Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Tampilkan postingan dengan label Seni Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seni Budaya. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 Juni 2018

Bahasa Dan Dialek Mamuju

Griems dan Grimes (2000) mengemukakan enam gejala yang menandai kepunahan bahasa pada masa depan yaitu: (1) penurunan secara drastis jumlah penutur aktif, (2) semakin berkurangnya ranah penggunaan bahasa, (3) pengabaian atau pengenyahan bahasa ibu oleh penutur usia muda, (4) usaha merawat identitas etnik tanpa menggunakan bahasa ibu, (5) penutur generasi terakhir sudah tidak cakap lagi menggunakan bahasa ibu, dan (6) contoh-contoh mengenai semakin punahnya dialek-dialek satu bahasa, keterancaman bahasa kreol dan bahasa sendiri. Selanjutnya, Summer Institute of Linguistics (SIL, 2008) menyatakan bahwa paling sedikit dua belas faktor yang berhubungan dengan kepunahan bahasa, yaitu: (1) kecilnya jumlah penutur, (2) usia penutur, (3) tidak digunakan bahasa ibu oleh anak-anak, (4) penggunaan bahasa lain secara reguler dalam latar budaya yang beragam, (5) perasaan identik etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum, (6) urbanisasi kaum muda, (7) kebijakan pemerintah, (8) penggunaan bahasa dalam pendidikan, (9) intrusi dan eksploitasi ekonomi, (10) keberaksaraan, (11). kebersastraan, dan (12) kedinamisan para penutur membaca dan menulis sastra.

Kepunahan suatu bahasa biasanya diawali dengan adanya pengaruh bahasa lainnya yang ada di sekitar bahasa yang bersangkutan. Adanya daya tarik untuk menggunakan bahasa lainnya itu secara perlahan-lahan akan menggeser bahasa daerah setempat. Fenomena pergeseran bahasa sudah biasa terjadi dan bukan hal yang luar biasa. Sehubungan dengan kepunahan sebuah bahasa, Krauss (1977) membagi bahasa dalam tiga kategori, pertama bahasa yang statusnya dalam posisi aman (save language). Kedua, bahasa yang tergolong dalam posisi tidak aman (endangered language). Ketiga, bahasa yang tergolong dalam posisi terancam punah (moribund language).

Bahasa yang tergolong bahasa dalam posisi aman adalah bahasa yang masih aktif dipakai pemakainya secara aktif. Artinya, bahasa masih dipakai oleh penuturnya. Penutur yang dimaksud adalah seluruh lapisan masyarakat pendukung bahasa bersangkutan mulai dari anak-anak sampai orang tua. Selain itu juga, digunakan dalam segala kesempatan atau aktivitas dalam masyarakat. Bahasa-bahasa yang berada dalam posisi tidak aman adalah bahasa-bahasa yang dipengaruh oleh bahasa-bahasa yang ada di sekitarnya. Hal ini terjadi jika daerah tempat bahasa daerah itu mengalami kemajuan dalam segala bidang. Berkembangnya teknologi di daerah itu. Bahasa-bahasa yang berada dalam posisi terancam kepunahan adalah bahasa -bahasa yang penuturnya semakin hari semakin berkurang, karena beberapa sebab di antaranya, bahasa itu tidak digunakan lagi anak-anak, bahasa itu hanya digunakan oleh penutur yang sudah tua di atas 50 tahun. Contoh kasus untuk bahasa hampir punah yang ada di Sulawesi Selatan adalah bahasa Wotu di Kabupaten Luwu. Pada tahun 1988 penutur bahasa ini sekitar 4000 orang. Kini, bahasa ini penuturnya hanya sekitar 500 orang (Dollah,2003:1-2).

Dari ketiga kasus kepunahan bahasa di atas bahasa Mamuju saat ini berada dalam kondisi tidak aman. Di Sulawesi Selatan dan Barat kepunahan bahasa-bahasa daerah pun menggejala. Hal ini terasakan pula dalam bahasa Mamuju. Para ibu-ibu terutama di Kota Mamuju sudah jarang berkomukasi kepada anak-anaknya dengan menggunakan bahasa daerah Mamuju. Mereka lebih banyak memberikan bahasa Indonesia di rumah, sehingga perbendaharaan kosakata bahasa Mamuju oleh anak sangat kurang. Para remaja pun lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Ketika mereka ditanya mengapa sudah jarang menggunakan bahasa Mamuju, pada umumnya menjawab tidak mengerti bahasa Mamuju karena di rumahnya menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, ada di antara mereka sedikit gengsi menggunakan bahasa Mamuju. Penggunaan bahasa para pedagang di pasar pun menggunakanbahasa yang bervariasi, yaitu bahasa Mamuju, Bugis, Makassar, Mandar, dan lain-lain.

