Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya To Mamuju

Tampilkan postingan dengan label Seni Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seni Budaya. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Agustus 2018

Kalloajaq Sibali Ulo Saba

Diang setto lappo diangmo jaling dipoong kaju kaiyyang tuo ulo saba, diangmo tomo sambadang kalloaja' menserang ampe' mentallo' jaling di robo'na itte poong kaju kaiyang .Jaung di allungna itte poong kaju diang tampo membungku-bungkung,  iyya mo naengei toiyya sambadang ulo saba kaiyyang membalongko.

Iyyanna allo bomo inne kalloaja' lumampamo mangalalle kandena. Tente toia inne ulo: allo-allo dai' di lolo kaju mangalalle tallo'na nakande. Narang narumpa' tallo'na kalloaja', nakande, napepurai, Tappana su'be kalloaja' di serangna, nakitamo pa'da pissang tallo'na. Ulo kaiyyang kaledo narumpa' jao mengkolung. Di tentenamo itte ampele' masaramo nyamana kalloaja'.

Nanama-nama mo melo' na napesirumpa'i sammuanena lapopulando', "Umbatente akkalangku' mala kupatei itte lapongulo?" Nakuamo pulando' "Ee, sammuaneku' ! Diang ittu di lau',  diangngatang bainena maradika si mata naung di lelo' modiu-diusang. Iyyanna na mendiusmo, nalosui nasang ampana care-care di kalaena' siola poreba mala'bi'na ampele' napantuung di baona care-carena, mane' naung modiu-diusang.



Ampunna' tentemo itte, penri'ba' moko mako, ampele' musangke masiga tombi mottiana. mane 'mubaba mako mulammeang di sipatunna balongkona ulo. "U'de ittu masae su'be pissangmo todapa' mallusu itte kalloaja', apa' melo' na napembalai itte tombi mottia. Nakitamo itte tombi mottia nalammeang naung di balongkona ulo. Nabongkarmo itte balongko. narumpa'mo ulo kaiyang jaling. Manassa napatei injolo' ulo. mane' mala naala tombi mottia.

Ular dan Burung Gagak

Terjemahan Bhs Indonesia :





Burung Gagak Melawan Ular Sawah

Di sebuah hutan tumbuhlah sebatang pohon besar. Di situ juga seekor burung gagak yang bersarang dan bertelur di dalam lubang pohon besar itu. Di bawah pohon kayu itu terdapat suatu busut. Tempat itu merupakan tempat ular sawa besar bersarang di dalam lubangnya.

Apabila hari sudah siang, burung gagak ini pergi mencari makan. Demikian juga si ular setiap hari naik di puncak pohon untuk mencari telur yang dapat dimakannya. Akhirnya, dia menemukan telur burung gagak itu dan memakannya sampai habis. Ketika datang di sarangnya, burung gagak itu melihat bahwa semua telurnya hilang. Dia hanya menemukan ular besar itu sedang melingkar. Susahlah hati burung gagak saat itu.

Dia merencanakan akan menemui sahabatnya, yaitu sang Pelanduk dan burung gagak itu bertanya "Bagaimana caranya sehingga saya dapat membunuh sang ular itu?" Sang pelanduk mengatakan, "Hai, sahabatku! Di sana di kampung itu ada istri raja yang selalu turun di sungai untuk mandi. Kalau mau mandi, istri raja itu menanggalkan semua pakaian di badannya dan meletakkan alat perhiasannya di atas pakaian yang ditanggalkannya, baru dia turun mandi.

Oleh karena itu, terbanglah ke sana dan sambarlah kalung mutiara itu dengan cepat kemudian bawalah dan jatuhkanlah kalung itu di atas lubang ular itu." Tidak lama kemudian semua orang datang untuk memburu burung gagak itu. Mereka mau merebut kalung mutiara itu. 

Mereka melihat burung gagak itu menjatuhkan kalung mutiara di lubang tempal ular tersebut. Mereka membongkar lubang itu dan mendapatkan ular besar itu di dalamnya. Tentulah mereka membunuh ular itu terlebih dahulu. baru mereka dapat mengambil kalung mutiara yang dijatuhkan oleh burung gagak tersebut.

Rabu, 06 Juni 2018

Hikayat Labuang Tobali


Tahun 1580 Putri Raja Badung Bali, Bersama rombongan datang dan menetap di mamuju, Setelah Pernikahannya dengan Raja Mamuju,  mereka tiba di Mamuju melalui pelabuhan yang sampai sekarang di sebut "Labuang To Bali" artinya pelabuhan orang Bali disebuah desa yang sampai saat ini disebut "Kasywa" yang diambil dari nama dewa budha Bali. Sejarah menuturkan cerita "lasaga dan keris manurung" ini berawal dari sini,  yuk ikuti ceritanya ...

“Satu ketika, datanglah bangsawan dari Bali dengan puterinya yang cantik bernama Meraarrappuang, diberitakan orang- orang  kepada Raja Mamuju. Kata Raja Mamuju, pergilah lihat dan cari akal agar ia tidak boleh pulang! Maka pergilah orang yang disuruh raja. Setiba di sana, ia mengatakan: mari kita masuk di sungai! Maka masuklah perahu bangsawan Bali itu ke Sungai Mamuju. Setelah perahu itu di sungai, pergilah raja Mamuju ke perahu bangsawan Bali itu. Setiap saat Raja Mamuju ke perahu itu, terutama di waktu malam. 

Setiap malam jugalah pengawal Raja Mamuju secara diam-diam menimbun batu dan pasir di muara sungai bersama rakyat Mamuju. Ketika bangsawan Bali itu pamit pada raja Mamuju untuk pulang ke Bali, paginya ia lihat muara sudah tertutup dengan pasir (sekarang digelar Bone Tangnga ‘Pasir Tengah’). Perahu bangsawan Bali itu tak boleh pulang, akhirnya ia tinggal di Mamuju.  Tak berapa lama, kawinlah raja Mamuju dengan putri bangsawan Bali itu, Menjelang beberapa lama sesudah menikah putri itu pun mengidam. Semasa  kehamilannya pulanglah ia ke Bali, Tak lama kemudian, Sang Putripun melahirkan anaknya laki-laki kembar dengan sebilah keris, yang diberinya nama Lasalaga.

Setelah anak itu beranjak dewasa, ayahnyapun  wafat, Atas perintah pembesar kerajaan Mamuju diutuslah beberapa orang yang cerdik pandai dari kerajaan Mamuju ke Bali untuk mengambil anak raja. Setiba di kerajaan Bali permintaan untuk membawa pulang anak raja itupun ditolak oleh raja Bali dan rencana merekapun akhirnya tidak membuahkan hasil, dengan tangan hampa pulanglah orang suruhan itu kembali ke Mamuju.  Sesampainya di Mamuju keadaan di kerajaan mamuju jadi tidak stabil, kacau dan terjadi perpecahan, paceklik melanda, ditengah kemelut dan bencana yang terjadi di kerajaan Mamuju, berkumpullah para pembesar dan saling bertukar pendapat bagaimana menyelesaikan kemelut yang terjadi dikerajaan mamuju, ini dikarenakan kosongnya tahta kerajaan yang harus segera diisi oleh pewarisnya jika hal tersebut dibiarkan berlarut- larut akan semakin membahayakan kerajaan Mamuju itu sendiri, Maka disepakatilah bahwa pewaris kerajaan harus dibawa pulang, suka tidak suka rela tidak rela harus dipaksakan apapun jalannya. Maka kembalilah orang Mamuju ke Bali untuk menjemput anak rajanya dengan membawa Sakkaq Manarang yang seorang pandai besi.  Singkat cerita hal yang sama kembali terjadi, permintaan mereka kembali tidak dituruti oleh sang putri.

akan tetapi suruhan dari kerajaan Mamuju tidak kehabisan akal, kalau tak boleh ke Mamuju tak apalah, kami hanya ingin tidur bersama dengan anak raja kami di perahu malam ini, karena besok kami sudah pulang. Sang Putripun menyanggupi permintaan meraka, setelah  anak raja itu turun ke perahu dan tertidur lelap, "Sakkaq Manarang"  diam diam mengebor/melubangi semua lambung perahu yang ada.

Tibalah waktu yang direncanakan pada dini hari, berlayarlah orang Mamuju dengan membawa anak rajanya pulang ke kerajaan Mamuju. Pengawal/prajurit kerajaan Bali berusaha mengejarnya tapi sia-sia karena perahunya semuanya bocor dan tenggelam, dan setiba di Mamuju, anak itu langsung diangkat jadi raja, Tidak lama menjadi raja Mamuju, Sang raja ini rindu akan ibu dan kembali ke kerajaan Bali untuk menjenguk sang ibu, Rasa rindunya terobati dengan bertemu lagi dengan sang ibu dan cukup lama menetap di Bali sampai sampai lupa bahwa harus kembali kekerajaannya di Mamuju.

Setiba di sini (Mamuju), ia kawin dengan sepupu sekalinya. Kerjanya di Mamuju dia menyerang kerajaan/negeri yang lain. Dikalahkannya Kuri-Kuri, dan rakyat satu daerah/kampung Kuri-Kuri jadi pengawal (joaq). Orang Alukalulah yang jadi orang Bone-Bone, orang Kuri-kuri yang jadi Kasiba. Raja Mananggalalah yang jadi Paqbicara, dialah jadi Pue Tokasiba (kasyiwa), karena dia mengikuti budaknya dari Kuri-kuri sehingga masuklah atau menjabatlah Pue Tokasiba. Puatta di Mamuju ke Kalumpang mengadakan perjanjian dan dialah yang mengalahkan Ringgi dan Bunu-Bunu. Sesuai perjanjian Kalumpang, Tanah Mamuju mulai Pembuni sampai ke ujung batas tanah Mamuju, Lalombi, dan sampai ke Lebaniq di seberang sungai Simboroq, di Siruma. Tanah Kaililah di sebelah tanah/daerah Mamuju di arah matahari terbit  sampai bertemu tanah di Kaili. Di arah matahari terbit, berbatasan dengan Luwuq.(Arman Husain)

Pua Kodo Siola Pua Kalapuaq (Cerita dalam bahasa Mamuju)

Diangmo setto wattu Pua'kodo siola Pua' kalapua' mampambula loka dipangumaanna, 
Pua'kodo      : " Taki mallamung loka lea "..nakua Pua'kodo mako di Pua' kalapua' 
Pua'kalapua : " Ude,a' melo' Pua'kodo apa' namuakkalanggia' bomo nena. 
Pua'kodo      : "Apa' u'deqi lea,damoko parakka' begako Pua'kalapua"

U'de masae sijariammo mampambula loka, Sangging manggalamo anak loka, sirambangang mampambula., Ampunna' sirumpa' bomo Pua' kodo siola Pua'kalapua' sipikutanai dobomo', tuona lokana. 
Pua'Kodo      : " Umbatente lokamu Pua'Kalapua'?,
Pua'Kalapua': " Yaq puccuq do dai', diammo daunna kukita, ya ingko.?
Pua'Kodo'     : " Tuo tuo dai pecceq bomo nasanda' sanda'i nakeke. 

