Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Tampilkan postingan dengan label Cerita Rakyat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Rakyat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 Juni 2018

Pa'bulu Ropeq (Terjemahan)

Pada zaman dahulu ada seorang permaisuri di negeri kita sudah saatnya akan melahirkan. Datanglah sang raja kepadanya lalu bertitah, "Sekarang ini, Dinda saat-saat harinya akan melahirkan dan saya akan pergi menyampaikan undangan ke seluruh negeri di tujuh muara sungai dan tujuh hulu sungai. Undangan itu adalah akan dilaksanakannya pesta sebagai pertanda kegembiraan jika engkau nanti melahirkan seorang anak lelaki. tetapi jika ada saat kepergianku itu, lahir seorang anak perempuan, tanamlah hidup-hidup dia agar mati sebab anak perempuan itu akan mendatangkan malu bersama aib dan tiada dayanya dalam peperangan". Setelah selesai bertitah kepada permaisurinya berangkatlah pergl sang raja untuk menyampaikan undangan kepada negeri lain.

Singkat cerita, sebelum sang raja kembali, beranak lah sang permaisuri yakni seorang anak perempuan. Diangkatlah bayi itu oleh dukun beranak itu untuk dibersihkan kemudian diangkat ke samping sang permaisuri. Setelah dilihat sang permaisuri anak yang baru dilahirkannya adalah seorang anak perempuan berparas cantik dan bersih putih kulitnya. Terasalah kegembiraan yang tak terkira bagi Permaisuri dan bertitah. "Anakku, belahan hatiku, si Pa'bulu Roppe hiduplah engkau dan panjang umurmu agar semerbak bunga melati di negeri kita harumnya melintas sampai ke negeri lain". Akan tetapi, sekejap ia teringat pesan sang raja, kemudian terasalah duka cita di hatinya seketika itu dan berlinanglah air mata sang Permaisuri. Berkatalah si dukun. "Hamba melihat berlinang air mata Tuanku. Apakah gerangan yang menyebabkan duka cita itu?". "Berkatalah sang Permaisuri kepada dukun bayi itu, "Betul Dukun. berduka hatiku kalau mengingat pesan sang baginda dengan titahnya. yakni jika lahir seorang anak perempuan. tanamlah hidup-hidup bayi itu agar ia mati sebab perempuan itu akan mendatangkan rasa, malu bersama aib dan tiada dayanya dalam perihal peperangan, Jadi apakah yang harus kita lakukan sekarang ini, Dukun'?", Dukun itu menjawab pertanyaan sang Permaisuri, ”Tuanku, Keinginanku apa pun yang akan terjadi kuinginkan anak tuanmu, si Pa'bulu roppe, akan diayun-ayun. Akan dibuai-buai agar hidup dan panjang umur".




Dukun bayi itu berkata kepada sang Permaisuri, "Jika begitulah keinginan Tuanku. lebih baik anak Tuanku. si Pa'bulu Roppe, dinaikkan ke atas ruang plafon istana agar tidak dikelahui oleh masyarakat". Anak itu akan diayun dan akan dibuai-buai di atas ruangan plafon. Usul sang dukun diterima oleh sang permaisuri dan bertitahlah sang Permaisuri, "Baiklah. lakukanlah hai itu Dukun". Naiklah si dukun bersama dayang-dayang mengemasi dan membersihkan ruangan plafon istana. Kemudian dinaikkan juga seluruh peralatan ayunan, dapur, tempat tidur, dan peralalan mandi. Setelah lengkap semuanya di atas. dinaikkanlah si Pa'bulu Roppe dan naik pulalah sang permaisuri. Singkat cerita, tidak diceritakan apa gerangan penyebanya sang raja dalam perjalannya sampai nanti sang raja datang kembali selelah dua kali terjadi panen raya sejak dilahirkannya si Pa'bulu Roppe.


Tibalah sang raja di islana dan dijemput oleh permaisuri di ruangan balairung. Bertanyalah sang Raja dengan bertitah, "Di manakah bayi yang telah kau lahirkan?" Terkesiaplah sang permaisuri mendengar pertanyaan sang Raja dan berkatalah, "Ada di atas ruangan plafon istana". Bertanya lagi sang baginda, "Ada apa gerangan sehingga ia berada di atas ruangan plafon istana". Menjawablah sang permaisuri. "Ia disembunyikan sebab ia adalah seorang perempuan". Murkalah sang Baginda mendengar ucapan sang Permaisuri dan bertitah, "Kita akan mendapat malu bersama aib, turunkan ia kemari aku akan membunuhnya". Sang permaisuri memanggilnya ke atas, "Anakku Pa'bulu Roppe, turunlah ke mari Nak, engkau akan dibunuh oleh Ayahandamu". Panggilan ilu dijawab oleh Pa'bulu Roppe. "Maafkan hamba akan berpakaian dahulu". Setelah cukup tiga kali sang permaisuri memanggil ke atas ruang plafon istana, turunlah si Pa'bulu Roppe.


 


Baru tampak betis saja si Pa'bulu Roppe, betis ikan layan bulat berkulit putih bersih dilihat oleh sang Baginda membuat sang Baginda tidak sadarkan diri. Setelah tiba di ruangan istana, si Pa'bulu Roppe terus masuk ke dapur memasakkan air ke dalam mangkuk dan merendam ujung rambutnya ke air dalam mangkuk itu kemudian ditepiskan ke wajah sang Baginda, sehingga sang Baginda sadarkan diri. Berkatalah sang Permaisuri kepada sang Baginda, "Sesungguhnya tiada diketahui oleh masyarakat bila seorang perempuan ini adalah anak kita. Sebaiknya anak ini tak usah dibunuh sebab hatiku tak tega. Biarlah si Pa'bulu Roppe pergi ke negeri orang untuk mencari rezeki kehidupannya". Si Pa'bulu Roppe menjawab perkataan sang Permaisuri, "Baiklah jika itu yang dikehendaki ibundaku, hanya satu permintaanku, yakni buatkan sebuah perahu yang akan kukendarai pergi untuk mencari rezekiku di negeri orang". "Eh, Pa'bulu Roppe. Engkau harus menyamar sebagai seorang lelaki dalam perantuan". Demikian pinta sang Baginda. Singkat cerita, perahu yang akan ditumpangi Pa'bulu Roppe telah berada di pelabuhan . Orang-orang yang akan mengantarkan kepergiannya telah menunggu di sepanjang pantai pelabuhan. Setelah Pa'bulu Roppe datang dan segera akan pergi ke perahunya, semua yang akan mengantarkannya berkata, "Sesungguhnya gagah dan tampan sekali putra Baginda.




Setelah tiba di perahunya, baru saja Pa'bulu Roppe akan menarik tali layar perahunya terus ada panggilan, "Eh Pa'bulu Roppe, ke mana engkau akan pergi." Menolehlah Pa'bulu Roppe ke arah datangnya panggilan itu. Dilihatlah seekor kera berkata, "Saya akan ke Pulau Jawa". Menyahutlah sang kera, "Bolehkah aku ikut ber­samamu?”. Berkata Pa'bulu Rappe, "Segeralah engkau kemari kalau tadi saya sendirian, sekarang ini saya telah cukup dua berkawan". Lalu ditariklah tali layarnya. Saat itu memanggil juga sang tikus, sang buaya, sang kucing dan sang tekukur seperti panggilan dan jawaban sang kera itu. Semuanya dibiarkan Pa'bulu Rappe ikut bersamanya. Naiklah semuanya ke atas perahu si Pa'bulu Rope. Bergembiralah si Pa'bulu Rappe se bab banyak yang menemaninya berlayar membelah buih di lautan. Setelah sampai di Pulau Jawa, naiklah si Pa'bulu Roppe di daratan . Dilihatnya orang ramai sebab pada waktll itll beberapa raja Jawa menyelenggarakan perlombaan permainan ketangkasan. Pergilah si Pa'bulu Roppe melihat-lihat pelombaan permainan ketangkasan. Dilihatnya orang berlomba memanjat, orang berlomba memungut wijen, orang bertanding menyelam, dan orang menyabung ayam. Setelah semua perlombaan dilihatnya, pulanglah ia keperahunya dan bercerita tentang seluruh perlombaan permainan ketangkasan yang dilihatnya di daratan. Menyahutlah sang kera, "Jika perlombaan ketangkasan memanjat pohon ilu adalah bagianku" . Berkata Pa'bulu Roppe, "Bagaimana cara engkau ikut berlomba sedangkan yang berlomba adalah manusia". Berkatalah sang kera, Pa'bulu Roppe, bawalah saya ke sana nanti di sana engkau akan melihat aku sebagai manusia". Berkata juga sang tekukur, "Jika perlambaan memungut wijen itu adalah tugasku". Sang buaya berkata juga, "Perlombaan ketangkasan menyelam adalah tugasku". Sang kucing berkata pula, "Perlombaan ketangkasan ayam sabungan adalah tugasku". Sang tikus berkata, "Ketangkasan bersembunyi adalah kegunaanku". Berkatalah Pa'bulu Roppe, "Jika betul kata kalian, sebaiknya kita naik ke daratan dan kita ikut serta dalam perlombaan ketangkasan itu"