Sebelum ditetapkan Provinsi Sulawesi Barat Mamuju berdiri sebagai sebuah kabupaten. Sebagai sebuah kabupaten, Mamuju mempunyai bahasa tersendiri, yaitu bahasa Mamuju. Ada pendapat menyatakan bahwa bahasa Mamuju merupakan salah satu dialek bahasa Mandar karena Mamuju masuk etnik Mandar. Meskipun Mamuju dikategorikan masuk etnik Mandar, Mamuju mempunyai bahasa tersendiri bukan salah satu dialek bahasa Mandar. Hal ini dapat dibuktikan bahwa orang Mandar tidak mengerti bahasa Mamuju. Hasil pengamatan dan penelusuran studi pustaka bahwa bahasa Mamuju mempunyai tiga dialek, yaitu Mamuju-Padang, Mamuju-Sinyonyoi, dan Mamuju-Sumare-Rangas. Akan tetapi, berdasarkan data di lapangan, masih ada satu dialek yaitu dialek Mamuju-Kalukku, dialek Mamuju-Kalukku berada sekitar Kecamatan Kalukku, dialek Mamuju-Sumare-Rangas digunakan penduduk di sekitar Kota Mamuju. Dialek Mamuju-Padang digunakan di daerah dataran tinggi Kabupaten Mamuju. Di daerah Padang Panga, Padang Baka, Sangkurio, dan wilayah Kelapa Tujuh.

Menurut Palengkahu, dkk (1994) bahwa dialek Mamuju adalah Mamuju-Padang, Mamuju-Sinyonyoi, Mamuju-Sondang. Contoh kosakata disini (bahasa Indonesia) dalam bahasa Mamuju dialek Padang indehe, Mamuju dialek Sinyonyoi inde, dialek Mamuju-Kalakku dinne, Mamuju-Sumare-Rangas dinne. Meskipun ada perbedaan di antara dialek itu, orang Mamuju masih bisa saling mengerti di dalam berbahasa Mamuju.

Bahasa Mamuju terkait dengan bahasa lain di Kelompok Bahasa Sulawesi Selatan berdasarkan metodologi linguistik komparatif sejarah. Untuk mencapai tujuan ini, korespondensi suara antara bahasa Mamuju dan bahasa / dialek lainnya di sekitarnya sehubungan dengan Proto Austronesia disurvei. Selanjutnya leksikon Proto Mamuju direkonstruksi dan morfemnya juga dibandingkan. Studi tersebut menunjukkan bahwa nasalisasi dan geminasi (pre) dalam kata-kata, afixasi dan gemionasi dan afiks kompleks adalah fenomena yang memberi bukti untuk membangun hubungan antara bahasa Mamuju dan bahasa lainnya dalam kelompok. Melalui penelitian ini, kita dapat membuktikan keberadaan bahasa Proto Mamuju, dan menjelaskan perkembangan Proto Sulawesi Selatan ke dalam bahasa Mamuju sekarang, dan bahasa Proto Mamuju menjadi dialek yang kita miliki sekarang. Tidak ada keraguan bahwa bahasa Mamuju adalah dialek bahasa apa pun di Kelompok Bahasa Sulawesi Selatan dan memiliki hubungan dekat dengan bahasa Aralle-Tabulahan dan Ulu Manda. Hubungannya dengan bahasa Mandar, Sa'dan dan Massenrempulu tidak begitu dekat, dan berhubungan secara longgar dengan bahasa Makassar dan Bugis. 

Adapun Penutur bahasa Mamuju sekitar 77.000 orang [Sneddon, 1981] atau 95.000 orang [Grimes dan Grimes, 1987: 37] atau 60.000 orang [Grimes, 1992: 626]. Jumlah penutur Bahasa mamuju relatif sedikit dibanding dengan beberapa bahasa dari kelompok bahasa Sulawesi Selatan (KBSS) seperti bahasa Bugis, bahasa Makassar, bahasa Mandar dan bahasa Sa'dan.

Di bawah ini diterangkan karya-karya penting di dalam bidang penelitian tentang Bahasa Sulawesi Selatan. Karya Karel F. Holle, 1894. SchetsTaalkaart van Celebes. dalam Koloniaal Verslag van 1894 adalah sepengetahuan penulis, peta bahasa Sulawesi tertua. Menurut peta bahasa oleh Holle, yang dibantu oleh Brandes, Johann C.G., dan Jonker tersebut, Sulawesi dibagi menjadi lima daerah. Kalau diperhatikan daerah yang melingkup Sulawesi Selatan, garis perbatasannya mulai dari sebelah selatan Tolitoli melalui tengah pangkal semenanjung Minahasa, dan melewati teluk Tomini dari Dulagu ke Loinan. Setelah itu, melewati pedalaman semenanjung Loinan ke arah barat. Di sebelah timur Danau Poso, garis perbatasannya membelah Sulawesi Tenggara timur dan barat, dan akhirnya sampai di ujung selatan Sulawesi Tengah. Wilayah yang dikurung oleh garis perbatasan tersebut dianggap suatu wilayah yang di dalamnya tersebar bahasa-bahasa dari suatu kelompok bahasa, yang ditandai "II" dalam peta tersebut. Kelompok bahasa yang ditandai "II" dapat dihitung delapan bahasa. Di antaranya terdapat bahasa yang sekarang tidak tergolong sebagai anggota KBSS, tetapi sebagai Kelompok Bahasa Kaili-Pamona. Ada empat bahasa yang tergolong dalam kelompok bahasa "II" yang dianggap sebagai bahasa Kelompok Bahasa Sulawesi Selatan, yaitu Bahasa Mandar (Mandarsch van Balangnipa "Mandar Balanipa"), Bahasa Mandar Majene (Mandarsch van Madjene "Mandar Majene"), Bahasa Bugis, dan Bahasa Makassar.

