orang Mandar waktu lampau setidaknya alasannya adalah motif politik dan ekonomi. Yang paling berpengaruh menurut saya adalah yang kedua, ekonomi. Besar kemungkinan orang Mandar mencari sumberdaya alam yang banyak di Sulawesi Tengah. Seperti damar, rotan, kayu dan rempah-rempah. Di masa lampau, rempah-rempah seperti cengkeh dan lada nilainya seperti emas. Nah di kawasan Parigi (dulu) juga datang orang-orang dari Ternate – Tidore, asal rempah-rempah dunia. Dengan kata lain, orang Mandar membeli atau membarter rempah-rempah dari timur dengan produksi dari Mandar (misalnya tenun sutera) untuk kemudian rempah-rempah tersebut mereka bawa ke Makassar atau Selat Malaka.

Hal di atas masih sebatas tesis, tapi kemungkinan itu ada. Sebagaimana yang dikemukakan Andi Pertiwi Damayanti dalam “Sebuah Catatan dari Lintasan Sejarah Sulteng” bahwa “… Walaupun kerajaan di Teluk Tomini ini berasal dari Mandar, agaknya pengaruh Gorontalo/Ternate yang datang lebih dahulu lebih dominan dalam struktur pemerintahannya. Maka susunan pemerintahannya sebagai berikut: Olongian (kepala negara), jogugu (perdana menteri), Kapitan Laut (menteri pertahanan), Walaapulu (menteri keuangan), Ukum (menteri perhubungan), dan Madinu (menteri penerangan).” Artinya, memang di kawasan Parigi Moutong terjadi persilangan budaya Mandar dengan Ternate. Ada hubungan bermotif ekonomi bukan hal mustahil.

Tidak sebatas ke pantai timur Sulawesi Tengah, tapi juga sampai ke Kerajaan Banggai, terus ke Kepulauan Sula hingga gugusan pulau penghasil rempah, yaitu Ternater, Tidore, Bacan dan lain-lain. Perjalanan orang Mandar ke kawasan tersebut diperkirakan terjadi pada abad ke-16. Di masa itu, di Sulawesi Tengah terdapat sejumlah kerajaan yang cukup penting, antara lain: Banawa, Sigi, Biromaru, Tawaeli, Pontolan, Sindue, Dolo, Bangga, Tatanga, Palu, Sibalaya, Kulawi, Parigi, Kasimbar, Muotong, Lambunu, Pamona, Pekurehua, Ondae, Mori, dan Buol. Di Teluk Tomini juga terdapat kerajaan-kerajaan tua seperti Sipayo dan Bondoyo, namun sumber-sumber sejarah tentang kerajaan-kerajaan tersebut kini tidak ada lagi.

Pada abad tersebut kerajaan-kerajaan dari Sulawesi Selatan semakin memperbesar pengaruhnya di Sulawesi Tengah. Perluasan pengaruh kekuasaan ini diiringi dengan adanya hubungan perkawinan di antara para penguasanya. Kemudian datang pula pengaruh dari Mandar, terutama di kawasan pantai barat dan pantai timur Teluk Tomoni. Raja-raja Tawaeli, Kasimbar, Toribulu, dan Muotong mengaku berasal dari keturunan raja-raja Mandar.

Berdasar hal di atas, perjalanan ke pesisir timur Sulawesi Tengah perlu dan penting untuk dilakukan. Pada saat yang sama perjalanan 25 sandeq dan ratusan passandeq ke Parigi Moutung wajib untuk dicatat dalam sejarah Mandar.(Muh. Ridwan Alimuddin)

Dikutip dari :
https://ridwanmandar.blogspot.com/2015/09/apa-motif-orang-mandar-ke-pesisir-teluk.html?view=snapshot&m=1

Selasa, 28 Agustus 2018

Kerajaan Tapalang Masa Lalu


Tapalang adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Sebelum era kemerdekaan Indonesia wilayah ini masuk di dalam konfederasi kerajaan-kerajaan di pesisir Mandaryang lazim dikenal dengan sebutan Pitu Ba’bana Binanga hasil Perjanjian Tammajarra. Pada pemerintahan kolonial Hindia Belanda Wilayah Tappalang masuk ke dalam bagian Onder Afdeling Mamuju yang merupakan bagian dari Afdeling Mandar. Selanjutnya dalam struktur pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 bekas Afdeling Mandar dibagi menjadi tiga kabupaten, yakni; Polewali Mamasa (gabungan bekas Onder Afdeling Polewali dan Onder Afdeling Mamasa), Majene, dan Mamuju. Wilayah Tapalang bergabung ke Kabupaten Mamuju yang hingga sekarang telah menjadi dua kecamatan; Tapalang dan Tapalang Barat. Wilayah Kecamatan Tapalang sebelum pemekaran terbentang dari Desa Lebani di ujung utara ke Desa Taan di ujung selatan dan Selat Makassar di barat ke Desa Bela di ujung Timur.