Masae itte mako, kaiyyangdo lokana Pua' Kalapua', masasa'do malamo dikande., Sirumpa bomo Pua'Kodo ampeq Pua'Kalapua'
Pua'Kodo : "Manggapamo lokamu Pua'Kalapua'? 
Pua'Kalapua' : " Masasa'do kukita lokaku' Melo'do' Mangkande", 
Pua'Kodo : "Yaku'pa mantekekangko ne? 
Pua'Kalapua' : Iyo teke'mo, tapi buangangga' mai ne.!?




Ude masae nateke'do Pua'kodo lokana Pua'Kalapua',. Tanda' dai' dicoppo'na loka nasappi'mo loka anu' masasa'na, Nakande apa macinna, Inne Pua' Kalapua' simata kumora mo dai' 
Pua'Kalapua' : " Umbaki lokamu buangki mai? 

Masae mangeppe Pua'Kalapua'. 
Pua'Kodo: " Dakojolo', Nisandaqsanda'i jolo'lea.
Semata mangkandemo dibao loka masasa' Pua'Kodo, Sa'bar kalemo Pua'Kalpua manggeppei, Apa' u'de mala menteke'.,Sekalina Boromo Pua'Kodo, 
Nakua Pua'Kodo: "Pataraimo lipa'mu, Apa' nakubuangangko mating,!

Napataraimo Lipa'na Pua'Kalapua', Apa napogau Pua'kodo Natittai_i naung Lipa'na Pua'Kalapua', Sumangi'mo Pua'Kalapua'.lippu nasa'ding malai naung dilelo' nabasoi lipa'na. Sirumpa'mo Bungkang

Bungkang : " Apaki ampe' sumangiko Pua'?,Mingkutana Bungkang mako diPua'Kalapua'. Pua Kalapua' : " Nakendemo lokaku nattai_i pa tuli lipa'ku'." 
Bungkang : " Gengge si'da Pua'Kodo.! Taki dai' nakusingki butona Pua'Kodo.!

Nalambi'mo dai', dibao pa dipoong loka Pua'Kodo mangkande loka masasa', Ude masae menteke' mo dai' dipoong loka bungkang,.Nakelongangmo Pua'Kalapua' : "Teke'-teke' dai pole cikki' butona Pua'Kodo" ... "Teke'-teke' dai pole cikki' butona Pua'Kodo" ... "Teke'-teke' dai pole cikki' butona Pua'Kodo".

Pua'Kodo : " Apattu mukua Pua'Kalapua'? eppeimo lokamu.! 
Pua' Kalapua' : " Udeki diang,! Makkelong-kelong kale kia",.. "Teke'-teke' dai pole cikki' butona Pua'Kodo" ... "Teke'-teke' dai pole cikki' butona Pua'Kodo",.




Gambar. Illustrasi Kura-kura


Narapi' dai' Bungkang, Nasingki' butona Pua'Kodo,.titismo naung rarana ditampo, Napataraimo masiga Pua'Kalapua' bulo panganna_angna tua'. Ude masae mudendemo Pua' Kalapua, Liu mako diolo sapona Maradika, nakuamo Maradika, 
Maradika : "Apaittu mubawa Pua'Kalapua'? bawa de' mai.!

Nabawamo mako di sapona Maradika itte bulo.
Pua' Kalapua' : "Nasudu_a' Pua'Kodo mambalu inne induk Pue.! 

Nakua Pua'Kalapua membore -borekang, Na_allimo Maradika itte indu', 
Sekalina malai masiga-siga Pua"Kalapua'. ampe mantuttu tab'a-ta'ba'_na Pua'Kalapua' makkelong-kelong mo;
Pua'Kalapua' : "Tun..tung..tung balinana butona Pua'kodo nainung Maradika,Tun..tung..tung balinana butona Pua'kodo nainung Maradika,....Tun..tung..tung balinana butona Pua'kodo nainung Maradika,!! 
Gambar Illustrasi Monyet


Maradika: " Oooh,..peranggo_i de' apatte nakua Pua' Kalapua'?? 
Pua'Kalapua' : "Tun..tung..tung balinana butona Pua'kodo nainung Maradika,....!!
Maradika : " Ooh ..Use Inne indu' mate napissa' inne Pua' Kalapua' Nasudu bede' Pua'Kodo?! Tinro' Pua' Kalapua ampe sakkai Pua'Kodo.!!
Macai'mo Maradika, natinro' Pua'Kalapua', ude dirapi Pua'Kalapua, tapi' disakka Pua'Kodo jao dipanguma anna.
( Arman Husain 2017)



Disadur dari buku; Curicurita basa Mamuju

Pa'bulu Ropeq

Pada zaman dahulu ada seorang permaisuri di negeri kita sudah saatnya akan melahirkan. Datanglah sang raja kepadanya lalu bertitah, "Sekarang ini, Dinda saat-saat harinya akan melahirkan dan saya akan pergi menyampaikan undangan ke seluruh negeri di tujuh muara sungai dan tujuh hulu sungai. Undangan itu adalah akan dilaksanakannya pesta sebagai pertanda kegembiraan jika engkau nanti melahirkan seorang anak lelaki. tetapi jika ada saat kepergianku itu, lahir seorang anak perempuan, tanamlah hidup-hidup dia agar mati sebab anak perempuan itu akan mendatangkan malu bersama aib dan tiada dayanya dalam peperangan". Setelah selesai bertitah kepada permaisurinya berangkatlah pergl sang raja untuk menyampaikan undangan kepada negeri lain.

Singkat cerita, sebelum sang raja kembali, beranak lah sang permaisuri yakni seorang anak perempuan. Diangkatlah bayi itu oleh dukun beranak itu untuk dibersihkan kemudian diangkat ke samping sang permaisuri. Setelah dilihat sang permaisuri anak yang baru dilahirkannya adalah seorang anak perempuan berparas cantik dan bersih putih kulitnya. Terasalah kegembiraan yang tak terkira bagi Permaisuri dan bertitah. "Anakku, belahan hatiku, si Pa'bulu Roppe hiduplah engkau dan panjang umurmu agar semerbak bunga melati di negeri kita harumnya melintas sampai ke negeri lain". Akan tetapi, sekejap ia teringat pesan sang raja, kemudian terasalah duka cita di hatinya seketika itu dan berlinanglah air mata sang Permaisuri. Berkatalah si dukun. "Hamba melihat berlinang air mata Tuanku. Apakah gerangan yang menyebabkan duka cita itu?". "Berkatalah sang Permaisuri kepada dukun bayi itu, "Betul Dukun. berduka hatiku kalau mengingat pesan sang baginda dengan titahnya. yakni jika lahir seorang anak perempuan. tanamlah hidup-hidup bayi itu agar ia mati sebab perempuan itu akan mendatangkan rasa, malu bersama aib dan tiada dayanya dalam perihal peperangan, Jadi apakah yang harus kita lakukan sekarang ini, Dukun'?", Dukun itu menjawab pertanyaan sang Permaisuri, ”Tuanku, Keinginanku apa pun yang akan terjadi kuinginkan anak tuanmu, si Pa'bulu roppe, akan diayun-ayun. Akan dibuai-buai agar hidup dan panjang umur".




Dukun bayi itu berkata kepada sang Permaisuri, "Jika begitulah keinginan Tuanku. lebih baik anak Tuanku. si Pa'bulu Roppe, dinaikkan ke atas ruang plafon istana agar tidak dikelahui oleh masyarakat". Anak itu akan diayun dan akan dibuai-buai di atas ruangan plafon. Usul sang dukun diterima oleh sang permaisuri dan bertitahlah sang Permaisuri, "Baiklah. lakukanlah hai itu Dukun". Naiklah si dukun bersama dayang-dayang mengemasi dan membersihkan ruangan plafon istana. Kemudian dinaikkan juga seluruh peralatan ayunan, dapur, tempat tidur, dan peralalan mandi. Setelah lengkap semuanya di atas. dinaikkanlah si Pa'bulu Roppe dan naik pulalah sang permaisuri. Singkat cerita, tidak diceritakan apa gerangan penyebanya sang raja dalam perjalannya sampai nanti sang raja datang kembali selelah dua kali terjadi panen raya sejak dilahirkannya si Pa'bulu Roppe.


Tibalah sang raja di islana dan dijemput oleh permaisuri di ruangan balairung. Bertanyalah sang Raja dengan bertitah, "Di manakah bayi yang telah kau lahirkan?" Terkesiaplah sang permaisuri mendengar pertanyaan sang Raja dan berkatalah, "Ada di atas ruangan plafon istana". Bertanya lagi sang baginda, "Ada apa gerangan sehingga ia berada di atas ruangan plafon istana". Menjawablah sang permaisuri. "Ia disembunyikan sebab ia adalah seorang perempuan". Murkalah sang Baginda mendengar ucapan sang Permaisuri dan bertitah, "Kita akan mendapat malu bersama aib, turunkan ia kemari aku akan membunuhnya". Sang permaisuri memanggilnya ke atas, "Anakku Pa'bulu Roppe, turunlah ke mari Nak, engkau akan dibunuh oleh Ayahandamu". Panggilan ilu dijawab oleh Pa'bulu Roppe. "Maafkan hamba akan berpakaian dahulu". Setelah cukup tiga kali sang permaisuri memanggil ke atas ruang plafon istana, turunlah si Pa'bulu Roppe.


