Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Agustus 2018

Meriam tua siapakah pemiliknya



Pada awalnya banyak yang tidak tahu asal cerita mengapa di Mamuju tepatnya dikediaman A. Amir DAI salah seorang saudara kandung Raja Mamuju, H. A. Maksum DAI terdapat sebuah meriam peninggalan VOC Belanda. Meriam tersebut banyak mengundang tanya bagi yang sudah pernah melihatnya bagaimana dan darimana asal meriam tersebut. Menurut salah seorang tokoh masyarakat Kasiwa yang memiliki sumber cerita dari kakek buyutnya yaitu Abd. Rahman bahwa meriam tersebut merupakan peninggalan VOC atau Serikat Kongsi Dagang Kerajaan Belanda yang pernah datang ke Mamuju di abad 17 M. Wilayah kerajaan Mamuju sudah didatangi oleh VOC sebelumnya diabad ke 15 M, tapi hanya dalam rangka membeli rempah dan komoditas pasar eropa kala itu dan  menjajah wilayah ini sejak bangkrutnya Perusahaan Dagang tersebut dan diambil alih oleh pihak Kerajaan Belanda Tahun 1799. 
Sejak penandatanganan Perjanjian Bongaiya 1667 di Makassar sebagai langkah awal legitimasi monopoli dagang VOC di wilayah Sulawesi bagian selatan sampai kebagian barat Sulawesi dimana raja raja di persekutuan Pitu Babana Binanga dipaksa turut menandatangani Perjanjian tersebut di Makassar, dan hanya kerajaan Tapalang dan Sendana yang tidak hadir saat itu. 
Kedatangan bangsa Belanda yang ingin menguasai perdagangan di Mamuju mendapat penolakan dari beberapa kaum bangsawan kerajaan sehingga kerajaan Mamuju diberi ultimatum untuk menandatangani perjanjian Panjang atau Lange Contract dengan pihak kerajaan Belanda. Merasa tidak mendapat respon pihak Belanda segera mengirimkan angkatan perang yaitu sebuah kapal perang yang dilengkapi dengan beberapa meriam kapal. Inilah awal cerita kehadiran meriam tersebut, memang beberapa wilayah di Indonesia banyak ditemukan meriam peninggalan bangsa Belanda namun meriam di Mamuju ini memiliki cerita yang menarik untuk diketahui.
Singkat cerita akhirnya kapal perang tersebut merapat diperairan Mamuju tepatnya dipantai Kasiwa saat itu pada malam hari atau diwaktu dini hari sebelumnya, mungkin pada saat merapat kepantai, kapal tersebut oleng karena ombak atau menabrak sesuatu sehingga salah satu meriam yang terpasang dikapal itu jatuh kepantai, namun tidak ada keterangan pastinya apa penyebab meriam tersebut jatuh atau memang sengaja diturunkan kepantai diwaktu malam hari saat itu, tapi jelas tujuan Belanda hanya untuk menggertak raja Mamuju menurut ceritanya.

Meriam Kuno buatan  VOC yang ada di Mamuju




Keesokan harinya meriam tersebut ditemukan oleh salah seorang nelayan warga kampung Kasiwa yang hendak memeriksa ikan dikeramba miliknya di laut, maka langsung saja kejadian itu mengundang perhatian raja Mamuju, maka datanglah raja Mamuju ke pantai dan melihat benda tersebut, dan kemudian raja Mamuju seraya berkata; "madondong duambongi, uqde mala tiangkaq inne manaq punna useiyya tokasiwa mangangkaq sabaq tokasiwa ampunna" artinya; .. besok lusa tidak akan terangkat pusaka ini jika bukan orang/ keturunan asal Kasiwa sebab merekalah pemiliknya".
Begitulah kira kira pengertiannya bahwa raja telah mengumumkan pemilik sah meriam yang juga dianggap pusaka (manaq) oleh warga Mamuju saat itu adalah milik warga Kasiwa. Tapi dari sumber cerita berbeda dari anak keturunan keluarga Pue Dolla (Pue Tokasiwa) A. Zainal Abidin, bahwa meriam itu milik kakek buyutnya yaitu Atjo Udung yang dibeli di Singapura pada masa itu, tapi saya (red), kurang yakin dengan cerita yang disampaikan, mengingat pada meriam itu tertera tulisan VOC Amsterdam, 1658. Tidak mungkin ada pasar senjata yang memperdagangkan meriam milik VOC yang kala itu masih menguasai jalur perdagangan di wilayah Asia Tenggara sampai Eropa. 
Namun ini belum berakhir sampai disitu, dimasa awal kemerdekaan 1945, meriam ini pernah dipindahkan ke Ampallas tepatnya Desa Tadui oleh salah seorang keluarga Pue Dolla beberapa tahun lamanya. Pernah sekali ada keluarga bangsawan kerajaan Mamuju yang ingin mengambil meriam tersebut untuk dibawa ke Mamuju, namun ditolak oleh anak Pue Dollah dan sempat terjadi perseteruan antar keluarga bangsawan ini untuk memutuskan siapa yang lebih berhak menyimpan meriam tersebut. Namun meriam tersebut akhirnya harus dipindahkan kembali kerumah raja Mamuju A. Maksum DAI, dan sampai saat ini meriam tersebut masih berada dirumah A. Amir DAI yang juga adalah bekas istana kerajaan Mamuju di Jalan Sultan Hasanuddin. (Arman Husain_2018).


 

Rabu, 06 Juni 2018

Hikayat Labuang Tobali


Tahun 1580 Putri Raja Badung Bali, Bersama rombongan datang dan menetap di mamuju, Setelah Pernikahannya dengan Raja Mamuju,  mereka tiba di Mamuju melalui pelabuhan yang sampai sekarang di sebut "Labuang To Bali" artinya pelabuhan orang Bali disebuah desa yang sampai saat ini disebut "Kasywa" yang diambil dari nama dewa budha Bali. Sejarah menuturkan cerita "lasaga dan keris manurung" ini berawal dari sini,  yuk ikuti ceritanya ...

“Satu ketika, datanglah bangsawan dari Bali dengan puterinya yang cantik bernama Meraarrappuang, diberitakan orang- orang  kepada Raja Mamuju. Kata Raja Mamuju, pergilah lihat dan cari akal agar ia tidak boleh pulang! Maka pergilah orang yang disuruh raja. Setiba di sana, ia mengatakan: mari kita masuk di sungai! Maka masuklah perahu bangsawan Bali itu ke Sungai Mamuju. Setelah perahu itu di sungai, pergilah raja Mamuju ke perahu bangsawan Bali itu. Setiap saat Raja Mamuju ke perahu itu, terutama di waktu malam. 

Setiap malam jugalah pengawal Raja Mamuju secara diam-diam menimbun batu dan pasir di muara sungai bersama rakyat Mamuju. Ketika bangsawan Bali itu pamit pada raja Mamuju untuk pulang ke Bali, paginya ia lihat muara sudah tertutup dengan pasir (sekarang digelar Bone Tangnga ‘Pasir Tengah’). Perahu bangsawan Bali itu tak boleh pulang, akhirnya ia tinggal di Mamuju.  Tak berapa lama, kawinlah raja Mamuju dengan putri bangsawan Bali itu, Menjelang beberapa lama sesudah menikah putri itu pun mengidam. Semasa  kehamilannya pulanglah ia ke Bali, Tak lama kemudian, Sang Putripun melahirkan anaknya laki-laki kembar dengan sebilah keris, yang diberinya nama Lasalaga.

Setelah anak itu beranjak dewasa, ayahnyapun  wafat, Atas perintah pembesar kerajaan Mamuju diutuslah beberapa orang yang cerdik pandai dari kerajaan Mamuju ke Bali untuk mengambil anak raja. Setiba di kerajaan Bali permintaan untuk membawa pulang anak raja itupun ditolak oleh raja Bali dan rencana merekapun akhirnya tidak membuahkan hasil, dengan tangan hampa pulanglah orang suruhan itu kembali ke Mamuju.  Sesampainya di Mamuju keadaan di kerajaan mamuju jadi tidak stabil, kacau dan terjadi perpecahan, paceklik melanda, ditengah kemelut dan bencana yang terjadi di kerajaan Mamuju, berkumpullah para pembesar dan saling bertukar pendapat bagaimana menyelesaikan kemelut yang terjadi dikerajaan mamuju, ini dikarenakan kosongnya tahta kerajaan yang harus segera diisi oleh pewarisnya jika hal tersebut dibiarkan berlarut- larut akan semakin membahayakan kerajaan Mamuju itu sendiri, Maka disepakatilah bahwa pewaris kerajaan harus dibawa pulang, suka tidak suka rela tidak rela harus dipaksakan apapun jalannya. Maka kembalilah orang Mamuju ke Bali untuk menjemput anak rajanya dengan membawa Sakkaq Manarang yang seorang pandai besi.  Singkat cerita hal yang sama kembali terjadi, permintaan mereka kembali tidak dituruti oleh sang putri.

akan tetapi suruhan dari kerajaan Mamuju tidak kehabisan akal, kalau tak boleh ke Mamuju tak apalah, kami hanya ingin tidur bersama dengan anak raja kami di perahu malam ini, karena besok kami sudah pulang. Sang Putripun menyanggupi permintaan meraka, setelah  anak raja itu turun ke perahu dan tertidur lelap, "Sakkaq Manarang"  diam diam mengebor/melubangi semua lambung perahu yang ada.