Tapalang dalam tutur asli Bahasa Tapalang disebut Tampalang. Nomenklatur antropologisnya adalah To Tampalang (orang Tapalang), berarti ada suatu satuan budaya yang berkembang berdasarkan nilai-nilai yang relatif sama atau secara substatif sama. Sedangkan dalam dalam konteks konfederasi kerajaan-kerajaan di Mandar, disebut Tappalang, yakni bahwa Kerajaan Tappalang merupakan satu dari tujuh persekutuan kerajaan pesisir Mandar (Pitu Ba’bana Binanga). Oleh sebab itu, tatkala membicarakan Tapalang dalam konteks kerajaan, maka dalam makalah ini ditulis Kerajaan Tappalang. Dengan demikian, urutannya adalah Tampalang sebagai sebuah wilayah tempat berdirinya satuan-satuan adat otonom yang dipimpin seorang maradika, lalu mulai popular sebagai Tappalang usai Perjanjian Tammajarra I, kemudian menjadi Kerajaan Tappalang yang dipimpin oleh seorang mara’dia sebagai sebutan resmi di Pitu Ba’bana Binanga meski kadang juga penduduka asli menyebutnya maradika- dan yang terakhir menjadi Tapalang setelah Onder Afdeling Mamuju berubah menjadi Kabupaten Mamuju yang di dalamnya terdapat Kecamatan Tapalang. Makalah ini akan mencoba memberi pengantar tentang hakikat Tappalang sebagai suatu entitas pemerintahan adat hingga berkuasanya mara’dia menggantikan para maradika di dalam satuan-satuan adat yang pernah ada.


Prosesi Pelantikan Raja Tapalang Di Tapalang
 (Kanan) A. DAI Maradika Mamuju
(Tengah) Pattana Pantang Abdal Hafid, diapit perwira Belanda. Foto Tahun 1938


Kerajaan Tappalang dipimpin oleh Mara’dia. Sebutan ini sebenarnya tidak masuk dalam bagian sebutan asli To Tampalang, sebab di tanah Tampalang sebelum menjadi Tappalang berdasarkan penyebutan di Perjanjian Tamajarra I, pimpinan satuan adat (hadat) dinamakan Maradika. Mara’dia lebih dekat dengan sebutan penutur Bahasa Mandar yang mendiami Kerajaan Sendana, Banggae, Balanipa, Pamboang, dan sebagian Binuang.Demikian juga, penamaan Tappalang menurut hemat penulis mulai populer sesudah Perjanjian Tammajarra’ I karena mengikuti tutur Sendana, asal muasal Raja Tappalang Pertama. Lebih lanjut akan dikemukakan pada bagian lain.

Mara’dia memerintah di Tappalang dengan menyatukan bekas-bekas kekuasaan kerajaan kecil yang ditinggalkan leluhur mereka.Berdasarkan batas-batas kekuasaan kerajaannya di wilayah ini juga dikenal adanya satuan-satuan adat mandiri dalam beberapa sebutan yang merepresentasikan dan menyimbolkan alur historis tersendiri, yakni; wilayah para punggaha masing-masing, Tampalang, Orobatu, Dayangnginna, Pasa’bu, dan Dungkait; serta wilayah-wilayah Mata Lalang di Karanamu, Tomakaka di Taan. Adapun Bela, tidak termasuk di dalam persekutuan Pitu Ba’bana Binanga. Satuan-satuan adat tersebut tidak akan diuraikan di dalam makalah ini karena memerlukan pembahasan terpisah dan penelusuran sumber-sumber yang relevan.

Sumber-sumber yang berbicara tentang persekutuan kerajaan-kerajaan mandiri di wilayah Mandar hanya menyebutkan bahwa Kerajaan Tappalang adalah salah satu dari bagian Pitu Ba’bana Binanga. [1]Tidak ada keterangan lain mengenai kedudukan Kerajaan tapalang selain itu. Banyak kesulitan yang ditemui tatkala hendak menuliskan genealogi Kerajaan Tappalang lantaran sumber tertulis mengenai kerajaan ini khususnya dan kerajaan-kerajaan di Mandar belum terkumpul secara komprehensif. Ini artinya, masih ada sebuah tugas budaya yang amat berat yakni menuliskan secara sistematis dan ilmiah kerajaan Mandar secara umum mencakup kerajaan dalam gabungan konfederasinya, termasuk Kerajaan Tappalang.