 


Baru tampak betis saja si Pa'bulu Roppe, betis ikan layan bulat berkulit putih bersih dilihat oleh sang Baginda membuat sang Baginda tidak sadarkan diri. Setelah tiba di ruangan istana, si Pa'bulu Roppe terus masuk ke dapur memasakkan air ke dalam mangkuk dan merendam ujung rambutnya ke air dalam mangkuk itu kemudian ditepiskan ke wajah sang Baginda, sehingga sang Baginda sadarkan diri. Berkatalah sang Permaisuri kepada sang Baginda, "Sesungguhnya tiada diketahui oleh masyarakat bila seorang perempuan ini adalah anak kita. Sebaiknya anak ini tak usah dibunuh sebab hatiku tak tega. Biarlah si Pa'bulu Roppe pergi ke negeri orang untuk mencari rezeki kehidupannya". Si Pa'bulu Roppe menjawab perkataan sang Permaisuri, "Baiklah jika itu yang dikehendaki ibundaku, hanya satu permintaanku, yakni buatkan sebuah perahu yang akan kukendarai pergi untuk mencari rezekiku di negeri orang". "Eh, Pa'bulu Roppe. Engkau harus menyamar sebagai seorang lelaki dalam perantuan". Demikian pinta sang Baginda. Singkat cerita, perahu yang akan ditumpangi Pa'bulu Roppe telah berada di pelabuhan . Orang-orang yang akan mengantarkan kepergiannya telah menunggu di sepanjang pantai pelabuhan. Setelah Pa'bulu Roppe datang dan segera akan pergi ke perahunya, semua yang akan mengantarkannya berkata, "Sesungguhnya gagah dan tampan sekali putra Baginda.




Setelah tiba di perahunya, baru saja Pa'bulu Roppe akan menarik tali layar perahunya terus ada panggilan, "Eh Pa'bulu Roppe, ke mana engkau akan pergi." Menolehlah Pa'bulu Roppe ke arah datangnya panggilan itu. Dilihatlah seekor kera berkata, "Saya akan ke Pulau Jawa". Menyahutlah sang kera, "Bolehkah aku ikut ber­samamu?”. Berkata Pa'bulu Rappe, "Segeralah engkau kemari kalau tadi saya sendirian, sekarang ini saya telah cukup dua berkawan". Lalu ditariklah tali layarnya. Saat itu memanggil juga sang tikus, sang buaya, sang kucing dan sang tekukur seperti panggilan dan jawaban sang kera itu. Semuanya dibiarkan Pa'bulu Rappe ikut bersamanya. Naiklah semuanya ke atas perahu si Pa'bulu Rope. Bergembiralah si Pa'bulu Rappe se bab banyak yang menemaninya berlayar membelah buih di lautan. Setelah sampai di Pulau Jawa, naiklah si Pa'bulu Roppe di daratan . Dilihatnya orang ramai sebab pada waktll itll beberapa raja Jawa menyelenggarakan perlombaan permainan ketangkasan. Pergilah si Pa'bulu Roppe melihat-lihat pelombaan permainan ketangkasan. Dilihatnya orang berlomba memanjat, orang berlomba memungut wijen, orang bertanding menyelam, dan orang menyabung ayam. Setelah semua perlombaan dilihatnya, pulanglah ia keperahunya dan bercerita tentang seluruh perlombaan permainan ketangkasan yang dilihatnya di daratan. Menyahutlah sang kera, "Jika perlombaan ketangkasan memanjat pohon ilu adalah bagianku" . Berkata Pa'bulu Roppe, "Bagaimana cara engkau ikut berlomba sedangkan yang berlomba adalah manusia". Berkatalah sang kera, Pa'bulu Roppe, bawalah saya ke sana nanti di sana engkau akan melihat aku sebagai manusia". Berkata juga sang tekukur, "Jika perlambaan memungut wijen itu adalah tugasku". Sang buaya berkata juga, "Perlombaan ketangkasan menyelam adalah tugasku". Sang kucing berkata pula, "Perlombaan ketangkasan ayam sabungan adalah tugasku". Sang tikus berkata, "Ketangkasan bersembunyi adalah kegunaanku". Berkatalah Pa'bulu Roppe, "Jika betul kata kalian, sebaiknya kita naik ke daratan dan kita ikut serta dalam perlombaan ketangkasan itu"

Naiklah si Pa'bulu Roppe di daratan dan diikuti oleh sang kera, sang buaya. sang tikus, sang kucing, dan sang tekukur. Tibalah mereka di arena perlombaan me manjat. Di situ terdengar pengumuman, "Siapa lagi ada ahli panjat yang mau melawan ahli panjatnya Paduka Baginda Raja ". Majulah ke depan dan sang kera berkata "Saya yang mau melawan memanjat ahli panjatnya Paduka Baginda Raja". Semua orang terkesima memandang kepada Pa'bulu Roppe betapa gagah dan tampannya si Pa'bulu Roppe dan semuanya berkata, "Baru kali ini aku melihat seorang perjaka yang sangat gagah dan tampan. Dari manakah gerangan asalnya?" Semua orang terkejut dan terkesima mendengar pengumuman Perlombaan ketangkasan memanjat pohon akan dimulai dan yang akan memanjat lebih dahulu adalah tukang panjatnya si Pa'bulu Roppe terlihatlah oleh semua orang sang kera berwujud manusia memanjat ke atas pohon kayu besar yang paling tinggi. Setelah sampai ke atas pucuk ranting yang paling tinggi, semua orang berkata "Sungguh pintar sekali memanjat, tukang panjatnya si Pa'bulu Roppe" Setelah sang kera turun, memanjat pula tukang panjatnya raja Jawa,  ia tidak mampu memanjat ke atas ranting pucuk yang telah dipanjat oleh sang kera kemudian turunlah kembali tukang panjat raja Jawa itu, jelas yang menang adalah sang kera dialah yang berhak mendapatkan taruhan bersusun-susun piring bersama mangkok emas dan berjejer juga cerek bersama gelas emas.

Terbetiklah berita kemenangan tukang panjatnya si Pa'bulu Roppe ini sampai kepada putra Baginda Raja,  itu lah yang menyebabkan sehingga putra raja datang sendiri menemui Pa'bulu Roppe. Begitu dilihatnya kegagahan dan ketampanan si Pa'bulu Roppe berkatalah putra Baginda Raja Jawa dalam hatinya. "Barangkali perempuan si Pa'bulu Roppe ini  tetapi menyamar sebagai laki-Iaki. Berkatalah putra Baginda Raja Jawa, "Masih adakah orang mu yang ingin berlomba ketangkasan menyelam, ketangkasan bersembunyi, berlomba memungut wijen dan adakah juga ayammu yang dapat berlaga melawan ayamku". Pertanyaan itu dijawab oleh si Pa'bulu Roppe. "Ada semua orangku yang ingin melawan orangmu dan ada juga ayamku yang akan melawan ayammu untuk berlaga". Singkat cerita, perihal semua perlombaan ketangkasan yang lelah disebutkan telah dikalahkan oleh orang hingga ayamnya putra raja Jawa juga kalah.

Diangkatlah semua hadiah si Pa'bulu Roppe yang berupa cerek, gelas, piring, mangkok, semuanya terdiri dari emas. Berbelasbelas biji emas, berbelas-belas juga uang, dan berbelas juga beras diangkati ke perahu Pa'bulu Roppe. Pada waktu itu sang kucing pergi berjalan-jalan ke sana kemari di dalam istana raja Jawa. Dilihatnya si kucing putra raja Jawa berbincang-bincang sesamanya putra bangsawan di Jawa. Yang dibicarakan mereka adalah merencanakan menangkap si Pa'bulu Roppe dalam pelayarannya kembali ke negeri si Pa'bulu Roppe. Pa'bulu Roppe akan dibawa kembali ke tanah Jawa sebab dia akan diperiksa apakah ia seorang laki-Iaki sejati si Pa'bulu Roppe, ataukah ia seorang perempuan. Jika ia seorang perempuan, putra raja Jawa ingin meminangnya sebab kecantikan si Pa'bulu Roppe selalu terbayang-bayang dalam benaknya. Seluruh pembicaraan didengar oleh sang kucing. Setelah selesai putra raja Jawa berbincang-bincang dengan sesamanya putra bangsawan, kembalilah sang kucing turun ke perahu. 

Setibanya di perahu berceritalah kuncing itu tentang seluruh pembicaraan yang didengamya kepada Pa'bulu Roppe bersama seluruh kawannya. Berkata sang tikus, "Tugasku lagi masuk ke daratan untuk menggigiti perapat seluruh perahu yang ada di daratan agar bocor". Berkata si Pa'bulu Roppe, "Masuklah kamu ke daratan sebab saya akan berpakaian perempuan dahulu di sini. Bila engkau telah datang kembali, saya akan naik ke lantai perahu melambaikan tangan ke darat lalu kita berlayar". Sang tikus masuk ke daratan untuk membocori semua perahu yang ada di darat. Setelah itu tikus itu kembali ke perahu. Naiklah si Pa'bulu Roppe ke lantai perahu sambiI melambaikan tangannnya ke darat. Sibuklah orang-orang di darat melihat si Pa'bulu Roppe berdiri di lantai perahunya dengan pakaian perempuan. Diturunkan semua perahu yang akan memburu perahu si Pa'bulu Roppe di tengah laut. Kecewalah putra raja lawa sebab semua perahu yang akan memburu perahu si Pa'bulu Roppe tenggelam. Singkat kata, selamatlah pelayaran si Pa'bulu Roppe sampai di daratan negerinya . Gegerlah orang-orang di darat melihat perahu serat muatan berlabuh di pelabuhan Totoli dan mereka pergi bertamu ke sana atas suruhan Tomakaka ingin bertanya, "Perahu dari manakah?". Tidak lama kemudian, kembalilah ke darat suruhan Tomakaka' memberitahukan bahwa perahu yang sarat di pelabuhan adalah perahu si Pa'bulu Roppe.

Bergembiralah penduduk negeri itu terlebih-lebih Ibunda Permaisuri mendengar berita keselamatan si Pa'bulu Roppe dalam pelayarannya. Tomakaka; mengumpulkan seluruh orang tua negeri dan mengatakan, "Mulai sekarang akan dipelihara baik-baik seluruh perempuan sebab perempuan itu adalah teman suka dan duka kaum lelaki di dalam kehidupan rumah tangga".