Tibalah waktu yang direncanakan pada dini hari, berlayarlah orang Mamuju dengan membawa anak rajanya pulang ke kerajaan Mamuju. Pengawal/prajurit kerajaan Bali berusaha mengejarnya tapi sia-sia karena perahunya semuanya bocor dan tenggelam, dan setiba di Mamuju, anak itu langsung diangkat jadi raja, Tidak lama menjadi raja Mamuju, Sang raja ini rindu akan ibu dan kembali ke kerajaan Bali untuk menjenguk sang ibu, Rasa rindunya terobati dengan bertemu lagi dengan sang ibu dan cukup lama menetap di Bali sampai sampai lupa bahwa harus kembali kekerajaannya di Mamuju.

Setiba di sini (Mamuju), ia kawin dengan sepupu sekalinya. Kerjanya di Mamuju dia menyerang kerajaan/negeri yang lain. Dikalahkannya Kuri-Kuri, dan rakyat satu daerah/kampung Kuri-Kuri jadi pengawal (joaq). Orang Alukalulah yang jadi orang Bone-Bone, orang Kuri-kuri yang jadi Kasiba. Raja Mananggalalah yang jadi Paqbicara, dialah jadi Pue Tokasiba (kasyiwa), karena dia mengikuti budaknya dari Kuri-kuri sehingga masuklah atau menjabatlah Pue Tokasiba. Puatta di Mamuju ke Kalumpang mengadakan perjanjian dan dialah yang mengalahkan Ringgi dan Bunu-Bunu. Sesuai perjanjian Kalumpang, Tanah Mamuju mulai Pembuni sampai ke ujung batas tanah Mamuju, Lalombi, dan sampai ke Lebaniq di seberang sungai Simboroq, di Siruma. Tanah Kaililah di sebelah tanah/daerah Mamuju di arah matahari terbit  sampai bertemu tanah di Kaili. Di arah matahari terbit, berbatasan dengan Luwuq.(Arman Husain)

Labuang Mangindano

Rapang pura nikajappui mangkua inne pontanana Mamunyu. nikua tobanggi tome angngatang Bonda'. Jalingmo ditte menannar labuang Mangindano. mamparimula su'be di uttarana Pasangkaju tanda' tama di salatangna Mamunyu nikua Dungkai'. Ningarang labuang Mangindano apa' iamo itte naengei 1010 lopina to Mangindano membuni mallabu. Apa mansurung tanda' domai di Bonda' membuni mallabu? Nakarana u'de diang laeng peujakangna ampunna' use' ma’gora'. Narappa passabeangnna ia to pa'lopi ampele' napatei todapa'na ianna paeba. Oi tentenamo itte ampele' masaramo nyamana to di angngatangna apa' u'demo jaruasa lumampa sumombang sau di Boroneo tanda' Sangngapura, tente tomo tama di Ambong.

Baca juga, Pa'bulu Ropeq 





Diang sewattu pada sitangnga-tangngarangmo katobarabarakang umbatente mala nipa'dai itte to Mangindano jao di pembuniangna. Sipattujuiimo carana mangkua: "Macoa mampamako tau' joa' kulubelang di engeangna, barang sisampulo kulubelang, jari diang patampulo joa'. Su'be mako, mensamariimo rapang to panguma ampe' to pole'bo'. Jari, nangarangngimo use' joa'na to Mamunyu; nagarangngiki todapa' sansabuarang. laona su'bemo unara tetter situru' bulang pattang ampele' mamanya panggas wai le'bo, mane' malamo najama-jama angga' cappu'na todapa' na. itte wattu u'de mala malai apa' naromai anging banna'. Situru' tomo panggas wai le'bo', sore lopina. Siola tomo nangarangngi u'de diang joa' di kadampingna. Di tetentenamo itte ampele' inne allo ngarangna kaledo meonto, nikua labuang Mangindano, apa' marakka' i'ido su'be mambali. (Arman Husain 2021).
--------------------------------------





Terjemahan :

 Pelabuhan Mangindano (Kisah Bajak Laut Mindanao)

Sebagaimana diketahui daerah pelabuhan Mindanao ini disebut Mamuju. Daerah ini disebut juga pantai yang berpasir. Di daerah ini terdapat jajaran pelabuhan Mindanao. yakni mulai dari sebelah utara Pasangkayu sampai Dungkait di sebelah selatan Mamuju. Pelabuhan itu disebut pelabuhan Mindanao karena perahu-perahu itu selalu ditempati orang Mindanao dan jika berlabuh kapal-kapal itu secara tersembunyi. Apa yang menyebabkan mereka kemari, ke Pantai yang berpasir untuk berlabuh secara tersembunyi? Rupanya tidak ada alasan lain kecuali untuk merampok . Mereka merampas muatan kapal-kapal pelaut dan membunuh orang-orangnya kalau melawannya. Dengan demikian. penduduk setempat merasa sengsara karena tidak leluasa lagi untuk pergi berlayar ke Borneo sampai di Singapura juga ke sebelah timur ke Ambon .



Pada suatu hari para orang tua bermusyawarah untuk membicarakan bagaimana orang Mindanao itu dapat dihilangkan dari tempat persembunyiannya. Selanjutnya, mereka menyepakati caranya dan mengatakan, "Sebaiknya kita mengirim pasukan perahu ke tempat persembunyian orang Mindanao sebanyak sepuluh perahu. Jadi, berarti pasukan itu berjumlah empat puluh orang. Setelah tiba di tempat itu, pasukan-pasukan itu menyamar sebagai petani dan nelayan. Jadi, mereka mengira petani dan nelayan itu bukan pasukan orang Mamuju, tetapi rakyat biasa saja. Apabila ada angin tetap dari utara bersamaan bulan gelap dan sementara air sedang surut, mereka baru menyerang orang-orang Mindanao sampai habis. Saal itu mereka tidak bisa pulang karena angin kencang datang dari arah depan air laut juga surut, sehinga perahu kandas. Mereka juga menyangka bahwa tidak ada pasukan di dekatnya. Demikianlah sampai pada hari ini namanya disebut pelabuhan Mindanao, dan mereka sudah takut datang kembali.(armanhusain)

Manusia Pertama Di Wilayah Mandar

Sejak dimulainya penggalian di daerah Sampaga pada bulan Mei 1933 di Lembah Sungai Karama Kabupaten Mamuju yang menemukan beberapa peralatan prasejarah seperti batu dan gerabah. Yang lalu kemudian dilanjutkan dengan dua kali penelitian di tempat yang sama di Bukit Kamassi’ yang menemukan alat-alat seperti pisau, kapak batu, kapak batu segi empat mata panah yang halus, beserta pecah-pecahan tendiker yang berukir. Penggalian pertamanya sendiri dilakukan oleh PV. Van Callenfels pada tahun 1933 di bagian tikur sedangkan penelitian yang kedua dilakukan oleh Dr. HR. Van Heekeren (1949) menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu, yang ada kemiripannya dengan Neolithic di Luzon (Philipina), Manchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan di bagian selatan puncak Magassi’ ini juga ditemukan gerabah berhiasyang dinilai oleh para arkeolog telah menunjukkan keteraturan kebudayaan di daerah Kalumpang Kabupaten Mamuju ini terlingkup dalam satu wilayah Sa-huynh Kalanay, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan Pasifik.

Hal berikutnya juga pernah dilakukan oleh Dr. FDK Bosch yang mencoba membandingkan hasil temuan Amiruddin Maula salah seorang tokoh pendidik di Kabupaten Majene yang menemukan Patung dan dibandingkannya dengan patung Budha dari Solok Sumatera Barat, Kotabangun Jambi, Kalimantan Barat, Gunung Lawu, Jawa Tengah, kesimpulannya, tidak ada satupun kemiripan atasnya. Dan setelah dibandingkan dengan patung budha yang ada di India, Muka dan Gandhara, kesimpulannya kemudian bahwa patung tersebut dipengaruhi oleh gaya dan kemiripan dengan Budha Greeco yang ada di India Selatan yang beraliran kesenian Amarawati yang juga sangat besar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-2 dan 7 Masehi. (ibid).

Dari sini kemudian dapat diterjemahkan bahwa keberadaan Manusia pertama di Mandar sesungguhnya telah lama ada. Hal itu dikuatkan oleh hitungan abad yang menjadi dasar dan pertimbangan atas temuan-temuan tersebut diatas. Yang kemudian diperkuat lagi oleh hasil penelitan yang konon pernah dilakukan HR Van Heekern bahwa kapak-kapak pembias yang ditemukan di Indonesia ada kemiripan dengan yang ditemukan di Yunan dan Tongkin (Tiongkok Selatan). Hal ini menguatkan pemahaman dan lalu melahirkan kesimpulan bahwa, orang-orang Austronesia sesungguhnya berasal dari Yunan dan Tongkin dan masuk ke Indonesia sejak 1000 tahun yang lalu. 

Beranjak dari pengertian diatas ini, hal yang juga mungkin ada baiknya jika di ungkap adalah, tentang pandangan lain yang menjelaskan bahwa orang Sulawesi Selatan-termasuk Mandar-pada umumnya berasal dari ras Mongoloid yang masuk melalui jalur Philipina, lalu menyeberang ke Sulawesi dengan jalan menyusuri Selat Makassar dan merapat di pesisiran Barat Pulau Sulawesi. Konon seperti dikisahkan pula bahwa, kedatangan mereka pertama kali secara berkelompok dan bertahap. Awalnya tinggal dan berdiam didaratan dekat pesisiran, lalu dengan perlahan mereka lalu masuk gunung dan tinggal di gua-gua, hidup berburu dan mengembara di hutan-hutan. Ibrahim Abbas (1999).