Naiklah si Pa'bulu Roppe di daratan dan diikuti oleh sang kera, sang buaya. sang tikus, sang kucing, dan sang tekukur. Tibalah mereka di arena perlombaan me manjat. Di situ terdengar pengumuman, "Siapa lagi ada ahli panjat yang mau melawan ahli panjatnya Paduka Baginda Raja ". Majulah ke depan dan sang kera berkata "Saya yang mau melawan memanjat ahli panjatnya Paduka Baginda Raja". Semua orang terkesima memandang kepada Pa'bulu Roppe betapa gagah dan tampannya si Pa'bulu Roppe dan semuanya berkata, "Baru kali ini aku melihat seorang perjaka yang sangat gagah dan tampan. Dari manakah gerangan asalnya?" Semua orang terkejut dan terkesima mendengar pengumuman Perlombaan ketangkasan memanjat pohon akan dimulai dan yang akan memanjat lebih dahulu adalah tukang panjatnya si Pa'bulu Roppe terlihatlah oleh semua orang sang kera berwujud manusia memanjat ke atas pohon kayu besar yang paling tinggi. Setelah sampai ke atas pucuk ranting yang paling tinggi, semua orang berkata "Sungguh pintar sekali memanjat, tukang panjatnya si Pa'bulu Roppe" Setelah sang kera turun, memanjat pula tukang panjatnya raja Jawa,  ia tidak mampu memanjat ke atas ranting pucuk yang telah dipanjat oleh sang kera kemudian turunlah kembali tukang panjat raja Jawa itu, jelas yang menang adalah sang kera dialah yang berhak mendapatkan taruhan bersusun-susun piring bersama mangkok emas dan berjejer juga cerek bersama gelas emas.

Terbetiklah berita kemenangan tukang panjatnya si Pa'bulu Roppe ini sampai kepada putra Baginda Raja,  itu lah yang menyebabkan sehingga putra raja datang sendiri menemui Pa'bulu Roppe. Begitu dilihatnya kegagahan dan ketampanan si Pa'bulu Roppe berkatalah putra Baginda Raja Jawa dalam hatinya. "Barangkali perempuan si Pa'bulu Roppe ini  tetapi menyamar sebagai laki-Iaki. Berkatalah putra Baginda Raja Jawa, "Masih adakah orang mu yang ingin berlomba ketangkasan menyelam, ketangkasan bersembunyi, berlomba memungut wijen dan adakah juga ayammu yang dapat berlaga melawan ayamku". Pertanyaan itu dijawab oleh si Pa'bulu Roppe. "Ada semua orangku yang ingin melawan orangmu dan ada juga ayamku yang akan melawan ayammu untuk berlaga". Singkat cerita, perihal semua perlombaan ketangkasan yang lelah disebutkan telah dikalahkan oleh orang hingga ayamnya putra raja Jawa juga kalah.

Diangkatlah semua hadiah si Pa'bulu Roppe yang berupa cerek, gelas, piring, mangkok, semuanya terdiri dari emas. Berbelasbelas biji emas, berbelas-belas juga uang, dan berbelas juga beras diangkati ke perahu Pa'bulu Roppe. Pada waktu itu sang kucing pergi berjalan-jalan ke sana kemari di dalam istana raja Jawa. Dilihatnya si kucing putra raja Jawa berbincang-bincang sesamanya putra bangsawan di Jawa. Yang dibicarakan mereka adalah merencanakan menangkap si Pa'bulu Roppe dalam pelayarannya kembali ke negeri si Pa'bulu Roppe. Pa'bulu Roppe akan dibawa kembali ke tanah Jawa sebab dia akan diperiksa apakah ia seorang laki-Iaki sejati si Pa'bulu Roppe, ataukah ia seorang perempuan. Jika ia seorang perempuan, putra raja Jawa ingin meminangnya sebab kecantikan si Pa'bulu Roppe selalu terbayang-bayang dalam benaknya. Seluruh pembicaraan didengar oleh sang kucing. Setelah selesai putra raja Jawa berbincang-bincang dengan sesamanya putra bangsawan, kembalilah sang kucing turun ke perahu. 

Setibanya di perahu berceritalah kuncing itu tentang seluruh pembicaraan yang didengamya kepada Pa'bulu Roppe bersama seluruh kawannya. Berkata sang tikus, "Tugasku lagi masuk ke daratan untuk menggigiti perapat seluruh perahu yang ada di daratan agar bocor". Berkata si Pa'bulu Roppe, "Masuklah kamu ke daratan sebab saya akan berpakaian perempuan dahulu di sini. Bila engkau telah datang kembali, saya akan naik ke lantai perahu melambaikan tangan ke darat lalu kita berlayar". Sang tikus masuk ke daratan untuk membocori semua perahu yang ada di darat. Setelah itu tikus itu kembali ke perahu. Naiklah si Pa'bulu Roppe ke lantai perahu sambiI melambaikan tangannnya ke darat. Sibuklah orang-orang di darat melihat si Pa'bulu Roppe berdiri di lantai perahunya dengan pakaian perempuan. Diturunkan semua perahu yang akan memburu perahu si Pa'bulu Roppe di tengah laut. Kecewalah putra raja lawa sebab semua perahu yang akan memburu perahu si Pa'bulu Roppe tenggelam. Singkat kata, selamatlah pelayaran si Pa'bulu Roppe sampai di daratan negerinya . Gegerlah orang-orang di darat melihat perahu serat muatan berlabuh di pelabuhan Totoli dan mereka pergi bertamu ke sana atas suruhan Tomakaka ingin bertanya, "Perahu dari manakah?". Tidak lama kemudian, kembalilah ke darat suruhan Tomakaka' memberitahukan bahwa perahu yang sarat di pelabuhan adalah perahu si Pa'bulu Roppe.

Bergembiralah penduduk negeri itu terlebih-lebih Ibunda Permaisuri mendengar berita keselamatan si Pa'bulu Roppe dalam pelayarannya. Tomakaka; mengumpulkan seluruh orang tua negeri dan mengatakan, "Mulai sekarang akan dipelihara baik-baik seluruh perempuan sebab perempuan itu adalah teman suka dan duka kaum lelaki di dalam kehidupan rumah tangga".

Labuang Mangindano

Rapang pura nikajappui mangkua inne pontanana Mamunyu. nikua tobanggi tome angngatang Bonda'. Jalingmo ditte menannar labuang Mangindano. mamparimula su'be di uttarana Pasangkaju tanda' tama di salatangna Mamunyu nikua Dungkai'. Ningarang labuang Mangindano apa' iamo itte naengei 1010 lopina to Mangindano membuni mallabu. Apa mansurung tanda' domai di Bonda' membuni mallabu? Nakarana u'de diang laeng peujakangna ampunna' use' ma’gora'. Narappa passabeangnna ia to pa'lopi ampele' napatei todapa'na ianna paeba. Oi tentenamo itte ampele' masaramo nyamana to di angngatangna apa' u'demo jaruasa lumampa sumombang sau di Boroneo tanda' Sangngapura, tente tomo tama di Ambong.

Baca juga, Pa'bulu Ropeq 





Diang sewattu pada sitangnga-tangngarangmo katobarabarakang umbatente mala nipa'dai itte to Mangindano jao di pembuniangna. Sipattujuiimo carana mangkua: "Macoa mampamako tau' joa' kulubelang di engeangna, barang sisampulo kulubelang, jari diang patampulo joa'. Su'be mako, mensamariimo rapang to panguma ampe' to pole'bo'. Jari, nangarangngimo use' joa'na to Mamunyu; nagarangngiki todapa' sansabuarang. laona su'bemo unara tetter situru' bulang pattang ampele' mamanya panggas wai le'bo, mane' malamo najama-jama angga' cappu'na todapa' na. itte wattu u'de mala malai apa' naromai anging banna'. Situru' tomo panggas wai le'bo', sore lopina. Siola tomo nangarangngi u'de diang joa' di kadampingna. Di tetentenamo itte ampele' inne allo ngarangna kaledo meonto, nikua labuang Mangindano, apa' marakka' i'ido su'be mambali. (Arman Husain 2021).
--------------------------------------





Terjemahan :

 Pelabuhan Mangindano (Kisah Bajak Laut Mindanao)

Sebagaimana diketahui daerah pelabuhan Mindanao ini disebut Mamuju. Daerah ini disebut juga pantai yang berpasir. Di daerah ini terdapat jajaran pelabuhan Mindanao. yakni mulai dari sebelah utara Pasangkayu sampai Dungkait di sebelah selatan Mamuju. Pelabuhan itu disebut pelabuhan Mindanao karena perahu-perahu itu selalu ditempati orang Mindanao dan jika berlabuh kapal-kapal itu secara tersembunyi. Apa yang menyebabkan mereka kemari, ke Pantai yang berpasir untuk berlabuh secara tersembunyi? Rupanya tidak ada alasan lain kecuali untuk merampok . Mereka merampas muatan kapal-kapal pelaut dan membunuh orang-orangnya kalau melawannya. Dengan demikian. penduduk setempat merasa sengsara karena tidak leluasa lagi untuk pergi berlayar ke Borneo sampai di Singapura juga ke sebelah timur ke Ambon .



