Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 Oktober 2021

Sengketa Tapal Batas Wilayah Kerajaan Mamuju dan Benawa Kaili




Raja Todiboseang memimpin pasukan Mandar Pesisir menyerang Kaili (Donggala). Awalnya, pasukan Mandar tidak yakin mampu mengalahkan pasukan Kaili. Lalu datang bantuan Maradia Bangge, Tomatindo di Barokbok, dan pasukan Kaili berhasil dikalahkan. Sebagian orang Mandar ditempatkan di Kaili. Raja Balanipa sakit dan meninggal di sana. Jenazahnya dibawa dengan perahu ke Mandar. Karena itu, dia dikenal dengan Todiboseang (orang yang didayungkan). (Syah 1992: 67-69).

Penyerangan ini bertujuan mempertahankan wilayah Mandar di utara. Peristiwa ini termaktub dalam Lontar Pattodioloang II. Perang bermula karena perselisihan batas wilayah, antara raja Mamuju dan raja Kaili. Raja yang pertama mengadu kepada raja Sendana dan Tapalang, kemudian diteruskan kepada Balanipa, Pamboang, dan Banggae. Setelah bermusyawarah, diputuskan untuk menyerang Kaili. Pasukan Mandar dipimpin raja Balanipa, Daeng Marrumpa Tomadio Disalassaqna. Selama berbulan-bulan perang, Kaili belum ditaklukkan. Pasukan Mandar mencoba bertahan di Lolomboju, sambil menyusun strategi dan waktu yang tepat untuk menyerang. Saat diserang, Kaili memutuskan untuk menyerah. Raja Kaili, Lamakkarau, bersama hadatnya menemui pimpinan pasukan Mandar di Lolomboju. Di sana kedua belah pihak bersepakat untuk berdamai. 


Setelah kesepakatan di Lolomboju, tidak terdengar konflik antara kedua pihak, Mandar dan Kaili. Baru awal abad ke-20, konflik batas wilayah terjadi lagi, antara raja Mamuju dan raja Banawa (Junarti 2011: 28). Menyikapi masalah tersebut, pemerintah Hindia Belanda menetapkan, dengan Surat Gubernur Sulawesi dan Daerah Bawahannya No. 308 tanggal 2 Mei 1904, batas wilayah kedua belah pihak di antara Suremana, Lalombi, dan Tanahmea (lihat peta 2).



Kedua pihak sepakat bahwa batas antara Palu dan Banawa di satu sisi serta Mamoedjoe di sisi lain dibentuk oleh Sungai Suramana, dari mulut ke hulu hingga jarak sekitar sepuluh paal [sama dengan 18.518,5 meter]. Batas tersebut ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Sulawesi No.17, tanggal 16 April 1906. Dari batas itu ke Selat Makassar ditentukan kemudian (Kolonial Verslag 1906: 60).

Sengketa perbatasan antara wilayah kerajaan Mamuju dan wilayah kerajaan Banawa ini sudah berlangsung lama, dimasa pemerintahan La Makagili (1889-1903) dikenal sangat keras dan dengan segala kebijakannya memicu kerusuhan di Tolitoli dan Mamuju, masalah tapal batas kembali mencuat dan kembali memanas diantara kedua wilayah yang berbatasan, setelah diadakan penyelidikan pada bulan November 1905, dengan keputusan pemerintah tanggal 14 Juni 1906 No.17 ditetapkan bahwa Sungai Suramana dari muaranya dianggap sebagai batas sepanjang kira-kira 10 tiang namun seiring waktu peraturan ini berakhir setelah diterbitkan sebuah Keputusan oleh Pemerintah Hindia Belanda No. 21 pada tanggal 10 Maret 1908 tentang penetapan batas wilayah antara Afdeling Mandar dan Afdeling Sulawesi Tengah yang baru.

Dalam peraturan itu menegaskan bahwa Perbatasan dengan Banawa berdasarkan garis sungai Surumana dari ujungnya sampai sekitar 10 km ke hulu. Namun pada sisi batas dengan wilayah pegunungan Palu dan Luwu belum ditentukan dan belum ada penentuan secara resmi, untuk itu pemerintah Hindia Belanda akan segera membentuk komisi perbatasan untuk proses penentuan tapal batas tersebut.

Dari daerah Karama ke arah selatan batas-batas pegunungan besar yang berbatasan langsung dengan Tabulawan, Arale dan Mambi bagian wilayah Rantepao dan masuk dalam wilayah kerajaan Mamuju.

Sesuai kesepakatan yang di tandatangani oleh beberapa Kerajaan yang berada di wilayah sulawesi Tengah antara lain Kerajaan Palu, kerajaan Banawa/Donggala, Kerajaan Dolo, Kerajaan Kulawi, Kerajaan Tabaku dan Kerajaan Banau yang masing-masing di wakili oleh Rajanya. 
Dihadapan Gezagheber Mamuju, K.W. Lakeman dan Controleur Palu, J. Husselman dan G.H. Ter Laag sebagai Controleur Van Palu menyepakati tapal batas antara kedua wilayah Afdeling Mandar (Mamuju) dan Benawa Kaeli Afdeling Sulawesi Tengah.



Berikut adalah kutipan keputusan penetapan tapal batas keduanya antara lain :
  1. Dari Muara Soengai Soeroemana hingga ke goenoeng Boboe jang tingginja +/- 70 M itoelah tebing tinggi jang pertama tepi kiri dari soengai soeroemana dan itulah jang pertama tampak pada orang kalau moedik dari soeroemana didalam soengai itu.
  2. Dari poentjak Goenoeng Bobosoe satoe baris loeroes kepoentjaak Goenoeng Datigo/107M/,kedoea goenoeng itoe ada bahagian penghabisan sebelah oetara dari barisan soengai soeroemana dan soengai pasangkajoe ,hampir selaloe selebar kerantau, maka semoea soengai2 jnag terdapat antara kedoea soengai itoe jang mana bermoeara di selat makassar,hoeloenja dari barisan goenoeng terseboet,dengan mengetjoealikan saloe Mosanga,jang langsoeng barisan goenoeng itu.
  3. Barisan Goenoeng jang terseboet menoeroet keloeroesan poentjaknja sehingga ke goenoeng Boelawa jang tingginja 166M
  4. Dari Goenoeng Boelawa Menoeroet pemandangan satoe baris loeroes ke goenoeng Polari, teroes sehingga baris itoe bertemoe dengan soengai Pasangkajoe.
  5. Dari Soengai pasangkajoe Moedik hingga ke Kabalaminti, jaitoe doesoen Totjang telah di tinggikan.
  6. Dari kabalaminti menoeroet pemandangan satoe baris loeroes arah ke selatan betoel, hingga bertemoe dengan soengai sloeminti.
  7. Dari saloeminti hilir hingga ketempat mana pertemoenja dengan saloe Tobi.
  8. Dari Saloe Tobi moedik hingga ke hoeloenja.
  9. Dari sitoe satoe baris loeroes hingga dimana titik temoenja dari soengai Koro, didalam teloek Kaloekoe.
  10. Dari soengai Koro moedik hingga ke-ekor barisan goenoeng jang sebentar akan diseboetkan jang mana ekor barisan goenoeng itoe terdapat sebelah barat daeri saloe ampe dan oleh soengai ini terpisahkan dengan ekor barisan goenoeng dimana lembah Pantalawi di Tobakoe.
  11. Menoeroet poentjak dari ekor barisan goenoeng itoe teroes poela dalam pegoenoengan ditempat pertjeraian air arah ke kiri dari tepi soengai Koro.
  12. Itoe barisan poentjak dari pegoenoengan jang terseboet akhir ini hingga ke titik sipat dari afdeling Mandar, Midden celebes dan Loewoe
Penetapan ini ditandatangani pada tanggal 19 september 1915.

Baru pada awal tahun 1919 dibentuklah komisi penentuan garis batas wilayah Afdeling Sulawesi Tengah dengan Afdeling Mandar (Mamuju) dan menyepakati Perjanjian Tapal Batas dengan Kerajaan Mamuju yang berada di wilayah afdeling Mandar melalui surat keputusan (PROCES VERBAAI) dengan nomor 34 tanggal 07 Maret 1919 pertemuan antara beberapa kerajaan yang berbatasan diadakan di Donggala Sulawesi Tengah. Yang ditandatangani oleh Controleur Van Palu, Controleur Donggala, raja Benawa, raja Dolo, raja Tobaku dan raja Benasoe dan raja Mamuju. 


Login


Kamis, 30 September 2021

Abdul Malik Pattana Endeng

H. Abdul Malik Pattana Endeng  adalah anak keempat dari La’ju Kanna I Doro atau yang digelar Tomantindo di Judda, Arajang Balanipa 1950 (1906-1927). Abdul Malik adalah adik kandung ibu Agung Hj. Andi Depu atau Hj. Sugiranna (pendiri KRIS Muda Mandar) yang secara kebetulan lahir pada tanggal 17 Agustus 1910 (kelak menjadi hari kemerdekaan Republik Indonesia).

Sosok yang satu ini adalah salah satu tokoh besar Balanipa-Mandar yang layak menyandang nama sebagai pejuang di tanah Mandar. Dan tak salah kalau disebut pahlawan pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia sebab hampir semasa hidupnya, rasa cintanya terhadap tanah air dan bangsa ini begitu dalam. Ia rela berjuang untuk dipersembahkan pada nusa dan bangsa.

Jejak-jejak perjuangannya bisa dilaihat ketika Bung Karno dan Muhummad Hatta yang dikenal Bapak Bangsa memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Diseluruh penjuru tanah air pun para pejuang kemerdekaan Indonesia menyambutnya tanda kemenangan itu.
Tak terkecuali di Mandar, para pejuang republik menunggu waktu yang tepat untuk menyatakan bahwa kita telah merdeka. Mereka hendak mengibarkan Sang Saka Merah Putih. Abdul Malik yang semasa pendudukan Jepang menjabat sebagai Keresidenan Pasangkayu di Mamuju telah tiba di Tinambung Balanipa.

Dalam struktur kerajaan Balanipa, ia duduk sebagai Mara’dia Malolo (panglima perang). Selain Abdul Malik, tiga tentara pejuang lainnya juga sudah tiba di Tinambung.Di antaranya, Mahmud, Mahmudi Syarif, Amin. Ketiganya adalah bekas Komandan Pleton Heiho dan telah siap mengatur dan memimpin barisan pemuda pejuang.

Ketika mereka telah berkumpul di Tinambung dan atau sekembalinya Abdul Malik dari Mamuju, maka atas kesepakatan mareka menunjuk dua bersaudara ibu Depu dan Abdul Malik sebagai pimpinan rakyat untuk berjuang. Sedangkan pendamping utama adalah Amin Daud dan Abdul Rachman Tamma.Dalam kumpulan tulisan kenanganku, yang ditulis oleh almarhum Abdul Rauf, pada hari kamis,18 Oktober 1945 ada empat tokoh datang dari Parepare.