Mandar seperti halnya komunitas tradisoinal dan klasik lainnya yang juga mengalami kekaburan mata rantai sejarahnya, kalau tidak kasar disebut sebagai keterputusan pintalan sejarah. Hal mana lebih di akibatkan oleh adanya kepercayaan bahwa kelahiran manusia pertama di Mandar lahir dan turun secara sporadis dari khayangan atau turun dari langit (manusia langit-pen), seperti di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya Tomanurung yang konon adalah manusia pertama di Mandar. Lahir dari belahan bambu atau yang lebih dikenal dengan Tobisse ditallang. Atau yang lahir dan miniti dari atas buih air laut yang dikenal dengan To Kombong di bura atau yang terbuang dari perut ikan hiu yang dikenal dengan Tonisesse di Tingalor. Hal ini tentu sulit untuk dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Namun itulah realitas kesejarahan yang lalu melegenda dan di yakini adanya oleh sebagian besar masyarakat Mandar, dan Konon termaktub dalam lontar (naskah lokal-pen). Lebih jauh dari itu, To Manurung inilah kemudian yang juga di yakini menjadi cikal keturunan manusia pertama dan penguasa pertama di Tanah Mandar.

Dari tujuh orang putra-putri Pongkapadang, kemudian lahir sebelas orang cucu Pongka Padang. Inilah yang kemudian menurunkan orang-orang Mamasa secara khusus dan Sulawesi Barat secara umum, masing -masing:
1. Dettumanan di Tabulahan, 
2. Ampu Tengnge’(tammi’) di Bambang, 
3. Daeng Matana di Mambi, 
4. Ta Ajoang di Matangnga, 
5. Daeng Malulung di Balanipa (Tinambung), 
6. Daeng Maroe di Taramanu’ (Ulu Manda’),
7. Makke Daeng di Mamuju, 
8. Tambuli Bassi di Tappalang, 
9. Sahalima di Koa (Tabang), 
10. Daeng Kamahu, Ta Kayyang Pudung di Sumahu’ (Sondoang), 
11. Ta La’binna di Lohe Galumpang (Mangki tua).

Dalam beberapa Lontar di Mandar sepakat menunjuk bahwa Manusia pertama adalah yang berkembang di Mandar, ditemukan di Hulu Sungai Saddang dan merekalah Tomanurung (orang yang turun dari langit atau juga disebut turun dari kayangan,titisan Dewa) dan Tokombong dibura bernama Tobanuapong  yang memperistrikan Tobisse Ditallang yang melahirkan lima orang bersaudara,yang pertama bernama I Landobeluaq dialah berdiam di Makassar kedua bernama I lasokkepang, dialah yang berdiam di Beluak yang ketiga bernama I landoguttu di Ulu Sadang, yang keempat bernama Usuksabangang dialah yang tinggal di Karonnangan kelima bernama Pakdorang dialah yang berdiam di Bittuang.

Namun versi lain juga ada yang menyebutkan bahwa awal muasal manusia Mandar adalah Pongkapadang yang merupakan turunan dari Tobisse di Tallang dan Tokombong di Bura yang lalu melahirkan 7 anak di hulu Sungai Sa’ dang yang kemudian menyebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Salah satu diantaranya adalah Pongkapadang yang kemudian menurut penuturan sejarah memilih berdiam di Tabulahan dan menikahi seorang gadis yang kemudian dikenal bernama Torije’ne. Kedua pasangan ini kemudian beranak pinak yang kemudian di percaya menjadi pemimpin di beberapa kerajaan di Mandar. Sekitar abad ke-11 M. (Sarman Sahudding. 2004).

Pongkapadang adalah salah satu dari tujuh orang anak hasil perkawinan Tomanurung (orang yang turun dari langit atau juga disebut turun dari kayangan (titisan Dewa) dan Tokombong dibura bernama Tobanuapong yang memperistrikan Tobisse ditallang melahirkan sebelas orang anak yaitu:
1.   Daeng Tumanan (Dettumanang)
2.   Lamber susu (lombeng susu)
3.   Daeng Mangana
4.   Sahalima
5.   Palao
6.   To andiri
7.   Daeng palulung
8.   Todipikung
9.   Tolambana
10. Topani bulu
11. Topalili
Dari kesebelas anak tersebut diatas yang kemudian menyebar keseluruh penjuru dalam wilayah Mandar dan yang paling menonjol keberadaannya adalah Topalili yang melahirkan Todipaturung dilangi dan Lamberesusu yang menetap di Kalumpang (Mamuju) yang dalam catatan sejarah menurungkan 41 (empat puluh satu) Tomakaka yang masing masing bermukim dalam wilayah Mandar saat ini.

Dari sumber cerita rakyat ada juga manusia sebelas persi Tabulahan yang menurut sumber ini juga adalah anak cucu dari Pongkopadang yang menetap di Ulu Salu yaitu lima orang terdiri dari :
1.     Daeng Tumanan 
2.     Daeng matana
3.     Tammi
4.     Taajoang
5.     Sahalima
Dan enam orang di antaranya berkembang di Pitu Babana Binanga yaitu terdiri :
1.      Daeng mallullung di Tara manu”
2.      Tola’binna di Kalumpang
3.      Tokarambatu di Simboro
4.      Tambulu bassi di Tappalang
5.      Tokayyang pudung di Mekkatta
Dari beberapa versi yang terurai di atas yang masing-masing mempunyai dasar untuk layak dipercaya bahwa Nenek Moyang orang Mandar Suku Mandar berasal dari Hulu Sungai Saddang yaitu Pongkopadang sebagai cikal bakal penduduk yang mendiami kawasan Mandar yang dalam perjalanan selanjutnya oleh generasi mereka terjalin kembali hubungan kekerabatan dan perkawinan di antara satu dengan yang lain.


Rumah Tomakaka Daeng Tumanang Di Tabulahan. Sumber  Wikimedia, KITVL 

Adapun yang menyebabkan Zaman Tomanurung tidak di masukkan sebagai Salah satu periode dalam Zaman sejarah Mandar adalah karena Tomanurung itu sendiri masih tanda Tanya atau dengan kata lain adalah sebuah legenda dan mitos, walaupun cerita mengenai Tomanurung terdapat pula dalam beberapa lontar Mandar.

Dari uraian diatas, jelas menunjukkan kesipangsiuran sejarah yang sungguh akan membingungkan. Namun tetap mesti dicatat, sebab penyaksian atas kejadian-kejadian yang terjadi dan diyakini adalah realitas kesejarahan yang juga bertumpuk pada alasan-alasan historis yang memang susah di tampik. Kendati memang, setiap orang yang akan melakukan pendalaman atas zaman prasejarah di Mandar akan mengalami kesulitan-kesulitan, bahkan kebuntuan.

Utamanya diakibatkan belum adanya kesepakatan antara peneliti dan para pelaku sejarah dan kebudayaan yang koncern terhadap Mandar atas zaman dan periodisasi prasejah di Mandar. Sementara satu sisi realitas-realitas pemahaman historis tersebut tetap hidup berkembang hingga kini di masyarakatnya.

Maka menarik apa yang diungkap oleh Mundarjito (1982) bahwa tidak semua pikiran manusia dapat diwujudkan kedalam tingka laku lahiriah. Sama seperti bahwa, tidak semua bahwa hasil budaya (sebagai fossilized behavior) mencerminkan mental template (deetz) dari seluruh pikiran dan tingkah laku manusia yang sanggup terekam dalam wujud benda budaya. Yang ada hanyalah sebagian kecil saja, dari sekian banyak benda budaya yang dapat selamat hingga kini. Sebagian besar rusak, sebagian besar hilang. Sedangkan sebagian besar lainnya masih berada di tanah dan dalam air.

Bahkan lebih jauh Rathje dan Schiffer, (1980) menyebutkan kendati benda bertulisan, yang itupun kalau diketemukan, telah memuat pikiran manusia dan masyarakat. Tetapi tidak lantas dapat dikatakan telah menjangkau semua asfek kehidupan semua golongan masyarakat masa lalu. Sebab bisa saja ada belum tentu mengandung kebenaran sepenuhnya. Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya bias dari penulis masa lalu atau peneliti masa kini. Dari pandangan ini dapat disimpulkan bahwa kian abstrak sasaran studi, maka akan kian menajam pula metodologi yang mesti digunakan. Atau makin jauh masa-masa yang ingin dipelajari, maka makin sukar pula mengurangi kesenjangan-kesenjangan di dalamnya. (Arman Husain 2017). - Revisi 16 Juli 2021-

Perjanjian Tamajarra Sebagai Konspirasi Menentang Passokkoran

Banyak persepsi yang muncul dari para penulis dan pengkaji sejarah Mandar tentang berapa kali perjanjian Tamajarra dilaksanakan. Diantara persepsi itu ada yang mengatakan tujuh kali, empat kali, tiga kali, bahkan ada yang mengatakan lebih dari tujuh kali. Perbedaan pendapat yang muncul dari para pakar sejarah Mandar ini memang sangatlah mungkin terjadi mengingat sumber data utama yaitu lontar masih sangat sedikit yang sempat ditemukan.

Namun perbedaan pendapat ini bukanlah suatu hal yang akan melemahkan semangat para penulis, karena pengungkapan dan penggalian sejarah bukanlah harga mati atau kebenaran mutlak dari seorang penulis dengan sumber data yang didapatnya, melainkan dasar untuk pengembangan dari sumber data yang ditemukan berikutnya oleh penulis lain maupun penulis yang sama.

Dalam penulisan ini, penulis hanya menemukan sumber data yang mencatat tentang perjanjian Tamajarra yang dilaksanakan sebanyak dua kali, yang kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Tamajarra Pertama dan Perjanjian Tamajarra Kedua. Namun sampai saat ini penulis juga teramat yakin kalau perjanjian Tamajarra diadakan lebih dari dua kali.