Pada suatu hari para orang tua bermusyawarah untuk membicarakan bagaimana orang Mindanao itu dapat dihilangkan dari tempat persembunyiannya. Selanjutnya, mereka menyepakati caranya dan mengatakan, "Sebaiknya kita mengirim pasukan perahu ke tempat persembunyian orang Mindanao sebanyak sepuluh perahu. Jadi, berarti pasukan itu berjumlah empat puluh orang. Setelah tiba di tempat itu, pasukan-pasukan itu menyamar sebagai petani dan nelayan. Jadi, mereka mengira petani dan nelayan itu bukan pasukan orang Mamuju, tetapi rakyat biasa saja. Apabila ada angin tetap dari utara bersamaan bulan gelap dan sementara air sedang surut, mereka baru menyerang orang-orang Mindanao sampai habis. Saal itu mereka tidak bisa pulang karena angin kencang datang dari arah depan air laut juga surut, sehinga perahu kandas. Mereka juga menyangka bahwa tidak ada pasukan di dekatnya. Demikianlah sampai pada hari ini namanya disebut pelabuhan Mindanao, dan mereka sudah takut datang kembali.(armanhusain)

La Pokasiasi Siola Maradika

Sikira-kira diang setto Lapokkasiasi ampele setto maradika. Inne sangallo maradika diang papitu bainena, iyyaki ia u'de diang kapeanakan polo' setto bainena. inne ia lapokkasiasi na'ibainepa. Jalingki ia diumanna meonto. Diang sewattu inne maradika melo'na mambaca-baca. Mampesuduangmo mako di batuanna lumampa manggala daung Loka tama di umanna todapa'. Tanda' ii mo tama di uma inne battuanna maradika, sirumpamo inne Lapokkasiasi anu nikuaang sanggallo. Nakuamo inne lapokkasiasi mako di batuanna maradika: "0o.., indona, tenna' yaku'mo itte napebaine maradika satente domai saena, kupadiangang banggi dedua tetallu ana', meposi-posi' mottia setto, medada-dada ammas setto, ampe' mebarambang ammas setto." Narangngonaki inne batuanna maradika makkana-kana tente itte lapokkasiasi mako di ia ii, pada magasa-gasa i’i do malai tituali sau di maradika. Su'be sau di elona maradika, pard mangkualimo: "Diang itte jaling di uma Pue na'ibaine sitente millemu-Iemuku', Pue, makkana kana dimai di ingkai'. Nakua domai di ingkai': '0o.., indona, tenna' yaku'mo itte napebaine maradika satente domai saena, kupadiangang banggi dedua tetallu ana', meposi-posi' mottia setto, medada-dada ammas setto, ampe' mebarambang ammas setto". U'de niinsang nikira-kira marannuna maradika manrangngo itte kareba su'be di batuanna. Sibo’lona napesuduanga maradika mako di joa'na lumampa tama mamperoa itte na'ibaine lapokkasiasi jaling di umanna. Nakuamo maradika mako di joa'na: "0o, lea tamako ingkamia'muperoaanga' domai itte jaling na'ibaine lapokkasiasi di umanna,Pangkuako mako di ia: "Na sau le'ba' tau' tente inne mengola di maradikanta' apa' diang parallu sisi'da nanapangkuaiang tau'." Pura makkana-kana maradika mako di joa'na. Massimangiimo ampele' meangka' magasa-gasa tama memperoa itte lapokkasiasi. Tanda' tama itte joa', napatandakangmo umbatente kana-kananna maradi ka anll napangkuaiang sangallo. Narangngonaki lapokkasiasi pepasangna maradika mako di ia mensannamo inne lapokkasiasi mako di joa' to nisudu mangkua: "U'depa yaku' na mala sau di tente-tentena inne apa' masiri' madikkinga' na meangka' sau siola tau' ampunna' tentepa inne sisangkenu-kenu' care-careku'. Nangarangngi nena maradika nituna-tunai, umbaki ia macoa, saumo tau' di maradika menjolo' carecare na kaluang anu maka na nakita maradika." ditentenamo itte ampele' titualimo inne' sau dimaradika. Su'be sau diolona maradikana,napatandakangmo umbatente toiyya kana-kanaanna mako diiyyai sangallo. Medama ta'muru'mo maradika manrangngo pampatanda'na joa' itte kana-kana ampele' mangkoa: "Ampunna' tente ittu pesuduang, masiga nibabaang tama care-care anu na mupensallei ampele' mal a domai masiga." U'de masae tama mo joa' situru' indo-indo' sapo mambabaang care-care anu na napensallei. Tappana naalamo itte care-care lapokkasiasi, mangkuamo bomo: "Na mu'dampanganga' kaiyang maradika apa' melo'a' injolo' na mangkasaraipa pore-poreba mamea senjo' ampele' daaa kalassoang kalaeku', apa u'depa diang gallangku', tandiang tombiku ', tente tome daliku'. Jari, menjolomo tau' sau apa' yaku' diangpa itte poreba mamea kukasarai ampele' matinga' taku'." Narangngona tente itte pangkuana lapokkasiasi, malaimo inne joa' tituali sau napangkuai maradika. Pura napangkuai maradika, nakuamo maradika: "Babaangpa tuli tama poreba mamea anggarang ganna'na ampele' mala domai masiga."

Tanda' tama inne joa' siola indo-indo' sapo, naalamo lapokkasiasi itte poreba ampele' malai mako di olona bajo-bajo massua'. Tappana purado massua', saumo mencoko siola indo-indo; sapona maradika. Mamanya mencoko, nakuamo inne indo-indo' sapona maradika: "Macoa aiki meangka'mo tau' masiga apa' masaedo maradika mentueppe di lau'." Nakuamo lapokkasiasi : "Macoa, takimo meangka' siola-ola!" Su'be sau dimaradika, sengkamo jao dibujung nabasoi bitti'na inne lapokkasiasi, ampe inne joa' dai' ia di maradika napinsangngi mangkua: "Su'bedo itte to niperoa, Pue, mamanya jaung di bujung nabasoi bitti'na." Nakuamo maradika mako di joa'na: "Sudumo mendai' di sapo ampele' mengolo domai di yaku!" 

Tappana jaodo di olona maradika inne lapokkasiasi, mekutanamo maradika mako di ia mangkua: "Mukua si'daki itte tenna' yaku' itte napebaine maradika satente saena domai, kupadiangang banggi ana' dedua tetallu, setto meposi-posi' mottia, setto medada-dada ammas, ampe'setto mabarambang ammas?" Nakuamo lapokkasiasi: "Kukua si'da, Pue, iakiia itte mosambuleki yaku' mangkua." Nakuamo maradika: "U' de mala niala posambuleang anu tente ittu ia apa' yaku' inne melo'si 'daa' na diang ana 'ku', siola tomo u' deko na mangkua tente ittu ampunna' u'dediang saba'na. U'de mala diang rambu ampunna' u' de diang apina. Jari, di tentenamo itte, nakarana diangna kana-kanammu sanggallo, u'de mala u'de musti siala tau' apa'na kupebaineko. apakiia ingarangngi macoa inne kana-kanangku' mangkua: Madondong duambongi iyyanna kupebainemoko, barang sangapa saena anpele' u' deko maena', kupesuduang nigere' barokomu." Nakuamo lapokkasiasi : "Ampunna' tentedo ittu akkaelo'ta' Pue, u'de diang barani na matumpa' Jao kaledo di pakkaelo 'na Puang Allah Taala apa' rapang itte mangkua kupototo'do taku' inne pampogaukang." Pura itte makkana-kana maradika, menggilingmo mako di katobarabarakangna ampe' mangkua: Menanda-a' di ingkamia' katobara-barakangku' namupentamai inne sara kanikkaangku' mako di inne tobaine." U' de masae allo mako alla'na, masaramo todapa' mampapadua kapebaineangna maradika situru' umba tente ada'na ianna maradika na mebaine. Pura nikka inne sangallo lapokkasiasi siala maradika. Napalaiangmo maradika inne lapokkasiasi sau di sapona.

Masa-masae mako siala maradika inne lapokkasiasi. Nakarana kakaiyanganna Puang Allah Taala. mansalasi'dado karampuang inne lapokkasiasi. Narang masae mako mansala karampuang mabarra'do ara'na. napesuduangmo maradika niposara uri'na apa' u'demo na masae ampele' mange'deng. lnne toia maradika lumampamo sumombang sau di Sa'la' apa' na mangalli poe-poe ammas siola rantoe ammas na napoke ana'na ampunna' nipeanakangmo. Di naengeina meangka' sangallo maradika, mappasangmo mako di baine matuana mangkua: "lyyanna madondong duambongi ampele' kabussa' lumampa sumombang sangnging manjampangngi Ie'ba'ko ingkamia' mako disaruemu. Sisalle-salleko ingkamia' nena mampadidi ana'na ampunna' napaola macoa banggi lalang Puang AllaTaala." Pirambongi areki itte kabusna maradika lumampa sau sumombang. Manggidammo inne laokkasiasi, gimbar tallu ana'na, setto memposi-posi' mottia, setto mendada-dada ammas, ampele’ setto mebarambang ammas, Anu memposo-posi mottia iyyamo tobaine ampele' laengna sangnging tommuane.