Mereka adalah  La Nakka, M. Amin Dg. Sutra, Manangko, Abd. Samad Hanafi. Kedatangan empat tokoh ini ke TinambungBalanipaMandar, untuk menyampaikan salam perjuangan republik. Selain itu, juga meyertakan selembar kain merah putih bendera resmi Republik Indonesia yang telah dikibarkan di Jakarta yang dipimpin oleh Bapak Proklamator Indonesia, Ir. Soekarno.

Katanya, bila di Balanipa Mandar belum dikibarkan bendera merah putih, maka sekiranya bendera inilah yang akan kita kibarkan secara bersama-sama ditanah Mandar ini. Atas kesepakatan mereka, bendera itu dikibarkan di halaman rumah Ibu Agung Andi Depu/H.Abdul Malik, tempat markas komando perjuangan rakyat Mandar.

Source: Jejak-jejak Mandar

Selasa, 21 September 2021

Daftar Maradika (raja-raja) di Mamuju dan Tappalang.

Berikut adalah susunan atau daftar pemangku raja dikerajaan Mamuju dan Kerajaan Tappalang, disusun secara teratur menurut hasil penelitian dengan mengacu pada sumber sumber data yang terpercaya yang telah melewati proses verifikasi data baik yang bersumber dari data primer dan data sekunder. 
Berikut adalah susunan dan daftar pemangku kerajaan di Mamuju:



I. Daftar Maradika Mamuju :
1. Latanroaji (±1200).
2. Todipudendeanna (±1300).
3. Tomanurung ri warras (±1300).
4. Pue Todipali (1540-1560).
5. Tomejammeng (1560-1570).
6. Puatta di Mamuju (1570-1580).
7. Tomatindo di Sambayanna (1580-1608)
8. Tomatindo di Puasana (1608-1620)
9. Kunjung Barani (1620-1640)
10. Tomalluang Ceraq (1640-1645)
11. Tomatindo dibuttu Padja (1645-1660)
12. Puatta Karema (1660-1680).
13. Tonileo (1680-1700)
14. Pammarica (1700-1730)
15. Nae Sebang (1730-1760)
16. Ammana Kombi (1760-1790).
17. I Kombi Walu (1790-1830)
18. Tomessu ri lembang (1830-1840)
19. Tomampellei Kasugikanna (1840-1850)
20. I Panre (1850-1859)
21. Abd.Maalim Nae Lotong (1859-1860 )
22. Abd. Rahman Nae Sukur* (1860-1870).
23. I Samani Ammana Pajung (1870-1889)
24. Abd.Rahman Nae Sukur* (1890-1895).
25. Karanene (1896-1908)
26. A. Jalaluddin Ammana Inda (1908-1910)*
27. A. Maksum DAI

Keterangan & alias/ gelar:  
- 1. Penguasa pertama di Mamuju, cucu dari Tomassalili rangrang (raja Baras pertama)
- 2. Anak dari Latanroaji 
- 3. Cucu dari Todipudendeanna (Mrd. Mamuju). 
- 4. Anak dari Tomanurung ri warras.
- 5. Anak dari Pue Todipali (Mrd. Mamuju - Peserta Konferensi Tamajarra II).
- 6. Lasalaga, anak dari Tomejammeng (Mrd. Mamuju).
- 7. Anak dari Lasalaga Puatta di Mamuju (Mrd. Mamuju).
- 8. Anak dari Tomatindo di Sambayanna (Mrd. Mamuju)
- 9. I Laso Pitu Putra dari Tomatindo di Puasana (Mrd. Mamuju, Pamboang, Sendana). 
- 10. (Data Belum ditemukan)
- 11. I Para'para'bue (Mrd. Pamboang, menetap di Malunda) Putri dari Kunjung Barani (Mrd Mamuju, Sendana)
- 12. Tokarama' Cucu dari I Para'para'bue (Mrd. Pamboang, Mamuju)
- 13. Lebopang dibunuh oleh rakyatnya dan putranya melarikan diri ke Toli-toli (Sulteng).
- 14. Puang Marica (Arajang Balanipa) dilantik sebagai raja sementara kekosongan tahta akibat konflik dikerajaan.
- 15. Pallibolibo saudara dari Pammarica.
- 16. Anak dari Puatta Karema (Mrd. Mamuju).
- 17. I Kombi Walu dionang (Mrd. Mamuju, Sendana) anak dari Ammana Kombi (Mrd. Mamuju).
- 18. Lamattupuang Pattana Labandu/ Kapten Kalangkangan, cucu Puatta Karema (Mrd. Mamuju).
- 19. Daenna Samani/ Tomajanggu'/ Tomessu ri atapang, cucu Puatta Karema.
- 20. Toniallung diTappalang, Putri dari Tomampellei Kasugikanna (Mrd. Mamuju).
- 21. Malloangngi Daellotong, Suami dari I Panre bin Daenna Samani. 
- 22. Lamanuka, Putra dari Malloangngi *(periode ke 1).
- 23. Tojaguang, anak dari Saeni Ammana Tau (Mrd. Pamboang) + We Datu (Mrd. Sendana). 
- 24. Lamanuka, Putra dari Malloangngi *(periode ke 2).
- 25. Pue Sarasa/ Puaaji, Putra dari I Samani + We Tanggar Icci'na Pajung. 
- 26. Pue DAI, Putra dari Nae Sukur (Mrd. Mamuju). *Bestuurder Van Mamoedjoe 14 Juli 1910. 
- 27. Pue Maksum Putra Djalaluddin Ammana Inda (Mrd. Mamuju).
- *tahun masa kekuasaan adalah perkiraan berdasarkan periodisasi 30 tahun 1 generasi dan perbandingan antara Stamboom dan lontrak.


Sumber :
- NOTA VAN TOELICHTING op de overeenkomst met den vorst van Mamoedjoe en Tappalang, den 3den Februarij 1868 gesloten. Hal. 849
- (Arsip Makassar No.354:123).
- (Laporan Asisten Residen, Wijnmalen. 20 Mei 1860).
- VOORNAAMSTE HOOFDEN VAN INLANDSCHE ZELFBESTURENDE LANDSCHAPPEN. 497 (Onderafdeelingen Balangnipasche en Binoeangache Benedenlanden en Boven-Binoeang en Pitoe Oeloenna-zalo)
- Lontrak Balanipa Mandar (Terjemahan. A. M. Mandra, 1990)
- STAMBOOM VAN ABDULHAVID PATANA PANTENG MARADIA TAPALANG. 1936
-Silsilah hubungan kekerabatan raja-raja SulSel SulBar SulTeng Jawa dan Bali (A. Saiful Sinrang. Yayasan Kebudayaan Mandar Rewata Rio.1986)
- Rulers of Celebes, Wikipedia.(Polski)

Berikut adalah susunan Raja (Maradika) kerajaan Tapalang:

1. Gunung (Udung Bassi) 
2.  Tomampellei Kasugikanna (1840-1850)
3. Abdul Maalim Nae Lotong (1850 -1862)
4. Samani Tomessu riAtapang (1862-1864)
5. Tjakeo Dg Marriba (Tomanggong Gagallang Patta riMalunda) (1865-1867)
6. Abd. Rahman Nae Sukur (1867-1889)
7. Pabannari Dg Natonga (1889-1892)
8. Andi Musu Padua Limba (1895-1905)
9. Bustari Pattana Lantang (1908-1934)
10. Pattana Pantang Abdal Havid (1934-1936).


Sumber:
- NOTA VAN TOELICHTING op de overeenkomst met den vorst van Mamoedjoe en Tappalang, den 3den Februarij 1868 gesloten. Hal. 849
- (Arsip Makassar No.354:123).
- (Laporan Asisten Residen, Wijnmalen. 20 Mei 1860).




Login


Selasa, 20 Juli 2021

Mengenang Kembali Sejarah Kelam Pemberontakan DI/TII Di Mamuju (Bag. Terakhir)

Tanggal 10 September 1961 markas komando di Polewali memberangkatkan beberapa kompi BN.710 ke Mamuju dibawah pimpinan Andi Muhammad Tang (Arung Alitta). didampingi beberapa perwira seperti Andi wela, Letnan abu Nawas dan lainnya. Kota Mamuju saat itu benar benar terlihat seperti kota mati, hancur berantakan semua bangunan musnah tinggal puing puing kecuali sebuah masjid di daerah Kayulangka (Mesjid Muttahida) yang masih berdiri kokoh, hanya ada tenda tenda barak untuk sebagian masyarakat yang masih tinggal disana. Namun kehadiran BN 710 di Mamuju ternyata hanyalah taktik Andi Selle untuk melakukan pembelotan dan memanfaatkan kegentingan akibat kekacauan yang ditimbulkan DI/TII, intimidasi yang dilakukan BN 710 itu disebabkan pasukan dibawah pimpinan andi Selle tersebut memiliki jumlah personel cadangan yang lebih banyak dibanding tentara resmi, akibatnya untuk menggaji pasukan cadangan tersebut mereka harus melakukan pemerasan dan penindasan kepada rakyat, berbagai hasil bumi dan harta masyarakat Mamuju tidak luput dari mereka. 


BN.710 dengan jumlah pasukan kurang lebih 10.000 personil atau setara dengan 11 batalyon, yang sebagian besar anggota pasukannya tanpa NRP. Dengan jumlah pasukan sebanyak ini, tanpa sepengetahuan pemerintah pusat, tentu tidak menerima gaji. Namun komandan batalyon 710 berusaha menggaji sendiri pasukannya bahkan sampai mempersenjatai pasukannya atas biaya sendiri dengan senjata yang lebih modern dari TNI. Senjata dibeli dari hasil barter dengan kopra, kopi, rotan dan damar dengan pemasok senjata dari luar negeri terutama Inggris lewat Singapura dan Tawao, Kalimatan Utara. Sebagian senjata pasukan 710 di jual ke DI/TII. Pasukan sebanyak ini menguasai daerah yang sangat luas dari Kabupaten Pinrang sampai ke Mamuju. Mereka juga memonopoli ekonomi rakyat terutama hasil bumi berupa kopra, kopi, beras, rotan dan damar. Semua hasil bumi ini tidak boleh dijual ke pihak lain, hanya boleh dijual ke pasukan 710. Jika ada yang melanggar maka pelakunya akan dieksekusi mati, ternyata secara diam-diam Andi Selle kerja sama dengan Kahar Musakkar dan memberikan bantuan persenjataan kepada DI/TII. 