Genealogi Kerajaan Tappalang
Semua sumber sepakat membenarkan bahwasanya nenek moyang orang Tappalang adalah Tambuli Bassi. Beliaulah tokoh terpenting yang menurunkan seluruh silsilah dalam wilayah Kerajaan Tappalang. Sosok inilah yang berada di balik segala kejayaan masa lalu Kerajaan Tappalang. Secara sekilas disebutkan bahwa Tambuli Bassi bertolak dari negeri asalnya yakni Tabulahan menuju ke arah barat, menuruni pegunungan yang kini dikenal dengan Kabupaten Mamasa menuju wilayah pesisir.Menempuh perjalanan beberapa bulan Tambuli Bassi tiba di muara sungai lalu menancapkan bambu kuning (parring bulahang). Wilayah pesisir di muara Sungai Tamao itulah yang oleh beliau disebut sebagai “ujung perjalanan”. Diksi dalam dialek aslinya dinamakan tappa’ lalang atau tampa lalang. Tappa’ atau tampa’ berarti “ujung” dan lalang berarti jalanan atau perjalanan. Gabungan dua kata itu membentuk satu kata baru; Tappalang atau Tampalang.

Tambuli Bassi sendiri bukanlah nama aslinya. Tidak ada satu pun sumber yang dapat menyampaikan nama asli nenek moyang orang Tappalang ini. Nama itu melekat sebagai julukannya. Secara antropologis, manusia Mandar awal pada umumnya enggan menyebut nama seseorang setelah beranjak dewasa, terutama sekali mereka yang ditokohkan di dalam masyarakat. Mereka biasa dipanggil sesuai kebiasaan khas mereka.Tambuli Bassi dalam setiap perjalanannya ditemani tongkat berujung atau tombak logam atau besi yang selalu ditancapkan pada setiap langkahnya menyusuri rantai pegunungan yang tak putus hingga ke kawasan pesisir.

Tambuli Bassi berangkat dari Tabulahan bersama dengan seorang istri yang tak disebutkan namanya dan seorang anaknya bernama Toahi’. Semenjak beliau menancapkan Parring Bulahang yang dibawanya dari Tabulahang dengan sebuah pernyataan “Diami dinde’e tampa’-tampa’ lalanta’” beliau merambah tanah di antara tiga bantaran sungai; Tamao, Taosa, dan Anusu. Selama berada di tanah ini Tambuli Bassi memiliki enam orang anak. Mereka adalah Torijannangan, Tabunga-bunganna, Daeng Mattarring, Todibaruganna, Taseopanna, dan Tappalla'na. Daeng Mattarring adalah satu-satunya anak laki-laki Nenek Tambuli Bassi tersebut.

Adapun Toahi’ yang bermigrasi bersama Tambuli Bassi ke wilayah pesisir adalah anak dari istri pertama beliau.Istri pertama beliau tersebut yang juga tidak diketahui namanya, berdiam di Buntu Bulo, Tabulahang. Selain Toahi’, dari istri pertamanya tersebut beliau juga memiliki anak bernama Topelake-lakena dan Todikurra-kurra. Todikurra-kurra ikut mengikuti suaminya migrasi ke Bali, sedangkan Tapelake-lakena berpindah ke pesisir selatan, diperkirakan di wilayah Pamboang.

Semula keturunan beliau yang berdiam di Tappalang melahirkan generasi pertama yang menjadi penutur budaya dan selanjutnya memimpin satuan-satuan adat otonom sebagai maradika, punggaha, pa’bicara, dan baligau’. Torijannangan tinggal di Tamasaro’bo’. Tabunga-bunganna diperistri oleh Sanro Bone dan berdiam di Lamungan Boa, Kalukaluku, kemudian pindah ke Taloba’, kawasan Salumatti. Daeng Mattarring mendiami pesisir Tappalang, yakni Udung Batu sedangkan Toribunganna tinggal di Galung Luak, Tasiopanna di Pasa’bu, dan Tappala’na ke Dungkait karena diperistri putra Takala’birang yang kelak menjadi Maradika Kajuranni di Pasa’bu, sebuah kerajaan kecil di wilayah Sungai Ahu.

Perjalanan yang demikian panjang dalam sejarah awal Tappalang meninggalkan jejak berupa satuan-satuan adat yang dipimpin oleh Maradika, yakni; Maradika Kaju Anging, Bulo Malala, Somba Opu, Udung Bassi, Pacirong. Maradika Udung Bassi adalah saudara yang paling tua di antara mereka.

Ketokohan Tambuli Bassi yang di akhir hayatnya kembali ke Tabulahan untuk menerima sebuah penyematan penghargaan adat dari tanah leluhurnya itu menyebar ke berbagai wilayah adat lainnya. Sebuah kewajaran dalam kajian antropologi bahwa kekuatan seorang tokoh selalu sanggup disandingkan dengan ketenaran suatu komunitas. Begitulah yang terjadi pada diri seorang Tambuli Bassi. Saudara-saudaranya sesama keturunan Pongkapadang[2] mengenal dan mengidentikkan Tambuli Bassi dengan Tappalang. Tappalang adalah karya besar seorang Tambuli Bassi yang mewariskan satuan-satuan adat tersebut di atas.