La Pokasiasi Siola Maradika

Sikira-kira diang setto Lapokkasiasi ampele setto maradika. Inne sangallo maradika diang papitu bainena, iyyaki ia u'de diang kapeanakan polo' setto bainena. inne ia lapokkasiasi na'ibainepa. Jalingki ia diumanna meonto. Diang sewattu inne maradika melo'na mambaca-baca. Mampesuduangmo mako di batuanna lumampa manggala daung Loka tama di umanna todapa'. Tanda' ii mo tama di uma inne battuanna maradika, sirumpamo inne Lapokkasiasi anu nikuaang sanggallo. Nakuamo inne lapokkasiasi mako di batuanna maradika: "0o.., indona, tenna' yaku'mo itte napebaine maradika satente domai saena, kupadiangang banggi dedua tetallu ana', meposi-posi' mottia setto, medada-dada ammas setto, ampe' mebarambang ammas setto." Narangngonaki inne batuanna maradika makkana-kana tente itte lapokkasiasi mako di ia ii, pada magasa-gasa i’i do malai tituali sau di maradika. Su'be sau di elona maradika, pard mangkualimo: "Diang itte jaling di uma Pue na'ibaine sitente millemu-Iemuku', Pue, makkana kana dimai di ingkai'. Nakua domai di ingkai': '0o.., indona, tenna' yaku'mo itte napebaine maradika satente domai saena, kupadiangang banggi dedua tetallu ana', meposi-posi' mottia setto, medada-dada ammas setto, ampe' mebarambang ammas setto". U'de niinsang nikira-kira marannuna maradika manrangngo itte kareba su'be di batuanna. Sibo’lona napesuduanga maradika mako di joa'na lumampa tama mamperoa itte na'ibaine lapokkasiasi jaling di umanna. Nakuamo maradika mako di joa'na: "0o, lea tamako ingkamia'muperoaanga' domai itte jaling na'ibaine lapokkasiasi di umanna,Pangkuako mako di ia: "Na sau le'ba' tau' tente inne mengola di maradikanta' apa' diang parallu sisi'da nanapangkuaiang tau'." Pura makkana-kana maradika mako di joa'na. Massimangiimo ampele' meangka' magasa-gasa tama memperoa itte lapokkasiasi. Tanda' tama itte joa', napatandakangmo umbatente kana-kananna maradi ka anll napangkuaiang sangallo. Narangngonaki lapokkasiasi pepasangna maradika mako di ia mensannamo inne lapokkasiasi mako di joa' to nisudu mangkua: "U'depa yaku' na mala sau di tente-tentena inne apa' masiri' madikkinga' na meangka' sau siola tau' ampunna' tentepa inne sisangkenu-kenu' care-careku'. Nangarangngi nena maradika nituna-tunai, umbaki ia macoa, saumo tau' di maradika menjolo' carecare na kaluang anu maka na nakita maradika." ditentenamo itte ampele' titualimo inne' sau dimaradika. Su'be sau diolona maradikana,napatandakangmo umbatente toiyya kana-kanaanna mako diiyyai sangallo. Medama ta'muru'mo maradika manrangngo pampatanda'na joa' itte kana-kana ampele' mangkoa: "Ampunna' tente ittu pesuduang, masiga nibabaang tama care-care anu na mupensallei ampele' mal a domai masiga." U'de masae tama mo joa' situru' indo-indo' sapo mambabaang care-care anu na napensallei. Tappana naalamo itte care-care lapokkasiasi, mangkuamo bomo: "Na mu'dampanganga' kaiyang maradika apa' melo'a' injolo' na mangkasaraipa pore-poreba mamea senjo' ampele' daaa kalassoang kalaeku', apa u'depa diang gallangku', tandiang tombiku ', tente tome daliku'. Jari, menjolomo tau' sau apa' yaku' diangpa itte poreba mamea kukasarai ampele' matinga' taku'." Narangngona tente itte pangkuana lapokkasiasi, malaimo inne joa' tituali sau napangkuai maradika. Pura napangkuai maradika, nakuamo maradika: "Babaangpa tuli tama poreba mamea anggarang ganna'na ampele' mala domai masiga."

Tanda' tama inne joa' siola indo-indo' sapo, naalamo lapokkasiasi itte poreba ampele' malai mako di olona bajo-bajo massua'. Tappana purado massua', saumo mencoko siola indo-indo; sapona maradika. Mamanya mencoko, nakuamo inne indo-indo' sapona maradika: "Macoa aiki meangka'mo tau' masiga apa' masaedo maradika mentueppe di lau'." Nakuamo lapokkasiasi : "Macoa, takimo meangka' siola-ola!" Su'be sau dimaradika, sengkamo jao dibujung nabasoi bitti'na inne lapokkasiasi, ampe inne joa' dai' ia di maradika napinsangngi mangkua: "Su'bedo itte to niperoa, Pue, mamanya jaung di bujung nabasoi bitti'na." Nakuamo maradika mako di joa'na: "Sudumo mendai' di sapo ampele' mengolo domai di yaku!" 

Tappana jaodo di olona maradika inne lapokkasiasi, mekutanamo maradika mako di ia mangkua: "Mukua si'daki itte tenna' yaku' itte napebaine maradika satente saena domai, kupadiangang banggi ana' dedua tetallu, setto meposi-posi' mottia, setto medada-dada ammas, ampe'setto mabarambang ammas?" Nakuamo lapokkasiasi: "Kukua si'da, Pue, iakiia itte mosambuleki yaku' mangkua." Nakuamo maradika: "U' de mala niala posambuleang anu tente ittu ia apa' yaku' inne melo'si 'daa' na diang ana 'ku', siola tomo u' deko na mangkua tente ittu ampunna' u'dediang saba'na. U'de mala diang rambu ampunna' u' de diang apina. Jari, di tentenamo itte, nakarana diangna kana-kanammu sanggallo, u'de mala u'de musti siala tau' apa'na kupebaineko. apakiia ingarangngi macoa inne kana-kanangku' mangkua: Madondong duambongi iyyanna kupebainemoko, barang sangapa saena anpele' u' deko maena', kupesuduang nigere' barokomu." Nakuamo lapokkasiasi : "Ampunna' tentedo ittu akkaelo'ta' Pue, u'de diang barani na matumpa' Jao kaledo di pakkaelo 'na Puang Allah Taala apa' rapang itte mangkua kupototo'do taku' inne pampogaukang." Pura itte makkana-kana maradika, menggilingmo mako di katobarabarakangna ampe' mangkua: Menanda-a' di ingkamia' katobara-barakangku' namupentamai inne sara kanikkaangku' mako di inne tobaine." U' de masae allo mako alla'na, masaramo todapa' mampapadua kapebaineangna maradika situru' umba tente ada'na ianna maradika na mebaine. Pura nikka inne sangallo lapokkasiasi siala maradika. Napalaiangmo maradika inne lapokkasiasi sau di sapona.

Masa-masae mako siala maradika inne lapokkasiasi. Nakarana kakaiyanganna Puang Allah Taala. mansalasi'dado karampuang inne lapokkasiasi. Narang masae mako mansala karampuang mabarra'do ara'na. napesuduangmo maradika niposara uri'na apa' u'demo na masae ampele' mange'deng. lnne toia maradika lumampamo sumombang sau di Sa'la' apa' na mangalli poe-poe ammas siola rantoe ammas na napoke ana'na ampunna' nipeanakangmo. Di naengeina meangka' sangallo maradika, mappasangmo mako di baine matuana mangkua: "lyyanna madondong duambongi ampele' kabussa' lumampa sumombang sangnging manjampangngi Ie'ba'ko ingkamia' mako disaruemu. Sisalle-salleko ingkamia' nena mampadidi ana'na ampunna' napaola macoa banggi lalang Puang AllaTaala." Pirambongi areki itte kabusna maradika lumampa sau sumombang. Manggidammo inne laokkasiasi, gimbar tallu ana'na, setto memposi-posi' mottia, setto mendada-dada ammas, ampele’ setto mebarambang ammas, Anu memposo-posi mottia iyyamo tobaine ampele' laengna sangnging tommuane.

Nakarana malana tiana inne lapokasiasi su'be dimaradika, u'de nitibikkang ampunna' diang memang sipa' siri' atena inne baine matuana maradika mako di lapokasiasi. Jari, tappana meana'do, diang memangdo kedo salakekana, mangkua na nabuniang inne nakeke ampunna' mensaudo dinamang, ampele'na nasallei ana' pinaka ana buriki. Ditentenamo inne ampele' naengeina mampenge'dengang inne nakeke, tappana dinamang inne nakeke ampele' nasallei mako ana' buriki mane' napangkuai mako di topenge'deng: "Akalai ana' buriki ki mupeanakang?" Nakuamo topenge’deng: U'de kuinsang ingkamia' apa' pampesa'dingku' todapa'ki sau kupeanakang. Iyyaki ia mukuaki ingkamia' ana' buriki, nakulle iyyaki ittu tongang."

Tente lolomo inne napogau' i'i narang ganna' pentallung sau mampenge'dengang situru-turu' ana'na; sanging nasallei ana' buriki disesena inne nakeke tetallu sangallo, nibuniang masiga ampele’ nibaba tama di loppo nitibe, jalingmo itte nakeke di alia' loppo, sikakirri' sumangi' apa' madinging. Jaling di itte engeangna nakeke nitibe, nasitujuang toiyya liu nene' pantoro na tama mangalalle kaju api. Manrangngomo diang nake-nekeke sikakirri'. Mellampamo mako nakitai di alla' lappo. Narumpa'mo tallumbatu nake-nakeke, setto tobaine  dedua tommu-tommuane. Naalamo nene’ pantoro inne nake-nakeke ampele' nababa mako di barung-barungna napaki-pakiki tanda' kaya-kaiyang.