Tanggal 5 April 1964 Panglima Kodam XIV Hasanudin Kolonel M. Yusuf mengadakan inspeksi di daerah Pinrang. Dalam inspeksi ini M. Yusuf didampingi oleh pejabat Kepolisian lainnya yaitu Kombes Pol. Drs. Marjaman dari Depak, AKBP R.M Subono Syamsi yang mewakili Kepala Komisariat Sulawesi, KP. II. W.F. Taroreh yang merupakan staf Asisten II Komdak XVIII Sulawesi, dan beberapa perwira Angkatan Darat Lainnya. Mereka mencari dan mengejar bekas Letkol Andi Selle Matolla dan rombongannya karena telah mengkhianati M. Yusuf. Selain operasi yang berhasil menembak mati Andi Selle, pada tanggal 2 Februari 1965 Pleton Yon 330 Kujang/Siliwangi pimpinan Peltu Umar berhasil menemukan jejak Kahar Muzakar. Kahar Muzakar bersama dengan pasukannya ditemukan di tepi selatan sungai Lasol. Pada tanggal 3 Februari pasukan Peltu Umar dapat menembak mati Kahar Muzakar dan menangkap pasukan yang tersisa. Dengan kematian Kahar Muzakar, maka gerombolan DI/TII di Sulawesi dapat ditumpas dan Sulawesi dapat dikendalikan kembali.

Dalam Operasi KILAT di Mamuju pantai sebelah barat Sulawesi pada tanggal 17 Desember 1962, Batalyon 952 Resimen IX Brigade Mobil di bawah pimpinan I.P. I. HM. Dumalang dalam gerakan Operasi yang dikenal dengan Operasi CATUR PRASETYA telah berhasil merebut pusat kedudukan DI/TII yang dipimpin oleh Mayor DI/TII A.G. Sakti. Dalam operasi ini, sembilan orang anggota gerombolan tewas dan 84 orang anggota beserta senjatanya ditawan. Selain itu pasukan dapat merampas sebuah mesin diesel, sebuah agregat, dan tiga kapal masing-masing beratnya 30 ton. (Arman Husain -2018).

Referensi ;
- Memet Tanumidjaja. Sedjarah Perkembangan Angkatan Kepolisian. Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sedjarah ABRI. 1971, hlm.135.
- Awaloedin Djamin. Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia Dari Zaman Kuno Sampai Sekarang. Jakarta: Yayasan Brata Bhakti POLRI. 2007, hlm. 362.
- Sejarah Perjuangan Rakyat Mamasa, oleh; Alberth Allo
- Selayang Pandang Sejarah dan Adat Mamuju oleh H. I. Abd. Rahman Thahir, MPA. 2006.

Selasa, 13 Juli 2021

Azis Legenda PSM asal Mamuju

Azis Mustamin, lahir pada 2 Januari 1959 di Desa Katumbangan, Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar (Polman). Sejak SD, dia sudah bermain bola. Hingga memasuki SMP, dia kerap memperkuat tim sekolahnya dipertandingan sepakbola antar sekolah se-Kecamatan Campalagian setiap HUT Republik Indonesia. Tamat SMP, dia melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 4 Makassar. “Saya mau fokus menjadi pemain bola, punya pelatih dan punya klub, karena dikampung pada saat itu bermain saja tanpa bimbingan seorang pelatih. Makanya saya mau sekolah di Makassar,” ujar Azis yang hari itu mengenakan baju dan celana training adidas abu-abu.  Di SMA 4 Makassar, dia langsung ikut latihan bersama siswa sekolah lainnya, disinilah dia ketemu dengan dua rekannya Kardimin dan Mustafa Umarellah yang kemudian hari menjadi trio yang tidak dapat dipisahkan. Trio ini mendapat panggilan untuk bergabung dengan klub PS Budi Daya, yang tengah mempersiapkan timnya untuk kejuaraan Fatahillah Cup yang dilaksanakan di Lapangan Karebosi Makassar. Bersama PS Budi Daya, Azis Mustamin semakin menunjukkan kepiawaiannya, membuat pelatih PSM Junior segera merekrutnya, untuk mengikuti beberapa turnamen sepakbola yang dilaksanakan Komda PSSI Sulawesi Selatan (Sulsel).  “Sekolah saya jadi berantakan, karena lebih fokus di sepakbola. Saya jarang masuk sekolah. Uniknya, saya naik kelas,” kenang bapak lima anak ini sambil tertawa.

Azis Mustamin (jongkok, kedua dari kiri) bersama PSM Makassar do Divisi Utama Perserikatan 1983. Stadion Gresik Jawa Timur

Kondisi demikian, membuat kakak iparnya yang kebetulan dosen di salah satu universitas ternama, prihatin dan menegurnya, karena tidak ingin sekolah Azis terbengkalai gara-gara sepakbola.
Kecintaan Azis Mustamin pada sepakbola tak bisa dibendung. Itu membuatnya berhenti sekolah di SMA Negeri 4 Makassar dan memilih untuk hengkang ke Mamuju, mengikuti kakaknya yang sudah menetap di Jazirah Manakarra.
Di Mamuju, Azis Mustamin kembali lanjut bersekolah dan duduk di bangku kelas tiga SMA Negeri 1 Mamuju. Seperti saat masih di Makassar, tak ada yang bisa menghalanginya untuk urusan sepakbola. Sepulang sekolah, ia kerap latihan di Lapangan Merdeka Mamuju bersama pemain Persimaju lainnya, hingga kemudian masuk diskuad inti tim kebanggaan masyarakat Mamuju itu.
Bupati Mamuju saat itu, Atiek Soetedja, ingin melihat daerahnya maju dalam cabang olahraga sepakbola. Tak tanggung-tanggung, beliau mendatangkan Ramang (legenda Pemain PSM dan PSSI) untuk melatih Persimaju Mamuju. Disini Azis Mustamin semakin terbentuk, berkat sentuhan tangan dingin Sang “Macan Bola” yang melegenda tersebut.
Persimaju saat itu dihuni beberapa pemain diantaranya Hanafi, Arifin, Yusuf, Sudirman, dll. Tidak sampai setahun, dibawa asuhan Ramang, Persimaju Mamuju menjadi tim yang disegani di wilayah Sulsel. “Kami (Persimaju, red) sering mendapat undangan mengikuti beberapa turnamen di luar Kabupaten Mamuju, seperti di Bulukumba, Bantaeng, Parepare dan beberapa kabupaten lainnya,” terang Azis Mustamin. 

Kembali ke Makassar
Awal tahun 1981, Turnamen “Toddopuli Cup” berlangsung di Kabupaten Majene. Kompetisi ini diikuti beberapa tim dari kabupaten lain. Partai puncak dari turnamen tersebut mempertemukan kesebelasan PSM Makassar melawan Persimaju Mamuju. Match ini menjadi ajang reuni buat Azis Mustamin yang datang bersama Persimaju, karena beberapa rekan setimnya di PS Budi Daya dan PSM Junior juga hadir bersama Tim PSM Makassar, seperti Mustafa Umarellah, Kardimin, Hanafing dll. Laga final itu berkesudahan 2-1 untuk PSM Makassar, satu gol dari Persimaju dicetak oleh Azis Mustamin. Penampilan apik Azis Mustamin pada laga itu membuat pelatih PSM Makassar Suwardi Arland, langsung mendatangi Azis dan memintanya agar kembali ke Makassar untuk ikut seleksi di tim besutannya. 
“Peluang itu akhirnya datang, selangkah lagi bisa masuk di PSM. Bermain untuk PSM adalah impian saya sejak kecil. Kesempatan tidak akan datang dua kali, saya harus kembali ke Makassar,” urai bapak dari Zico dan Yeyen ini. Selang beberapa hari usai berlaga di Toddopuli Cup, Azis Mustamin langsung berangkat menuju Makassar, memenuhi panggilan coach PSM Makassar, Suwardi Arland. 

Azis Mustamin (jongkok, kedua dari kiri) bersama PSM Makassar, Divisi Utama PSSI 1985.


Bergabung di PSM Makassar
Sebelum seleksi tiba, Azis Mustamin kembali bergabung dengan klub asalnya PS Budi Daya, yang akan kembali mengikuti Kompetisi Divisi Utama PSM.
Dalam turnamen antar klub binaan PSM tersebut, PS Budi Daya berhasil keluar sebagai Juara 1, setelah di final menundukkan PS Bima Kencana, di Lapangan Karebosi Makassar. Sebagai tim juara dan menampilkan performa yang cukup apik selama kompetisi, trio PS Budi Daya: Azis Mustamin, Kardimin dan Mustafa Umarellah, melenggang mulus ke tim PSM Makassar tanpa harus melalui proses seleksi lagi. 
Jarang Bicara, Garang di Lapangan
Semasa memperkuat PSM Makassar, Azis Mustamin dikenal sebagai pemain keras. Karakter ini memang sudah menjadi ciri khas tim yang bermarkas di Stadion Mattoanging tersebut. Hal itu dibenarkan oleh Josef Wijaya, pemain berdarah keturunan, yang merupakan tandem Azis Mustamin di lini belakang PSM Makassar. Dalam perbincangan singkat penulis via telepon seluler dengannya, Josef Wijaya mengatakan bahwa rekannya tersebut dikenal sebagai bek hebat dan tangguh. Dia menjadi salah satu bagian penting di skuad “Pasukan Ramang” kala itu.
“Beliau orang yang sangat baik, santun. Kalau di mess sukanya pakai sarung, sedikit bicara, tapi kalau di lapangan tidak kenal kompromi saat berduel dengan pemain lawan. Dan kerasnya bukan main,” kenang Josef Wijaya yang semasa merumputnya dikenal dengan sebutan “Tembok Putih”.

Juara Tanpa Mahkota
Selama di PSM Makassar, momen paling berkesan menurut Azis Mustamin adalah pada saat PSM Makassar lolos ke enam besar Kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1985. Enam klub yang lolos ke Stadion Utama Senayan Jakarta kala itu. Masing-masing, PSM Makassar, Persipura Jayapura, Perseman Manokwari, Persebaya Surabaya, Persib Bandung, dan PSMS Medan. Saat itu PSM Makassar, mengalahkan Persib Bandung 2-1, yang diperkuat oleh Robby Darwis, Ajat Sudrajat dan Sobur. Sementara di laga berikutnya menundukkan PSMS Medan yang dihuni sederet bintang seperti M. Sidik, Sunardi dan kiper Timnas Indonesia Ponirin Meka, dengan skor 1-0. “Namun uniknya justru Persib dan PSMS yang lolos ke Final. Kami kalah selisih gol dari Persib, padahal sama-sama mengoleksi enam poin. Sementara PSMS lolos ke final dengan mengantongi tujuh poin,” tutur Azis. “Saat itu juaranya adalah PSMS Medan, melalui adu tendangan pinalti, setelah di waktu normal bermain imbang 2-2 dengan Persib. Sementara PSM Makassar hanya finis di urutan ketiga, dan pulang dengan istilah juara tanpa mahkota,” kenangnya. 