Menurut peta bahasa, kedua bahasa Bahasa Mandar dianggap dua bahasa yang berdiri sendiri. Garis perbatasan kedua Bahasa Mandar mulai dari pertengahan kota Majene dan Polewali, pantai Teluk Mandar ke utara sampai sekitar kota Mamuju. Sebelah barat garis tersebut dinamai Bahasa Mandar Balanipa. Sebelah timur garis tersebut dinamai Bahasa Mandar Majene. Kedua Bahasa Mandar tersebut tersebar sampai daerah utara yang dianggap daerah Bahasa Mamuju sekarang.

Mills menghitung tujuh bahasa sebagai anggota Kelompok Bahasa Sulawesi Selatan(KBSS), yaitu Bahasa Makassar, Bahasa Bugis, Bahasa Pitu Ulunna Salu, Bahasa , Bahasa Massarempulu, dan Bahasa Seko, tetapi tidak mengakui adanya Bahasa Mamuju. Menurut pendapatnya, yang dianggap daerah penutur Bahasa Mamuju itu sebetulnya merupakan daerah campuran penutur Bahasa Mandar dan PUS.

Akan tetapi penelitian yang dilakukan oleh Mills dianggap masih tidak berkompeten dan kekurangan data sehingga tidak bisa dianggap hasil penelitian yang lengkap. Menurut Pendapat Grimes dan Grimes, jauh berbeda dengan pendapat peneliti lain, baik bahasa yang dikelompokkan dalam Kelompok Bahasa Sulawesi Selatan (KBSS) maupun jumlah bahasa, salah satu Perbedaannya adalah dialek-dialek Bahasa Mamuju adalah dialek Mamuju yang menyerupai dialek Sumare - Rangas, dialek Padang, dialek Sinyonyoi, dialek Sondoang, dialek Budongbudong , dialek Tapalang, dan dialek Botteng. Terdapat perbedaan pendapat di antara Sneddon dengan Grimes dan Grimes dalam hal perbatasan kedua bahasa di atas. Grimes dan Grimes menganggap perbatasan kedua bahasa itu terdapat di antara kota Tapalang dan Malunda.

Kedudukan Bahasa Mamuju dalam KBSS, dapat dijelaskan bahwa Bahasa Mamuju berbatasan dengan Kelompok Bahasa Kaili Pamona (KBKP) di sebelah utara, dengan Bahasa Tapalang, dialek Kalumpang, dialek Aralle di sebelah timur, dan dengan dialek Botteng, dialek tapalang di sebelah selatan. Bahasa Mamuju merupakan salah satu anggota KBSS yang terletak di sebagian besar Kabupaten Mamuju. Indikatornya adalah adanya dialek Mamuju, dialek Sumare, dialek Sondoang, dialek Padang dan mungkin dialek Budong Budong. "Kata Dasar Bahasa Mamuju". Arti "Kata Dasar" dalam judul itu bukan kata yang menjadi dasar kata turunan, melainkan kosakata yang menjadi dasar untuk bahasanya. Jumlah masukan kosakata lebih 4000 buah. Karya penulis yang berhubungan dengan bidang penelitian tentang Bahasa Mamuju adalah Yamaguchi 1996 dan 1999.

Pada masa pendudukan Jepang bahasa Mamuju masih dipakai oleh penduduk dalam beraktivitas sehari-hari. Kanak-kanak masih memperolehnya sebagai bahasa pertama. Orang tua berkomunikasi kepada anaknya menggunakan bahasa Mamuju. Ibu-ibu dalam mengasuh anak balitanya menggunakan bahasa Mamuju. Di Pasar para pedagang-pedagang masih menggunakan bahasa Mamuju (hasil wawancara).

Hal ini dikarenakan pada masa pendudukan Jepang, bahasa Mamuju dibolehkan dipakai dalam berkomunikasi antarpenduduk. Selain itu, bahasa Mamuju belum terkontaminasi oleh bahasa lain. Keadaan bahasa Mamuju seperti ini bertahankan sampai masa Orde Baru (Arman Husain, 2017).


_referensi:

- Nurhayati Syairuddin, M.Hum. Unhas, DULU, KINI, DAN MASA DEPAN BAHASA MAMUJU. Hal. 31

- Kedudukan Bahasa Mamuju  Secara Genealogis Dalam Kelompok  Bahasa Sulawesi Selatan. (Masao Yamaguchi Analisis, Tahun II, No. 3 Januari 2001. Hal : 169-186)

- Grimes dan Grimes, 1987: 36-39.point. 10, Hal ; 172

- Sneddon, 1981; Grimes dan Grimes, 1987. Hal : 35-36.

- Hokuto.Tahun 2012
Login


Ritual Adat Kuno " Massasaq "


Salah satu ritual adat kuno di tanah Manakarra adalah ritual adat "massasaq" atau mengiris dalam maknanya adalah memutilasi anggota tubuh manusia (baca ; korban) sampai mati. ritual ini diperkirakan telah ada sejak zaman dahulu dimana masyarakat pada saat itu masih dalam kepercayaan kepada dewa - dewa (paganisme) dan benda benda (dinamisme), ritual adat ini perlahan lahan ditinggalkan sejak berdirinya kerajaan di Mamuju, yang ditandai dengan masuknya ajaran hindu, islam dan budha yang disebarkan oleh pedagang dan pendeta pendeta yang datang di wilayah Mamuju seperti dari pedagang pedagang dan utusan kerajaan kerajaan di sulawesi dan Bali. Menurut narasumber kami yang telah berumur sekitar delapan puluh lima tahun lebih, hal ini bersumber dari nenek narasumber yang berusia sampai seratus lebih masih mendapati nenek buyutnya melakukan ritual adat tersebut, dan turun temurun diceritakan kepadanya sampai keanak cucunya.