Tituali tau' bomo nirampe inne maradika: "U' de masae lampana su'bemo toia mambaba poe-poe ammas siola rante ammas. Napekutanaangmo karebana inne bainena anu tiana napellei. Nakua maradika mako di baine matuana:"Puramo maena' saruemu?" Pada mambalimo mako di maradika mangkua: "Pura meana'. Pue, iyyaki ia sangnging buri-burikiki napenge'dengang, tallumbadang." Mangkua bomo maradika: "Jari, apa pattujumu ingkamia', apa' boreborekangki ittu iyya?" Nabalimo baine matuana maradika: "Maradika banggi ittu ia, assai u' de nipepepatei ." Nakuamo maradika; "Babamo naung di bui' sapo ampe' niseatang jaung di ta'burang, ampele' musititte-tittemei ingkamia' naung a'ba'na." Jari, jaungmo itte lapokkasiasi allo bongi niseatang di biring ta'burang sema dibao di sapo su'be titteme sipatunna kalo'bo'na naung, narodo' bomo naung a'ba'na. lnne sangallo laponnakeke tetallu anu nitibe tama di loppo, jaling

lolomo toia napanapakiki nene' pantoro narang menjari ka-kaiyyangmo mako. Masa-masae mako, manarangdo mampasisembe' manu' . Diang sewattu sau inne nakeke di biring bone mampasisembe' manu' apa' mamanya toia maradika mampadiang karoa-roakang papasisembekang manu'. Sangnging mampasisembe'mo manu'na ampana to su'be mambaba manu'. lnne nakeke napeppei ia pensuungna manu'na maradika apa' ia melo' na naeba na napasisembekang. Tappana mensuungdo manu'na maradika, u'de diang barani mangeba mampasisembe' manu'na apa' marakka' mapebetai manu'na maradika. Narang mensanna inne nakenakeke iyya mangkua: "Yaku' mangeba manu'na maradika." Madamamo maradika marrangngo. Nakua maradika: "Diang banggi apa-apammu na mupangebaang?" Mensannamo inne nakeke mangkua: "0o..' dediang Pue., Iyyaki iyya punna nibetaa' ingkai', kalaeki' tallu baoki kipassiogorang." nakuamo maradika: "Melo' banggiko kugere' punna nibeta manu'mu? Nakuamo itte nakeke : "Elo-elo'na maradika; kuiyo-iyoi pissang." Tappana bottu do kasikana-kanaangna itte nakeke sibali maradika. nipasisembe'mo manu'na. Masae sisi'da silotteng; silangki mallawang silangki silurui. Narang mengkoe' manu'na maradika apa' u'demo paeba. Betanaki manu'na maradika mangkuamo maradika mako di itte nakeke: "apamo na mupendodo do yaku' pansalle betana manu'ku?" Nakuamo itte nakeke: "Ampunna' mala, ittemo jaling to niseatang dibiring ta'burang nibeanga' ingkai' maradika. " Mensannamo maradika: "na muapaki itte apa' to bore-borekang kaiyyangki itte iyya'?" Nakuamo itte nakeke : "Sonaimo Pue, mangapa are itte am·pele' manua sisi'da nyamaki' mangkita, ingkai'pa mampaccingngi kalaena, barang mala kuala indo' ingkai' apa' matua begado neneki' u'demo pakulle bega meuja' "Nakuamo maradi ka: "Alamo ampunna mukasseiki." Mamanya nalassui pesea'na itte lapokkkasiasi ine nakeke, nasu'beimo pikkirang maradika mangkua: "lnne nakeke, setto tobaine dedua tommuane mangalalle indo'. Jari battuangna u'de diang indona, siola tomo, inne nakeke tomo, inne nakeke manau sisi'da nyamana mangkita itte to niseatang jaling di ta'burang, da’a-da’a diang kasiupukang ate na, iyya torno, di tempona meana' inne tobaine. u' de ku kita. Saruena kaleki kadiniang. ampele' inne lapossarue u'de diang meana', diang areki bua nasamboi duang di alla'na inne pempogaukang ?" Pura nalassui pesea'na inne lapokkasiasi, nababa i’imo naung di lelo' narorossi kalaena angga mapaccingna, mane' napalaiangmo tama disapona itte nakeke.

Diang setto wattu narangngo karebana inne nakeke mangkua diang meonto jaling di lakkana batu jaling di pangale setto manu-manu' nangarang todapa' dorra-dorra panrita. Itte dorra-dorra panrita nainsang pissang nakana-kana anu pura matta'ie diola', tente tomo apa-apa na mesu'bei nena. Di tentenamo itte ampele' inne nakeke naparri-parri sisi'da melo' nanaala itte manu manu'. Napangkuaimo nenena: "0, nene', dakanga' pappitu tallo' manu' ampele' pappitu katupa' pandengbau, apa' melo'a na kupebokung dai' mangalle itte dorra-dorrea panrita." Mangkuamo nenena: "Daako dai', Ampoku', apa' na mateko," Nakuamo itte nakeke: "U' depa niinsang Nene', na mateku' di u'dena, umbaki iyya kita inne kulasi kupambula. laona ganna' pitumbongi kabusku' ampele' malassuki, matea' ittu di lampaangku'."




Tappana diangmo bokungna, meangka'mo tama di pangale inne nakeke setto-settona. Ganna' pitungallo kabusna, nakitamo itte kulasi malussu daunnna. Nakua i’imo: "Malassuki inne daunnna kulasi. Battuangna inne, mate solasuungta' di lampaangna." Mangkuamo solasuung tommuanena settopa mako di nenena: "Kapiaanga' taku' bokung, Nene! Na lumampaa kulalle solasuungku' ." naposaramo nenena magkua: "Daako lampa apa'-na mateko tongko!" Nakua inne nakeke : "U'de mangapa, Nene', Diangki ittu diting kulasi kupambula, mukita-kitapa, laona mamanya-a' kabus ampele' malassuki, matea' taku' ittu." Ganna' pitumbongi kabusna, malassu si'dado toia inne daungna kulasi. nakuamo solasuung tobainena inne nakeke mako di nenena: "Malassuki itte daungna kulasi, Nene'. Mate areki itte solassuungku', ampunna' tente itte, pepetampaanga' nene' palopa' tallang makumbang samparebangang.lanna diangmo palopa' tallangku' mane'mudakanganga' taku' pebokungang sitente solasuungku'. "Nakuamo nenena mako di itte nakeke: "Na purako ingkamia' mate ampunna' tente ittu kedomu." Nakuamo itte nakeke: "U' demo ittu mala ampunna' u' de tente, Nene', apa' apamo karanana setto-settoku'do tuo?" lngko banggi ia apa' kuposara banggimoko lumampa," nakua nene' pontoro.

Jari, tamamo toiyya inne solasuung tobainena di engeangana itte dorra-dorra panrita. Su'be tama, nikitamo solasuungna dedua baona sangnging mate. Apa napogau'? makomo di kasiringna solasuungna ampele' sangnging natappi waisu'be di tampa'belua'na. U'de masae sangnging membulla inne solasuungna apa' tuoii tituali . Pura itte, makomo inne solasuung tobainena di lakkana batu anu naengei jaling itte manu-manu'. Mekkambaroangmo inne lapommanu-manu', nakua: "Da'ako domai apa' na mateko tongko. "U'de naperangngoi kanakananna itte manu-manu'. Tarruski tama nakoko ampe' nasakka itte manu-manu'. Mamanyanaki nakoko, tappa sirapakang tituali inne batu. Nasitta' sau limanna, napasisitta' siola itte dorra-dorra. U'de mala kaepekang limanna apa' diang sangallo inne palopa' tallang makumbang napake, mallangga jari meonto palopa' tallang naepe' batu, tapi mala losu limanna sau siola manu-manu'. Pura itte mako. malaiimo tituali sau di sapona tetallu siola, ampe' nababa itte manu-manu'. Su'be sau di saponaii, makkana-kanamo inne lapommanu-manu' mako di inne nakeke tetallu siola mangkua: "Ingkamia! ittu sitonga-tongang ana'na maradika. Naia indo' si'damu. iamo ittu simata muala indo-indo' ingkamia'. Ampele' malako tanda' di inne dini. apa'natibeko ingkamia' baine matuana maradika, mane'na salleimoko tallumbadang buri-buriki mako di indomu lama ittu ampele' niseatang jaung di biring taburang indomu apa' nangarangngi maradika buri-burikiki napeanakang." Nainsangnaki inne laponnakeke mangkua inne iyya i’i ana'naki maradika ampele' itte indo-indona indo' si’danaki sangging sumangi mo marranggo, apa manau nyamana nasa’ding napatente itte i’i siola indona su’be baine matuana Maradika.


Baca juga, Topenjari Dujung




U' de masae palabangngna, narangngomo toiyya maradika mangkua diang manu-manu' manarang makkana-kana jaling naala itte nakeke. Napesuduangmo maradika niperoa itte nakeke sau disapona maradika ampele' nipasang tomo nababa le'ba' manu-manu'na' apa' melo' na nakita maradika siola melo' nanarangngo makkana-kana. Di tentenamo itte, meangka' i’imo sau di olona maradika siola manu-manu'na. Su'beii sau' nakuamo maradika: "Sudude' makkana-kana ittu manu-manu'mu apa' melo' na kurangngo. Masasa' bega kareba mangkua ittu manu-manu-mu manarang bede makkana-kana. Mensannamo itte nakeke mangkua: "Malabanggi, Pue, nisudu makkanakana ampunna' u' de diang nena to na menrabung naung di tampo ianna mamanya makkana-kana inne manu-manu'. "U'de diang tonamenrabung lea, ampunna' diangki kuinsang to menrabung nena' kepesuduangpa nitarungkung, ampunna' niparalluang, nipali’ tomo." Narang marappi nasang todapa' di bao di sapo, tente tome ampana baine matuana maradika, apa' melo' na mangkita siola na maperangngoi pakkana-kananna itte manu-manu'. U' de masae, makkana-kanamo inne lapommanu-manu', Nagaluttar nasang dai' ampana gau-gau'na inne baine matuana maradika: mamparimula menge'deng indona inne nakeke, mane' nasalleii ana' buri-buriki tanda' mako nitibena tama di loppo, narang su'be maradika ampe' niseatangmo indona jaung di biring ta'burang, puranaki makana-kana inne lapommanu-manu' jao di olona maradika, tappa silalona sangnging mapillas i’i rupanna rapang kunis pura reppo', inne ampana baine matuana maradika. 