Wilayah Tappalang yang ditinggalkan Tambuli Bassi hingga menjelang perundingan di Tammajarra’ masih terdiri atas satuan-satuan adat yang mandiri di bawah kekuasaan maradika. Otonomi dan kesetaraan kedudukan para maradika tersebutlah yang menyebabkan mereka sulit menyepakati pimpinan adat bersama untuk satu Tappalang. Nama besar Tappalang yang berimpit dengan kebesaran Tambuli Bassi nampaknya menuntut semacam perlunya mengangkat maradika yang akan memimpin wilayah tersebut. 

Sumber lain menyebutkan bahwa atas saran pemerintah Hindia Belanda agar Tappalang menunjuk seorang raja  diadakanlah rembug adat. Tatkala rembug para pimpinan adat memutuskan untuk menyerahkan kekuasaan itu kepada Maradika Udung Bassi sebagai kakak tertua. Namun demikian, apa yang dilakukan oleh Maradika Udung Bassi adalah mengambil inisiatif sendiri mencari raja dari wilayah lain. Justru atas inisiatif sendiri, beliau mengangkat dan mendudukkan seseorang yang berasal dari Sendana untuk menduduki jabatan tersebut. Bangsawan Sendana yang adalah sepupu beliau juga itulah yang pada akhirnya dinobatkan sebagai kepala kerajaan dengan sebutan mara’dia; Mara’dia Tappalang. Konsekuensinya adalah menurunnya satu jenjang jabatan maradika menjadi punggaha di tiap satuan adat mandiri yang ada sebelumnya itu. 

Mereka mengangkat atau menyetujui Mara’dia yang bergelar Tomappelei Asugianna (1850-1860), berturut-turut digantikan oleh Pua’ Caco Tomanggang Gallang Patta Ri Malunda (1860-1867), Nae Sukur (1867-1889), Pabanari Dg. Natonga (1889-1892), Andi Musa Paduwa Limba (1892-1908), Bustari Pattana Lantang (1908-1934), lalu diganti mara’dia terakhir bernama Abdul Hafid Pattana Pantang (1934-1936). Selama hamper satu abad lamanya, tanah Tappalang menjadi satu kerajaan tunggal yang dipimpin oleh raja berbahasa lain, bukan Bahasa Tappalang.

Satuan-satuan adat mandiri yang sebelumnya dipimpin oleh maradika tersebut di atas akhirnya dipimpin oleh punggaha kecuali di beberapa tempat dikuasakan kepada pimpinan adat bernama baligau’ dan pa’bicara. Sebagai catatan saja, bahwa terdapat pula wilayah yang semula masuk dalam kewenangan salah satu satuan adat mandiri di tanah Tappalang diserahkan atau dianugerahkan kepada golongan lain sebagai sebuah penghargaan adat misalnya, wilayah adat Mata Lalang. Wilayah ini bernama Karanamu, sebuah satuan adat mandiri. Kisah tentang penyerahan dan penganugerahan sebagian tanah kepada kelompok adat lain bernama Mata Lalang di Karanamu tersebut akan diuraikan dalam segmen lain. Sesudah diangkatnya mara’dia yang berasal dari wilayah Sendana tersebut, maka praktis wilayah-wilayah adat yang dipimpin oleh punggaha berada dalam wilayah administrasi kolonial Hindia-Belanda yang selanjutnya dimasukkan menjadi bagian dari Afdeling Mandar, Onder Afdeling Mamuju. Sebagai catatan juga bahwa Mata Lalang di Karanamu, Topatindo di Kota tidak berkenan menjadi bagian dari kekuasaan Hindia Belanda sehingga secara administrative dianggap masuk ke dalam wilayah otoritas Punggaha Dayanginna namun kekuasaan adatnya tidak pernah dicabut atau diubah hingga sekarang. Selain itu terdapat pula otoritas adat Tomakaka di Taang (Taan).

Sejak tahun 1936 tidak pernah lagi terjadi pergantian mara’dia. Dapat diduga karena dalam masa itu telah terjadi pergolakan kemerdekaan dengan berdirinya perserikatan perjuangan terutama dipelopori oleh Syarikat Islam. Perlu diketahui bahwa sesuai sumber terpercaya dari Syarikat Islam bahwa organisasi pergerakan nasional pertama di tanah air ini masuk ke tanah Sulawesi melalui Mandar. Beberapa pimpinan adat dan tokoh p[ergerakan Mandar di Majene, Balanipa, Polewali, Sendana, Tappalang dan Mamuju telah bersepakat memberi tempat kepada pergerakan Syarikat Islam baik sebelum maupun setelah menjadi partai politik yang menentang Hindia-Belanda. Itu sebabnya dapat diduga bahwa pengaruh kuat penentangan Syarikat Islam terhadap Hindia Belanda di Mandar menyebabkan mulai memudarnya kepatuhan administratif rakyat Mandar kepada pemimpin adat yang didukung oleh Belanda itu.