Perjanjian Tamajarra I
Perjanjian Tamajarra pertama terjadi pada sekitar abad XV masehi di Tamajarra dengan tujuan utama membicarakan penyerangan dan penghancuran kerajaan Passokkorang yang mengacau hamper di seluruh wilayah Mandar pada saat itu. Rencana diadakannya perjanjian ini dibicarakan dalam satu pertemuan sebelumnya di Podang Sendana. Hanya saja, pertemuan awal ini tidak dijelaskan secara khusus, baik dalam lontar  yang sama maupun dalam lontar yang lain.

Kerajaan-kerajaan yang ikut dalam perjanjian Tamajarra pertama ini adalah kerajaan Balanipa, kerajaan Sendana, kerajaan Banggae, kerajaan Pamboang, kerajaan Tapalang, dan kerajaan Mamuju atau lebih tepatnya kerajaan-kerajaan yang ada di daerah pantai kecuali kerajaan Benuang yang tidak ikut serta.

Sesuai dengan tujuan utamanya, sesudah diadakannya pertemuan, penyerangan dalam rangka penghancuran kerajaan Passokkorang dilakukan dibawah pimpinan Tamanyambungi raja Balanipa. Tapi penyerangan pada saat itu tidak berhasil termasuk penyerangan-penyerangan selanjutnya yang dilakukan beberapa kali.

Melihat kenyataan ini, Tamanyambungi merencanakan perjanjian Tamajarra kedua yang akan melibatkan semua kerajaan di Mandar. Tapi sebelum rencana pertemuan itu terlaksana, Tamanyambungi wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Tomepayung.

Dibawah komando Tomepayung, perjanjian Tamajarra kedua dilaksanakan dan untuk pertama kalinya, seluruh kerajaan yang ada di Mandar bekerjasama dan berhasil menghancurkan kerajaan Passokkorang.

Namun rencana pembentukan persekutuan seluruh kerajaan di Mandar yang digagas oleh Tamanyambungi tidak terlaksana, karena yang dilakukan Tomepayung setelah berhasil menghancurkan Passokkorang hanyalah membentuk persekutuan semua kerajaan yang ada di daerah pantai. Disinilah awal mula terbentuknya Persekutuan Pitu Baqbana Binanga (PBB) atau persekutuan tujuh kerajaan yang ada di muara sungai.

Secara lengkap, prosesi Perjanjian Tamajarra pertama adalah sebagai berikut :

Tepui tangngar di Podang, sirumummi tau di Tamajarra maqjuluq tangngar maqjuluq nawa-nawa mammesa pattuyu mappenduku mappendongang aburassunganna Passokkorang.

Nauamo litaq di Napo ;”Meq-apai tangngarna litaq di Sendana ?”

Nauamo Sendana ;”Meq-apai mieq banggae, Pamboang, Tapalang, mamuju ?”

Nauamo banggae ;”Balanipamo annaq Sendana namapia maq-anna tangngarang”

Mattimbaqmi Pamboang, Tapalang annaq mamuju mappattongang loana Banggae.

Nauamo litaq di Napo ;”Natumbiringi natuppattoi litaq di mandar, moaq iqdai mala lumbang pasoranna passokkorang, ropoq kotana. Tammalami mattittoq bannis tau maiqdittaq, tammala tomi mandundu uwai saq-ammeang, napateng aburassunganna Passokkorang meabong allo wongi. Innang nani bunduppai Passokkorang siola nebeta topai maqbunduq annaq mala lewa litaqtaq di Mandar, anna mala maq-ita tindo tau maiqdittaq”.

Nauamo Sendana ;”Tongang sannaq-i paunna Napo. Matemi Maraqdia Ibaro-baro napatei maraqdia Passokkorang, nala topa bainena. Tanniua madzondong tanniua duambongi itaq towomo nalelei, moaq mangande apimi agenggeanna Passokkorang. Pissangi Napo meloq maq-anna bunduq kayyang, pessappuloaq adoq, apaq dotai lao nyawa dadzi nalao siriq. Meq-apai tangngarna Banggae, Pamboang, Tapalang, mamuju ?”.

Siramba-rambangammi mattimbaq paunna Sendana maq-ua ;”Inna mapia nasanga Sendana siola Balanipa, nani pomate nani potuo pemali nani peppondoq-i”.

Nauamo Sendana ;”Bunduqdi tutia nirumungang tau nipammesang pattuyu, nisipomateang nisipotuoang. Litaq annaq tau, odzi adzaq odzi biasa tia”.

Nauamo Napo ;”Padza nipeadaq-i adaqtaq padza niperapangi rapattaq, litaq anjoriq simemanganna, tau tipatettoi. Padza niposoe soeta, padza nipojappa jappataq di litaqtaq. Iya tia muaq dilalang bunduq-i tau, mesai bamba mesa toi kedzo, mate sammateang tuo sattuoang. Moaq messummi digumana anu matadzattaq, pemali membaliq digumana moaq iqdai malele bunduq. Dotai karewa limbang diaja dadzi nakarewa manyomba. Iya-iyannamo tau meppondoq dibunduq mamboeq allewuang, puppus sorokawu, niala topa litaqna siola taunna niware-ware. Ammongi tanni baqbarang uru pau pura loa, limbang nyawa tallallaq pura loa”.

Terjemahan  :

Setelah bulat pertimbangan di Podang, berkumpullah kita di Tamajarra melakukan musyawarah mufakat, bertekad bulat duduk tengadah memikirkan kekejaman kerajaan Passokkorang.

Berkata Napo ;”Bagaimana pertimbangan Sendana ?”

Berkata Sendana ;”Bagaimana juga pertimbangannya Banggae, Pamboang, Tapalang, mamuju ?”

Berkata Banggae ;”Balanipa saja dengan Sendana yang berembuk”. Pamboang, Tapalang, Mamuju membenarkan saran Banggae. 

Berkata Sendana ;”Bagaimana pertimbangan Napo ?”

Berkata Napo ;”Mandar terancam hancur jika jika tembok dan benteng kekuatan kerajaan Passokkorang tidak dihancurkan. Rakyat banyak tidak akan bisa memakan sesuap nasi dan meminum air walau seteguk karena kekejaman Passokkorang yang selalu menghantui siang malam. Harus kita serang dan kalahkan demi keselamatan daerah Mandar serta ketenangan rakyat kita”.

Berkata Sendana ;”Benar sekali pendapat Napo. Raja Ibaro-baro sudah mati dibunuh raja Passokkorang, lalu istrinya juga diambil. Tidak besok tidak lusa, mungkin kita lagi yang punya giliran jika Passokkorang semakin merajalela membakar bagai kobaran api. Satu kali Napo berkata mau memerangi Passokkorang, sepuluh kali kami menyetujui. Lebih baik nyawa melayang dari pada harga diri yang hilang. Bagaimana pendapat Banggae, Pamboang, Tapalang, Mamuju ?”

Bersamaan Pamboang, Banggae, Tapalang, Mamuju menjawab ;”Mana-mana yang ditetapkan oleh Sendana dan Balanipa, mati hidup kami mendukung dan pantang mengingkarinya”.

Berkata Sendana ;”Kita berkumpul karena tekad dan semangat untuk berperang, sehidup semati mempertahankan wilayah menyelamatkan rakyat, karena itu sudah menjadi tanggung jawab dan adat kebiasaan”.

Berkata Napo ;”Kita tetap berjalan sesuai adat dan aturan masing-masing. Wilayah ada batasnya memang sudah menjadi aturan, begitu juga dengan masyarakat. Hanya saja, dalam perjuangan atau peperangan kita harus tetap satu kata dengan perbuatan, memegang perinsip mati satu mati semua, hidup satu hidup semua. Bila senjata tajam sudah keluar dari sarungnya, tabu dimasukkan kembali bila peperangan belum tuntas, lebih baik mati dari pada akan menyerah. Siapa-siapa diantara kita yang lari dari perjuangan/peperangan mengingkari sumpah dan janji, akan hidup melarat, wilayahnya dirampas dan rakyatnya dibagi-bagi. Pegang erat perjanjian walaupun nyawa jadi taruhannya”.

Perjanjian Tamajarra II
Perjanjian Tamajarra kedua juga terjadi pada abad XV di Tamajarra dengan tujuan utama membentuk secara resmi persekutuan atau persatuan kerajaan-kerajaan yang ada di daerah pesisir yang kelak dikenal dengan Pitu Baqbana Binanga.

Pembentukan persekutuan Pitu baqbana Binanga ini berlatar belakang pada kekhawatiran akan munculnya kembali orang-orang Passokkorang, hingga dipandang perlu untuk membentuk satu kekuatan, terutama dalam segi pertahanan dan keamanan di wilayah pantai. Pada dasarnya, dalam pertemuan ini, kesepakatan yang dihasilkan hanyalah pada bidang Hankam. Sementara untuk bidang yang lain, misalnya politik, hukum, adat istiadat dan pemerintahan, masing-masing kerajaan tidak saling mencampuri.

Perjanjian Tamajarra kedua diikuti oleh masing-masing raja dari tujuh kerajaan di wilayah pantai yang terdiri dari ;

  1. Tomepayung raja balanipa

  2. Puatta di Kuqbur raja Sendana

  3. Daetta Melantoq raja Banggae

  4. Tomelake Bulawang raja Pamboang

  5. Puatta di Karanamo raja Tapalang

  6. Tomejammeng raja Mamuju

  7. (Cucu Tokombong di Bura) raja Benuang.

Secara lengkap, prosesi perjanjian Tamajarra kedua adalah sebagai berikut ;

Sirumummi tau dio di Tamajarra. Diomi Sendana, alatettopa di saliwanna.