Ritual adat massasaq ini hampir mirip dengan ritual adat di berbagai belahan dunia lainnya, Suku Aztec misalnya yang mendiami wilayah Meksiko sampai Amerika saat ini terkenal dengan ritual adat memberi persembahan korban manusia kepada dewa dewa yang dianggap sebagai rasa syukur atas panen, kesembuhan dan lain sebagainya, seperti halnya di wilayah Kalumpang ternyata ada juga ritual adat seperti massasaq ini sebagai persembahan kepada dewa dengan mengorbangkan salah satu anggota keluarga atau budak yang dimiliki yang sampai saat ini sering disebut sebut "diparrara" atau di kurbankan untuk menghindari angkara murka dewa atau penghuni tempat tempat yang dianggap dihuni oleh mahluk yang ghaib. Menurut cerita orang tua kami bahwa di Mamuju dahulu ada sebuah tempat pembuangan mayat yang telah dikorbangkan sehingga tempat tersebut terdapat banyak sisa sisa tulang belulang dan tengkorak manusia disebuah tempat yg sekarang di sebut Tambungkeng, di lingkungan Kasiwa. Entah apakah cerita tersebut benar atau tidak yang jelas memang banyak cerita cerita tersebut yg diceritakan oleh orang tua. Menurut narasumber kami ritual adat


Tengkorak Manusia yang jadi korban ritual adat
ini tidak banyak yang tahu khususnya di wilayah Mamuju karena dianggap tabu untuk dibicarakan oleh orang orang dahulu " jari itte todapaq ampunna melo marasa hasil pangumaang_na harus mattinjaq mako di dewa namassasaq batuanna" artinya jadi jika seseorang menginginkan hasil panen yang melimpah dalam usahanya bercocok tanam orang tersebut harus melakukan nazar (bernazar) akan mengorbankan budaknya. Adapun tradisi massasaq itu dilakukan dengan cara memberi makan kepada korban dengan "kande tobarani " ( makanan seorang pemberani), sampai korban tersebut akan merasa kerasukan dan tidak merasakan apapun, setelah diberi makan maka diundanglah seorang algojo atau eksekutor untuk melaksanakan tugasnya mula mula korban akan di tanya  algojo apakah dia siap jika anggota tubuhnya diambil " nakuala matammu, nakuala talingammu, nakuala aqbaqmu (saya akan ambil matamu, telingamu, kepalamu,) jika korban sudah mengiyakan maka sang algojo akan mulai mengiris satu persatu anggota tubuh korban tersebut sampai kepala dipenggal dan mati.

ihhh.. begitu mengerikannya ritual adat tersebut ..! sampai kami menanyakan ke narasumber bagaimana jika korban itu tidak siap dan berniat melarikan diri.? itu tidak akan mungkin karena kondisi pada saat itu korban sudah diberi makanan yang diberi mantra mantra yang mengakibatkan korban menurut saja, tutur narasumber kami bersemangat. kami pun melanjutkan pertanyaan lain karena waktu untuk wawancara sudah cukup. nah itulah sekilas yang dapat kami tuturkan adapun kebenarannya hanya tuhan yang tahu, Allahualam _(Arman Husan)