Nakarana malana tiana inne lapokasiasi su'be dimaradika, u'de nitibikkang ampunna' diang memang sipa' siri' atena inne baine matuana maradika mako di lapokasiasi. Jari, tappana meana'do, diang memangdo kedo salakekana, mangkua na nabuniang inne nakeke ampunna' mensaudo dinamang, ampele'na nasallei ana' pinaka ana buriki. Ditentenamo inne ampele' naengeina mampenge'dengang inne nakeke, tappana dinamang inne nakeke ampele' nasallei mako ana' buriki mane' napangkuai mako di topenge'deng: "Akalai ana' buriki ki mupeanakang?" Nakuamo topenge’deng: U'de kuinsang ingkamia' apa' pampesa'dingku' todapa'ki sau kupeanakang. Iyyaki ia mukuaki ingkamia' ana' buriki, nakulle iyyaki ittu tongang."

Tente lolomo inne napogau' i'i narang ganna' pentallung sau mampenge'dengang situru-turu' ana'na; sanging nasallei ana' buriki disesena inne nakeke tetallu sangallo, nibuniang masiga ampele’ nibaba tama di loppo nitibe, jalingmo itte nakeke di alia' loppo, sikakirri' sumangi' apa' madinging. Jaling di itte engeangna nakeke nitibe, nasitujuang toiyya liu nene' pantoro na tama mangalalle kaju api. Manrangngomo diang nake-nekeke sikakirri'. Mellampamo mako nakitai di alla' lappo. Narumpa'mo tallumbatu nake-nakeke, setto tobaine  dedua tommu-tommuane. Naalamo nene’ pantoro inne nake-nakeke ampele' nababa mako di barung-barungna napaki-pakiki tanda' kaya-kaiyang.




Tituali tau' bomo nirampe inne maradika: "U' de masae lampana su'bemo toia mambaba poe-poe ammas siola rante ammas. Napekutanaangmo karebana inne bainena anu tiana napellei. Nakua maradika mako di baine matuana:"Puramo maena' saruemu?" Pada mambalimo mako di maradika mangkua: "Pura meana'. Pue, iyyaki ia sangnging buri-burikiki napenge'dengang, tallumbadang." Mangkua bomo maradika: "Jari, apa pattujumu ingkamia', apa' boreborekangki ittu iyya?" Nabalimo baine matuana maradika: "Maradika banggi ittu ia, assai u' de nipepepatei ." Nakuamo maradika; "Babamo naung di bui' sapo ampe' niseatang jaung di ta'burang, ampele' musititte-tittemei ingkamia' naung a'ba'na." Jari, jaungmo itte lapokkasiasi allo bongi niseatang di biring ta'burang sema dibao di sapo su'be titteme sipatunna kalo'bo'na naung, narodo' bomo naung a'ba'na. lnne sangallo laponnakeke tetallu anu nitibe tama di loppo, jaling

lolomo toia napanapakiki nene' pantoro narang menjari ka-kaiyyangmo mako. Masa-masae mako, manarangdo mampasisembe' manu' . Diang sewattu sau inne nakeke di biring bone mampasisembe' manu' apa' mamanya toia maradika mampadiang karoa-roakang papasisembekang manu'. Sangnging mampasisembe'mo manu'na ampana to su'be mambaba manu'. lnne nakeke napeppei ia pensuungna manu'na maradika apa' ia melo' na naeba na napasisembekang. Tappana mensuungdo manu'na maradika, u'de diang barani mangeba mampasisembe' manu'na apa' marakka' mapebetai manu'na maradika. Narang mensanna inne nakenakeke iyya mangkua: "Yaku' mangeba manu'na maradika." Madamamo maradika marrangngo. Nakua maradika: "Diang banggi apa-apammu na mupangebaang?" Mensannamo inne nakeke mangkua: "0o..' dediang Pue., Iyyaki iyya punna nibetaa' ingkai', kalaeki' tallu baoki kipassiogorang." nakuamo maradika: "Melo' banggiko kugere' punna nibeta manu'mu? Nakuamo itte nakeke : "Elo-elo'na maradika; kuiyo-iyoi pissang." Tappana bottu do kasikana-kanaangna itte nakeke sibali maradika. nipasisembe'mo manu'na. Masae sisi'da silotteng; silangki mallawang silangki silurui. Narang mengkoe' manu'na maradika apa' u'demo paeba. Betanaki manu'na maradika mangkuamo maradika mako di itte nakeke: "apamo na mupendodo do yaku' pansalle betana manu'ku?" Nakuamo itte nakeke: "Ampunna' mala, ittemo jaling to niseatang dibiring ta'burang nibeanga' ingkai' maradika. " Mensannamo maradika: "na muapaki itte apa' to bore-borekang kaiyyangki itte iyya'?" Nakuamo itte nakeke : "Sonaimo Pue, mangapa are itte am·pele' manua sisi'da nyamaki' mangkita, ingkai'pa mampaccingngi kalaena, barang mala kuala indo' ingkai' apa' matua begado neneki' u'demo pakulle bega meuja' "Nakuamo maradi ka: "Alamo ampunna mukasseiki." Mamanya nalassui pesea'na itte lapokkkasiasi ine nakeke, nasu'beimo pikkirang maradika mangkua: "lnne nakeke, setto tobaine dedua tommuane mangalalle indo'. Jari battuangna u'de diang indona, siola tomo, inne nakeke tomo, inne nakeke manau sisi'da nyamana mangkita itte to niseatang jaling di ta'burang, da’a-da’a diang kasiupukang ate na, iyya torno, di tempona meana' inne tobaine. u' de ku kita. Saruena kaleki kadiniang. ampele' inne lapossarue u'de diang meana', diang areki bua nasamboi duang di alla'na inne pempogaukang ?" Pura nalassui pesea'na inne lapokkasiasi, nababa i’imo naung di lelo' narorossi kalaena angga mapaccingna, mane' napalaiangmo tama disapona itte nakeke.

Diang setto wattu narangngo karebana inne nakeke mangkua diang meonto jaling di lakkana batu jaling di pangale setto manu-manu' nangarang todapa' dorra-dorra panrita. Itte dorra-dorra panrita nainsang pissang nakana-kana anu pura matta'ie diola', tente tomo apa-apa na mesu'bei nena. Di tentenamo itte ampele' inne nakeke naparri-parri sisi'da melo' nanaala itte manu manu'. Napangkuaimo nenena: "0, nene', dakanga' pappitu tallo' manu' ampele' pappitu katupa' pandengbau, apa' melo'a na kupebokung dai' mangalle itte dorra-dorrea panrita." Mangkuamo nenena: "Daako dai', Ampoku', apa' na mateko," Nakuamo itte nakeke: "U' depa niinsang Nene', na mateku' di u'dena, umbaki iyya kita inne kulasi kupambula. laona ganna' pitumbongi kabusku' ampele' malassuki, matea' ittu di lampaangku'."




Tappana diangmo bokungna, meangka'mo tama di pangale inne nakeke setto-settona. Ganna' pitungallo kabusna, nakitamo itte kulasi malussu daunnna. Nakua i’imo: "Malassuki inne daunnna kulasi. Battuangna inne, mate solasuungta' di lampaangna." Mangkuamo solasuung tommuanena settopa mako di nenena: "Kapiaanga' taku' bokung, Nene! Na lumampaa kulalle solasuungku' ." naposaramo nenena magkua: "Daako lampa apa'-na mateko tongko!" Nakua inne nakeke : "U'de mangapa, Nene', Diangki ittu diting kulasi kupambula, mukita-kitapa, laona mamanya-a' kabus ampele' malassuki, matea' taku' ittu." Ganna' pitumbongi kabusna, malassu si'dado toia inne daungna kulasi. nakuamo solasuung tobainena inne nakeke mako di nenena: "Malassuki itte daungna kulasi, Nene'. Mate areki itte solassuungku', ampunna' tente itte, pepetampaanga' nene' palopa' tallang makumbang samparebangang.lanna diangmo palopa' tallangku' mane'mudakanganga' taku' pebokungang sitente solasuungku'. "Nakuamo nenena mako di itte nakeke: "Na purako ingkamia' mate ampunna' tente ittu kedomu." Nakuamo itte nakeke: "U' demo ittu mala ampunna' u' de tente, Nene', apa' apamo karanana setto-settoku'do tuo?" lngko banggi ia apa' kuposara banggimoko lumampa," nakua nene' pontoro.

Jari, tamamo toiyya inne solasuung tobainena di engeangana itte dorra-dorra panrita. Su'be tama, nikitamo solasuungna dedua baona sangnging mate. Apa napogau'? makomo di kasiringna solasuungna ampele' sangnging natappi waisu'be di tampa'belua'na. U'de masae sangnging membulla inne solasuungna apa' tuoii tituali . Pura itte, makomo inne solasuung tobainena di lakkana batu anu naengei jaling itte manu-manu'. Mekkambaroangmo inne lapommanu-manu', nakua: "Da'ako domai apa' na mateko tongko. "U'de naperangngoi kanakananna itte manu-manu'. Tarruski tama nakoko ampe' nasakka itte manu-manu'. Mamanyanaki nakoko, tappa sirapakang tituali inne batu. Nasitta' sau limanna, napasisitta' siola itte dorra-dorra. U'de mala kaepekang limanna apa' diang sangallo inne palopa' tallang makumbang napake, mallangga jari meonto palopa' tallang naepe' batu, tapi mala losu limanna sau siola manu-manu'. Pura itte mako. malaiimo tituali sau di sapona tetallu siola, ampe' nababa itte manu-manu'. Su'be sau di saponaii, makkana-kanamo inne lapommanu-manu' mako di inne nakeke tetallu siola mangkua: "Ingkamia! ittu sitonga-tongang ana'na maradika. Naia indo' si'damu. iamo ittu simata muala indo-indo' ingkamia'. Ampele' malako tanda' di inne dini. apa'natibeko ingkamia' baine matuana maradika, mane'na salleimoko tallumbadang buri-buriki mako di indomu lama ittu ampele' niseatang jaung di biring taburang indomu apa' nangarangngi maradika buri-burikiki napeanakang." Nainsangnaki inne laponnakeke mangkua inne iyya i’i ana'naki maradika ampele' itte indo-indona indo' si’danaki sangging sumangi mo marranggo, apa manau nyamana nasa’ding napatente itte i’i siola indona su’be baine matuana Maradika.