Terpilih di Tim PON Sulsel
Selain memperkuat PSM Makassar, Azis Mustamin juga terpilih sebagai atlet untuk kontingen Sulsel pada cabor sepakbola yang berlaga pada PON XI Jakarta 1985.
Menariknya, pada tahap seleksi Pra PON yang dilakukan dua tahun sebelumnya, dia bersaing dengan Achmad Djauhari di posisi bek kiri. Alm. Achmad Djauhari adalah pemain idola Azis Mustamin saat masih membela PSM Makassar. Dia senior juga berasal dari Mandar.
Tentang Achmad Djauhari, masih penelusuran informasi untuk ulasan kami berikutnya. Dalam seleksi itu, pelatih menempatkan Azis di bek kiri, padahal posisi aslinya adalah bek kanan. Sementara di posisi tersebut, dia harus bersaing dengan bek gaek Achmad Djauhari yang merupakan pemain yang sangat dihormatinya. Karena ditunjang fisik dan stamina yang prima, Azis Mustamin terpilih dalam seleksi tersebut. “Saya hanya bilang, maaf senior. Dan beliau justru bangga dan memberikan motivasi kepada saya, karena yang menggesernya adalah saya, sama-sama berasal dari tanah Mandar,” kenangnya. 

Pulang dan Mengabdi di Mamuju
Usai berlaga di Divisi Utama Perserikatan dan PON XI 1985, Azis Mustamin memilih untuk pulang kembali ke Mamuju. Awal masuk di PSM Makassar tahun 1981. Dan sebagai bentuk penghargaan dari Pemerintah Sulsel, dia diangkat menjadi PNS tahun 1983 dan SK penempatannya di Dinas Penerangan Kabupaten Mamuju.
Meskipun tercatat sebagai PNS, Azis Mustamin tak bisa melepas kecintaannya pada sepakbola. Setiap pulang dari kantor, ia kerap memanfaatkan waktu yang ada untuk melatih anak-anak di Lapangan Merdeka Mamuju.
Tahun 1995, ia didapuk untuk melatih Persimaju Mamuju pada kompetisi Liga Sulsel, setelah itu, baru memilih untuk pensiun dari aktifitas bola.
“Kunci sukses adalah fokus, berani mengambil sikap, dan kemajuan sepakbola suatu daerah pembinaannya tidak boleh setengah-setengah,” kata bapak yang tengah menikmati masa purna tugasnya sejak 2017 yang lalu ini. (*)
Catatan oleh: Yudi Sudirman

Artikel ini juga termuat di Radar Sulbar edisi. Senin, 22 Maret 2021.

Kamis, 08 Juli 2021

Penandatangan Kontrak Pemicu Konflik Mandar dan Belanda 1862

Gambar Penandatanganan Korte verklarin

Ketidakpatuhan kerajaan-kerajaan di Mandar atas ketentuan-ketentuan dalam kontrak politik yang telah ditandatangani, menjadi salah satu penyebab pemerintah kolonial Belanda melancarkan agresi militer atau penyerangan terhadap Mandar pada 1862. Penyebab lainnya adalah penolakan mereka membayar tuntutan ganti rugi kepada pemerintah kolonial Belanda atas sejumlah perompakan di Mandar (Lapian,1987:215). Bersamaan dengan pengesahan kontrak politik tersebut, gubernur jenderal dalam keputusan rahasia pemerintah pada 18 Agustus 1850, menyampaikan bahwa suatu wewenang seperti yang dimaksudkan dalam surat gubernur Sulawesi pada 5 Juni 1850 Nomor 149, tidak dapat diberikan. Akan tetapi tindakan untuk mempertahankan dengan sarana yang ada dan diterapkan dengan penuh kebijakan, tidak akan dilarang (Arsip Makassar No.354:123).

Sambil menunggu jawaban dari gubernur jenderal, gubernur Sulawesi sebenarnya telah mengirimkan misi ke Mandar sebelumnya. Misi yang dipimpin oleh Kapten Noorduyn, komandan kapal Zwaliuw bersama Ajun Sekretaris Urusan Pribumi Wijnmalen berhasil membuat kontrak politik dengan para penguasa Mandar. Kontrak politik dengan Kerajaan Balanipa, Majene, Binuang, Pambauang, dan Sendana dibuat di Balanipa pada 30 Mei 1850. Raja-raja atau para mara’dia dari empat kerajaan tersebut kemudian diwakili oleh anggota pemangku adat mereka masing-masing. Sementara kontrak politik dengan Kerajaan Mamuju dan Tapalang yang berada di bawah pemerintahan seorang mara’dia, Abdul Malem Daeng Lotong, dilakukan di Mamuju pada 10 Juni 1850. Keberhasilan dari pengiriman misi ini tidak terlepas dari pengaruh Karaeng Katangka, saudara raja Sidenreng. Karaeng Katangka menyertai kapal perang itu dengan perahu-perahunya sendiri dan berhasil membujuk para penguasa Mandar untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi selama ini dan demi kepentingan penyelesaian kontrak politik dengan pemerintah kolonial Belanda (Arsip Makassar No.354:122; Poelinggomang, 2002:80). Kontrak-kontrak politik tersebut, kemudian disetujui oleh gubernur Sulawesi pada 1 Juli 1850, dan disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 18 Agustus 1850 (Arsip Makassar No.354:123). 

Sekretaris Urusan Pribumi Wijnmalen kembali dikirim ke Mandar untuk menyampaikan kontrak politik yang dibuat pada 1850 dan disahkan oleh gubernur jenderal tersebut, kepada raja-raja atau para penguasa Mandar. Pengiriman Wijnmalen ke Mandar ini, juga terkait dengan meninggalnya Mara’dia Balanipa Ammana I Yangge Tomatindo DiLekopadis pada 1951. Meskipun sebagian anggota dewan pemangku adat sappulo sokko menghendaki putra Tomatindo  Di Lekopadis yang bernama Baso Saunang bergelar Tokeppa menggantikan ayahnya sebagai mara’dia Balanipa. Namun atas kesepakatan dewan ada’ kaiyang (hadat besar) yang berwewenang dalam pemilihan dan pengangkatan mara’dia di Balanipa, ternyata memilih dan mengangkat Ammana Ibali (Maulana Passaleppa) menjadi mara’dia Balanipa menggantikan Tomatindo Di Lekopadis. Berdasarkan pasal 20 kontrak politik tahun 1850, bahwa mara’dia Balanipa yang baru dilantik diharuskan menandatangani kontrak politik dengan pemerintah kolonial Belanda. Kontrak politik yang ditandatangani oleh Mara’dia Balanipa Ammana Ibali pada 29 Juni 1951 tersebut, kemudian disetujui oleh gubernur Sulawesi pada 18 Juli 1851 dan disahkan oleh gubernur jenderal pada 14 September 1851 (Arsip Makassar No.354:124; Syah,1992:94).

Baca juga: 

Sementara itu, arung Binuang menyatakan tidak tahu sama sekali tentang kontrak politik yang dibuat dengan pemerintah kolonial Belanda, karena mara’dia Balanipa tidak mengirimkan kontrak politik yang telah disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ditujukan kepada Kerajaan Binuang. Mara’dia Balanipa mengemukakan alasan mengenai persoalan itu karena menduga bahwa kontrak politik ini akan dikirim oleh komandan Raders ke Binuang. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda mengirimkan sebuah tembusan kontrak politik yang telah disahkan gubernur jenderal kepada arung Binuang. Disamping itu, persoalan lainnya di Kerajaan Binuang adalah arung Tonyamang diketahui telah menguasai barang-barang milik orang Arab yang berasal dari Parepare. Atas permohonan karaeng Mangeppe, arung Binuang dan arung Buku menyerang  arung Tonyamang sampai dia menyerah atas tuntutan yang diajukan kepadanya. Arung Buku mengirimkan seorang wanita bebas ke Makassar yang telah dijual orang di Tonyamang, tetapi olehnya tetap ditahan untuk dikembalikan ke Makassar (Arsip Makassar No.354:132-134). Mara’dia Balanipa Ammana Ibali mendapat tugas untuk menyampaikan dan menyerahkan kontrak-kontrak yang telah disahkan kepada para penguasa Mandar lainnya. Oleh karena wabah penyakit kolera sedang melanda Mandar, sehingga Sekretaris Urusan Pribumi Wijnmalen merasa tidak tepat untuk mengunjungi daerah-daerah lain. Namun dalam perkembangannya, ternyata maradia Balanipa diketahui tidak mengirimkan atau menyampaikan kontrak politik yang dibawa oleh Wijnmalen tersebut kepada raja raja lainnya di Mandar (Arsip Makassar No. 354:130) Bahkan kerajaan ini dianggap sebagai “biang keladi” dari sejumlah persoalan dan ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah kolonial Belanda dengan kerajaan-kerajaan di Mandar. Salah satu diantara konflik internal yang dimaksudkan adalah konflik  antara Mara’dia Balanipa Ammana Ibali dengan mara’dia matowa (koordinator pemangku ada’ sappulo sokko) Balanipa yang bernama Tokeppa. Tokeppa yang biasa juga disebut dengan KeppangE, adalah salah seorang putra dari mantan Mara’dia Balanipa Ammana I Yangge  Tomatindo Di Lekopadis dan kemenakan penguasa Balanipa saat itu (Ammana Ibali yang biasa juga disebut dengan Maulana Passaleppa), bangkit menentang dan melawan Mara’dia Balanipa Ammana Ibali. Gerakan perlawanan Tokeppa bersama para pendukungnya mencapai puncaknya pada 1861. Tokeppa dibantu oleh mertuanya mara’dia Pamboang, dan sebagian rakyat Balanipa mengangkatnya sebagai mara’dia Balanipa. Demikian pula dengan mara’dia Sendana, putra mara’dia Pamboang saat itu, juga ikut mendukung dan bahkan membantu gerakan perlawanan Tokeppa (Arsip Makassar:354:134).

Sesungguhnya konflik antara Tokeppa dengan Ammana Ibali mulai muncul ketika Mara’dia Balanipa Tomatindo Di Lekopadis meninggal pada 1851. Konflik mereka itu antara lain disebabkan karena Tokeppa yang juga berhak menduduki tahta Kerajaan Balanipa dan atas dukungan dari sebagian anggota pemangku adatsappulo sokko (sepuluh pejabat atau pemangku adat) menginginkan dan berupaya agar Tokeppa diangkat menjadi mara’dia Balanipa. Namun ketika itu dewan ada’ kaiyang (adat besar) yang terdiri atas empat negeri besar (appe banua kaiyang) ternyata memilih dan mengangkat  Ammana Ibali menjadi mara’dia Balanipa. Untuk meredam konflik di kalangan adat pattola payung Balanipa tersebut, maka atas persetujuan anggota pemangku ada’sappulo sokko, Mara’dia Balanipa Ammana Ibali kemudian mengangkat Tokeppa menjadi mara’dia matowa Kerajaan Balanipa. Tokeppa diangkat menjadi mara’dia matowa pada 1853, menggantikan mara’dia matowa Balanipa sebelumnya yang bernama Tomusuq Dimanyamang (Mandra,1992:122;  Syah,1992:93).
 