Terbentuknya Kelaskaran Rakyat Indonesia Muda (KRIS-Muda) Mandar di Jawa maupun di Sulawesi melibatkan sangat banyak pemuda Mandar yang mencoba mempersoalkan kekuasaan raja di bawah pemerintahan kolonial tersebut. Raja-raja Mandar pun demikian. Hingga awal kemerdekaan Indonesia, mereka bersepakat menghentikan kekuasaan swapraja dan dialihakn kepada sistem administrasi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak mula, dan wilayah bekas Afdeling Mandar bergabung ke dalam Provinsi Sulawesi.

Sumber :
Dari berbagai sumber

Minggu, 19 Agustus 2018

Mengenang Kembali Sejarah Kelam Pemberontakan DI/TII Di Mamuju (bag.2).

Pada awal April 1964, Panglima Militer Kodam XIV Hasanuddin Mayor Jendral M. Yusuf melakukan inspeksi ke markas BN710 di Polewali. Namun, usai kunjungan itu dalam perjalanan pulang ke Makassar, rombongan itu dibrondong peluru oleh sepasukan tentara BN 710 yang menghadangnya. Meski demikian Panglima Yusuf selamat dalam peristiwa itu, namun ajudan beliau yang berpangkat Mayor CPM tewas dan beberapa prajurit lainnya menderita luka luka.



Kahar Muzakkar

Meyakini bahwa BN 710 pimpinan Andi Selle membelot, pada tanggal 5 April 1964 Panglima M. Yusuf memerintah untuk menyerang pasukan BN 710 dari atas udara. Beberapa pesawat milik TNI dari Kodam XIV Hasanuddin segera menyebarkan selebaran dari udara kewilayah-wilayah Polewali, Majene dan Mamuju. Isinya adalah pemberitahuan penembakan dari udara ketempat - tempat yang dicurigai sebagai persembunyian pasukan BN 710. Maka segera penduduk mencari tempat persembunyian setelah mengetahui hal tersebut.
Tanggal 6 April 1964 Kapal Angkatan Perang Pusat atas perintah Panglima TNI merapat di pelabuhan Mamuju. Pasukan tersebut berasal dari Kodam Diponegoro dipimpin oleh Komandan Batalyon Mayor Soeyono dan Komandan Operasi Kapten Suryo Utomo. Diangkut oleh Kapal Perang Angkatan Laut "Barracuda" Tentara sejumlah satu batalyon. Sebelum merapat ke pelabuhan, diadakan pertemuan dengan pihak pemerintah yang diwakili oleh Bupati dengan pimpinan pasukan operasi diatas kapal. Karena Bupati Mamuju Andi Paccoba Amirullah kala itu tidak berada di Mamuju, maka digantikan oleh Muhammad Thahir atas nama pemerintah, Muhammad Husain mewakili Komandan Resimen dan Letnan Abu Nawas (dari BN 710) mewakili Dandim.

Setelah pertemuan konfrontir dilakukan antara pihak pemerintah dengan Komandan Pasukan Diponegoro diatas Kapal AL Barracuda. Maka pada tanggal 16 April 1964 sekitar pukul 16.00 Wita. Komandan Operasi, Suryo Utomo memimpin pasukannya dengan menggunakan kapal Landing Boat mendarat di pantai Kasiwa. Setelah mendarat di Mamuju segera saja pasukan Diponegoro berpencar menguasai tempat-tempat strategis dalam kota. Sehari kemudian yakni tanggal 17 April 1964, semua pasukan BN 710 yang bertugas di Sampaga, Kabuloang, Kalukku, Lombang- Lombang dan Tapalang ditarik kekota Mamuju. Mereka langsung menyerahkan diri kepada pasukan Diponegoro lengkap dengan persenjataannya.

Selanjutnya pada tanggal 20 April 1964 pasukan BN710, diangkut ke Pare-Pare dengan kapal laut dan dalam pengawasan ekstra ketat dari Kodam Diponegoro. Saat itu Komandan Batalyon Kodam Diponegoro menunjuk dua orang pegawai pemerintah untuk berangkat ke Makassar, Pare -Pare, Polewali dan Majene untuk memanggil kembali pengungsi dan pemerintah untuk kembali ke Mamuju karena dianggap situasi sudah aman dan bisa kembali ke kampung halamannya.