Baca juga, Topenjari Dujung




U' de masae palabangngna, narangngomo toiyya maradika mangkua diang manu-manu' manarang makkana-kana jaling naala itte nakeke. Napesuduangmo maradika niperoa itte nakeke sau disapona maradika ampele' nipasang tomo nababa le'ba' manu-manu'na' apa' melo' na nakita maradika siola melo' nanarangngo makkana-kana. Di tentenamo itte, meangka' i’imo sau di olona maradika siola manu-manu'na. Su'beii sau' nakuamo maradika: "Sudude' makkana-kana ittu manu-manu'mu apa' melo' na kurangngo. Masasa' bega kareba mangkua ittu manu-manu-mu manarang bede makkana-kana. Mensannamo itte nakeke mangkua: "Malabanggi, Pue, nisudu makkanakana ampunna' u' de diang nena to na menrabung naung di tampo ianna mamanya makkana-kana inne manu-manu'. "U'de diang tonamenrabung lea, ampunna' diangki kuinsang to menrabung nena' kepesuduangpa nitarungkung, ampunna' niparalluang, nipali’ tomo." Narang marappi nasang todapa' di bao di sapo, tente tome ampana baine matuana maradika, apa' melo' na mangkita siola na maperangngoi pakkana-kananna itte manu-manu'. U' de masae, makkana-kanamo inne lapommanu-manu', Nagaluttar nasang dai' ampana gau-gau'na inne baine matuana maradika: mamparimula menge'deng indona inne nakeke, mane' nasalleii ana' buri-buriki tanda' mako nitibena tama di loppo, narang su'be maradika ampe' niseatangmo indona jaung di biring ta'burang, puranaki makana-kana inne lapommanu-manu' jao di olona maradika, tappa silalona sangnging mapillas i’i rupanna rapang kunis pura reppo', inne ampana baine matuana maradika. 

Sangnging moro’opang i’imo naung di bitting'na maradika sumangi' ampe' naudung pala'bitti'na maradika, Sangnging mangkua i’imo: "Salaa' ingkai', Maradika, apa' tongangki ittu iyya anu nakua manu-manu'. Iyya kaleki itte barang mala u'dea' ingkai' nipesuduang nipatei. Sonaimo ingkai' naala batua pissang ittu nakeke." Nakuamo maradika: "Ampunna' tente ittu pengkuamo i’i, sala si'dakiko ittu ingkamia'. Ampunna' melo' banggi ittu nakeke mapebatua i’iko, sonaimo." Pura itte makkana-kana maradika, mensannamo inne laponnakeke mangkua: "Ude ittu ingkai' melo' na mampebatua apa' u' depa siangga' passessana indoki' Iyyapa ingkai' melo' ampunna' niseatang i’i toiyya jaung anu pura naengei manseatang indoki', mane' malamo siangga'." Nakuamo maradika: "Pada murangngomo ingkamia' apa nakua itte nakeke, tenna' elo 'ku'ki kupesuduang pissangko ingkamia nigere' apa' masiri' ate bagako mako di saruemu ingkamia'." Jari punna itte, napesuduangmo maradika niseatang pissang ampana baine matuana jelung di engeang rura naengei itte indona nakeke. Napesuduang tomo nibembeng domai itte indona nakeke sau di maradika naala baine maradika. siola ana'na tetallu baona ampele'itte' pantoro. (Arman Husain 2021).

Manusia Pertama Di Wilayah Mandar

Sejak dimulainya penggalian di daerah Sampaga pada bulan Mei 1933 di Lembah Sungai Karama Kabupaten Mamuju yang menemukan beberapa peralatan prasejarah seperti batu dan gerabah. Yang lalu kemudian dilanjutkan dengan dua kali penelitian di tempat yang sama di Bukit Kamassi’ yang menemukan alat-alat seperti pisau, kapak batu, kapak batu segi empat mata panah yang halus, beserta pecah-pecahan tendiker yang berukir. Penggalian pertamanya sendiri dilakukan oleh PV. Van Callenfels pada tahun 1933 di bagian tikur sedangkan penelitian yang kedua dilakukan oleh Dr. HR. Van Heekeren (1949) menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu, yang ada kemiripannya dengan Neolithic di Luzon (Philipina), Manchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan di bagian selatan puncak Magassi’ ini juga ditemukan gerabah berhiasyang dinilai oleh para arkeolog telah menunjukkan keteraturan kebudayaan di daerah Kalumpang Kabupaten Mamuju ini terlingkup dalam satu wilayah Sa-huynh Kalanay, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan Pasifik.

Hal berikutnya juga pernah dilakukan oleh Dr. FDK Bosch yang mencoba membandingkan hasil temuan Amiruddin Maula salah seorang tokoh pendidik di Kabupaten Majene yang menemukan Patung dan dibandingkannya dengan patung Budha dari Solok Sumatera Barat, Kotabangun Jambi, Kalimantan Barat, Gunung Lawu, Jawa Tengah, kesimpulannya, tidak ada satupun kemiripan atasnya. Dan setelah dibandingkan dengan patung budha yang ada di India, Muka dan Gandhara, kesimpulannya kemudian bahwa patung tersebut dipengaruhi oleh gaya dan kemiripan dengan Budha Greeco yang ada di India Selatan yang beraliran kesenian Amarawati yang juga sangat besar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-2 dan 7 Masehi. (ibid).

Dari sini kemudian dapat diterjemahkan bahwa keberadaan Manusia pertama di Mandar sesungguhnya telah lama ada. Hal itu dikuatkan oleh hitungan abad yang menjadi dasar dan pertimbangan atas temuan-temuan tersebut diatas. Yang kemudian diperkuat lagi oleh hasil penelitan yang konon pernah dilakukan HR Van Heekern bahwa kapak-kapak pembias yang ditemukan di Indonesia ada kemiripan dengan yang ditemukan di Yunan dan Tongkin (Tiongkok Selatan). Hal ini menguatkan pemahaman dan lalu melahirkan kesimpulan bahwa, orang-orang Austronesia sesungguhnya berasal dari Yunan dan Tongkin dan masuk ke Indonesia sejak 1000 tahun yang lalu. 

Beranjak dari pengertian diatas ini, hal yang juga mungkin ada baiknya jika di ungkap adalah, tentang pandangan lain yang menjelaskan bahwa orang Sulawesi Selatan-termasuk Mandar-pada umumnya berasal dari ras Mongoloid yang masuk melalui jalur Philipina, lalu menyeberang ke Sulawesi dengan jalan menyusuri Selat Makassar dan merapat di pesisiran Barat Pulau Sulawesi. Konon seperti dikisahkan pula bahwa, kedatangan mereka pertama kali secara berkelompok dan bertahap. Awalnya tinggal dan berdiam didaratan dekat pesisiran, lalu dengan perlahan mereka lalu masuk gunung dan tinggal di gua-gua, hidup berburu dan mengembara di hutan-hutan. Ibrahim Abbas (1999).

Mandar seperti halnya komunitas tradisoinal dan klasik lainnya yang juga mengalami kekaburan mata rantai sejarahnya, kalau tidak kasar disebut sebagai keterputusan pintalan sejarah. Hal mana lebih di akibatkan oleh adanya kepercayaan bahwa kelahiran manusia pertama di Mandar lahir dan turun secara sporadis dari khayangan atau turun dari langit (manusia langit-pen), seperti di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya Tomanurung yang konon adalah manusia pertama di Mandar. Lahir dari belahan bambu atau yang lebih dikenal dengan Tobisse ditallang. Atau yang lahir dan miniti dari atas buih air laut yang dikenal dengan To Kombong di bura atau yang terbuang dari perut ikan hiu yang dikenal dengan Tonisesse di Tingalor. Hal ini tentu sulit untuk dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Namun itulah realitas kesejarahan yang lalu melegenda dan di yakini adanya oleh sebagian besar masyarakat Mandar, dan Konon termaktub dalam lontar (naskah lokal-pen). Lebih jauh dari itu, To Manurung inilah kemudian yang juga di yakini menjadi cikal keturunan manusia pertama dan penguasa pertama di Tanah Mandar.