Sangnging moro’opang i’imo naung di bitting'na maradika sumangi' ampe' naudung pala'bitti'na maradika, Sangnging mangkua i’imo: "Salaa' ingkai', Maradika, apa' tongangki ittu iyya anu nakua manu-manu'. Iyya kaleki itte barang mala u'dea' ingkai' nipesuduang nipatei. Sonaimo ingkai' naala batua pissang ittu nakeke." Nakuamo maradika: "Ampunna' tente ittu pengkuamo i’i, sala si'dakiko ittu ingkamia'. Ampunna' melo' banggi ittu nakeke mapebatua i’iko, sonaimo." Pura itte makkana-kana maradika, mensannamo inne laponnakeke mangkua: "Ude ittu ingkai' melo' na mampebatua apa' u' depa siangga' passessana indoki' Iyyapa ingkai' melo' ampunna' niseatang i’i toiyya jaung anu pura naengei manseatang indoki', mane' malamo siangga'." Nakuamo maradika: "Pada murangngomo ingkamia' apa nakua itte nakeke, tenna' elo 'ku'ki kupesuduang pissangko ingkamia nigere' apa' masiri' ate bagako mako di saruemu ingkamia'." Jari punna itte, napesuduangmo maradika niseatang pissang ampana baine matuana jelung di engeang rura naengei itte indona nakeke. Napesuduang tomo nibembeng domai itte indona nakeke sau di maradika naala baine maradika. siola ana'na tetallu baona ampele'itte' pantoro. (Arman Husain 2021).

Lasalaga Dan Mitos Yang Melegenda

La Salaga dengan Keris Pusaka Manurung atau Keris Badung adalah mitos yang tak surut oleh zaman dalam kebudayaan Mamuju sampai-sampai menjadi bahan perbincangan dan perdebatan oleh kalangan budayawan dan penggiat sejarah di kabupaten Mamuju, betapa tidak cerita yang dianggap mitos ini menjadi sebuah cerita yang melegenda dengan gelaran ritual adat “Massosor Manurung” yang sampai saat ini masih dilaksanakan oleh pemuka hadat dan pemerintah kabupaten Mamuju setiap tahunnya.


Prosesi Adat Manossor Manurung
Sehingga ketika kedatangan kapal dari kerajaan Badung berlabuh di sebuah kawasan pantai dimuara sungai Mamuju yang sampai saat ini dikenal dengan nama Labuang Tobali [1] atau pelabuhan orang Bali disebuah kampung Kasiwa yang konon orang Bali yang memberikan nama diambil dari nama salah satu dewa dalam mitologi hindu yaitu Dewa Shiwa. Dikatakan bahwa kedatangan raja Bali ke Mamuju bertujuan bukan untuk menghadiri undangan untuk acara adat seperti yang sering di ceritakan akan tetapi untuk menghadiri undangan tantangan dari raja mamuju untuk mengadu ayam (sabung) dari Mamuju dengan ayam dari kerajaan Bali.[2] Diperintahkanlah salah seorang pengawal oleh Maradika untuk mempersilahkan kapal rombongan dari Bali itu untuk memasuki muara Sungai Mamuju.
Dan diantara mereka seorang putrinya yang cantik jelita ikut pula dalam kapal rombongannya dalam sebuah kamar di dalam perahu tersebut dan di jaga oleh beberapa orang pengawal kerajaan. Raja dan masyarakat Mamuju menyambut tamu dari kerajaan Badung Bali dengan rasa suka cita sebagai tamu kehormatan kerajaan dan dipersilahkanlah para tamu kehormatan itu ke istana kerajaan. Tak disangka di dalam perahu kerajaan nampaklah seorang Putri yang cantik jelita sehingga terdengarlah oleh raja Mamuju tentang kecantikan Putri Badung tersebut, singkat cerita Sang Pangeran pun akhirnya melihat sendiri kecantikan Sang Putri dan akhirnya kedua insang manusia ini bertemu kasih dan menjalin suatu hubungan tanpa diketahui oleh raja Badung sebagai orang tuanya sampai saat kembali pulang ke tanah Bali.

Diceritakan bahwa setiap malam ketika mengunjungi tamunya di kapal tersebut, di setiap itu pula bebarapa orang suruhan raja turun kesungai untuk menutup jalur kapal dengan batu-batu agar kapal tersebut karam dan tidak bisa keluar dari muara sungai.

Sesampai di Bali Sang putri beberapa waktu kemudian lalu mengandunglah anak dari hubungan dengan Pangeran dari Mamuju[4]. Namun kehamilan Putri akhirnya di ketahui juga oleh raja saat itu dan membuat Sang raja menjadi murka sehingga Sang putri di usir dari Istana Badung dan dikurung dalam penjara pengasingan yang dijaga oleh pengawal kerajaan, sampai saatnya akhirnya Sang putri yang hamil tiba waktunya akan melahirkan. Namun amarah raja Badung akhirnya mereda setelah mengetahui Putrinya akan melahirkan, rupanya tradisi “judi” yang telah melekat pada masyarakat Bali pada saat itu sudah sangat mendarah daging bahkan pada saat Putrinya melahirkan juga di adakan taruhan untuk menentukan seorang cucu anak laki-laki atau perempuan sehingga terjadi kebisingan di luar kamar pengasingan ketika Sang putri dalam perjuangannya melahirkan anaknya tiba-tiba taruhan itu terganggu oleh suara-suara para penjaga yang ketakutan sekaligus heran dan takjub melihat secara tiba-tiba dibawah tanah tergeletak sebuah keris sepanjang setengah lengan yang berasal dari janin keluar bersama bayi laki-laki itu, dan setelah melahirkan Sang ibu mengambil keris tersebut dan menyimpannya dengan penuh kasih seperti juga rasa sayangnya kepada sang anak tersebut.

Dan tersebarlah berita dan akhirnya sampai juga ke kerajaan Mamuju bahwa Sang putri telah melahirkan seorang anak laki-laki kembar dengan sebilah keris, ini pula yang membuat raja Badung merasa sangat sayang kepada anak tersebut. Dan seiring waktu anak itu tumbuh besar dalam lingkungan kerajaan Badung yang saat itu di bawah kekuasaan dinasti raja Kyahi Arya Tegeh Kori raja Pemecutan I. Kemudian Raja Mamuju bersiasat untuk mengambil anak tersebut yang merupakan keturunannya yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan Mamuju. maka dikumpulkannya para pembesar kerajaan untuk mencari cara untuk mengambil anak tersebut dari kerajaan Badung.

Di kerajaan Badung pada saat itu dilanda paceklik dan kelaparan di sebabkan murka dewa karena disebabkan di asingkannya Sang putri sehingga raja akhirnya membawa kembali Sang putri ke istana Pamecutan di Badung, dalam buku itu pun diceritakan bahwa setelah kedatangan utusan dari raja Mamuju, niat untuk membawa pulang anak tersebut tidak mendapat persetujuan dari ibunya sendiri dan para utusan itu pulang dengan tangan hampa.

Melihat kegagalan utusan yang pulang tanpa hasil tersebut, Maradika tidak berputus asa setelah beberapa waktu kemudian Maradika kemudian kembali mengadakan musyawarah dengan para pembesar kerajaan untuk mencari cara yang terbaik agar anak tersebut bisa datang ke Mamuju dan, sampai diputuskanlah bahwa untuk membawa anak itu haruslah di iming-imingi dengan sesuatu yang menarik bagi anak tersebut dan bagi raja Badung itu sendiri agar mengizinkan anak itu dibawa ke Mamuju walaupun akan di kembalikan lagi ke Badung kemudian hari.

Berangkatlah beberapa perahu yang telah dibekali dengan berbagai macam hadiah berupa perhiasan emas dan permainan gasing yang terbuat dari emas yang di pimpin oleh Sakkaq Manarang atau seorang cerdik pandai dan beberapa orang Punggawa Tobarani dari Mamuju. Karena raja tidak mau keinginannya untuk kali ini gagal lagi tidak tanggung – tanggung emas yang dibawa cukup banyak sehingga disebutkan banyaknya sampai seperti dua gunung emas dan ada pula permainan seperti Juppiq  emas [5]dan Gasing emas[6] untuk memikat anak tersebut.


Keris Pusaka Manurung atau Keris Badung
Sesampainya di Badung orang suruhan raja Mamuju langsung menghadap ke istana kerajaan Badung dan mengutarakan maksud kedatangannya yaitu membawa kabar bahwa ayahanda La Salaga telah wafat dan berkehendak membawa pulang anak raja dengan menyerahkan hadiah pemberian berupa emas yang banyak kepada raja Badung, akan tetapi pemberian tersebut tidak dapat merubah pendirian raja Badung dan tetap saja menolak tawaran dari kerajaan Mamuju, akan tetapi Sakkaq Manarang tidak kehabisan akal dan tidak mau gagal untuk kedua kalinya dengan cara mempengaruhi anak tersebut dengan permainan.

Pada akhirnya anak itupun terpikat untuk dibawa ke Mamuju akan tetapi Sang bunda tetap bersikukuh tidak menginginkan anak tersebut di bawa ke Mamuju walaupun telah diberi hadiah yang cukup besar. Setelah berhasil mempengaruhi anak itu bahwa jika mau datang ke Mamuju akan diberi permainan yang lebih banyak lagi. Sakkaq Manarang[7] lantas meminta kepada Sang bunda kalau anak itu di ijinkan untuk tidur bersama-sama dengan mereka di perahu orang Mamuju satu malam terakhir sebelum mereka pulang keesokan harinya kembali ke Mamuju dan juga akan mengajari anak itu bermain gasing dan sebagai pelepas rindu untuk bersama-sama dengan anak itu terakhir kalinya yang juga anak raja dari Mamuju, maka Sang bunda tidak keberatan dengan hal tersebut karena di perahu juga ada pengawal kerajaan yang mengawasinya. Anak itupun bersama-sama dengan utusan dari Mamuju semalam suntuk bermain di dalam perahu sampai anak itu terpengaruh ingin datang ke Mamuju setelah mendengar rayuan Sakkaq Manarang, karena merasa  telah berhasil mempengaruhi anak itu Sakkaq Manarang pun merasa bahwa tidak baik membawa anak itu tanpa membawa pula kembarannya yaitu sebilah keris yang diberi nama “Manurung”.