Senjata Tradisional


Di Indonesia kita kenal dengan berbagai suku - suku bangsa yang mendiami daerah daerah dan kepulauan dari Sabang sampai Merauke. Kumpulan senjata tradisional yang ada di Tanah Manakarra, disini disediakan berbagai macam senjata unik dari Mamuju yang merupakan senjata tradisional yang pada jaman dulu dipakai baik itu untuk perang atau sebagai pelengkap dalam kegiatan resmi seperti acara adat. Senjata tradisinonal ini sungguh unik dan sebagian sudah langka karena sudah jarang dimiliki oleh kebanyakan orang, akan tetapi senjata tradisional ini kini telah banyak dijadikan sebagai koleksi bagi pecinta barang antik dan banyak diburu oleh para kolektor. Berikut adalah jenis senjata Tradisional yang ada di Mamuju :
  1. Badik. Badik (dilafalkan badek) adalah senjata berupa sebuah pisau tajam dan runcing dengan pegangan yang melengkung. Bilah tajam digunakan untuk menikam, sementara ujung yang lancip digunakan untuk menusuk. Oleh karenanya senjata tradisional Sulawesi Selatan ini masuk dalam jenis senjata tikam tusuk. Badik sebetulnya tidak hanya ditemukan dalam budaya masyarakat suku Bugis, melainkan juga dapat ditemukan dalam budaya suku Makassar dan Mandar. Bentuknya yang mungil dan ukurannya yang pendek membuat senjata ini kerap dibawa kemanapun oleh para pria ketika bepergian. Selain berfungsi untuk menjaga diri dari serangan musuh atau hewan buas, juga dapat memberikan rasa aman kepada mereka.
  2. Passatimpo. Pasatimpo adalah sejenis keris yang bentuk hulunya bengkok ke bawah dan sarungnya diberi tali. Senjata ini sering digunakan oleh masyarakat setempat dalam tari-tari penyembuh yang berfungsi sebagai pengusir roh-roh jahat. Kini, Pasa timpo lebih sering digunakan dalam tari-tari kepahlawanan. Fungsinya hanya untuk membesarkan jiwa penarinya. Karena keris tidak digerakan tetapi cukup diikatkan saja pada pinggang penari sebagai hiasan. senjata tradisional ini adalah khas dari Sulawesi Tengah yang juga digunakan di Mamuju pada masa penjajahan Jenis Keris ini di pakai sebagai senjata dalam melakukan perlawanan di Mamuju, tentang keberadaan keris ini di Mamuju mungkin karena adanya hubungan kekerabatan keluarga bangsawan kerajaan Mamuju pada masa itu yang mengindikasikan adanya senjata serupa di Mamuju.
  3. Pamoras. Pamoras atau lela dalam bahasa Melayu merupakan turunan dari Cetbang adalah sejenis senjata api meriam buatan dari Masa Kerajaan Majapahit.Pada masa memudarnya kekuasaan Majapahit, banyak dari ahli meriam perunggu yang tidak puas dengan kondisi di kerajaan di Jawa yang lari ke Sumatra, Semenanjung Malaya dan kepulauan Filipina. Hal ini berakibat meluasnya penggunaan meriam Cetbang. Terutama pada kapal dagang untuk perlindungan dari bajak laut, terutama di Selat Makassar. Menurut catatan portugis yang datang ke Malaka pada abad ke-16, telah terdapat Perkampungan besar dari pedagang jawa yang diketuai oleh seorang Kepala Kampung. orang-orang Jawa di Malaka juga membuat meriam sendiri secara swadaya, dimana meriam pada saat itu sama bergunanya dengan layar pada kapal dagang. Meriam Cetbang Majapahit tetap digunakan dan dilakukan improvisasi pada zaman Kesultanan Demak, terutama pada Invasi Kerajaan Demak ke Malaka. Bahan baku besi untuk pembuatan meriam jawa tersebut diimpor dari daerah Khurasan di Persia utara, terkenal dengan sebutan wesi kurasani.Pada masa setelah Majapahit, meriam turunan cetbang di nusantara (terutama di daerah Sumatra dan Malaya) umumnya terbagi dalam dua tipe, yaitu :

    • Lela
    Meriam Lela berukuran lebih kecil daripada meriam Eropa, namun modelnya menarik. Banyak digunakan di kesultanan-kesultanan Melayu baik di semenanjung Malaya, Sumatra maupun Kalimantan. Meriam Lela tersebut digunakan di atas kapal-kapal dagang atau pun kapal perang kerajaan untuk menghalau bajak laut dan juga dalam perang maritim. Meriam lela juga digunakan dan dibunyikan pada saat upacara, misalnya dalam pengangkatan seorang raja, menerima tamu penting, melamar calon pengantin, dan menghormati kematian orang terpandang. Adalah istilah bahasa Melayu untuk jenis lela yang berukuran kecil, berlaras panjang dan terbuat dari besi. Istilah ini untuk membedakan dengan lela, versi ukuran normalnya. Senjata ini banyak digunakan pada abad ke-17 dan ke-18 di . Rentaka adalah meriam kecil yang berlubang laras halus (smoothbore) dan diisi dari lubang moncong laras (muzzle loading).
    Saat ini beberapa meriam cetbang Majapahit tersimpan di :

    1. Museum Bali, Denpasar, Bali. Meriam Bali kategori Cetbang ini terdapat di pelataran Museum Bali.
    2. Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika Serikat. Meriam yang tersimpan disana diperkirakan berasal dari abad ke 14, terbuat dari perunggu dan berdimensi 37,7x16 inchi atau panjang 0,96 meter dan lebar 0,4 meter.[5]

    Berbagai penemuan meriam cetbang era Majapahit juga terjadi di :
    1. Pantai Dundee, Northern Territory, Australia pada 2 Januari 2010. Dari hasil riset oleh Department of Arts & Museum, Northern Territory Government disimpulkan bahwa meriam kecil (swivel gun) yang ditemukan terbuat dari perunggu diperkirakan berasal dari abad ke-16, sebelum penemuan benua Australia oleh penjelajah Inggris James Cook. Setelah dibandingkan dengan meriam kecil lain dari Eropa maupun asia, meriam kecil tersebut lebih mendekati model meriam kecil dari Asia Tenggara (meriam Ternate, meriam makassar, meriam bali) dibandingkan dari model eropa. Sehingga terdapat kemungkinan meriam tersebut berasal kapal makassar/bugis yang terdampar atau mendarat untuk mengambil air bersih di pantai utara Australia.[6]



      Meriam kuno jenis cetbang yang ditemukan di Pulau Selayar (Foto: Sharben Sukatanya - Selayar)