Meskipun Tokeppa telah diangkat menjadi mara’dia matowa, tidak berarti bahwa konflik antara kedua belah pihak telah berakhir. Bahkan konflik itu berlanjut terus hingga tahun 1860-an, karena para pendukung mara’dia matowa tetap  berupaya untuk menurunkan Mara’dia Balanipa Ammana Ibali dan mengangkat Tokeppa menjadi mara’dia Balanipa. Salah satu sebabnya karena perbedaan sikap terhadap hubungan Balanipa dengan pemerintah kolonial Belanda. Tokeppa dan para pendukungnya tidak hanya menentang dengan keras terhadap Belanda, tetapi juga terhadap sikap Mara’dia Ammana Ibali yang bersedia menerima dan menandatangani kontrak politik yang amat merugikan bagi Balanipa. Ammana Ibali dianggap terlalu lemah karena bersedia bekerjasama dengan pemerintah kolonial tersebut. Atas perlawanan itu, Tokeppa kemudian diberhentikan sebagai mara’dia matowa oleh Mara’dia Ammana Ibali pada 1861. Ia kemudian digantikan saudaranya yang bernama Tokape (mara’dia malolo atau paglima perang Balanipa) menjadi mara’dia matowa Balanipa (Arsip Makassar No.354:140).
 
Sesuai dengan ada’ assimemangan (adat dan kebiasaan) di Balanipa, bahwa mara’dia Balanipa hanya dapat mengangkat atau memberhentikan seorang mara’dia matowa apabila mendapat persetujuan dari dewan pemangku adat sappulo sokko atau dewan ada’ kaiyang (adat besar). Pada mulanya Mara’dia Matowa Tokape tidak menunjukkan sikap pertentangan atau konflik dengan Mara’dia Ammana Ibali, tetapi lama kelamaan benih-benih konflik itu juga terkuak ke permukaan. Oleh karena Tokape secara diam-diam mendukung pendahulunya Tokeppa, yang senantiasa melakukan perlawanan dan merupakan penentang yang gigih terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dalam lontara Mandar antara lain dikisahkan bahwa Tokeppa tidak sudi kepada Belanda dan terus mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial itu di Mandar (Mandra,1992:125). Sikap keras Tokeppa dan para pendukunganya terhadap Belanda tersebut, menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya konflik dengan pemerintah kolonial Belanda. Itulah sebabnya pemerintah kolonial Belanda dalam perkembangannya memutuskan untuk melancarkan serangan militer terhadap Mandar. Namun, sebelum  serangan militer itu dilancarkan, pemerintah kolonial terlebih dahulu mengajukan tuntutan kepada Balanipa, yaitu sebagai berikut:
a. Pemulihan atas segala keluhan yang ada;
b. Ganti rugi atas tuntutan yang diajukan atau ditimbulkan karena perompakan pantai; 
c. Segera mengirimkan seorang utusan yang merupakan anggota pemangku adat, dengan tujuan untuk meminta maaf atas apa yang terjadi dan juga untuk membuat sebuah kontrak baru, yang berlandaskan pada apa yang belakangan ini dibuat bersama semua kerajaan lain. Oleh karena itu, gubernur Sulawesi diberi wewenang ketika tuntutan itu tidak ditanggapi atau dipatuhi, dengan sarana yang ada dibawahnya, baik kekuatan maritim maupun militer untuk memenuhi tuntutan itu atau dengan pendudukan (Arsip Makassar No.354:137). Tindakan tegas tersebut dilakukan dengan ketentuan bahwa setelah penaklukan terhadap Mandar, terutama Balanipa segera ditinggalkan, dan tidak segera dilakukan penghancuran. Akan tetapi kepada raja-raja dan pemangku adat diberikan batas waktu beberapa hari untuk menyerahkan diri. Apabila raja serta pemangku adat dalam batas waktu yang ditetapkan tidak mau menyerahkan diri, maka penghancuran terhadap kekayaan mereka akan dilakukan. Namun sedapat mungkin hak milik rakyat atau warganya akan diselamatkan (Arsip Makassar No.354:137).
 
Untuk melaksanakan keputusan pemerintah kolonial Belanda tersebut, maka dikirimlah suatu ekspedisi militer di bawah pimpinan Letnan Kolonel van Daalen ke Mandar. Ekspedisi militer ini bertujuan untuk melakukan tindakan tegas terhadap kerajaan-kerajaan di Mandar yang telah melakukan pelanggaran terhadap kontrak politik yang telah ditandatangani sebelumnya, terutama terhadap Balanipa apabila tidak memenuhi semua tuntutan yang diajukan (Nooteboom,1912:503-535). Asisten Residen Noorderdistricten (Distrik-distrik Bagian Utara) menyertai ekspedisi militer yang dikirim ke Mandar untuk menyampaikan atau menyerahkan tuntutan kepada Mara’dia Balanipa Ammana Ibali pada 4 Agustus 1862. Demikian juga terhadap arung Binuang yang tidak hanya dituntut agar raja membayar seluruh hutangnya, tetapi juga mengembalikan sebuah perahu yang telah ditahan oleh arung Binuang, karena orang-orang Salemo telah berhutang uang kepadanya. Sementara terhadap Kerajaan Pamboang dan Sendana diserahkan ultimatum yang menuntut agar mara’dia Pamboang dan mara’dia Sendana segera meninggalkan sikap permusuhannya kepada Mamuju dan menghentikan atau mengakhiri semua pertentangan yang terjadi selama ini. Selain itu, mara’dia Pamboang juga masih dituntut agar mengembalikan uang f 400 yang dituntut dan diperoleh dari Mamuju, karena tindakan itu tidak sesuai dengan keinginan gubernur Sulawesi (Arsip Makassar No.354:138).

Meskipun demikian, sebuah kontrak baru dapat dibuat bersama dengan tiga anggota pemangku adat Balanipa yang hadir di Makassar. Namun sebelum kontrak itu dibuat, Letnan Melayu Tajoedin dikirim ke Balanipa untuk meminta suatu kesepakatan dengan maradia Balanipa atas nama pemangku adat. Akan tetapi usaha ini juga tetap tidak berhasil. Sementara itu, gubernur Sulawesi memperkenankan pemangku adat Binuang, Pamboang, dan Sendana yang telah hadir dan berkumpul di Makassar untuk mengajukan permohonan maaf atas sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan tersebut terhadap pemerintah kolonial Belanda, terutama terhadap kontrak politik yang telah ditandatangani sebelumnya. Pada saat yang bersamaan kontrak baru diajukan dan dibuat dengan Kerajaan Majene, Binuang, Pamboang, dan Sendana pada 14 Oktober 1862. Kontrak ini antara lain membahas tentang penolakan pengaruh asing di Mandar (pasal 3). Sementara pasal 20 menguraikan tentang memberikan hak kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengambil alih pemerintahan atas Mandar dalam kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh kerajaan-kerajaan tersebut. Ketentuan dalam pasal 13 dalam kontrak dengan Mandar juga diperluas hingga mencakup orang Timur Asing (Arsip Makassar, No. 354:140-141).

Kontrak politik tersebut ditandatangani oleh para anggota pemangku adat dari masing- masing kerajaan. Kerajaan Majene diwakili oleh Jerami pabbicara Pangaliali sebagai pengganti dan kuasa dari mara’dia Majene, Massiara pabbicara Totoli, Hasang pabbicara Banggai, dan Kajang papuangan Totoli sebagai anggota pemangku adat. Kerajaan Binuang diwakili oleh Magga Daeng Silasa sebagai pengganti mara’dia (arung) Binuang bersama  Dg Mangatie pabbicara kerajaan. Kerajaan Pamboang diwakili oleh Jerino Daeng Malaba papuangan Pamboang sebagai wakil pengganti mara’dia Pamboang bersama pemangku adat Pamboang. Kerajaan Sendana diwakili oleh Matto Ambo Cetto papuangan Puttada sebagai pengganti mara’dia Sendana dan pemangku adatnya  (Pemda,1991:183,189,191, dan 196).  
Kemudian menyusul pula dilakukan kontrak politik dengan Kerajaan Mamuju dan Tappalang, yang bertepatan dengan pengukuhan Nae Sukur sebagai mara’dia Mamuju pada 31 Oktober 1862 (Arsip Makassar, No. 354:135). Nae Sukur, menantu Mayor Kalangkangan  dipilih dan diangkat menjadi mara’dia Mamuju oleh pemangku adat Mamuju untuk menggantikan ayahnya Mara’dia Mamuju Abdul Malem Daeng Lotong. Bersama Mamuju dan Tapalang kontrak baru dibuat dan ditandatangani oleh masing-masing kerajaan, yaitu Kerajaan Mamuju oleh Nae Sukur mara’dia Mamuju dan pemangku adatnya, dan Kerajaan Tapalang oleh Cakeo Daeng Mariba pabbicara Tapalang sebagai pengganti mara’dia Tapalang dan pemangku adatnya (Pemda,1991:90 dan 95; Saharuddin,1985:58). 

Setelah melakukan kontrak politik dengan kerajaan-kerajaan tersebut, pemerintah kolonial Belanda kini memusatkan perhatiannya pada Balanipa. Oleh karena itu, Gubernur Sulawesi Kroesen berangkat bersama pasukan menuju Mandar pada pertengahan Nopember 1862. Dua hari setelah itu rombongan ini tiba di Balanipa. Gubernur Sulawesi segera mengirim utusan untuk menemui Mara’dia Balanipa Ammana Ibali dan meminta pemangku adat Balanipa bersama mara’dia Balanipa menghadap gubernur. Mara’dia Balanipa bersama anggota pemangku adatnya memenuhi perintah itu dan meminta maaf pada gubernur. Semua persoalan antara Balanipa dengan pemerintah kolonial Belanda yang terjadi selama ini karena perbuatan mantan Mara’dia Matowa Tokeppa (Arsip Makassar No.354:142; Nooteboom,1912:530). Berhubung karena Mara’dia Balanipa Ammana Ibali dianggap tidak layak lagi untuk memerintah akibat faktor usia, maka pergantian mara’dia dibicarakan bersama para anggota inti pemangku adat Balanipa (pabbicara kaiyang, pabbicarakenje, papuangan Limboro, dan papuangan Biring Lembang). Atas kesepakatan anggota inti pemangku adat Balanipa, putra sulung Mara’dia Balanipa Ammana Ibali yang benama Mararabali (La Tonrabali) yang juga sebagai mara’dia Majene dipilih dan diangkat menjadi pelaksana tugas mara’dia Balanipa. Padahal yang berhak dalam pemilihan dan pengangkatan seorang mara’dia di Balanipa adalah dewan ada’ kaiyang (adat besar). Meskipun demikian, pilihan itu tetap diterima dan Mara’dia Mararabali berjanji akan segera mengakhiri segala persoalan atau konflik antara Balanipa dengan pemerintah kolonial Belanda.  Oleh karena itu, Mara’dia Mararabali bersama anggota pemangku adat Balanipa diharapkan dalam waktu dekat berangkat ke Makassar untuk menandatangani atau membuat kontrak baru dengan pemerintah kolonial Belanda (Arsip Makassar No.354:143). 