Setelah menyusun rencana dengan matang, utusan dari Mamuju segera mengatasi pengawal anak itu dan melobangi perahu-perahu yang ada sampai tenggelam agar tidak bisa disusul nantinya jika sudah pergi, maka disuruhlah anak itu untuk mengambil saudaranya agar dibawa bersama-sama ke Mamuju yang tersimpan di dalam kamar Sang Bunda di istana dengan segera agar tidak ketahuan diambillah dengan cara sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan ibunya diambillah keris itu dengan tergesa-gesa karena takut ketahuan akhirnya keris itu tercabut dari sarungnya, dan sarungnya dan tertinggal di istana kerajaan Badung.

Keesokan harinya kapal-kapal utusan dari Mamuju telah berlayar dengan membawa anak itu beserta keris pusaka kembarannya menuju ke perairan Mamuju. Dan para pengawal yang mengetahui kejadian tersebut berencana menyusul tapi apa daya semua kapal-kapal milik kerajaan Badung telah tenggelam kedasar laut, Sang Bunda pun tidak berdaya dengan hal itu dan akhirnya merelakan kepergian anaknya.

Sesaat sebelum menginjakkan kakinya kedaratan Mamuju anak itu memberitahukan kepada utusan raja untuk menunjukkan dimana musuh-musuh kerajaan Mamuju saat itu, di Muara sungai Mamuju itu pula akhirnya La Salaga diberitahukan bahwa kelak akan menjadikan kerajaan Mamuju menjadi besar setelah menaklukkan dua wilayah adat yang ditunjukkan sebagai  musuh oleh utusan tadi yaitu hadat di Padang dan hadat di Rangas yang tak lain adalah Managallang dan Kurri – kurri.

Tidak lama kemudian diangkatlah La Salaga menjadi raja, tetapi karena La Salaga saat itu masih berumur sangat muda sehingga jiwa kepemimpinannya masih sangat labil, dan suka berbuat onar sehingga masyarakat dan hadat kerajaan meminta agar La Salaga kembali ke Badung untuk menemui ibunya sebagai anak yang masih muda dan beranjak dewasa dianggap sangat membutuhkan sentuhan kasih sayang dan bimbingan dari seorang ibu. Sejak saat itu kembalilah La Salaga ke Badung untuk menemui ibunya, akan tetapi di Badung kelakuan La Salaga semakin menjadi-jadi dengan melakukan kekacauan di Badung dengan menyerang tetangga kerajaan Badung yaitu kerajaan Sassa.

Sehingga suatu saat diundanglah raja Badung oleh kerajaan Gowa sekitar tahun 1575, yang saat itu diperintah oleh I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa  Tunijallo (1565-1590), untuk menghadiri acara pernikahan salah seorang putrinya. Raja Badung membawa serta putri dan cucunya, La salaga. Sehingga (pen-red) berasumsi bahwa nama La Salaga itu diberikan oleh raja atau masyarakat Bugis yang hadir pula saat itu, sesuai dengan adat kebiasaan gelar bangsawan di Bone dan Gowa dengan menggunakan awalan “La, dan “I- sebagai gelar untuk bangsawan untuk tamu kehormatan. Mengingat dimasa inilah kerajaan Bone dan kerajaan Gowa dalam kondisi dibawah perjanjian perdamaian kesepakatan (Ulukanaya ri-caleppa), yang diadakan di sebuah tempat bernama Caleppa. Setelah peristiwa dibunuhnya raja ke-11, I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte, di kerajaan Bone sesaat setelah menginvasi kerajaan tersebut.

Mendengar kehadiran La Salaga di kerajaan Gowa, berkumpullah para anggota kerajaan Mamuju untuk memanggil kembali La Salaga ke Mamuju, berhubung karena kosongnya tahta kerajaan karena raja Mamuju Tomejammeng telah wafat (1575) saat itu, sehingga kondisi kerajaan tanpa seorang raja telah banyak terjadi konflik di internal istana kerajaan Mamuju bahkan sampai terjadi pertumpahan darah, maka berangkatlah beberapa punggawa kerajaan dan Tobarani ke Kerajaan Gowa.

Pada akhirnya La Salaga bersedia juga kembali ke Mamuju dan dinobatkan menjadi Maradika pada tahun 1580, dan menikah dengan kerabat terdekat dari ayahnya, La Salaga hanya 5 (lima) tahun menjabat sebagai raja dengan keris Pusaka Manurung penaklukan kerajaan Kurri-kurri dan Managallang akhirnya terwujudkan oleh La Salaga, kesaktian Keris Pusaka Manurung akhirnya membawa kerajaan Mamuju mencapai puncaknya dengan menggabungkan wilayah taklukkannya dan membentuk sebuah kerajaan besar yaitu kerajaan Mamuju yang di pusatkan di Tarambang adalah kerajaan Mamuju sebelumnya yang bernama kerajaan Langgamonar. Sejak saat itu wilayah kerajaan Mamuju di tentukan batas-batasnya setelah di kalahkannya Ringgi dan Bunu-bunu melalui sebuah kesepakatan perjanjian Kalumpang, yaitu mulai dari Pembuni[8], sampai ujung batas Mamuju di Lalombi[9], dan sampai Lebani, yaitu seberang sungai Simboro (Desa Sumare), atau mulai dari tanah Kaili (Sulawesi Tengah), di sebelah timur berbatasan Luwu (Sulawesi Selatan).[10]

La Salaga kemudian dilantik menjadi Maradia Pamboang tahun 1608, dimasa pemerintahannyalah ajaran Islam masuk ke Pamboang setelah kedatangan seorang penyiar Islam dari tanah Arab yaitu Sayyid (Syech) Zakaria yang bergelar Puang disomba dan Islam menjadi agama resmi pertama kali di kerajaan Pamboang. Dimasa inilah La Salaga sangat menekuni belajar Islam dan mengislamkan seluruh keluarga dan bangsawan kerajaan Pamboang dan kerajaan Mamuju saat itu yang menjadi raja Mamuju adalah keturunannya yang juga diberi gelar Tomatindo dibuttu pagjang. Sampai akhir hayatnya La Salaga meninggal dalam keadaan khusnul khotimah ketika dalam melaksanakan ibadah sholat sehingga La Salaga di beri gelar “Tomatindo diagamana” atau sering juga digelar “Tomatindo disambayanna” (yang meninggal dalam sholatnya).

Referensi :


[1] Mengenal Mandar Sekilas Lintas. A. Syaiful Sinrang . 2001. Hal : 8
[2] Indische Taal Land en Volkenkunde Deel, NOTA BEVATTENDE EENIGE GEGEVENS BETREFFENDE HET LANDSCHAP MAMOEDJOE_ Legende omtrent de rijkssieraden. Bijlage VII/53. hlm:  150-152.
[3] Dalam Lontar Mandar disebutkan Raja Mamuju yang pertama bergelar Nenek Tomejammeng.(A. M. Mandra,1991). 
[4] Dalam terjemahan lontara Mandar, yang ditransliterasi oleh A.M, Mandra tahun 1991, dikatakan bahwa Maradika telah memperistri putri Bali, dan putri sampai mengidam dengan meminta berbagai macam buah-buahan dan kerang laut.
[5]Juppiq sejenis permainan tradisional yang terbuat dari batok kelapa yang bentuknya seperti hati.
[6]Gasing merupakan mainan tertua yang ditemukan di berbagai situs arkeologi dan masih bisa dikenali. Selain merupakan mainan anak-anak dan orang dewasa, gasing juga digunakan untuk berjudi dan ramalan nasib. Sebagian besar gasing dibuat dari kayu, walaupun sering dibuat dari plastik, atau bahan-bahan lain. Kayu diukir dan dibentuk hingga menjadi bagian badan gasing. Tali gasing umumnya dibuat dari nilon, sedangkan tali gasing tradisional dibuat dari kulit pohon. Panjang tali gasing berbeda-beda bergantung pada panjang lengan orang yang memainkan.
[7] Sakkaq manarang adalah orang cerdik (pandai besi) dari istana kerajaan.
[8] Pembuni adalah kawasan hutan yang dihuni suku-suku pribumi disebut topembuni (orang yang bersembunyi) disini yang dimaksud adalah suku terasing yang mendiami sekitar di wilayah Nunu (Palu) sampai Pasang Kayu atau yang sering disebut suku Torominggi (Binggu) yang saat itu dikuasai oleh kerajaan Mamuju.
[9] Lalombi merupakan wilayah administrasi di kecamatan Benawa, Kab. Donggala Sulawesi Tengah.
[10] “Lontar Mandar” yang ditransliterasi A. M. Mandra pada tahun 1991 (bagian dari Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

(Arman Husain -2017).

Manusia Pertama Di Wilayah Mandar

Sejak dimulainya penggalian di daerah Sampaga pada bulan Mei 1933 di Lembah Sungai Karama Kabupaten Mamuju yang menemukan beberapa peralatan prasejarah seperti batu dan gerabah. Yang lalu kemudian dilanjutkan dengan dua kali penelitian di tempat yang sama di Bukit Kamassi’ yang menemukan alat-alat seperti pisau, kapak batu, kapak batu segi empat mata panah yang halus, beserta pecah-pecahan tendiker yang berukir. Penggalian pertamanya sendiri dilakukan oleh PV. Van Callenfels pada tahun 1933 di bagian tikur sedangkan penelitian yang kedua dilakukan oleh Dr. HR. Van Heekeren (1949) menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu, yang ada kemiripannya dengan Neolithic di Luzon (Philipina), Manchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan di bagian selatan puncak Magassi’ ini juga ditemukan gerabah berhiasyang dinilai oleh para arkeolog telah menunjukkan keteraturan kebudayaan di daerah Kalumpang Kabupaten Mamuju ini terlingkup dalam satu wilayah Sa-huynh Kalanay, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan Pasifik.

Hal berikutnya juga pernah dilakukan oleh Dr. FDK Bosch yang mencoba membandingkan hasil temuan Amiruddin Maula salah seorang tokoh pendidik di Kabupaten Majene yang menemukan Patung dan dibandingkannya dengan patung Budha dari Solok Sumatera Barat, Kotabangun Jambi, Kalimantan Barat, Gunung Lawu, Jawa Tengah, kesimpulannya, tidak ada satupun kemiripan atasnya. Dan setelah dibandingkan dengan patung budha yang ada di India, Muka dan Gandhara, kesimpulannya kemudian bahwa patung tersebut dipengaruhi oleh gaya dan kemiripan dengan Budha Greeco yang ada di India Selatan yang beraliran kesenian Amarawati yang juga sangat besar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-2 dan 7 Masehi. (ibid).