Dari tujuh orang putra-putri Pongkapadang, kemudian lahir sebelas orang cucu Pongka Padang. Inilah yang kemudian menurunkan orang-orang Mamasa secara khusus dan Sulawesi Barat secara umum, masing -masing:
1. Dettumanan di Tabulahan, 
2. Ampu Tengnge’(tammi’) di Bambang, 
3. Daeng Matana di Mambi, 
4. Ta Ajoang di Matangnga, 
5. Daeng Malulung di Balanipa (Tinambung), 
6. Daeng Maroe di Taramanu’ (Ulu Manda’),
7. Makke Daeng di Mamuju, 
8. Tambuli Bassi di Tappalang, 
9. Sahalima di Koa (Tabang), 
10. Daeng Kamahu, Ta Kayyang Pudung di Sumahu’ (Sondoang), 
11. Ta La’binna di Lohe Galumpang (Mangki tua).

Dalam beberapa Lontar di Mandar sepakat menunjuk bahwa Manusia pertama adalah yang berkembang di Mandar, ditemukan di Hulu Sungai Saddang dan merekalah Tomanurung (orang yang turun dari langit atau juga disebut turun dari kayangan,titisan Dewa) dan Tokombong dibura bernama Tobanuapong  yang memperistrikan Tobisse Ditallang yang melahirkan lima orang bersaudara,yang pertama bernama I Landobeluaq dialah berdiam di Makassar kedua bernama I lasokkepang, dialah yang berdiam di Beluak yang ketiga bernama I landoguttu di Ulu Sadang, yang keempat bernama Usuksabangang dialah yang tinggal di Karonnangan kelima bernama Pakdorang dialah yang berdiam di Bittuang.

Namun versi lain juga ada yang menyebutkan bahwa awal muasal manusia Mandar adalah Pongkapadang yang merupakan turunan dari Tobisse di Tallang dan Tokombong di Bura yang lalu melahirkan 7 anak di hulu Sungai Sa’ dang yang kemudian menyebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Salah satu diantaranya adalah Pongkapadang yang kemudian menurut penuturan sejarah memilih berdiam di Tabulahan dan menikahi seorang gadis yang kemudian dikenal bernama Torije’ne. Kedua pasangan ini kemudian beranak pinak yang kemudian di percaya menjadi pemimpin di beberapa kerajaan di Mandar. Sekitar abad ke-11 M. (Sarman Sahudding. 2004).

Pongkapadang adalah salah satu dari tujuh orang anak hasil perkawinan Tomanurung (orang yang turun dari langit atau juga disebut turun dari kayangan (titisan Dewa) dan Tokombong dibura bernama Tobanuapong yang memperistrikan Tobisse ditallang melahirkan sebelas orang anak yaitu:
1.   Daeng Tumanan (Dettumanang)
2.   Lamber susu (lombeng susu)
3.   Daeng Mangana
4.   Sahalima
5.   Palao
6.   To andiri
7.   Daeng palulung
8.   Todipikung
9.   Tolambana
10. Topani bulu
11. Topalili
Dari kesebelas anak tersebut diatas yang kemudian menyebar keseluruh penjuru dalam wilayah Mandar dan yang paling menonjol keberadaannya adalah Topalili yang melahirkan Todipaturung dilangi dan Lamberesusu yang menetap di Kalumpang (Mamuju) yang dalam catatan sejarah menurungkan 41 (empat puluh satu) Tomakaka yang masing masing bermukim dalam wilayah Mandar saat ini.

Dari sumber cerita rakyat ada juga manusia sebelas persi Tabulahan yang menurut sumber ini juga adalah anak cucu dari Pongkopadang yang menetap di Ulu Salu yaitu lima orang terdiri dari :
1.     Daeng Tumanan 
2.     Daeng matana
3.     Tammi
4.     Taajoang
5.     Sahalima
Dan enam orang di antaranya berkembang di Pitu Babana Binanga yaitu terdiri :
1.      Daeng mallullung di Tara manu”
2.      Tola’binna di Kalumpang
3.      Tokarambatu di Simboro
4.      Tambulu bassi di Tappalang
5.      Tokayyang pudung di Mekkatta
Dari beberapa versi yang terurai di atas yang masing-masing mempunyai dasar untuk layak dipercaya bahwa Nenek Moyang orang Mandar Suku Mandar berasal dari Hulu Sungai Saddang yaitu Pongkopadang sebagai cikal bakal penduduk yang mendiami kawasan Mandar yang dalam perjalanan selanjutnya oleh generasi mereka terjalin kembali hubungan kekerabatan dan perkawinan di antara satu dengan yang lain.


Rumah Tomakaka Daeng Tumanang Di Tabulahan. Sumber  Wikimedia, KITVL 

Adapun yang menyebabkan Zaman Tomanurung tidak di masukkan sebagai Salah satu periode dalam Zaman sejarah Mandar adalah karena Tomanurung itu sendiri masih tanda Tanya atau dengan kata lain adalah sebuah legenda dan mitos, walaupun cerita mengenai Tomanurung terdapat pula dalam beberapa lontar Mandar.

Dari uraian diatas, jelas menunjukkan kesipangsiuran sejarah yang sungguh akan membingungkan. Namun tetap mesti dicatat, sebab penyaksian atas kejadian-kejadian yang terjadi dan diyakini adalah realitas kesejarahan yang juga bertumpuk pada alasan-alasan historis yang memang susah di tampik. Kendati memang, setiap orang yang akan melakukan pendalaman atas zaman prasejarah di Mandar akan mengalami kesulitan-kesulitan, bahkan kebuntuan.

Utamanya diakibatkan belum adanya kesepakatan antara peneliti dan para pelaku sejarah dan kebudayaan yang koncern terhadap Mandar atas zaman dan periodisasi prasejah di Mandar. Sementara satu sisi realitas-realitas pemahaman historis tersebut tetap hidup berkembang hingga kini di masyarakatnya.

Maka menarik apa yang diungkap oleh Mundarjito (1982) bahwa tidak semua pikiran manusia dapat diwujudkan kedalam tingka laku lahiriah. Sama seperti bahwa, tidak semua bahwa hasil budaya (sebagai fossilized behavior) mencerminkan mental template (deetz) dari seluruh pikiran dan tingkah laku manusia yang sanggup terekam dalam wujud benda budaya. Yang ada hanyalah sebagian kecil saja, dari sekian banyak benda budaya yang dapat selamat hingga kini. Sebagian besar rusak, sebagian besar hilang. Sedangkan sebagian besar lainnya masih berada di tanah dan dalam air.

Bahkan lebih jauh Rathje dan Schiffer, (1980) menyebutkan kendati benda bertulisan, yang itupun kalau diketemukan, telah memuat pikiran manusia dan masyarakat. Tetapi tidak lantas dapat dikatakan telah menjangkau semua asfek kehidupan semua golongan masyarakat masa lalu. Sebab bisa saja ada belum tentu mengandung kebenaran sepenuhnya. Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya bias dari penulis masa lalu atau peneliti masa kini. Dari pandangan ini dapat disimpulkan bahwa kian abstrak sasaran studi, maka akan kian menajam pula metodologi yang mesti digunakan. Atau makin jauh masa-masa yang ingin dipelajari, maka makin sukar pula mengurangi kesenjangan-kesenjangan di dalamnya. (Arman Husain 2017). - Revisi 16 Juli 2021-

Ritual Adat Kuno " Massasaq "


Salah satu ritual adat kuno di tanah Manakarra adalah ritual adat "massasaq" atau mengiris dalam maknanya adalah memutilasi anggota tubuh manusia (baca ; korban) sampai mati. ritual ini diperkirakan telah ada sejak zaman dahulu dimana masyarakat pada saat itu masih dalam kepercayaan kepada dewa - dewa (paganisme) dan benda benda (dinamisme), ritual adat ini perlahan lahan ditinggalkan sejak berdirinya kerajaan di Mamuju, yang ditandai dengan masuknya ajaran hindu, islam dan budha yang disebarkan oleh pedagang dan pendeta pendeta yang datang di wilayah Mamuju seperti dari pedagang pedagang dan utusan kerajaan kerajaan di sulawesi dan Bali. Menurut narasumber kami yang telah berumur sekitar delapan puluh lima tahun lebih, hal ini bersumber dari nenek narasumber yang berusia sampai seratus lebih masih mendapati nenek buyutnya melakukan ritual adat tersebut, dan turun temurun diceritakan kepadanya sampai keanak cucunya.