Terhadap pegawai pemerintah dan anggota masyarakat yang dianggap banyak berhubungan dengan pasukan BN 710. mendapat pengawasan ketat dari pasukan Diponegoro. Masyarakat dihimbau agar tidak perlu lagi merasa khawatir dengan DI/TII dan BN 710 pimpinan Andi Selle, agar bisa kembali bekerja seperti sedia kala.
Bupati Mamuju saat itu Andi Paccoba Amirullah dibebas tugaskan dari jabatannya sebagai Bupati Mamuju. Gubernur kemudian menunjuk Abd. Mannan sebagai pejabat sementara atau pelaksana tugas Bupati Mamuju dan H. Abd. Syukur sebagai Sekretaris Daerah.

Di era pemerintahan Abd. Madjid Pattaropura sebagai Bupati Mamuju, beliau mendatangkan satu kompi BN 721 Makkasau yang dipimpin Letnan A. Wahab Azasi untuk mengadakan operasi pembersihan sisa-sisa DI/TII pimpinan Mansyur yang masih ada berkeliaran di pelosok Mamuju. Untuk membantu TNI, pemerintah membentuk pasukan relawan yang terdiri dari pemuda dibawah pimpinan Andi Azis DAI yang beranggotakan Andi Chaer DAI, Andi Mahyuddin Thahir, Badarussaman, Zainal Abidin dan lainnya yang berjumlah satu pleton dengan persenjataan lengkap. Ditambah pasukan satu kompi pasukan 721 pimpinan Kapten Anas dibantu oleh Kapten Masseno Donggala mereka ditempatkan di Beru-beru, Kalukku.

Operasi pembersihan yang dibantu pasukan relawan tersebut membuahkan hasil, pimpinan DI/TII, Mansyur dan kawan-kawannya menyerahkan diri kepada TNI tahun pada tahun 1966 di Babana, Budong-Budong. Pasukan DI/TII berjumlah 700 personel dan persenjataannya di tawan dan diserahkan kepada pihak TNI, secara resmi di serahkan kepada kepala staf Korem Pare- Pare, Musa Gani pada tanggal 15 Mei 1966 di Lapangan Benteng Kayu Mangiwang, Babana Budong-Budong. Pada peringatan hari ulang tahun Kabupaten Mamuju ditahun 1977, Bupati Mamuju, Abd. Madjid Pattaropura menyampaikan surat ke DPRD/GR Kab. Mamuju agar menetapkan 1 Juni 1966 sebagai hari kebangkitan rakyat Mamuju yang kemudian lebih dikenal sebagai hari Manakarra, sebagai tonggak awal kebangkitan rakyat Mamuju dari penderitaan akibat penjajahan dan kekacauan keamanan  oleh pemberontakan DI/TII dan Pengkhianatan BN 710 di Kabupaten Mamuju. (Arman Husain-2018)

Referensi ;
- Memet Tanumidjaja. Sedjarah Perkembangan Angkatan Kepolisian. Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sedjarah ABRI. 1971, hlm.135.
- Awaloedin Djamin. Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia Dari Zaman Kuno Sampai Sekarang. Jakarta: Yayasan Brata Bhakti POLRI. 2007, hlm. 362.
- Sejarah Perjuangan Rakyat Mamasa, oleh; Alberth Allo
- Selayang Pandang Sejarah dan Adat Mamuju oleh H. I. Abd. Rahman Thahir, MPA. 2006.

Kamis, 16 Agustus 2018

Mengenang Kembali Sejarah Kelam Pemberontakan DI/TII Di Mamuju (bag.1)


Ini hanyalah sebuah memori masa kelam yang pernah terjadi dan dialami oleh orang tua dan masyarakat Mamuju kala itu, tampaknya tak bisa dihapus dalam ingatan walaupun usia mereka sudah terlihat pikun untuk mengingat segala peristiwa yang mereka sudah alami, ada kenangan akan betapa beratnya hidup dengan segala resiko dan ketakutan yang mereka hadapi, tepat tahun 1956 peristiwa ini bermula sejak Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia yang biasa dikenal dengan sebutan DI/TII merupakan gerakan separatisme yang menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia. DI/TII memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 7 Agustus 1949 dengan Negara Islam Indonesia sebagai negara yang diproklamasikan. Panglima tertinggi Negara Islam Indonesia adalah S. M. Kartosuwurjo.