Dari sini kemudian dapat diterjemahkan bahwa keberadaan Manusia pertama di Mandar sesungguhnya telah lama ada. Hal itu dikuatkan oleh hitungan abad yang menjadi dasar dan pertimbangan atas temuan-temuan tersebut diatas. Yang kemudian diperkuat lagi oleh hasil penelitan yang konon pernah dilakukan HR Van Heekern bahwa kapak-kapak pembias yang ditemukan di Indonesia ada kemiripan dengan yang ditemukan di Yunan dan Tongkin (Tiongkok Selatan). Hal ini menguatkan pemahaman dan lalu melahirkan kesimpulan bahwa, orang-orang Austronesia sesungguhnya berasal dari Yunan dan Tongkin dan masuk ke Indonesia sejak 1000 tahun yang lalu. 

Beranjak dari pengertian diatas ini, hal yang juga mungkin ada baiknya jika di ungkap adalah, tentang pandangan lain yang menjelaskan bahwa orang Sulawesi Selatan-termasuk Mandar-pada umumnya berasal dari ras Mongoloid yang masuk melalui jalur Philipina, lalu menyeberang ke Sulawesi dengan jalan menyusuri Selat Makassar dan merapat di pesisiran Barat Pulau Sulawesi. Konon seperti dikisahkan pula bahwa, kedatangan mereka pertama kali secara berkelompok dan bertahap. Awalnya tinggal dan berdiam didaratan dekat pesisiran, lalu dengan perlahan mereka lalu masuk gunung dan tinggal di gua-gua, hidup berburu dan mengembara di hutan-hutan. Ibrahim Abbas (1999).

Mandar seperti halnya komunitas tradisoinal dan klasik lainnya yang juga mengalami kekaburan mata rantai sejarahnya, kalau tidak kasar disebut sebagai keterputusan pintalan sejarah. Hal mana lebih di akibatkan oleh adanya kepercayaan bahwa kelahiran manusia pertama di Mandar lahir dan turun secara sporadis dari khayangan atau turun dari langit (manusia langit-pen), seperti di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya Tomanurung yang konon adalah manusia pertama di Mandar. Lahir dari belahan bambu atau yang lebih dikenal dengan Tobisse ditallang. Atau yang lahir dan miniti dari atas buih air laut yang dikenal dengan To Kombong di bura atau yang terbuang dari perut ikan hiu yang dikenal dengan Tonisesse di Tingalor. Hal ini tentu sulit untuk dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Namun itulah realitas kesejarahan yang lalu melegenda dan di yakini adanya oleh sebagian besar masyarakat Mandar, dan Konon termaktub dalam lontar (naskah lokal-pen). Lebih jauh dari itu, To Manurung inilah kemudian yang juga di yakini menjadi cikal keturunan manusia pertama dan penguasa pertama di Tanah Mandar.

Dari tujuh orang putra-putri Pongkapadang, kemudian lahir sebelas orang cucu Pongka Padang. Inilah yang kemudian menurunkan orang-orang Mamasa secara khusus dan Sulawesi Barat secara umum, masing -masing:
1. Dettumanan di Tabulahan, 
2. Ampu Tengnge’(tammi’) di Bambang, 
3. Daeng Matana di Mambi, 
4. Ta Ajoang di Matangnga, 
5. Daeng Malulung di Balanipa (Tinambung), 
6. Daeng Maroe di Taramanu’ (Ulu Manda’),
7. Makke Daeng di Mamuju, 
8. Tambuli Bassi di Tappalang, 
9. Sahalima di Koa (Tabang), 
10. Daeng Kamahu, Ta Kayyang Pudung di Sumahu’ (Sondoang), 
11. Ta La’binna di Lohe Galumpang (Mangki tua).

Dalam beberapa Lontar di Mandar sepakat menunjuk bahwa Manusia pertama adalah yang berkembang di Mandar, ditemukan di Hulu Sungai Saddang dan merekalah Tomanurung (orang yang turun dari langit atau juga disebut turun dari kayangan,titisan Dewa) dan Tokombong dibura bernama Tobanuapong  yang memperistrikan Tobisse Ditallang yang melahirkan lima orang bersaudara,yang pertama bernama I Landobeluaq dialah berdiam di Makassar kedua bernama I lasokkepang, dialah yang berdiam di Beluak yang ketiga bernama I landoguttu di Ulu Sadang, yang keempat bernama Usuksabangang dialah yang tinggal di Karonnangan kelima bernama Pakdorang dialah yang berdiam di Bittuang.

Namun versi lain juga ada yang menyebutkan bahwa awal muasal manusia Mandar adalah Pongkapadang yang merupakan turunan dari Tobisse di Tallang dan Tokombong di Bura yang lalu melahirkan 7 anak di hulu Sungai Sa’ dang yang kemudian menyebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Salah satu diantaranya adalah Pongkapadang yang kemudian menurut penuturan sejarah memilih berdiam di Tabulahan dan menikahi seorang gadis yang kemudian dikenal bernama Torije’ne. Kedua pasangan ini kemudian beranak pinak yang kemudian di percaya menjadi pemimpin di beberapa kerajaan di Mandar. Sekitar abad ke-11 M. (Sarman Sahudding. 2004).

Pongkapadang adalah salah satu dari tujuh orang anak hasil perkawinan Tomanurung (orang yang turun dari langit atau juga disebut turun dari kayangan (titisan Dewa) dan Tokombong dibura bernama Tobanuapong yang memperistrikan Tobisse ditallang melahirkan sebelas orang anak yaitu:
1.   Daeng Tumanan (Dettumanang)
2.   Lamber susu (lombeng susu)
3.   Daeng Mangana
4.   Sahalima
5.   Palao
6.   To andiri
7.   Daeng palulung
8.   Todipikung
9.   Tolambana
10. Topani bulu
11. Topalili
Dari kesebelas anak tersebut diatas yang kemudian menyebar keseluruh penjuru dalam wilayah Mandar dan yang paling menonjol keberadaannya adalah Topalili yang melahirkan Todipaturung dilangi dan Lamberesusu yang menetap di Kalumpang (Mamuju) yang dalam catatan sejarah menurungkan 41 (empat puluh satu) Tomakaka yang masing masing bermukim dalam wilayah Mandar saat ini.

Dari sumber cerita rakyat ada juga manusia sebelas persi Tabulahan yang menurut sumber ini juga adalah anak cucu dari Pongkopadang yang menetap di Ulu Salu yaitu lima orang terdiri dari :
1.     Daeng Tumanan 
2.     Daeng matana
3.     Tammi
4.     Taajoang
5.     Sahalima
Dan enam orang di antaranya berkembang di Pitu Babana Binanga yaitu terdiri :
1.      Daeng mallullung di Tara manu”
2.      Tola’binna di Kalumpang
3.      Tokarambatu di Simboro
4.      Tambulu bassi di Tappalang
5.      Tokayyang pudung di Mekkatta
Dari beberapa versi yang terurai di atas yang masing-masing mempunyai dasar untuk layak dipercaya bahwa Nenek Moyang orang Mandar Suku Mandar berasal dari Hulu Sungai Saddang yaitu Pongkopadang sebagai cikal bakal penduduk yang mendiami kawasan Mandar yang dalam perjalanan selanjutnya oleh generasi mereka terjalin kembali hubungan kekerabatan dan perkawinan di antara satu dengan yang lain.


Rumah Tomakaka Daeng Tumanang Di Tabulahan. Sumber  Wikimedia, KITVL 

Adapun yang menyebabkan Zaman Tomanurung tidak di masukkan sebagai Salah satu periode dalam Zaman sejarah Mandar adalah karena Tomanurung itu sendiri masih tanda Tanya atau dengan kata lain adalah sebuah legenda dan mitos, walaupun cerita mengenai Tomanurung terdapat pula dalam beberapa lontar Mandar.

Dari uraian diatas, jelas menunjukkan kesipangsiuran sejarah yang sungguh akan membingungkan. Namun tetap mesti dicatat, sebab penyaksian atas kejadian-kejadian yang terjadi dan diyakini adalah realitas kesejarahan yang juga bertumpuk pada alasan-alasan historis yang memang susah di tampik. Kendati memang, setiap orang yang akan melakukan pendalaman atas zaman prasejarah di Mandar akan mengalami kesulitan-kesulitan, bahkan kebuntuan.

Utamanya diakibatkan belum adanya kesepakatan antara peneliti dan para pelaku sejarah dan kebudayaan yang koncern terhadap Mandar atas zaman dan periodisasi prasejah di Mandar. Sementara satu sisi realitas-realitas pemahaman historis tersebut tetap hidup berkembang hingga kini di masyarakatnya.

Maka menarik apa yang diungkap oleh Mundarjito (1982) bahwa tidak semua pikiran manusia dapat diwujudkan kedalam tingka laku lahiriah. Sama seperti bahwa, tidak semua bahwa hasil budaya (sebagai fossilized behavior) mencerminkan mental template (deetz) dari seluruh pikiran dan tingkah laku manusia yang sanggup terekam dalam wujud benda budaya. Yang ada hanyalah sebagian kecil saja, dari sekian banyak benda budaya yang dapat selamat hingga kini. Sebagian besar rusak, sebagian besar hilang. Sedangkan sebagian besar lainnya masih berada di tanah dan dalam air.

Bahkan lebih jauh Rathje dan Schiffer, (1980) menyebutkan kendati benda bertulisan, yang itupun kalau diketemukan, telah memuat pikiran manusia dan masyarakat. Tetapi tidak lantas dapat dikatakan telah menjangkau semua asfek kehidupan semua golongan masyarakat masa lalu. Sebab bisa saja ada belum tentu mengandung kebenaran sepenuhnya. Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya bias dari penulis masa lalu atau peneliti masa kini. Dari pandangan ini dapat disimpulkan bahwa kian abstrak sasaran studi, maka akan kian menajam pula metodologi yang mesti digunakan. Atau makin jauh masa-masa yang ingin dipelajari, maka makin sukar pula mengurangi kesenjangan-kesenjangan di dalamnya. (Arman Husain 2017). - Revisi 16 Juli 2021-