Ritual adat massasaq ini hampir mirip dengan ritual adat di berbagai belahan dunia lainnya, Suku Aztec misalnya yang mendiami wilayah Meksiko sampai Amerika saat ini terkenal dengan ritual adat memberi persembahan korban manusia kepada dewa dewa yang dianggap sebagai rasa syukur atas panen, kesembuhan dan lain sebagainya, seperti halnya di wilayah Kalumpang ternyata ada juga ritual adat seperti massasaq ini sebagai persembahan kepada dewa dengan mengorbangkan salah satu anggota keluarga atau budak yang dimiliki yang sampai saat ini sering disebut sebut "diparrara" atau di kurbankan untuk menghindari angkara murka dewa atau penghuni tempat tempat yang dianggap dihuni oleh mahluk yang ghaib. Menurut cerita orang tua kami bahwa di Mamuju dahulu ada sebuah tempat pembuangan mayat yang telah dikorbangkan sehingga tempat tersebut terdapat banyak sisa sisa tulang belulang dan tengkorak manusia disebuah tempat yg sekarang di sebut Tambungkeng, di lingkungan Kasiwa. Entah apakah cerita tersebut benar atau tidak yang jelas memang banyak cerita cerita tersebut yg diceritakan oleh orang tua. Menurut narasumber kami ritual adat


Tengkorak Manusia yang jadi korban ritual adat
ini tidak banyak yang tahu khususnya di wilayah Mamuju karena dianggap tabu untuk dibicarakan oleh orang orang dahulu " jari itte todapaq ampunna melo marasa hasil pangumaang_na harus mattinjaq mako di dewa namassasaq batuanna" artinya jadi jika seseorang menginginkan hasil panen yang melimpah dalam usahanya bercocok tanam orang tersebut harus melakukan nazar (bernazar) akan mengorbankan budaknya. Adapun tradisi massasaq itu dilakukan dengan cara memberi makan kepada korban dengan "kande tobarani " ( makanan seorang pemberani), sampai korban tersebut akan merasa kerasukan dan tidak merasakan apapun, setelah diberi makan maka diundanglah seorang algojo atau eksekutor untuk melaksanakan tugasnya mula mula korban akan di tanya  algojo apakah dia siap jika anggota tubuhnya diambil " nakuala matammu, nakuala talingammu, nakuala aqbaqmu (saya akan ambil matamu, telingamu, kepalamu,) jika korban sudah mengiyakan maka sang algojo akan mulai mengiris satu persatu anggota tubuh korban tersebut sampai kepala dipenggal dan mati.

ihhh.. begitu mengerikannya ritual adat tersebut ..! sampai kami menanyakan ke narasumber bagaimana jika korban itu tidak siap dan berniat melarikan diri.? itu tidak akan mungkin karena kondisi pada saat itu korban sudah diberi makanan yang diberi mantra mantra yang mengakibatkan korban menurut saja, tutur narasumber kami bersemangat. kami pun melanjutkan pertanyaan lain karena waktu untuk wawancara sudah cukup. nah itulah sekilas yang dapat kami tuturkan adapun kebenarannya hanya tuhan yang tahu, Allahualam _(Arman Husan)

Senin, 26 Februari 2018

Jejak Perlawanan di Benteng Kassa

Punggawa Malolo tampak termenung di atas sebuah batu besar di Bukit Kassa sambil memandang kearah pesisir semenanjung laut Mamuju, disampingnya tampak Tatamalea dengan serius mengasah sebilah tombak yang sering digunakan sang Punggawa saat bertempur.

Di dekat Batu besar itu, Tadende yang berada di atas pohon memandangi sang Punggawa dengan serius. Sesekali Punggawa Malolo memalingkan pandangannya ke arah selatan. “Bagaimana kabar mereka di Budong-budong, Punggawa Malolo berbalik ke Arah Tatamalea dengan serius. “Tenang saja Daeng, Pue pasti bisa mengatasi pasukan-pasukan Balanda itu,” sanggah Tatamale sambil tertawa. “Apa lagi ada Daenna Maccirinnai, Parrimuku, dan Pattolo Lipu yang terkenal dengan keberanian dan kehebatannya. Ditambah lagi Pua’ Indaya dan pasukan dari Mambinya,” Tatamalea meyambung ucapannya. Dari atas pohon yang lebat itu, Tadende mendengar percakapan tuannya. Dalam benaknya ia teringat dengan peristiwa dua tahun lalu di Bukit Pambe’besan.

Tahun 1905 kapal putih milik Belanda berlabuh di Rangas, saat itu Maradika Mamuju beserta Gala’gar Pitu tak berdaya untuk memberikan perlawanan dan menandatangani sebuah perjanjian di atas kapal tersebut yang dikenal dengan Korte Verkalaring. Beberapa tokoh dan kesatria Mamuju tidak menerima perjanjian yang disepakati antara adat Mamuju dan Belanda yang dinilai melukai harkat dan martabat rakyat Mamuju. Akhirnya, mereka bersepakat untuk memberikan perlawanan dan membuat sebuah Benteng pertahanan.
Masih teringat dalam benaknya ketika Taunding memberikan kabar dari Pattangarang akan datangnya Rombongan yang dipimpin oleh Pattana Bone (Pue Bone) dan Daenna Maccirinnai menuju arah Pambe’besan.

Rombongan ini singgah di Pambe’besan untuk beristirahat dari perjalanan panjang ketika Matahari hampir tepat berada di atas. Diantara rombongan itu tampak pula rombongan dari Mambi yang dipimpin oleh Pua’ Indaya. Kedatangan rombongan Mamuju ini membuat penghuni Pambe’besan sibuk untuk memberikan penyambutan. Ammana Andang dan beberapa petinggi Sinyonyoi sibuk memberikan perintah untuk persiapan penyembutan itu. Suasana Pembe’besan begitu meriah hari itu .Ketika sampai di Pambe’besan, Punggawa Malolo langsung meberikan salam kepada rombongan Pattana Bone. “Assalamualaikum Pue,” ucap Punggawa Malolo sambil menyalami Pattana Bone. "Walaikum salam,” balas rombongan Pattana Bone dengan serentak. “Suatu kehormatan rombongan Maradika mengunjungi tempat kami,” ucap Punggawa Malolo.

Akhirnya rombongan Pattana Bone beristirahat dibeberapa pemukiman yang ada di Pambe’besan, Sementara itu Pattana Bone dan beberapa petinggi melakukan perbincangan di atas Sapo Kayyang Pambe’besan. Diantara semua petinggi yang hadir di Pambe’besan, hanya Pattolo Lipu yang tidak ikut berbincang di Sapo Kayyang Punggawa Malolo. Ia lebih memilih untuk berkeliling di sekitar pemukiman Sinyonyoi. Mungkin karena jiwa mudanya yang masih membara.

Suasana di Sapo Kayyang Pambe’besan tampak tegang. Dalam hatinya Punggawa Malolo sudah bisa menebak maksud dan tujuan rombongan dari Mamuju ini. “Ini pasati berhubungan dengan Balanda,” bisiknya dalam hati. “Tabe’ Daeng, kami telah merepotkan masyarakat disini,” ucap Daenna Maccirinnai sambil menghela nafas. “Tentu maksud kedatangan kami sudah Daeng Ketahui, apalagi kabar berlabuhnya Kapal Putih di Rangas telah tersebar kesluruh penjuru angin,” sambung Daenna Maccirinnai yang memandangi Punggawa Malolo. “Ayo Daeng kita bersatu di Budong-Budong untuk bertempur melawan penjajah Balanda,” ucap Daenna Maccirinnai dengan nada yang lebih tegas sambil memegang badik di pinggangnya. Punggawa Malolo terdiam dan menghela nafas, sesekal ia berbalik ke arah Ammana Andang yang duduk mendampinginya. “Maaf beribu maaf Pue, kami telah membicarakan persoalan ini sebelumnya soal keputusan Maradika dan Gala’gar Pitu soal Balanda,” ucapnya sambil menatap mata Daenna Maccirinnai dengan tajam. Tiba-tiba Punggawa Malolo memalingkan pandangannya ke arah Pattana Bone.“Kami sudah memutuskan untuk memberikan perlawanan di Sinyonyoi,” ia me nyambung ucapannya.“Dari dulu kau tidak berubah,” kata Pue Bone sambil menggelangkan kepala. “Kau memang anaknya Pasikking, tidak jauh beda dengan ayahmu,” cetus Pue Bone dengan tersenyum. Tadende yang mendengar perbincangan ini membuatnya gemetar, ia berada di barisan belakang Punggawa Malolo, ia hanya menundukkan kepala sambil sesekali memandangi tuannya yang terlibat perbincangan hebat dengan kesatria dari Mamuju ini. Sesekali ia memandang ke arah Daenna Maccirinnai namun tak kuasa menantapnya lama. “Inilah pemberani dari Mamuju, dari dulu saya hanya mendengar kabar mereka. Hari ini saya berhdapan langsung dengan mereka,” bisiknya dalam hati. “Bukan maksus kami untuk menolak, tapi mungkin kita bisa melakukan perlawanan di tempat yang berbeda,” tiba-tiba Ammana Andang bersuara. Saat itu Tadende serasa ingin bersuara namun tak kuasa ia bersuara. Padahal dia hanya ingin berkata “Betul Pue”. Namun ia menjadi orang bisu ketika berada di depan kesatria-kesatria ini. 

Perbincangan terus berlangsung alot. Tiba-tiba Punggawa Malolo berbalik kearah jendela yang berada di dekatnya. “Tampaknya waktu shalat Dhuhur sudah masuk, mari kita shalat dulu,” ucap Punggawa Malolo. Perbincangan di Sapo Kayyang Pambe’besan berakhir, hasilnya sudah jelas Punggawa Malolo lebih memilih untuk bertahan di Sinyonyoi.

Tak lama setelah itu, usai melaksanakan shlat Ashar, rombongan Pue Bone pun meninggalkan Pambe’besan dengan berat hati.“Kalau begitu, kami pamit untuk melanjutkan perjalanan. Kalian berhati-hatilah terhadap Balanda,” kata Pue Bone. “Berita dari Makassar, Balanipa, dan Pamboang mengatakan jika mereka memiliki senjata yang belum pernah dilihat sebelumnya. Apalagi Balanda ini dikenal licik,” kata Pue Bone sambil memegang pundak Punggawa Malolo. “Terima kasih Pue sudah mampir di tempat kami, semoga kita bisa bertemu lagi,” balas Puggawa Malolo.