Abd. Kahar Mudzakkar



Di Mamuju tidaklah berbeda dengan tempat lain di Sulawesi dalam menanggung penderitaan akibat pemberontakan DI/TII ini, masyarakat Mamuju harus menanggung kerugian yang tidak sedikit, hampir seluruhnya rumah-rumah masyarakat dibakar termasuk harta benda yang ada dirampok dan dimusnahkan seperti halnya benda-benda pusaka, lontara, rumah, rakyat setiap hari mendapat ancaman teror pembunuhan jika ada anggota masyarakat yang melanggar aturan yaitu berupa larangan mengkomsumsi makanan seperti gula pasir, mentega, rokok, memakai sutra dan emas. Sebelum kota Mamuju ditinggalkan penduduknya hanya kota Mamuju yang tidak sempat dikuasai oleh gerombolan DI/TII secara keseluruhan, baru pada tahun 1957 Kota Mamuju dan beberapa kampung ditinggalkan oleh pemerintah dan rakyatnya karena keadaan sudah semakin genting. 

Rakyat Mamuju dengan terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya untuk menyelamatkan diri dari gangguan gerombolan DI/TII, hanya dengan bekal seadanya. Pemerintah dan masyarakat Mamuju kebanyakan mengungsi ke Pare-pare (Sul-sel) dan sebagian lagi mengungsi kedaerah lain seperti Kalimantan (Balikpapan, Samarinda, Bontan) dan ke daerah Sulawesi Tengah (Palu) tepat tanggal 31 Desember 1957. Pemerintah yang mengungsi ke Pare-pare dengan menggunakan tiga buah kapal motor yaitu KM. Permata. Kisah dalam pengungsian inilah kenangan masyarakat Mamuju yang sangat memilukan, dikisahkan dalam pengungsian itu hampir seluruh masyarakat Mamuju yang ada dikapal KM Mutiara itu menangis karena tidak tega harus meninggalkan kampung halamannya dan akan mengungsi kekampung lain yang belum tentu menjamin kehidupan mereka nantinya disana, sehingga Kapal Permata diplesetkan namanya dengan "Kapal Air Mata" oleh masyarakat Mamuju kala itu. 

Akibat gangguan pemberontakan DI/TII maka pemerintah RI memberlakukan SOB (Staat van Orlog Beleg) yaitu masa keadaan darurat perang. Untuk mengamankan Sulawesi Selatan pemerintah pusat mendatangkan pasukan dari Jawa antara lain dari Batalyon 422/Diponegoro, Batalyon Poncowati, Pasukan Badak Hitam dari Aceh, Pasukan Tengkorak Putih dari Batalyon Siliwangi dan Batalyon Bukit Barisan. Di wilayah Komando Daerah Teritorium VII (Kodam yang kemudian berubah menjadi Kodam XIV /Hasanuddin, lalu kembali menjadi Kodam VII/Wirabuana) ditempatkan Pasukan TNI antara lain Batalyon 710 dipimpin Andi Selle Mattola dengan wilayah Korem Pinrang, Polewali, Majene dan Mamuju. Batalyon 720 dipimpin Andi Sose dengan wilayah Korem Tator, Luwu dan Enrekang.

Setelah Kahar Mudzakkar bersama pasukan CTN-nya masuk hutan pada bulan Agustus 1951 dan memberontak terhadap pemerintah pusat, keamanan di Afdeling (Kabupaten) Mandar di bawah kontrol pasukan TNI/APRIS, Badak Hitam yang dipimpin wakil komandan Ulung Sitepu. Batalyon Badak Hitam bermarkas di Majene dan satu kompi pasukan Badak Hitam ditempatkan di Mamasa dengan komandan kompinya Sersan Ishak Faqih.

Di daerah Kabupaten Mandar pada masa CTN, terbentuk pula pasukan CTN Mandar. Ketika Kahar bersama pasukan CTN masuk hutan memberontak dan berafiliasi ke DI/TII, pasukan CTN Mandar terpecah . Kompi CTN pimpinan Taher Ahmad bergabung ke DI/TII sedang pasukan S. Mengga (mantan Bupati Polmas) bergabung ke TNI. Pasukan S. Mengga ini dikenal sebagai pasukan Mandar Baru dan menjadi bagian dari Batalyon G (002) Pare-Pare yang saat itu dipimpin oleh Ahmad Lamo (mantan Gubernur Sulsel). Pasukan Mandar Baru inilah yang pada masa pergolakan melawan Batalyon 710 ikut membantu rakyat Mamasa khususnya pasukan OPR-PUS.

Paulus Sila’ba seorang pemuda asal Taora, pada mulanya adalah seorang guru Sekolah Rakyat di Leling, Galumpang (Kalumpang), Budong-Budong. Ia direkrut untuk menjadi pasukan CTN Mamuju. Setelah CTN pimpinan Kahar berafiliasi ke DI/TII Kartosuwirjo, ia masih ikut sebagai anak buah Pa’ Bicara Bulan (Komandan DI/TII Mamuju). Ketika ada konferensi DI/TII di Bonepute, Palopo tahun 1956, Paulus Sila’ba diutus mengikuti konperensi tersebut. Setelah mengikuti konperensi tersebut pak Sila’ba terkejut dan mulai sadar bahwa pasukan DI/TII – Kahar ternyata melawan pemerintah pusat dan akan mendirikan Negara Islam Indonesia. Ia berencana desersi dari kesatuannya namun rencananya diketahui oleh komandannya sehingga bersama 2 orang temannya asal Mangki yang akan desersi juga, ia ditangkap dan dipenjarakan di Mamuju.