Nauamo Maraqdia Balanipa ;”Iya mieq anna uperoao sanganaq, mapia ai tau mieq massambulo-bulo itaq pitu, apaq malluluareq nasandi tau mieq inggannana Puang, mesadzi nene niperruqdussi disiola-olai, padza apponadzi Tokombong di Bura. Inaimo uppeappoani Maraqdia Mamuju iyatopa Maraqdia Tapalang, Taandirimo. Inaimo uppeappoani Maraqdia Sendana ala iya topa Maraqdia Pamboang, Daeng palulungmo. Tokombong di Bura towandi naperruqdussi. Maraqdia Banggae annaq Maraqdia Benuang Ibokka Padangmo uppeanani, Tokombong di Bura towandi napeppolei”.

Apadzaq-a anna nauamo Maraqdia Sendana ;”Malluluareq nasandi tau, apaq mesa bulo-bulo niperruqdussi. Nainna ami nanaua pattuyunna iq-o mieq”.

Anna nauamo lima lao di Sendana ;”Iq-omo sitangngarang Balanipa”.

Nauamo Balanipa ;”Iq-omo kayyang Sendana”

Nauamo Sendana ;”Pissanoq-o maq-ua, pessapuloaq marannu. Sanggadzi mesa, iyaumo kayyang anna iq-omo Sambolangiq. Iq-omo namuane iyaumo nawaine, annaq anaqmi Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju, Benuang, apaq tokkongi manini pasoranna Passokkorang. Mate madzondongi Balanipa, mate diarawiangi Sendana siola anaqna. Tettoi tia Sendana, situoang simateang Pitu baqbana Binanga”.

Mappatemmi diq-o assituruanna Sendana Balanipa, sipangaanni kalupping sipangaanni talloq annaq siparuppuammi nasaqbiq dewata diaya dewata diong. Iya-iyannamo mappelei pura loa, diongani balimbunganna, diwaoani arrianna”.

Nauamo Tomepayung ;”Iya topa uperoa baine, apaq tua annaq padza tannangi lawaqmu, muaq mettamai inggannana jangang-jangang merriqbaqna litaq Balanipa di litaqmu, anummu tomi Iq-o, iq-o tuq-u baine ala iq-o”.

Anna iyamo diq-o pappeweinna Balanipa, anna bainemo Sendana, anaqmi lima Baqba Binanga,sikadzaeang simapiangang situoang simateang. Mattoanami balanipa dibainena dianaqna tedzong,  sisappuloang balasse barras.

Terjemahan  :

Berkumpullah kita semua di Tamajarra. Hadirlah Sendana, begitu juga yang lain.

Maka berkata raja Balanipa ;”Yang mendorong saya mengundang saudara semua, ada baiknya kita yang tujuh (wilayah) ini membentuk persatuan karena kita semua Bangsawan bersaudara, satu nenek asal muasal kita. Kita semua adalah cucu Tokombong di Bura. Cucunya siapa raja Mamuju dan juga Tappalang, Taandiri-lah. Cucunya siapa raja Sendana dan juga raja Pamboang, Daen Palulunglah. Tokombong di Bura juga asalnya. Raja Banggae dan Raja Benuang, Ibokka Padang-lah yang melahirkannya, Tokombong di Bura juga asal muasalnya. Itu sebabnya kita semua bersaudara, karena kita berasal dari satu nenek. Bagaimana pendapat sudara ?”

Kemudian berkatalah yang lima (Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju dan Benuang) kepada Sendana ;”Anda saja yang berembuk dengan balanipa”

Berkata balanipa ;”Engkaulah yang besar Sendana”

Berkata Sendana ;”Satu kali engkau katakana, sepuluh kali aku berharap. Hanya saja, sayalah besar tapi engkaulah yang Sambo Langiq. Engkaulah yang jadi suami, sayalah isteri, anaklah Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju, benuang, karena dikhawatirkan orang-orang Passokkorang bisa membangun kembali kekuatannya dan kembali melakukan teror serta penyerangan dimana-mana. Balanipa mati dipagi hari, Sendana mati disore hari bersama anak-anaknya. Begitu juga Sendana, sehidup semati dengan Pitu Baqbana Binanga”.

Begitulah kesepakatan Sendana Balanipa, bersama-sama memegang kalupping, memegang telur lalu dipecahkan bersama-sama disaksikan dewata di atas dewata di bawah. Siapa yang mengingkari janji, balikkan bubungan rumahnya dibawah tiangnya keatas.

Berkata Tomepayung ;”Saya juga memohon, bila ada pelarian tahanan Balanipa masuk diwilahmu, itu sudah menjadi hak kamu”

Itulah kesepakatan Balanipa, istrilah Sendana, anaklah lima kerajaan di Pitu Baqbana Binanga (Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju dan Benuang). Balanipa member Kerbau dan masing-masing sepuluh karung beras.

Catatan  :

Sambo Langiq adalah nama burung sejenis elang yang tidak memangsa ayam dan terbangnya selalu yang tertinggi dari burung lainnya. Pengertian harfiah Sambo Langiq adalah ; Sambo sama dengan penutup, Langiq sama dengan langit. Jadi Sambo Langiq artinya Penutup Langit. Ini merupakan kata kiasan yang kemudian dijadikan simbol perlindungan atau yang bisa melindungi. Misalnya ; Matangnga jadi Sambo Langiq di Pitu Ulunna Salu, Limboro Rambu-rambu jadi Sambo Langiq di kerajaan Sendana dan Balanipa jadi Sambo Langiq di Pitu Baqbana Binanga.


Hubungan Sejarah Kerajaan Mamuju dan Kerajaan Badung Bali (Versi lainnya)

“… Tomejammeng adalah Raja Mamuju yang mewakili Kerajaan Mamuju pada Konfrensi Tammajarra (I) tahun 1580 di Tammajarra Balanipa Mandar. Tomejammeng memerintah sezaman dengan To-Mepayung dari Kerajaan Balanipa, Puatta I-Kubur dari Kerajaan Sendana, Daetta Melanto dari Kerajaan Banggae, Daeng Palewa Tomelake Bulawang dari Kerajaan Pamboang, Puatta Karanamo dari Kerajaan Tappalang, dan Ammasangeng Si-Payung Langi’ dari Kerajaan Binuang.

Sekitar tahun 1575 Tomojammeng bersama Ibu/Bapaknya (Todipali Maradika Mamuju) berangkat ke Gowa memenuhi undangan Somba Gowa XII I-Manggorai Daeng Mammeta Tunijallo (1565 – 1590) yang ada daerah Mandarnya, untuk menghadiri upacara pernikahan salah seorang putrinya. Begitu besarnya acara ini undangannya sampai ke Kerajaan Badung Denpasar Bali. Raja Badung bersama permaisuri dan beberapa anak gadisnya turut hadir dalam acara perkawinan tersebut. Dalam pesta perkawinan Tomejammeng bertemu cinta dengan anak Raja badung yang berlanjut dengan pernikahan yang dilaksanakan di Badung. Sebelum pengantin baru ini berangkat ke Mamuju lebih dulu dikirim utusan untuk membuat sebuah pelabuhan yang kelak ditempati berlabuh perahu-perahu dari Bali. Pelabuhan tersebut terkenal sampai sekarang dengan nama “Labuang To Bali” artinya “Pelabuhan Orang Bali”, tempatnya di daerah Kasiwa Mamuju.

Labuang To Bali  Di Lingkungan Kasiwa  Foto Tahun 1924

Beberapa saat kemudian permaisuri Tomojammeng yang serumpun dengan Raja Badung Ngurai Gde yang Pahlawan Nasional Tanah Bali mengandung dan lahirlah seorang putra bernama I-Salarang (lasalaga) yang kelak menjadi Raja Pamboang yang bergelar “To Matindo di Sambayanna”.  Umur 7 tahun terjadi perselisihan hebat antara Tomejammeng dengan permaisuri, mengakibatkan permaisuri pulang ke Bali dengan membawa anak yang satu-satunya.

Sebelum perpisahan Tomojammeng mencari tanda rahasia yang ada pada anaknya dan memberi sebuah sarung-keris yang isinya (kerisnya) disimpan oleh Tomejammeng di Mamuju. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesulitan manakala I-Salarang ingin kembali ke Mamuju. Tanpa sarung-keris dan tanpa tanda rahasia, Tomejammeng bahkan seluruh Hadat dan Rakyat Mamuju tak akan mengakuinya sebagai putra Raja Mamuju Tomejammeng.

Keris tersebut bersama sarungnya masih tersimpan pada Andi Maksum Dai, salah seorang (pen. putra) dari H. Jalaluddin Ammana Indah Raja Mamuju terakhir. Oleh pewarisnya memberi nama “BADUNG”, diambil dari nama Kerajaan Badung Bali yang diperintah oleh keturunan Ngurai Gde. Ini dimaksudkan untuk memperingati/mengabadikan hubungan kekeluargaan (darah) antara Orang Bali dan Mamuju. Kerajaan Badung zaman dahulu, sekarang ini telah menjadi Kabupaten Badung Ibu Kotanya Denpasar.  Isi keris dan sarungnya bertemu kembali saat I-Salarang kembali ke Mamuju dalam persiapan untuk diangkat menjadi Raja di Kerajaan Pamboang. …”


Lalangi Parrimuku

La'langi Parimuku adalah yang mula-mula mengobarkan perlawanan terhadap Belanda di Kerajaan Mamuju. Beliau adalah seorang putera dari bangsawan pemberani bernama Samani Tojaguang (Maradia Tammerodo), La'langi Parrimuku bersaudara dengan Karanene yang menjabat sebagai Maradika Mamuju, La'langi Parimuku tidak lama mengadakan perlawanan karena lekas tertangkap. Keberanian La'langi Parimuku disamping diperlihatkan di medan perang juga masih dipertunjukkan di dalam tahanan.