Mara’dia Mararabali mengajukan permohonan penundaan keberangkatan ke Makassar, dengan alasan untuk terlebih dahulu menebus keris pusaka Balanipa yang telah dijaminkan. Permohonan penundaan dikabulkan, tetapi uang tebusan itu tidak diberikan. Sementara itu, Mara’dia Tokeppa yang melarikan diri ke pedalaman bersama sebagian pendukungnya menyerahkan diri pada 20 November 1862. Gubernur Sulawesi  kembali ke Makasar pada 29 November 1862. Para anggota pemangku adat Balanipa berangkat dengan kapal Berkel ke Makasar, untuk meminta maaf dan membuat sebuah kontrak baru dengan gubernur. Pemangku adat Balanipa diterima oleh gubernur Sulawesi pada 6 Desember 1862. Mereka meminta maaf atas sejumlah pelanggaran terhadap kontrak yang dilakukan oleh penguasa Balanipa (Nooteboom,1912:535; Saharuddin,1985:57).

Saat itu, kontrak baru dibuat pula bersama anggota pemangku adat Balanipa yang biasa disebut dengan adat sappulo sokko. Mereka itu terdiri atas Mannang (Pabbicara Kaiyang), Muhammad (Pabbicara Kenje), Loppus (Papuangan Limboro), Ahmad (Papuangan Biring Lembang), Caca (Papuangankoyang),  Dullah (Papuangan Lambe), Mallu (Papuangan Tenggeleng), Labaco-baco (Papuangan Luyo), dan Paju (Papuangan rui) sebagai duta mara’dia Balanipa (Pemda,1991:181; Rahman,1988:293).  Kontrak politik dengan Balanipa tersebut, berbunyi sama seperti kontrak politik yang dibuat dengan Binuang, Majene, Pamboang, dan Sendana pada 14 Oktober 1862, serta kontrak politik dengan Tappalang dan Mamuju pada 31 Oktober 1862. Ketujuh kontrak politik itu kemudian disahkan dengan keputusan pemerintah kolonial Belanda pada 24 Maret 1863 (Pemda, 1991:181-196; Arsip Makassar, No. 354:143-144). Bersamaan dengan penandatanganan kontrak politik oleh pemangku adat Balanipa tersebut, mereka juga menyampaikan kepada gubernur bahwa Mara’dia Balanipa Ammana Ibali telah menyatakan mengundurkan diri secara resmi dan menyerahkan tahta pemerintahan kepada putranya La Tonrabali (Mararabali), yang juga sebagai mara’dia Majene. Pemangku adat Balanipa tidak merasa keberatan dan meminta persetujuan gubernur Sulawesi atas pilihan tersebut. Oleh karena itu, gubernur Sulawesi memberikan persetujuannya pada 8 Desember 1862. Persetujuan gubernur Sulawesi dalam persoalan ini kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui Keputusan Pemerintah pada 24 Maret 1863 (Arsip Makassar No. 354:144). 

Persetujuan dan pengesahan Pemerintah Kolonial Belanda atas pengangkatan Mararabali menjadi mara’dia Balanipa tersebut, tampaknya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan (Arfah dan Amir, 1993:82).Oleh karena pemilihan Mararabali sebagai pelaksana tugas atau calon mara’dia Balanipa hanya dilakukan oleh anggota pemangku adat Balanipa (ada’sappulo sokko), dan bukan oleh anggota dewan Ada’ Kaiyang (adat besar) yang berhak memilih dan mengangkat atau melantik serta memecat seorang mara’dia di Kerajaan Balanipa. Selain itu, juga karena berdasarkan ada’ assimemangan (adat dan kebiasaan) di Balanipa bahwa seorang ana’ pattola payung yang telah terpilih menjadi calon mara’dia diwajibkan mencari atau memperkaya pengalamannya dimasyarakat, terutama ia harus memperlihatkan tingkah laku yang terpuji di masyarakat. Itulah sebabnya selama masa pencalonan atau sebelum pelantikan secara defenitif, calon mara’dia tetap terus menerus diamati tingkah lakunya oleh rakyat melalui kejadian-kejadian alam yang ada hubungannya dengan keamanan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Kejadian atau peristiwa yang dianggap baik akan membawa calon mara’dia pada pelantikan defenitif. Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka calon mara’dia tidak dapat dilantik dan dewan adat yang berwenang dalam hal ini akan mencari calon lain (Rahman, 1988:223-225). Oleh karena situasi keamanan dan ketertiban dalam  kerajaan saat itu tidak stabil atau kurang kondusif sehingga Mararabali tidak pernah dilantik menjadi mara’dia Balanipa. Itulah sebabnya jika dicermati silsilah raja-raja Balanipa, nama Mararabali tidak tercantum dalam daftar atau susunan sebagai mara’dia Balanipa.
Login


Rabu, 28 Agustus 2019

Napak Tilas Legenda Musik Daerah Mamuju (Wardi Taeni)

Jaman sekarang begitu banyak dan begitu mudahnya kita menikmati hiburan apa saja, dengan kemajuan tekhnologi dan informasi seperti sekarang ini, dengan mudahnya kita menemukannya,  film, musik, game dan berbagai info didunia lain kita dengan cukup satu klik di browser dan situs situ internet. Di dunia musik pun tidak jauh berbeda, sekarang telah merambah ke era digital dgn segala fasilitas kemudahan untuk akses ke seleruh dunia. Lagu lagu daerahpun kini telah mengalami transformasi kedunia digital.


Berbicara lagu daerah Mamuju tentunya saat ini tidak jauh berbeda dengan perkembangan musik lainnya, di Mamuju sendiri industri lagu lagu daerahnya sudah sangat berkembang dan itu tidak terlepas dari pada orang orang yg terlibat didalamnya, baik itu penyanyi, pencipta lagu, grup musik, even organizing dan lainnya.

Ada begitu banyak pelaku seni di Mamuju, termasuk artis penyanyi daerah, dan jika kita ingin mengenal bagaimana napak tilas perkembangan lagu daerah Mamuju dari awal sebelumnya, kita tentunya akan mengenal salah seorang penyanyi legendaris Mamuju yang punya andil besar dalam perkembangan industri musik di Mamuju.

Siapa yang tak kenal dengan sosok yang satu ini, seorang perintis di dunia musik lagu daerah Mamuju dia adalah Wardi, Wardi Taeni memulai debut sebagai penyanyi daerah Mamuju sejak menginjak usia remaja dengan bakat bernyanyi yang cukup mumpuni dan memiliki karakter vokal melengking tinggi, dalam debut kariernya Wardilah yang pertama kali mempelopori munculnya album lagu lagu daerah di Mamuju dengan kesuksesannya pada penjualan album perdana Lagu Mamuju bertitel "Tobeong" beberapa lagu yang terkenal saat itu seperti O Mamuju, Indo pembolongangku, Mobau, Durian di Anjoro Pitu dan O'..Pulo Karampuang.

Wardi menuturkan bahwa awalnya dia bernyanyi sebagai vokalis digrup Band Daerah milik pemerintah Kabupaten Mamuju bernama Anantakupa. Wardi mulai bergabung sejak tahun 80an, bersama beberapa penyanyi lainnya seperti Studiwaty, Sudirman AS dan lainnya. Sedangkan awal bernyanyi di dapur rekaman hanyalah secara kebetulan saja, pada saat itu sebuah Orkes Dangdut  dari Wonomulyo Polewali yaitu Astri Nada mengadakan pertunjukkan musik di Istana Theater (bioskop lama)  di Mamuju kala itu, saat itu Wardi yang ada disana sebagai penonton di undang oleh protokol acara (mc) untuk bernyanyi lagu daerah ke atas panggung dan Wardi memilih membawakan lagu Mamuju berjudul Oo..Mamuju dan Oo Pulo Karampuang dan kemudian diminta menyanyikan lagu dangdut dan Wardi sukses membuat penonton terpukau dengan membawakan lagu Muchsin Alatas berjudul Nurlela, kebetulan diantara penonton itu hanya Wardi yang bersedia untuk bernyanyi seperti yang diminta oleh protokoler dan sejak itulah dia mulai berkenalan dengan pimpinan Astri Nada yang kemudian memintanya untuk bergabung dalam grup Band tersebut dan mengajak Wardi mulai berkeliling daerah sebagai penyanyi panggung hiburan.

Pada akhirmya Wardi dipanggil ke Makassar untuk rekaman lagu lagu daerah Mamuju untuk pertama kalinya di tahun 1986, album tersebut berisikan lagu lagu daerah Mamuju seperti: Indo Pembolongangku, O..Pulo Karampuang, Durian di Anjoro Pitu, Uru Cinna, O..Mamuju, Mobau dan lagu Tobeong adalah lagu yang juga diciptakan oleh kakaknya sendiri yaitu Sarifuddin Taeni bersama Syarifuddin Azis dan beberapa lagu ciptaan Drs. Ali Fahuddin, Abdul Muthallib Kampil, Burhanuddin Borahima S.sos, Andi Maksum DAI dan lainnya. Dan album ini adalah album lagu lagu Mamuju yang pertama kali masuk dapur rekaman dan penjualan album ini terbilang sangat booming saat itu.

Setahun kemudian atas inisiatif Sudirman AS. Wardi sempat ditawari rekaman kedua namun sempat terkendala, sampai beberapa tahun lamanya Wardi tidak lagi membuat album  dan hanya bernyanyi dipanggung hiburan dan menciptakan lagu daerah Mamuju. Dan baru pada tahun 2007 lalu kembali membuat album keduanya dalam format VCD dan CD dan kembali menjadi album terlaris saat itu dengan lagu "Sijanji".