Menurut rencana komandan DI/TII, beliau bersama temannya akan ditembak mati namun seorang penjaga penjara bersimpati kepada beliau. Penjaga penjara memberi tahu bahwa mereka akan dihukum mati, jadi harus segera melarikan diri. Penjaga penjara itu memberinya sepucuk senjata semi otomatis Sten bersama beberapa pelurunya dan sebuah parang (parang bersejarah ini kemudian suatu saat setelah Mamasa aman dihadiahkan kepada pak Bombing di Mamasa). Menjelang subuh pak Sila’ba dan temannya melarikan diri melalui hutan lebat menuju ke Galumpang. Dari Galumpang beliau selanjutnya ke Mamasa dan melapor ke Komandan Kompi 710, Letnan Andi Wela yang bertugas di Mamasa (Andi Wela menggantikan Letnan Jatiman yang sedang mengikuti pendidikan di Jawa). Dengan tetap membawa Sten miliknya, ia menghadap di markas 710 di Lembang Banggo. Ia melaporkan diri sebagai laskar DI/TII yang melarikan diri dari kesatuan dan ingin membantu tugas pasukan 710 mengamankan daerah Mamasa dari gangguan DI/TII. Andi Wela sebagai komandan kompi 710, Tentara Nasional Indonesia resmi waktu itu ingin membentuk pasukan sipil untuk membantu tugasnya. Paulus Sila’ba ditugasi kembali ke Galumpang dan segera membentuk pasukan OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat) Galumpang.

OPR adalah pasukan sipil yang dipersenjatai untuk membantu tugas-tugas Angkatan Perang (APRI) maka pasukan ini mengadakan latihan militer. Yohanis Latuheruw, mantan serdadu KNIL Belanda menjadi salah seorang pelatih OPR dan juga pelatih OPD Jadi OPR adalah organisasi sipil bersenjata bentukan TNI dan merupakan organisasi spontan rakyat untuk mempertahankan diri dari gangguan gerombolan DI/TII dengan prinsip sukarela untuk membantu tugas-tugas TNI mengamankan negara Republik Indonesia. Jadi OPR adalah organisasi legal bentukan negara waktu itu. Selanjutnya Paulus Sila’ba kemudian membentuk satu pasukan OPR di daerah Galumpang. Dalam Arsip OPR yang ditandatangani oleh Paulus Sila’ba tentang OPR-PUS, organisasi ini kemudian diberi nama OPR Kondosapata. Untuk melancarkan Organisasi maka diadakan kurier (penyelidik) ke daerah-daerah musuh untuk mempelajari tindakan-tindakan musuh yang sedang merajalela itu. (Demikian arsip OPR yang ditulis oleh Paulus Sila’ba).

Sejak tahun 1960 Kodam VI/ Siliwangi telah mengeluarkan perintah untuk melakukan operasi-operasi militer guna menumpaskan DI/TII di daerah-daerah yang dijadikan pusat DI/TII di Jawa Barat. Operasi-operasi dilakukan oleh semua unsur ABRI, Angkatan Darat dan Angkatan Kepolisian serta semua rakyat dari berbagai lapisan yang tergabung dalam Organisasi Pertahanan Rakyat yang dikenal dengan sebutan “Pagar Betis”. Operasi ini bertujuan mengepung pusat-pusat yang dijadikan markas DI/TII serta menghancurkan dan membersihkan sisa-sisa pengaruh dari DI/TII.

Operasi-operasi penumpasan DI/TII ditingkatkan dengan Doktrin Perang Wilayah karena pimpinan DI/TII Kartosuwiryo belum juga tertangkap. Selain operasi Pagar Betis, dilakukan juga operasi Bharatayuda dan operasi Pamungkas. Operasi Bharatayuda dilakukan oleh satuan Kodam Siliwangi, Kodam Diponegoro, Kodam Brawijaya, dan Brigade Mobil Polri beserta rakyat. Untuk mengimbangi kekuatan dari satuan gabungan yang dilakukan untuk menumpas DI/TII, DI/TII melakukan tindakan yang mengakibatkan keresahan yang terjadi pada rakyat. Mereka melakukan terror dan pembunuhan terhadap warga yang tidak membantu DI/TI. Sehingga hal itu mengakibatkan pembakaran dan penjarahan terhadap rumah-rumah warga.

Bersambung....