Setelah La'langi Parimuku tertangkap di suatu pertempuran di daerah Mamuju, Kayu Mangiwang 1906, beliau dibawa ke kota untuk ditawan. Di suatu tempat penahanan berkali-kali serdadu Belanda memaksa agar mengakui pemerintahannya, La'langi Parimuku hanya diam, apalagi untuk mengucapkan kata menyerah. Sekali lagi Belanda memasuki sel tahanan dengan maksud yang sama sekali lagi La'langi Parimuku tidak menjawab. Kecuali La'langi Parimuku minta kepada serdadu Belanda itu untuk mengambilkan tempat berludah yang dalam bahasa Mandar disebut ti'uduang yang terbuat dari tembaga (kuningan) seberat kira-kira 2 Kg. Begitu diterima dan selesai berludah dilemparkannya ti'uduang itu ke muka Belanda sampai menemui ajalnya. Atas kejadian ini Belanda yang lain segera mencabut pistolnya dan langsung menembakkan mengenai kepala La'langi Parimuku, dan gugurlah dia sebagai kesuma bangsa.

Dalam perjuangan, La'langi Parimuku mempunyai kawan seperjuangan bernama Pattolo' Pattana Sompa. Orangnya sangat gagah, berani dan ganteng. Rambutnya panjang bagaikan wanita masa dulu, hitam dan keriting, hidung mancung, kulitnya kuning langsat. Perawakan tubuhnya tinggi besar tapi tidak gemuk. 

Keguguran dan kuburan Pattolo' Pattana Sompa tidak diketahui saat dan tempatnya. Dikalangan masyarakat Mamuju pada masa itu ada dua pendapat yaitu : Luka dalam suatu pertempuran dan mundur masuk di hutan. Jalan pemunduraanya ada di antara pasukannya yang melihat tetapi tidak melihat mayat apalagi kuburannya  atau beliau ditangkap hidup-hidup oleh Belanda dan langsung dibawa ke Pulau Jawa atau ke Nederland.(Arman Husain)



---------------------------------------------------------------------------
(Sumber : Buku MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS, Oleh ANDI SYAIFUL SINRANG, Penerbit Group "Tipalayo" Polemaju Mandar, tahun 1980, halaman 46 s/d 47)

Kurri-Kurri Dalam Catatan Pelayaran Bangsa Portugis


Pasca kejatuhan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, banyak pedagang dari India, gujarat bahkan pedagang Melayu yang perpindah haluan mencari pelabuhan baru untuk berniaga, yang menyebabkan pelabuhan kurri - kurri sebagai salah satu pilihan yang tepat selain posisi yang strategis terdapat di titik tengah antara jalur perdagangan wilayah utara Sulawesi menuju Selatan. Pada dekade inilah pelabuhan Somba Opu Makassar menjadi sentral perniagaan wilayah timur nusantara seiring munculnya dua kekuatan besar yaitu kerajaan Gowa dan Tallo sebagai kerajaan maritim terkuat saat itu setelah menaklukkan Kerajaan Siang yang telah lama menguasai kekuatan perairan Barat Sulawesi antara 1512 - 1668.


Jan Hyugen Van Linschoten membuat peta nusantara berdasarkan informasi dari catatan Antonio de Paiva seorang misionaris sekaligus pedagang. Antonio de Paiva bersama Manuel Pinto untuk mencari kayu Cendana di pantai barat Sulawesi. Sejak melakukan perjalanan melalui Gowa dengan rute sampai Durate (Donggala?) dan Manado, Antonio de Paiva, menyinggahi pusat wilayah Kerajaan Siang dan tinggal di Siang untuk beberapa waktu, sebelum melanjutkan perjalanan ke arah utara menuju Sulawesi Tengah untuk mencari kayu Cendana (sandal wood), ekspedisi ini singgah di pelabuhan Kurri kurri sementara waktu.


Pada Peta 1619, (pulau) Celebes belum tergambarkan dalam bentuk yang sebenarnya. Hanya pantai barat Celebes yang teridentifikasi. Peta ini diduga buatan Portugis. Dalam peta, beberapa tempat yang diidentifikasi diantaranya adalah Mamoya [Mamuju?], Mandar dan Tello. Dua nama tempat yang terkenal kemudian (Gowa dan Bone) tidak/belum teridentifikasi. Namun demikian, Belanda/VOC sejak 1607 sudah menempatkan diri di Somba opu (ibukota Gowa). Apakah Gowa menunjukkan wilayah non Portugis? Lalu Belanda/VOC memilihnya sebagai pangkalan dagang pertama.


Jika kita perhatikan diantara toponim Mandar dan Mamoya [Mamuju] tampak sebuah nama yaitu Quiqui, apakah itu sebuan nama wilayah yang dikenal sebagai Pelabuhan Kurri-kurri saat ini? Jelas bahwa tidak ada nama tempat yang merujuk pada arti itu selain kurri-kurri sebuah wilayah pesisir dikecamatan Simboro tapi secara akurat belum bisa dipastikan letak secara pasti dimana lokasi pelabuhan yang dikatakan sebagai pelabuhan internasional pada masanya.


Beberapa peta awal yang dibuat oleh orang-orang Eropa awal seperti peta De Wit untuk Asia Tenggara, diukir oleh Joannes Lhulier pada tahun 1662, dan peta Isole Dell'India cioe le Molucche la Filippine e della Sonda Parte de Paesi di nuova scoperta e l'Isole de Ladri ne Mare del Zud 1683. Giacomo Giovanni Rossi (1627-1691) adalah peta yang dibuat oleh orang Italia. Pada peta ini terlihat jelas toponim Qui-qui (Kurri-kurri) berdampingan dengan Toponim Mamoya [Mamuju] berada, bahkan pada peta yang sedikit lebih tua juga terdapat dalam Peta Dekoratif Hindia Timur dari Atlas Mercator-Hondius, disana toponim untuk Kurri-kurri tertulis lebih jelas sebagai Curri-curri. 

Atlas Mercator-Hoindius

Dalam catatan sebuah buku navigasi tentang perjalanan awal bangsa Portugis  ke Nusantara yang dibuat oleh Jan Hyugen Van Linschoten seorang berkebangsaan Belanda yang pernah bekerja sebagai juru tulis di portugal, buku itu berjudul "Itinerarium neer Oost ofte Portugaels Indien" buku inilah menjadi panduan dan catatan seorang navigator Belanda Cornelis de Houtmann untuk berlayar ke Nusantara (1595-1597)


Catatan ataupun sumber sumber yang menceritakan tentang Kurri-kurri ini amat sangat kurang ditemukan baik berupa literatur maupun artefak peninggalan kerajaan, hanya ada lontrak dan sumber dari arsip arsip dan catatan pelaut eropa (Portugis) inilah yang bisa dianggap sahih untuk mengetahui eksistensi Kurri-kurri pernah ada dan berjaya di Bumi Manakarra ini.


Kurri-kurri adalah salah satu kerajaan pesisir yang ditopang oleh beberapa pelabuhan besar sehingga menjadi tujuan utama persinggahan kapal-kapal dagang yang transit menuju wilayah selatan atau utara bahkan menjadi pusat perniagaan komoditas dagang sehingga mampu menjadikan dirinya sebagai wilayah zona ekonomi yang mandiri diteluk Mamuju, inilah menjadi salah satu faktor utama terjadinya penaklukkan oleh kerajaan Mamuju oleh Tomejammeng disekitar abad ke -16.  


Setelah Tomejammeng berhasil menginvasi Kurri kurri dan berikutnya menaklukkan kerajaan Managalllang. Tomejammeng kemudian menjadikan semua rakyat Kurri-kurri ini sebagai tawanan atau budak kerajaan. Bahkan seiring waktu ada yang menjadi bagian dari kerajaan Mamuju 


”.Iyamo umbetai Kuri-Kuri, iyamo mettama joaq timbanua. Toalukalumo iyamo jari Tobone-bone. Tokuri-kurimo, iyamo jari Tokasiba. Maradikamo di mananggala (managallang), iamo jari Paqbicara, iamo jari Pue Tokasiba, apaq batua Tokuri-kurinnamo dongai naluppui anna mettamamo Pue di Kasiba.  


Kurri-kurri dalam  bahasa Mamuju adalah berarti nama sejenis unggas pemakan biji-bijian yaitu jenis pipit yang bergerombol atau berkelompok sehingga jumlahnya terlihat sangat banyak sebagaimana sering kita lihat dipersawahan atau dipepohonan jika menjelang waktu sore sampai petang, secara harfia kata meng; kurri-kurri yang bermakna seperti banyaknya burung tersebut. Atau bisa juga diartikan banyak karena jumlah masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut banyak jumlahnya karena sebagai pusat perdagangan tentunya disini telah ramai banyak didatangi oleh pedagang dan orang orang dari berbagai daerah lainnya.


Pelabuhan Makassar dan Pare-pare menjadi pemasok komoditas barang dagangan dari Mamuju melalui pelabuhan Kuri-kuri sejak Pelabuhan Makassar belum menjadi kota pelabuhan terbesar sejak tahun 1510. Kurri- kurri sangat terkenal ke dunia luar dengan komoditas eksport seperti: rotan, damar, teripang dan cangkang kura kura (tortoise shell). Cangkang Kura-kura adalah merupakan komoditas niaga yang paling populer saat itu di beberapa negara di Eropa (J.v. Mills: Journal Of The Malayan Branch Of The Royal Asiatic Society 1930 Vol. VIII.1930) 


Transformasi Makassar menjadi pelabuhan besar dimulai dari tahun 1510, ketika Ibukota Kerajaan Gowa dipindahkan dari Tamalate ke Makassar. Bandar niaga internasional Somba Opu menjadi pelabuhan transito utama bagi perdagangan rempah dari Maluku. Gowa menguasai daerah-daerah pedalaman Bugis penghasil beras dan hasil hutan. Untuk meningkatkan ekonomi, Kerajaan ini juga memperdagangkan Budak yang salah satunya disuplai dari wilayah Mamuju. Budak ini akan diganti (barter) dengan Sutera dan Kayu Cendana.