Wardi adalah pelopor penyanyi lagu daerah Mamuju  kini menjalani kesehariannya dengan membuka usaha kost kosan dan memiliki Grup Musik Elekton sebagai usaha penghasilan hidupnya. Wardi sebagai penyanyi daerah yang telah melegenda dan seorang penyanyi bersuara emas dari Mamuju wajib kita berikan apresiasi atas talentanya sebagai pelopor penyanyi lagu daerah di Mamuju. (Arman Husain. 2019)

Jumat, 19 Juli 2019

Mamuju Dalam Catatan Dalton 1827-1828

Sejak ditandatanganinya Perjanjian antara Belanda dan Kerajaan Britannia Inggris pada 17 Maret 1824 yang dikenal dengan Treaty Of London atau Traktat London. Penguasa Hindia Belanda di Singapura Sir Thomas Stamford Rafflesia membuat kebijakan perdagangan bebas yang membuat pemerintah Hindia Belanda harus memberi kebebasan kepada para pedagang dari berbagai penjuru Asia bebas berdagang di Singapura, ini kesempatan  pemerintah Kerajaan Britannia mulai melakukan eksplorasi kesemua bagian wilayah Hindia Belanda untuk kepentingan monopoli dagang.

Seorang Pedagang dan Pengelana John Dalton yang pernah datang mengunjungi wilayah Mamuju, setelah mengunjungi Coti (Kutai) di Kalimantan Timur, Dalton juga sempat mengunjungi beberapa wilayah lain di Nusantara seperti Makassar, Bali, Kepulauan Nias dan beberapa wilayah asia tenggara lainnya seperti; Philipina (kep.sulu) Siam, China dari tahun 1824.


Buku, Notice Of Indian Archipelago And Adjacent Countries.
J. H. Moor. In Published Singapore Chronicle 1831




Dalton meninggalkan Singapura pada 1827 dengan menggunakan 15 perahu dagang milik Sultan Kutai pada 3 Oktober 1827 dan memutuskan untuk mengunjungi Kutai sebuah wilayah di Pantai Tenggara Kalimantan setelah mendapat surat rekomendasi dari pemerintah Singapura untuk Raja Kutai. Dia ditemani oleh seorang pengelana yang berkebangsaan Denmark bernama Hecksler  yang terlebih dahulu pernah berkunjung dan tinggal di berbagai wilayah di Kalimantan beberapa waktu lamanya.

Setelah berhari hari mengalami berbagai kesulitan diperjalanan dan diburu Bajak Laut, akhirnya Dalton tiba di Muara Sungai  Kutai pada 7 Desember 1827 dan melakukan perjalanan selanjutnya melalui sungai sampai ke Tenggarong sampai 11 Desember. Setelah berbulan bulan lamanya Dalton merasa tidak betah lagi di Kutai dan akan segera meninggalkan Kerajaan Kutai karena sering berhadapan dengan masalah perampokan dan penyerangan namun Sultan Kutai menahan agar mereka tetap tinggal. Ini dikarenakan Sultan takut mereka berdua ini telah banyak mengetahui yang dirahasiakan oleh Kerajaan kepada pemerintah Hindia Belanda mengenai misteri kematian salah seorang Perwira Belanda Kapten Muller di pedalaman Kutai 3 Tahun sebelumnya dan akhirnya Dalton membuat keputusan untuk berunding dan membuat perjanjian dengan Sultan Kutai dan akhirnya Sultan Kutai membiarkan Dalton meninggalkan Kerajaan Kutai dan bertolak ke Sulawesi melalui jalur terdekat yaitu ke Mamuju. Dalton tiba di Mamuju pada awal bulan Desember 1827. Setelah diterjang Badai dan Angin Barat dalam waktu yang cukup lama di laut, kapal Dalton akhirnya berlabuh dipelabuhan Kerajaan Mamuju.(Arman Husain 2019)





Sumber : John Dalton, Notice Of Indian Archipelago And Adjacent Countries. J. H. Moor. In Published Singapore Chronicle 1831 
Login


Kamis, 16 Mei 2019

Mamuju Dalam Catatan Dalton 1827-1828 Bag. II


Mamuju adalah sebuah perkampungan besar diwilayah pesisir barat Sulawesi yang bertopografi dataran tinggi dan rendah. Wilayah sepanjang utara bagian barat sampai selatan adalah deretan pegunungan dan perbukitan dengan hutan dan tumbuh berbagai jenis tanaman subur. Disepanjang pesisir pantai dan daratannya tumbuh dengan subur kelapa yang menjadi komoditas perdagangan penduduk yang paling utama selain sagu. Sagu adalah makanan pokok penduduk Mamuju kala itu. Mamuju saat itu yang jumlah penduduknya hanya berkisar 2500 orang kepala keluarga, pada malam hari terlihat cahaya terang dari rumah- rumah penduduk diatas perbukitan dan dekat pantai, mereka membakar kayu atau api unggun sebagai penerangan. Terlihat perikehidupan penduduk Mamuju ini sangat mirip dengan beberapa suku bangsa yang ada di Nusantara mereka hanya mengandalkan sumber makanan dari bercocok tanam dan melaut. Terlihat kala itu masih terdapat kesamaan dengan orang – orang pedalaman Kalimantan seperti dalam berpenampilan menggunakan perhiasan atau manik-manik dan memakai senjata tajam tradisional tapi tidak memiliki praktek dalam ritual adat mereka memburu dan memotong kepala musuh seperti orang Dayak di Kalimantan.

Laporan John Dalton "Mamoodjoo In Mandhaar" 1827-1828


Pada bulan November 1827 satu bulan sebelum kedatangan Dalton ke Mamuju telah terjadi pembakaran dan perampokan di daerah ini, seorang kepala perampok bernama Sindana (?) bersama - sama dengan komplotannya membakar sebahagian besar rumah- rumah  penduduk. Beberapa orang terbunuh dan menangkap kurang lebih 300 orang yang sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan ditawan dan sebagian dijadikan budak.  Bahkan selama Dalton menetap di Mamuju selama 10 minggu, wilayah Mamuju telah didatangi dua kawanan perompak lainnya yang satu berasal dari Kaili dan lainnya berasal dari Pambowan Mandar, setelah sebelumnya rumah-rumah penduduk yang terbakar dan sebagian penduduk kembali setelah melarikan diri ke pegunungan, mereka harus kembali dirampok dan dijarah oleh para perampok dari Kaeili, mereka menembaki kampung ini dan mengambil setiap perahu nelayan yang ditambatkan dipantai. Mereka berjumlah hingga 134 kapal dari berbagai ukuran menakut-nakuti penduduk Mamuju dengan tembakan meriam dari pantai, sampai pada saat itu tiba pula perompak dari Pambowang Mandar dan berhasil mengusir perompak dari Kaeli ini. Namun perompak ini tidak jauh berbeda dari yang lainnya, mereka memaksa Raja Mamuju untuk mengumpulkan harta benda penduduk, sebagai bentuk upah atas jasa mereka mengusir perompak dari Kaeli. Para perompak ini menggunakan bendera kerajaan Belanda sebagai bentuk penyamaran agar penduduk tidak curiga sebelumnya dengan menyangka bahwa kapal – kapal ini adalah milik kerajaan Belanda yang sedang berlayar.

Mereka tidak pandai menanam Padi disebabkan belum ada pengetahuan mereka bersawah seperti kebanyakan masyarakat di Kaili dan Kalimantan, penduduk Mamuju hanya mengandalkan sagu sebagai bahan makanan pokok yang memang tumbuh subur ditanah ini, beberapa kawasan ke Tenggara, Timur dan Selatan di kampung Mamuju adalah hutan pohon sagu yang tumbuh subur memanjang sejauh mata memandang. Dan kebanyakan itu adalah milik Raja dan menyewakannya kepada penduduk untuk dikelola kemudian sebahagian hasilnya diserahkan kepada Raja Mamuju setiap tahunnya sedangkan beras adalah makanan mewah yang hanya dapat diperoleh dengan membeli dari pedagang yang datang dari Kaili, Passier dan Kutai, walaupun beras tersebut kualitasnya sangat rendah tapi tetap merupakan bahan makanan yang mahal dan tidak semua keluarga mampu untuk membelinya, diperkirakan hanya sekitar 250 keluarga yang bisa mengkomsumsi beras. Hanya orang – orang yang mampu membeli gabah itupun mereka hanya mengkumsumsi beras setelah kapal – kapal dagang dari Kaili merapat kepantai Mamuju, adapun beras yang biasa datang dari Passier atau Kutai (Kalimantan) yang biasa membawa beras dengan kualitas yang bagus namun harganya sangat mahal, sehingga sagu tetap menjadi pilihan untuk dijadikan makan pokok penduduk Mamuju.

Aktifitas ini merupakan profesi sebahagian besar penduduk pribumi asli suku Mamuju, mereka merawat dan mengumpulkan hasil panen sagu ini kepada para bangsawan dan orang kaya Bugis yang ada di Mamuju dan memperoleh upah atas kerja mereka seperti; garam, gula, perhiasan, dan kain dan bagian atas sagu yang mereka kelola. Waktu terbaik biasanya mereka mengelola sagu yang sudah berumur 8 dan 10 tahun sampai 35 tahun, karena jika sudah lewat dari periode itu maka pohon sagu akan membusuk dan berulat. Pohon sagu yang berumur sepuluh tahun akan tumbuh sampai ketinggian 27 kali dan 5 sampai 8 kaki dari pangkal pahon akan terus menerus dapat di panen selanjutnya selama 2 sampai 3 bulan, yang biasanya tebal sagu telah mencapai 3 sampai 5 inchi sesuai kualitas tanah tempat tumbuh pohon.

Selain sagu, kelapa adalah tumbuhan jenis palem yang paling banyak tumbuh diwilayah ini dan menjadi komoditas unggulan dalam aktifitas perniagaan masa itu, hampir disepanjang pesisir pantai Mamuju banyak tumbuh kelapa selain kuantitas juga kualitas kelapa dari wilayah Mandar utamanya di Mamuju adalah kelapa yang paling banyak dicari oleh pedagang- pedagang lokal. Selain kualitasnya yang bagus harga kelapa di Mamuju juga murah sampai 200 real perbiji, lebih murah dari kelapa di wilayah Kaeili yang berkisar 300 sampai 350 real dan harganya lebih mahal lagi jika kelapa masih muda dibanding kelapa yang tua. Hampir setiap penduduk di Kampung ini memiliki aset tanaman ini dan menjadi barang unggulan untuk dipasarkan. Bahkan masyarakat Mandar kala itu telah mampu membawa barang dagangan mereka sendiri keberbagi wilayah untuk dipasarkan seperti ke Kalimantan, Makassar bahkan sampai ke Singapura.