    2. Dusun Bissorang, Kabupaten Kepualauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Terdapat peninggalan meriam kuno berjenis Cetbang yang diperkirakan berasal dari zaman Majapahit. Meriam ini dalam kondisi yang cukup baik dan dirawat oleh warga setempat. Warga setempat menyebut cetbang ini ba'dili atau Papporo Bissorang.
    Pamoras atau nama yang digunakan oleh orang Mamuju adalah sejenis Rantaka yang merupakan meriam genggam yang di gunakan dengan cara di tembakkan menggunakan proyektil peluru dari bahan logam atau benda-benda tajam, Pamoras dalam bahasa Mamuju berarti "Penyembur=Poras" yang dalam penelusuran kami menemukan penutur sejarah yang mengemukakan adanya senjata seperti ini digunakan oleh Pejuang pejuang untuk melawan penjajah Belanda. Rentaka digunakan umumnya dengan menancapkan pasak di bawah meriam (disebut "cagak") di sebuah standar, atau di gelindingan rodauntuk menjadi meriam portabel yang dapat dibawa di kapal-kapal dagang Melayu, atau juga di darat. Senjata ini dahulu digunakan untuk menandakan adanya perang di laut, dan juga sinyal untuk memulai dan mengakhiri puasa pada bulan ramadhan dalam kepercayaan agama Islam. Dalam adat kerajaan, meriam ini juga digunakan untuk mengumumkan kelahiran atau pernikahan dalam keluarga kesultanan saat itu.
  4. Jambia. Jambia adalah senjata khas dari negri Yaman di Timur Tengah adalah senjata sejenis belati yang melengkung dengan ujung yang meruncing,  ukuran senjata ini rata-rata 24,5 cm dan adapula yang lebih kecil lagi. jenis senjata ini merupakan senjata yang digunakan oleh masyarakat Arab, Pakistan dan India pada umumnya. di Indonesia senjata jenis ini umumnya di daerah Sumatra, Riau sampai Mentawai dengan sebutan Baladau  adalah senjata tikam dan sayat. Pisau memiliki punggung pusat. Tepi pemotongan adalah pada sisi cekung dari pisau. Gagang baladau ini terbuat dari kayu dan mengkilap, dengan ujung yang berbentuk menonjol seperti kacang. Para selubung biasanya terbuat dari kayu dan berbentuk oval di bagian lintas tengah. kehadiran senjata jenis jambia di Mamuju diperkirakan sejak abad ke 16 M. yang dibawa langsung oleh para pedagang dari Gujarat India dan dari Yaman Timur Tengah.
  5. Tumbaq 

Mallarung Rakiq


"Mallarung Rakiq " sebenarnya ritual adat ini telah ada sejak dulu dan dilakukan secara turun temurun oleh sebagian masyarakat pesisir pantai di kabupaten Mamuju, antara lain di bagian pulau karampuang dan pesisir bagian barat yaitu disekitar desa Bambu sampai pesisir Kecamatan Kalukku, sama halnya dengan ritual adat di sejumlah daerah di Indonesia yang lebih menonjol yaitu di daerah kepulauan Bangka Belitung dengan ritual Taber Laot atau biasa juga disebut Muang Jong. merupakan suatu kepercayaan masyarakat pesisir dengan adanya kekuatan yang mampu memberikan keselamatan maupun malapetaka yang berasal dari dalam lautan. dengan persembahan sesaji dan mantra.

Ritual Adat Arraungan Rakiq
Di Mamuju ritual adat ini dikenal dengan istilah " Mallarung Rakiq atau arraungang rakiq" karena wadah untuk melakukan ritual tersebut terbuat dari pelepah nipah yang kering diberi bentuk seperti miniatur perahu dan diisi dengan berbagai macam makanan sesaji kemudian di hanyutkan kelaut lepas dengan iringan syair dan matra-mantra, Ritual diisi dengan pertunjukan kesenian tradisional  seperti Hadrah, Pencak Silat, dan Meniti. Baru pada hari ke-2  ritual me-larung miniatur rumah perahu, lengkap dengan sajian berbagai makanan matang.

Ritual ini sudah jarang dijumpai lagi khususnya di Pulau Karampuang, menurut sumber yang sempat kami temui membenarkan ada ritual adat seperti ini pernah dikukan oleh tetua adat di Karampuang, hanya saja jika salah seorang warga masyarakat yang terkena penyakit keras dan dianggap kesambet atau dirasuki roh barulah orang tua mereka menyarangkan untuk melakukan ritual adat tersebut, tetapi dalam konteks hanya untuk memohon kesembuhan dari penyakit bukan untuk kepercayaan dan ritual rasa syukur dan keselamatan. ritual adat ini masih dipertahankan masyarakat adat pesisir seperti yang ada di daerah Sampit Kalimantan Tengah, dengan istilah Simah LautMacceratasi di Masyarakat Pesisir Kotabaru, Kalimantan Selatan,  Haroana Andala, Masyarakat Bone-Bone, Kota Bau-Bau, Pulau Buton Sulawesi Tenggara, Mappadensi, Suku Mandar yang tinggal di Sulawesi Tenggara, Nampo Tawar, Suku Bajo; Pulau Bungin, Kabupaten Sumbawa, Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Ritual Adat Arraunagn Rakiq yang dilakukan oleh masyarakat Penajam Kalimantan

Melalui ritual ini diharapakan warisan budaya bangsa, khususnya yang berkaitan dengan tradisi masyarakat pesisir dapat terpelihara dengan baik. Pada akhirnya akan meningkatkan pemahaman dan apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai tradisi yang terkandung dalam budaya pesisir pantai.-n Red. Arman husain

Sumber foto : Karang Taruna Sungai Parit  |Trimakasih Sdr. Asat Arum Sumaila.