Ini menyatakan bahwa dalam masa itu perkembangan perdagangan di wilayah Mandar masih sangat didominasi oleh Pelabuhan Somba sebagai bandar niaga terbesar saat itu. Gambaran perdagangan Makassar pada permulaan abad ke 16 ini menunjukkan bahwa Makassar pada saat itu sebagai pusat perdagangan terpenting, yang berkedudukan sebagai pelabuhan internasional dan transito, bukan hanya dikawasan Sulawesi tetapi dikawasan Timur Indonesia. (Poelinggoemang, Sejarah Kebudayaan Sulawesi).


Pada saat sebelum kejatuhan Malaka ke Portugis, proses islamisasi yang dibawa oleh para pedagang Muslim hanya terpusat di pesisir Selat Malaka dan sekitarnya sehingga dampaknya tidak merata ke seluruh Nusantara. Lalu setelah jatuhnya Malaka, maka proses islamisasi pun dapat semakin berkembang luas seiring dengan berpindahnya para pedagang. Sehingga pada tahun-tahun kemudian jalur perdagangan ke timur utamanya pantai barat Sulawesi lebih ramai dari sebelumnya, seperti pelabuhan Somba Makassar, Pare-pare, Suppa, Wajo, Bone, Siang Majene, Mamuju dan Donggala. 


Bangsa Portugis adalah pemasok utama komoditas ekspor yang merupakan produk utama dari Kuri-kuri yaitu “tortoise”, torturugas atau cangkang kura-kura (Penyu) yang dianggap sebagai komoditas terbaik di Celebes (Sulawesi) saat itu melalui pelabuhan Makassar, teripan rotan, damar, pucuk cendana, kayu putih, kayu manis, rempah-rempah, lada dan lain sebagainya. (GP Rouffaer dan JW Ijzerman, De eerste schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Cornelis de Houtman, 1595-1597. Vol.2)


Fakta tentang kekayaan tempurung penyu di Pelabuhan Sumbawa ini bukan tentang penyu besar tetapi yang lebih kecil yang disebut penyu sisik atau nama latin disebut Chelone imbricata. (Godinho de Eredia's Informação da Aurea Chersoneso" (ed. Caminha, Lisbon 1807), namun, pelabuhan Mandar (Majene) sebagaimana disebutkan sebagai wilayah utama  pengekspor Tartarugas (cangkang penyu), serta pelabuhan Mamuju dan dari Kurikuri (Curicuri) yang lagi-lagi sepenuhnya sejalan dengan fakta bahwa kura-kura terbaik masih berasal dari Sulawesi, dengan Makassar sebagai pelabuhan ekspor utama. Pertanyaannya adalah apakah kura-kura "Sumbawa" dari atas memang tidak datang dari Sumbawa Barat (Taliwang) tetapi melalui China (Lodewycksz,1915, hal. 119)


Konon Kurri-kurri sering didatangi oleh orang dari kampung tetangga dengan tujuan bertarung dan mereka adalah kebanyakan dari golongan Tobarani diceritakan bahwa disana sering diadakan adu kesaktian sehingga masyarakat disekitarnya sering berdatangan ke Kurri-kurri untuk menyaksikan duel tersebut, perjalanan ke kurri kurri ini melalui rute sepanjang garis pesisir pantai setelah air laut mulai surut, dari kebiasaan itu pula sehingga sampai hari ini dikenal sebuah wilayah pantai di Mamuju dengan nama Bonepa’as, yang berarti, daratan pasir yang muncul karena air laut surut sehingga dapat dilalui oleh orang orang menuju kurri kurri. Bonepa’as dulunya adalah perkampungan antara muara sungai dan pesisir pantai di Mamuju seperti halnya dengan Kayulangka, Rimuku dan Karema, ketika terdengar berita akan terjadi duel di Kurri-kurri maka masyarakat pesisir lainnya akan berdatangan melalui jalur pantai ketika air laut sedang surut.(narsum, 12 juni 2017).


Namun kebesaran nama Kuri-kuri tidak pernah terdengar sampai hari ini sehingga tidak banyak yang tahu secara pasti bagaimana bandar ini terbentuk dan bagaimana sampai hilang bagai ditelan bumi. Ada kecendrungan bahwa kemunduran dan hilangnya pelabuhan kurri-kurri adalah setelah adanya pengaruh dari kerajaan Gowa Tallo yang memegang kendali jalur perdagangan dikawasan Sulawesi bagian barat bahkan kawasan Indonesia Timur, pelabuhan tersebut mulai tidak ramai lagi dan banyaknya praktek perompakan dilaut kawasan Sulawesi disekitar abad XVII sampai pada awal abad XIX, tetapi fungsi sebagai pelabuhan belum berakhir sampai masuknya VOC di Sulawesi sekitar abad XVII. Dibuktikan dengan adanya informasi tertulis bahwa kapal-kapal dari eropa tidak dapat berlabuh ke pelabuhan kurri-kurri disebabkan adanya perompakan dan sergapan perahu-perahu bajak laut asal Mindanao. [Arman Husain 2018]


Sumber :

- Life and Letters of St. Xavier Francis, Henry James 1822-1893, hal;285-287.

- Islamisasi Kerajaan Gowa :abad VI sampai abad ke VII. Ahmad M. Sewang. Yayasan Obor Jakarta, Hal: 56-57.

- Sejarah Kebudayaan Sulawesi.Edward Poelinggoemang.

- Lontar Mandar yang ditransliterasi oleh A.M. Mandra 1990.

- De eerste schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Cornelis de Houtman, 1595-1597, GP Rouffaer dan JW Ijzerman [1860-1928] – [1851-1932]  1595-1597. Vol. 2.

- De eerste schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Cornelis de Houtman, journalen, documenten en andere bescheiden, uitg. en toegelicht door G.P. Rouffaer en J.W. Ijzerman, [1860-1928] – [1851-1932]  1595-1597. Vol. 2.

Login


Kalumpang Dan Situs Neolitik Tertua Dunia


Kalumpang, sebagai hunian dari masa neolitik pertama kali diperkenalkan oleh Dr. P.V Stein Callenfels, seorang prehistorian berkembangsaan Belanda yang pada jaman kolonial bekerja di Lembaga purbakala (Oudheidkundige Dienst). Dialah yang memperkenalkan situs-situs di Kalumpang dalam lingkup international dengan mengkomunikasikan hasil penelitiannya di Situs Kamansi pada Kongres Prasejarah Asia Timur Jauh di Manila tahun 1951 dan menerbitkannya dalam Journal of East Asiatic Studies, 1952 (Simanjuntak, 2007). Hasil penelitian tersebut telah memicu lahirnya banyak penelitian di wilayah itu, hingga pada tahun 2007 oleh Truman Simanjuntak, melahirkan berbagai perdebatan yang menarik tentang kronologis kehadiran penutur austronesia di Kalumpang.Callenfels (1951) menyimpulkan bahwa budaya kalumpang hadir dalam 3 fase. Fase pertama yakni Protoneolitik, yang dicirikan kapak tajaman miring, proto tipe kapak bahu, alat-alat hoabinhian dan gerabah primitif. Fase kedua yakni neolitik, yang dicirikan oleh kapak diupam halus dan gerabah polos. Fase ketiga dicirikan oleh mata panah, pahat kecil dan gerabah hias gores. Ditambahkan pula bahwa gelombang pertama dan ketiga berasal dari utara, melewati Filipina dan lebih jauh lagi dari Manchuria.

Dr. Piter Van Callenfels 
Heekeren (1972) pada penelitian yang bersamaan cenderung menyimpulkan bahwa budaya Kalumpang hanya terdiri dari 2 fase saja. Fase pertama yakni neolitik awal, yang dicirikan oleh kapak lonjong dengan irisan ellipsoidal yang di antaranya berbentuk asimetris, alat pemukul kulit kayu, dan gerabah polos dan hias motif garis- garis lurus dengan lingkaran lingkaran kecil. Fase kedua yakni neolitik akhir, yang dicirikan oleh beliung persegi diupam, beliung kecil, mata tombak diupam, mata panah, alat-alat bor, gergaji dan gerabah hias pola lingkaran kecil dan hias tepi kerang yang merupakan pengaruh dongson. Ia juga berpendapat bahwa kedua fase ini berasal dari Cina selatan dan mencapai Sulawesi lewat jalur utara.*(Budyanto & Suryatman).

Patung Budha Sikendeng 
Kalumpang, bukan sekedar kecamatan terluas di pegunungan Mamuju, ibu kota Sulawesi Barat. Daerah yang mencakup komunitas adat Tana Lotong itu menyimpan sejuta kisah asal muasal peradaban manusia di Sulawesi. Bangsa Austronesia, bangsa penutur yang berasal dari Asia daratan diyakini kali pertama menginjakkan kaki di wilayah ini. Keberadaan bangsa yang menurunkan populasi di sepanjang Pasifik sampai Madagaskar, serta Selandia Baru sampai Hawaii itu terlacak melalui penemuan sejumlah situs di wilayah tersebut. Situs ini diyakini berusia sekitar 3.600 tahun sebelum masehi. Terbilang tua, lantaran mendekati catatan waktu penutur Austronesia kuno menyebar di nusantara sekitar 4.000 SM.