Penduduk Mamuju juga telah mengenal cara menangkap ikan dan mengambil kerang-kerangan dilaut untuk dijadikan bahan makanan pendamping sagu (lauk). Pribumi Mamuju bukanlah pelaut ulung seperti penduduk dari daerah Mandar lainnya, mereka hanya suka berdagang dan bercocok tanam dan tidak mahir dilaut. mereka mengumpulkan kerang-kerangan, kepiting dan ikan laut pada saat air terjadi pergantian pasang surut laut disepanjang pantai. Ini dilakukan pada saat bulan purnama ketika air laut surut mereka menggunakan sampan kecil dan kebanyakan yang melakukan adalah perempuan dan anak-anak. Hasil tangkapan mereka kadang kala dijual kepada Raja bahkan kepada kalangan bangsawan dan orang – orang Bugis yang lebih kaya, walaupun dijual dengan harga yang sangat murah tetapi mereka tak punya pilihan selain itu demi mencukupi kebutuhan hidup mereka untuk mendapatkan sedikit kebutuhan dapur seperti; garam, gula dan tembakau, yang biasa didapatkan dari pedagang yang datang dari Makassar dan Kaeili. Mereka membeli kebutuhan mewah seperti beras dan gula hanya ketika akan melangsungkan acara-acara seperti perkawinan ataupun kelahiran seorang anak. Selain berdagang kelapa biasanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga sudah mahir membuat kain tenunan (sarung) yang biasanya dikerjakan oleh kaum perempuan dan keluarga yang memiliki budak akan membantu mereka membuat tenunan sepanjang hari yang akan dijual seharga 2 real atau 4 Rupee perhelai kainnya.

Di Mamuju kebiasaan menghisap candu (opium) sudah ada sejak dahulu, bahkan ini adalah kegiatan yang sangat rutin dilakukan oleh para bangsawan dan keluarga kerajaan kala itu. Ketika seorang utusan yang datang dari Makassar membawa surat, dia harus menunggu selama 2 hari untuk mendapatkan balasan surat dari Raja, agar raja benar-benar sudah sadar dari rasa mabuk opium. Komsumsi candu ini hanya terbatas pada kalangan yang mampu membelinya saja seperti bangsawan dan kaum kaya saja. Konsumsi opium di Mamuju adalah 5 sampai 6 peti pertahunnya, harga perpeti biasanya 2000 sampai 2400 real perkeranjang/ peti. Dikatakan dalam catatannya bahwa Raja dan beberapa bangsawan dan keluarganya memiliki harta kekayaan berupa emas yang banyak dan memiliki fasilitas hidup yang sangat mewah. Ini dikarenakan di beberapa bahagian wilayah kerajaan Mamuju terdapat banyak tambang emas milik keluarga Raja  yang akan diserahkan pada Raja 10 sampai 20 persen setiap tahunnya. Emas ini juga dijual ke Singapura dan Penang dengan harga 23 sampai 25 real perbuncal (?) di Singapura 30 Dolar / 78 Rupee Jawa. Salah seorang saudara Raja menawarkan kepada Dalton bahwa dia mampu membayar 10.000 buncal emas hanya dalam waktu 5 hari saja, dalam bentuk bongkahan dan serbuk jika mereka bisa mendapatkan senapan, meriam buatan Palembang, mesiu dan 5 peti opium.

Emas ini digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan seperti: opium, mesiu Amerika, musket, gilingan dan barang lainnya berupa senjata meriam palembang (Lantaka). Untuk mesiu buatan Amerika ini mereka dapatkan dari Passier seharga 45 real perbarel/pikul yang biasanya harga bubuk Mesiu ini 30 hingga 90 Real/ Pikul, Senapan seharga 7 Dollar. Namun seringkali mesiu ini berapapun banyaknya hanya terbengkalai tidak digunakan oleh mereka walaupun telah dibeli dengan harga yang sangat mahal bahkan mereka akan menjualnya kembali ke Kaili atau ke tempat lain di Mandar. Sedangkan untuk candu (opium) mereka membeli dalam jumlah yang banyak untuk mereka konsumsi beberapa bulan kedepannya. Sepertinya kebutuhan candu dan mesiu lebih diprioritaskan dibanding dengan kebutuhan dasar lainnya sehingga kekayaan emas yang mereka simpan kadang mereka simpan hanya untuk membeli kedua barang ini. Tentang melimpahnya emas di Mamuju ini selalu mereka rahasiakan kepada orang – orang dari luar utamanya kepada perompak demi keselamatan awak kapal yang berlayar membawa dagangan ke Singapura. Berita ini juga dirahasiakan kepada para pedagang dari luar, pihak Belanda dan Inggris, karena jika mereka tahu akan kekayaan ini mereka tidak akan segan –segan akan menguasai Kerajaan ini, dan benar saja banyak perompak yang mengincar emas emas ini dengan menghancurkan dan menghabisi penduduk Mamuju saat itu demi harta berupa emas yang berlimpah disana. (Terjemahan dan penulisan oleh Arman Husain 2019)

Sumber : John Dalton, Notice Of Indian Archipelago And Adjacent Countries. J. H. Moor. In Published Singapore Chronicle 1831.




Login


Jumat, 14 Desember 2018

Tintilingang legenda Dari Mamuju

Dalam tradisi lisan masyarakat Mamuju kita sering mendengar nama Tintilingang yang menjadi sosok legenda Tobarani (jagoan) dari bumi Manakarra ini. Namanya yang kini diabadikan sebagai nama salah satu jalan di lingkungan Kasiwa di Kelurahan Binanga Kecamatan Mamuju ini bagi masyarakat penduduk asli Mamuju pasti pernah mendengar dan tahu bagaimana kisah kehebatan Sang Jawara tersebut. 

Dikisahkan bahwa sosok Tintilingang ini berpostur tubuh kecil dan berkulit hitam dan memiliki kesaktian yang tinggi dan merupakan pendekar tak tertandingi dikalangan Tobarani dikerajaan Mamuju. Tidak banyak informasi tentang sosok ini hidup di masa siapa raja yang berkuasa saat itu, kuat dugaan bahwa beliau hidup di masa kejayaan kerajaan Mamuju yaitu Maradika Tomatindo disambayanna atau Lasalaga di tahun 1500.M. 

Ilustrasi gambar Tintilingang


Tintilingan hanyalah nama gelar yang disandangkan padanya yang berarti "PanTinting Talingang" yang diartikan dengan "orang yang menenteng telinga", digelar dengan Pantinting Talinga karena dikisahkan bahwa setiap telinga musuh musuh yang dikalahkan dalam perjalanannya akan dipotong dan diikat pada seutas tali dari kulit kayu kemudian dibawa pulang ke Mamuju sebagai pembuktian kepada Maradika Mamuju bahwa baginya tidak satupun jagoan mulai dari kerajaan Gowa sampai ketanah Mandar yang mampu menandingi kesaktiannya. 

Diceritakan bahwa suatu saat dimasa itu Raja Mamuju diundang oleh raja Gowa untuk datang menghadiri suatu gelaran adat di Kerajaan Gowa dan raja Mamuju pun berniat datang menghadirinya dengan membawa serta beberapa punggawa dan anggota keluarga kerajaan. 

Dan sebagai seorang punggawa kerajaan tentunya Tintilingang tidak mau ketinggalan untuk hadir, namun keinginannya itu tidak mendapat restu dari raja karena raja tahu bahwa Tintilingang punya sifat tempramen dan suka berkelahi dengan siapapun yang dianggapnya sok jagoan. Alhasil raja pun menolak Tintilingan ikut dalam rombongan tersebut.

Singkat cerita rombongan kerajaan Mamuju pun telah sampai dipelabuhan Gowa dengan perahu besar beserta Punggawa dan keluarga kerajaan, tapi alangkah kagetnya mereka tiba tiba sesosok manusia melompat keluar dari bawah buritan perahu yang tak lain adalah Tintilingang. Raja dan anggota kerajaan lainnya kaget dan heran melihat keberadaannya yang tiba tiba muncul dari bawah perahu tersebut, raja tentu saja marah dan mengingatkan Tintilingang untuk menjaga kehormatan kerajaan Mamuju dengan tidak berbuat sesuatu yang bisa merusak hubungan dengan kerajaan Gowa.

Melihat kehadiran Tintilingang dikerajaan Gowa para jagoan dan pendekar Gowa yang telah mendengar ketenaran Tintilingang ini ingin mencoba bertarung dengannya. Mereka berupaya menggoda Tintilingang dengan berkokok layaknya ayam jago yang bermakna isyarat untuk memancing siapapun untuk masuk arena untuk berduel jika ada yang menyahuti kokokan itu. Para punggawa kerajaan Mamuju dan berapa undangan dari kerajaan kerajaan lain tahu makna kokokan dari jagoan Gowa tersebut. Punggawa dan jagoan kerjaan Mamuju tidak mau terpancing dan berusaha menahan diri agar tidak terprovokasi dan berusaha menenangkan Tintilingang agar tenang dan bersabar. Semakin lama kokokan sang pendekar pendekar dari kerajaan Gowa ini membuat Tintilingang tak mampu menahan diri lagi, dengan suara lantang ia pun membalas kokokan tersebut. Semua undangan kaget dan tahu bahwa tidak lama lagi pasti terjadi pertarungan duel antar jagoan ini, dan benar saja akhirnya pertarunganpun terjadi.

Alhasil jagoan kerajaan Gowapun tumbang ditangan Tintilingang dan ini membuat raja Mamuju semakin murka melihat kelakuan Tintilingang yang telah mencoreng kehormatan raja Mamuju di gelaran adat yang seharusnya penuh dengan kedamaian. Namun raja Gowa menganggap itu hal yang pantas bagi jagoannya karena telah lebih dulu memancing situasi jadi kacau balau. Raja Mamuju akhirnya menghukum Tintilingang agar tidak ikut dalam perahu dalam perjalanan pulang ke Mamuju, sebagai hukuman Tintilingang harus berjalan kaki lewat darat jika ingin kembali pulang ke Mamuju seorang diri, dan harus membawa potongan telinga setiap jagoan dari kerajaan lain untuk membuktikan kasaktian dan keberanian yang dimilikinya. Lama berselang kemudian telah tersiar kabar akhirnya sang jagoan ini telah tiba di tanah Mamuju kembali.

Dan tentunya kedatangannya juga untuk membuktikan kepada Maradika (raja) Mamuju bahwa dia telah berhasil pulang dengan membawa seuntai telinga yang telah dipotong untuk membuktikan kesaktian dan keberanian Tintilangan Sang Jawara dari tanah Mamuju tidak tertandingi siapapun saat itu. (Arman Husain2018).



Sumber : wawancara dengan beberapa garis keturunan dan informasi dari penutur yang dapat dipercaya. Kisah ini ditulis bukan maksud apapun melainkan sebagai upaya pelestarian budaya dan sejarah di Mamuju, adapun jika cerita dari versi kami ada kekeliruan mohon untuk dikoreksi. Wassalam..