(Masyarakat Mamuju yang tinggal menetap di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.)

Alat Musik Tradisional Mamuju

Alat musik tradisional yang cukup mudah ditemukan di Mandar adalah kepandaian masyarakat dalam memainkan kecapi mandar, keke (alat tiup yang terbuat dari bambu), rebana, gongga (alat pukul terbuat dari bambu), dan calong (alat pukul yang terbuat dari bilah bambu dan batok kelapa).


Kecapi Mandar atau disebut juga kacaping tobaine yaitu alat musik tradisional yang berasal dari  Poliwali Mandar. Bentuk kecapi mandar ini sekilas seperti miniatur perahu. Dibuat dari kayu dan memiliki 2 dawai.


1. KACAPI  ( Gitar Mandar- Mamuju )

Alat musik petik kecapi ini sudah sangat langka dan saat ini hanya ada 2 orang yang masih memainkannya yaitu Satuni dan kakak perempuannya, Marayama, yang berusia sekitar 81 tahun.Awalnya kecapi  dimainkan untuk "pelipur lara" untuk individu di rumah-rumah, kemudian berkembang menjadi hiburan untuk acara-acara sunatan dan perkawinan. Kecapi dimainkan dari rumah ke rumah, lorong ke lorong.

Untuk lagunya, ada tiga tema besar yang dibawakan, yaitu Tolo (yang berisi cerita kepahlawanan), Tere (nyanyian pujian pada orang), dan Masala (nyanyian religi). Uniknya, lirik yang dibawakan tidak terbatas. Pemain kecapi bisa spontan membuat lirik berdasarkan apa yang dia lihat ketika tampil atau disesuaikan dengan tema acara.

2. PAKKEKE



Pakkeke adalah salah satu alat musik tiup tradisional Mandar  yang mempunyai keunikan, yaitu selain dari bentuknya, keke juga memiliki kekhasan bunyi yang dihasilkan. Alat musik keke terbuat dari bambu yang berukuran kecil yang diujungnya terdapat daun kelapa kering yang dililitkan sebagai pembawa efek bunyi yang dihasilkan oleh alat ini.   Biasanya alat tiup tradisional jenis keke ini dimainkan di sawah atau di ladang milik warga untuk mengisi kesepian para petani saat menunggui ladang atau sawah mereka. Kini alat musik keke acapkali dimainkan untuk kepentingan seni pertunjukan dan dikolaborasikan dengan alat musik tradisional lainnya.

3. CALONG



Calong adalah alat musik tradisional yang berbahan dasar Buah Kelapa dan bambu . Biasanya alat musik Calong ini dimainkan secara solo, tetapi dalam perkembangannya mengalami kemajuan dan dapat dimainkan secara massal. Hal ini dapat terlihat pada pagelaran Musik Calong Massal yang dipersembahkan pada Pembukaan Pekan Olahraga Provinsi Sulawesi Barat Pertama  yang dilaksanakan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 2007. Bahkan yang tak kalah menariknya bahwa  alat musik inipun mulai dikolaborasikan dengan beberapa alat musik lainnya. Calong tidak jarang juga diusung ke atas  panggung pementasan musik secara kolaboratif.

4. GONGGA LIMA



Gongga lima adalah sebuah alat musik yang dibuat dari bambu, termasuk klasifikasi alat musik idiopon. Alat musik Gongga Lima dibunyikan dengan cara dipukulkan ke tangan. Secara bahasa, alat musik gongga lima terdiri dari dua suku kata, yakni Gongga dan limaGonggadiartikan sebagai alat itu sendiri sedangkan lima dalam bahasa Mandar adalah Tangan, jika dilihat dari pambagiannya, sangat memperjelas identitas serta eksistensinya yang menjelaskan bahwa  ke duanya membutuhkan satu sama lain.

Gongga Lima
Jenis Gongga lima  terdapat diwilayah balanipa hampir sama dengan alat musik parappasa dari Gowa Sulawesi Selatan, perbedaan Parappasa dengan Gongga lima  dapat dilihat dari penampilan alat itu, dalam pembuatannya bambu dibelah-belah kecil yang ukuran bilahannya hampir sama besar dengan pensil sehingga dalam penampilannya menyerupai sapu lidi, cara memainkannyapun tidak sama dengan Gongga lima, sebab ketika dimainkan alat ini dibenturkan kebenda lain untuk mendapatkan bunyi.