Temuan arkeologi yang termasyur di wilayah itu adalah situs Minanga Sipakko dan Kamassi. Penemuan yang kelak dikenal sebagai situs Kalumpang itu merupakan wilayah pegunungan yang menyimpan alat-alat prasejarah seperti gerabah, tembikar, mata panah dan kapak batu. Situs ini kali pertama diperkenalkan Dr. P.V Stein Callenfels, peneliti Belanda yang menggali di wilayah tersebut pada 1933. Ia melakukan penelitian setelah tiga tahun sebelumnya penilik sekolah Amiruddin Maulana menemukan sebuah patung Buddha berjubah perunggu di Sikendeng, tepi Sungai Karama. Patung yang kini tersimpan di Museum La Galigo, kompleks benteng Fort Rotterdam Makassar, Sulawesi Selatan, itu terbilang berbeda dari kebanyakan patung Buddha di nusantara. Patung diduga dipengaruhi gaya Budha Greeco, di India Selatan, tepatnya aliran kesenian Amarawati. Aliran yang pengaruhnya cukup besar ke kawasan Asia Tenggara pada abad 2 hingga 7 Masehi

Dr. P. Stein Callenfels lantas menginformasikan temuannya dalam Kongres Prasejarah Asia Timur di Manila pada 1951. Ilmuan dunia pun berdatangan ke Kalumpang hingga sekarang. Mereka terus menghasilkan penemuan baru yang kini diperkirakan mencapai 12 situs. Yang menarik di antaranya adalah Batu Tabuqung, sebuah kompleks makam kuno di Dusun Kondobulo. Pemakaman ini mirip situs Londa di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, lantaran kerangka manusia tak dikubur, melainkan disimpan dalam peti kayu berukir yang diletakkan di tebing batu. Konon, kerangka kuno tersebut jauh lebih besar ukuran normal orang Indonesia. Sepeninggal Stein-Callenfels penelitian dilanjutkan oleh H.R. van Heekeren pada tahun 1949 di Situs Kamassi. Ketika melakukan penggalian, Heekeren mendapatkan laporan dari penduduk setempat yang menemukan temuan yang serupa di Minanga Sipakko. Kemudian pada saat perjalanan pulang ke Kalumpang, Heekeren mencoba melakukan peninjauan langsung ke Minanga Sipakko yang hanya sebatas survei permukaan. Hasilnya ditemukan pecahan- pecahan tembikar polos dan berhias, beliung persegi, kapak lonjong, mata tombak, mata panah, pahat batu, batu asah, batu pipisan, dan alat pemukul kulit kayu. Pada tahun 1969 R.P. Soejono dan D.J. Mulvaney mengadakan penelitian berupa peninjauan lapangan di gua-gua Maros di Sulawesi Selatan, tepatnya di Gua Batu Ejaya, Gua Ulu Leang 2, dan Gua Ulu Wao. Dari hasil peninjauan tersebut ditemukan beberapa pecahan tembikar yang jika dilihat dari motif dan teknik hiasnya memperlihatkan kesamaan dengan tembikar Kalumpang. Pada tahun 1970 penelitian dilanjutkan oleh Uka Tjandrasasmita dan Abu Ridho yang menyatakan bahwa tembikar Kalumpang memiliki persebaran yang cukup luas di Sulawesi Selatan, yaitu hingga ke daerah Maros (Ulu Wae, Ulu Leang, Leang Burung, dan Batu Ejaya, dekat Bantaeng) dan juga ke arah selatan Makassar, tepatnya di Desa Takalar. Pada tahun 1981 pembahasan tembikar Kalumpang dilakukan oleh Nurhadi dalam skripsinya yang berjudul Gerabah Prasejarah Kalumpang. Dalam penelitiannya Nurhadi menggunakan data himpunan tembikar koleksi Museum Nasional yang merupakan hasil temuan ekskavasi Stein-Callenfels tahun 1933, Heekeren tahun 1949, dan himpunan tembikar dari pemerintah daerah setempat.(Ridwan Alimuddin)

Situs Minanga Sipakko Kalumpang
Pada bulan Mei 1933 diadakan penggalian oleh A.A.Cense di daerah Sampaga tepatnya di lembah sungai Karama, Kabupaten Mamuju dan menemukan beberapa peralatan pra-sejarah yaitu batu dan gerabah. Kegiatan tersebut kemudian di lanjutkan oleh PV Van Callenfels dengan menggali di bagian timur bukit Kamassi, dan menemukan alat-alat berupa: Pisau, kapak batu, kapak batu segi empat, mata panah yang halus, dan pecahan-pecahan tembikar yang berdekorasi. Penggalian tersebut di laksanakan pada tanggal Z5 September 1933 sampai 17 Oktober 1933.



Penggalian kedua di lakukan oleh Dr. HR. Van Hee Karem dari tanggal 23 Agustus sampai September 1949 di bagian selatan puncak kamasi, 13 meter di atas permukaan sungai. Penggalian itu menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu yang ada kesamaannya dengan alat Neolithic di Luzon (philipina), Manchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Juga di temukan gerabah yang berhias. Gerabah yang berhias di nilai oleh para arkeolog mempunyai corak yang tinggi dengan desain halus memberikan pertanda bahwa kebudayaan di daerah Kalumpang di kembangkan oleh masyarakat yang telah teratur sifatnya. Kebudayaan yang terlingkup dalam satu wilayah Sa Huynh Kalanay, yaitu wilayah yang meliputi daerah Cina, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan pasifik.
Eskavasi Situs Minanga Sipakko

Di daerah Sampaga atau kurang lebih 10 km dari muara sungai Karama, masuk ke pedalaman Sekendeng, Amiruddin Maulana ,tokoh pendidik di Kabupaten Majene, menemukan patung Budha perunggu. Oleh Dr.FDK Bosch, setelah membandingkan patung-patung Budha yang ada di Jawa tengah (Borobudur), Palembang, patung Hindu Jawa,dan Hindu Sumatera, memberikan kesimpulan bahwa gaya patung tersebut mempunyai ciri khas tersendiri. Setelah membandingkan dengan patung Budha dari Sholok, Jambi, kota bangun, Kalimantan barat, Gunung lawu, Jawa tengah, Bosch juga menyimpulkan bahwa palung yang di temukan tersebut tidak mempunyai kesamaan.

Oleh karena tidak ada kesamaan yang dapat di temukan di Indonesia, maka perbandingan dengan patung-patung Budha yang ada di India, Muka dan Gandara, di lakukan. Dan kesimpulannya adalah bahwa patung tersebut di pengaruhi oleh gaya Budha Greeco di mana gaya ini juga terdapat di India Selatan, tepatnya aliran kesenian Amarawati. Aliran ini sangat besar pengaruhnya ke kawasan Asia Tenggara pada abad 2-7 M. Dikuatkan dengan penemuan berbagai kecek perunggu, kancing yang di gunakan sebagai pengusir roh-roh jahat bagi dukun sewaktu upacara kelahiran bayi memperlihatkan juga adanya kesamaan dengan genta-genta perunggu dari India selatan. Dari sejarah India selatan telah di ketahui bahwa Dinasti Catawahana dalam memerintah terkenal sebagai penganut kuat agama Budha aliran hinayana sewaktu abad ke-Z M dan selanjutnya tersebar ke kawasan Asia tenggara.

Pada perkembangan Catawahana, sangat memperlihatkan aktivitas-aktivitas di bidang Maritim dan aliran Budha Hinayana melebarkan sayapnya ke Asia Tenggara dengan melalui perdagangan laut dan penyebaran terjadi pada abad ke-2 M, Dari berbagai penemuan-penemuan di alas, Salahuddin Mahmud seorang peneliti Mandar, menyimpulkan bahwa di daerah Kalumpang pernah terdapat sebuah kerajaan yang telah menjalani hubungan dengan daerah luar adapun pelabuhannya terdapat di Sekendeng, Hal tersebut di perkuat dengan memperhatikan letak muara sungai Karama yang berhadapan dengan muara sungai Mahakam di pulau Kalimantan, yang juga banyak di layari untuk memasuki daerah pedalaman Kalimantan. Adapun di hulu sungai Mahakam terdapat kerajaan Kutai yang sangat termasuk pada abad ke-4 M. Dengan demikian ke-rajaan di Kalumpang tersebut merupakan kerajaan yang tertua di daerah Mandar. Di duga kerajaan-kerajaan yang terdapat di Kalumpang berpindah ke pegunungan, tepatnya ke Toraja atau ke Luwu berhubungan dengan adanya invansi Militer dari luar atau adanya wabah penyakit yang menyerang daerah tersebut.

Perpindahan tersebut di buktikan dengan berlanjutnya desain dari corak ukiran yang tinggi nilai seninya yang masih di lanjutkan tradisinya oleh masyarakat Toraja dewasa ini. Sebagaimana cerita yang umum berkembang di masyarakat Indonesia mengenai asal usul nenek moyang mereka, di Mandar juga di kenal dengan orang yang turun dari kayangan yang akan memimpin manusia di muka bumi yang dikenal sebagai Tomanurung. Menjelmanya Tomanurung di atas muka bumi, menurut legenda dan mitos, adalah muncul dari belahan bambu (tobisse di tallang) ada juga turunan Bidadari yang tertawan di bumi karena di intip oleh pangeran yang kemudian menyembunyikan sayapnya. Selain itu ada juga Tomanurung yang menjelma dan meniti di atas buih aliran sungai (tokombong di bura) ada yang di hempaskan dari perut ikan hiu dan menjelma menjadi manusia (tonisesse di tingalor atau tobisse diare bau). Semua mitos-mitos tersebut di anggap keturunan pertama atau cikal bakal penguasa yang ada di daerah Mandar. (Arman_H.2017)