Minggu, 16 Juli 2017

Pakkanjilong, Riwayatmu Kini

Jika mendengar nama kesenian yang satu ini tentunya kita tidak banyak mengetahui secara pasti apakah kesenian ini masih tetap eksis atau telah punah ditelan jaman, 
Pada tahun 2016 yang lalu sebuah festival kebudayaan Sulawesi Barat yang di selenggarakan di salah satu Desa di Mamuju yang sangat terkenal akan obyek pariwisata baharinya yaitu Pulau Karampuang oleh Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Barat. 
Pakkanjilong berasal dari kata Kanjilong yaitu sebuah alat musik petik tradisional dari Mamuju, mengenai eksistensi alat musik kanjilong sendiri kini sudah dianggap hilang atau punah akibat kurangnya minat masuarakat Mamuju dalam menjaga dan melestarikan nilai nilai budaya mereka sendiri. 
Kanjilong adalah perpaduan seni tari tradisional Mamuju dan nama sebuah alat musik itu sendiri. Di kalangan masyarakat Mamuju sendiri seni tari ini mulai redup disebabkan kurangnya perhatian akibat kesalahan persepsi dan anggapan bahwa seni tari suku Mandar selalu hanya mengatasnamakan tari Pattudu semata.
Kanjilon kurang mendapat perhatian karena kesenian ini telah kehilangan bentuk yang sebenarnya. Seni gerak tubuh Pakkanjilon sebenarnya adalah berawal dari ritual adat Masyarakat pesisir dalam melaksanakan penghormatan kepada dewa dewa atau sebagai bentuk rasa syukur akan melimpahnya hasil laut yang mereka dapatkan. 
Begitu derasnya pengaruh kesenian moderen yang masuk ke masyarakat Mamuju seperti tari tarian kontemporer klasik dan kesenian dari wilayah Mandar lainnya sehingga banyak yang melupakan akan keberadaan kesenian asli daerah Mamuju sendiri. 




Minggu, 16 April 2017

Suku Binggi

Rumah itu seperti sarang burung di atas dahan pepohonan raksasa. Di balut kayu dan daun rotan yang kering, bangunan sederhana berbentuk kubus itu menyatu dalam alam Sulawesi Barat yang penuh keindahan. Pemiliknya adalah Suku Bunggu, suku yang mendiami pedalaman Mamuju Utara, kabupaten hasil pemekaran Mamuju. Suku ini mulanya bertahan hidup dengan pola hidup nomaden atau berpindah. Mereka akan mencari lahan yang subur untuk bercocok tanam dan meninggalkannya setelah musim panen. Makanan pokok mereka adalah singkong, sagu, dan jagung.

Rumah sengaja dibuat di atas pohon agar mereka terhindar dari binatang buas. Sekaligus sebagai tempat persembunyian dari ancaman pihak lain. Maklum, Suku Bunggu terbiasa hidup terasing, sehingga merasa terancam bila mengetahui kehadiran orang lain.

Bagi warga Pasangkayu, kecamatan di Mamuju Utara, Suku Bunggu dianggap pandai menyelinap dan menghilang di balik pohon dengan cepat. Mereka pun kerap dijuluki To Pambuni, sebutan bagi orang yang terasing tapi memiliki kekuatan gaib. Konon, nenek moyang suku Bunggu tidak berdarah Mandar, suku yang mayoritas di Sulawesi Barat. Mereka berasal dari Suku Kaili di Sulawesi Tengah yang mengembara ke pegunungan Sulbar.

Seiring dengan perkembangan zaman, dan hutan yang mulai menyusut akibat penebangan liar, hingga pembukaan lahan sawit. Mereka berlahan membuat rumah panggung yang lantainya hanya sekitar dua meter di atas permukaan tanah. Kebiasaan berpindah pun berangsung ditinggalkan.

Mayoritas Suku Bunggu kini memilih menetap di sejumlah desa di Mamuju Utara, seperti Desa Pakava, Desa Bambaira, Desa Sarjo, Desa Polewali, serta Desa Martasari. Di sana, mereka membangun rumah sederhana yang beratap rumbia, berdinding serta berlantai papan. Namun mulai tersentuh oleh teknologi dengan keberadaan radio dan televisi.

Desa Pakava adalah wilayah yang paling tersentuh dengan kemajuan teknologi informasi tersebut. Masuknya listrik ke wilayah itu membuat Suku Bunggu lambat laun membuka mata dengan perkembangan dunia. Pekerjaan utama bercocok tanam merambah ke tanaman produktif, misalnya kakao dan jeruk. Mereka pun cukup terbuka dengan masyarakat luar.

Tak salah bila Desa Pakava disulap menjadi pusat pesta adat Suku Bunggu. Pesta ini digelar sekali setahun antara Mei-Juni yang dilaksanakan selama tiga hari. Biasanya, pesta adat menjadi “reuni” Suku Bunggu baik yang sudah menetap di pedesaan maupun yang masih hidup berpindah di pegunungan. Pesta adat ini berisi bermacam acara, termasuk ritual memperingati kelahiran anak dan dilaksanakan secara bersamaan di atas Bantaya, sebutan rumah panggung berukuran dua kali lipat lebih besar dari rumah Suku Bunggu. Rumah yang tak berdinding itu semacam tempat pertemuan yang di buat di tengah desa.

Di dalam pesta adat, Suku Bunggu biasanya menampilkan tarian Ma’dero, semacam tarian tradisional yang melibatkan muda-mudi suku tersebut. Mereka membentuk lingkaran kecil, sedang, dan besar. Kemudian berputar secara melingkar mengikuti tabuhan gendang.

Keterbukaan dengan dunia luar membuat Desa Pakava kini menjadi obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi. Jangan khawatir, jalur transportasi sudah menembus wilayah ini. Dari pusat kota Mamuju Utara, bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat kurang lebih 45 menit. Kendati kondisi jalan belum sepenuhnya terawat dengan baik, kita tak akan bosan karena disuguhi pemandangan hutan yang lebat serta kebun kelapa sawit. Di pintu gerbang desa, mata akan tertuju pada tulisan, "Selamat Datang Di Desa Adat Pakava".