Akhirnya, Rombongan dari Mamuju ini melanjutkan perjalanan. “Sampai ketemu lagi Dende,” dari barisan Pue Bone seseorang berteriak hingga tiga kali. Dia adalah Tabose, saudara sesusu Tadende yang pernah diasuh oleh ibunya di Sinyonyoi. Tadende meneteskan air mata sambil tersenyum ke arah rombongan Pattana bone. Begitulah peristiwa yang terlintas dalam ingatannya ketika Rombongan dari Mamuju menyambangi Bukit Pembe’besan tempat Punggawa Malolo dan Ammana Andang menyusun pasukannya.

Bersambung....

Jejak Perlawanan di Benteng Kassa (Punggawa Dari Tanah Manakarra)

“Diam! Diam! Diam!, diam kalian semua?”, teriak sesosok pria berambut panjang berbadan kekar, Sontak seisi ruangan terdiam, semua mata tertuju pada sumber suara yang menggetarkan ruangan. “Tidak mungkin kita menyerah pada mereka, ini tanah kelahiran kita, tanah yang akan tetap menjadai milik kita hingga anak cucu kelak, ini siri’ ” tegas pria berambut gondrong kali ini dengan posisi berdiri dan mengepalkan tangannya.

“Apa kalian sudah tidak punya siri’ dalam diri yang kalian bangga-banggakan itu? Dimana daengku’ yang katanya pemberani? ” sambungnya dengan nada yang lebih keras sambil mengarahkan pandangannya ke depan dan tertuju pada seorang pria tepat berada di depannya. “Tidak ada kata menyerah, tidak ada kompromi, kalau nyawa ini yang harus jadi taruhannya, akan kukorbankan untuk tanah dan masa depan anak cucu kita,” ruangan semakin hening hanya sesekali terdengar kicauan burung dan desir ombak seperti mengaminkan teriakan pria berbadan kekar.

Semua orang yang ada dalam ruangan tertunduk dan tak ada yang berani bersuara, hanya sesekali terdengar suara hembusan nafas dari beberapa orang yang ada dalam ruangan. “Sabar! Sabar! , ini harus dibicarakan dengan cermat, dengan kepala dingin jangan dengan emosi,” salah seorang pria bersuara dengan nada yang lebih lembut sambil memegang badik badik tepat di depannya. “Kalau masalah ini, tidak ada kata kompromi, kita harus melawan. Harga dirii kita diinjak-injak. Lebih baik aku mati dari pada diperintah oleh mereka itu!,” balas pria gondrong kali ini dengan menghunus sebilah pedang ke arah langit-langit ruangan. “Jika kalian tetap dengan pendirian, silahkan!. Aku juga tetap dengan pendirianku, jika ada diantara kalian bersama meraka berarti sejak saat itu kita bersebelahan dan tidak ada hubungan lagi, katakana pada mereka, Aku tunggu di Sinyonyoi di bukit Pambe’besan” sambil menyarungkan pedangnnya pria tadi berbalik dan meninggalkan ruangan, beberapa orang ikut bersamanya.

Setelah pria gondrong dan beberapa orang meninggalkan ruangan seorang pria tiba-tiba berdiri dan tampak terlihat keragu-raguan dari tingkahnya. “Tabe’ Pue, saya harus ikut keluar, beliau yang telah membesarkanku dan saya sudah menganggapnya ayah!,” ucapnya sambil membukkukkan badan. Ia pun keluar dari ruangan dan mengejar rombongan pria yang menggetarkan ruangan sebelumnya.

Hanya beberapa orang yang ada dalam ruangan rapat. Tidak ada lagi yang berani meninggalkan ruangan setelah pemuda tadi. “Apa yang dikatakannya memang ada betulnya, namun kita tidak bisa terlalu terburu-buru mengambil sikap. Harus dengan kepala yang jernih, namun tidak serta-merta juga kita sepakat dengan apa yang disyaratkan oleh Balanda,” seorang pria menghangatkan suasana ruangan yang semakin tegang. “Baiklah rapat ini kita tunda dulu untuk beberapa waktu kedepan,”.

*********

5 hari yang lalu Balanda membuang jangkar di perairan Rangas, 3 buah kapal lengkap dengan pasukan bersandar di pelabuhan rangas. Maradika dan beberapa Punggawanya diundang untuk membicarakan sesuatu di atas kapal hitam denga bendera, merah, putih, biru.

Di tanah Manakarra hingga daerah pelosok tersiar gosip, bahwa Maradika telah menyerah kepada Balanda, inilah yang menjadi gejolak yang berkembang di Tanah Makkedaeng ini. Tanpa melakukan pembicaraan dengan pihak kerajaan, beberapa Punggawa telah menyatakan mengangkat senjata meskipun Maradika sendiri belum memberikan pernyataan resminya. Beberapa orang menganggap Maradika dan kroni-kroninya lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Dari gosip yang terserbar, pihak Kerajaan Belanda menginginkan agar semua senjata diletakkan dan semua daerah Manakarra diserahkan kepada Pihak Kerajaan dan mengangkat Gubernur Jendral untuk wilayah Manakarra. Sebelum Mamuju, beberapa daerah di Tanah Mandar telah berhasil diamankan oleh pihak Kerajaan Belanda, meski masih ada perlawanan yang dipimpin oleh Calo Ammana Wewang di Pamboang.

Sementara itu, kekuatan besar di Tanah Sulawesi telah dikuasai oleh Kerajaan Belanda yaitu Gowa Tallo di Makassar dan Kerajaan Bone di Bugis. Beberapa Punggawa dari tanah Mandar juga sempat berjuang di dua kerajaan itu.

Sejak dulu, Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar telah menjalin aliansi termasuk saat kedatangan Belanda pertama kalinya ke Tanah Sulawesi. Bahkan perkawinan silang sering terjadi untuk menguatkan kekerabatan., namun beberapa dari mereka tercerai berai akibat politik adu domba yang dijalankan pihak Belanda. Termasuk Bugis dan Makassar yang merupakan dua kekuatan yang besar yang saat itu dipimpin oleh kesatria yang di hormati di tanah ini Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin.

Belanda telah menyisir hampir seluruh pesisir Sulawesi, kali ini giliran tanah Mandar. Sebelum datang dengan senjata, Belanda sebelumnya telah datang sebagai pedangan.

Jejak Perlawanan di Benteng Kassa (Kabar Buruk Dari Pesisir)

Pemuda itu terlihat panik, seolah membawa kabar yang akan membuat majikannya murka. Sudah setengah hari ia berlari dari pesisir untuk mencapai bukit Kassa, terlihat lelah diwajahnya namun ia terus berlari dan tidak menghentikan langkahnya.

Tidak jauh dari depannya, seorang petani berpakaian lusuh berjalan semakin mendekat ke arahnya. Ia membawa sebilah cangkul di tangan kanannya dan memikul seikat kayu di pundak kirinya. Dari raut wajah petani itu terlukis kebingungan melihat sosok pemuda yang berlari kencang ke arahnya.

Semakin jauh pemuda itu berlari, ia melewati sekelompok masyarakat yang sedang memanen sawahnya. Tampak gembira terlihat di wajah para petani itu. Maklum satu tahun sebelumnya, sawah di daerah ini gagal panen akibat kekeringan panjang yang melanda desa. Namun, pemuda itu tak menghiraukan kondisi disekitarnya ia semakin kencang berlari menjauh dari pandangan mata dan hilang ditelan pepohonan yang lebat di perbukitan.

Sudah tiga pemukiman yang ia lewati dan satu sungai yang telah diseberangi, pakaiannya yang basah saat menyeberangi sungai kering diperjalanan selama ia berlari, begitupun keringat yang bercucuran dari tubuhnya. “Kenapa Tadende,” terdengat suara dari balik bukit. Suara tersebut masih samar, ia hanya menoleh sedikit dan melanjutkan perjalanannya. “Kenapa Tadende,” suara yang sama terdengar namun kali ini gaungnya jelas terdengar bahkan dari jarak 100 meter pun terdengar jelas. Seketika itu ia berhenti. Dari balik pohon kapuk raksasa yang menjulang tinggi muncul sesosok manusia kekar, pandangannya tajam, rambutnya sedikit beruban, dan sebilah parang di tangan kanannya. Ia kaget, “Astaga,” teriaknya. “Siapa yang muncul dari pohon angker itu,” bisiknya dalam hati sambil menghilangkan kepanikan yang terpancar dari wajahnya.

Konon, pohon kapuk berukuran raksasa itu angker bagi semua penduduk yang berada di daerah itu ditambah sebongkah batu raksasa berada dua langkah orang dewasa berada dekat dari pohon itu. Menurut tetua di kampung, pohon kapuk dan batu raksasa di desa itu dihuni oleh penjaga raksasa yang siap mengambil dan melenyapkan manusia yang bermain di daerah itu. Jarang yang berani lewat disekitar pohon itu sejak hilangnya Pua’ Cambang dua tahun yang lalu. Mengingat kisah itu, Tadende semakin panik. Namun ia berusaha untuk menguasai diri dan mengatur nafas yang sejak tadi terdengar tidak teratur akibat berlari dari pesisir.

Ia melupakan semua yang terjadi beberapa saat sebelumnya. “Kenapa Tadede,” kalimat itu terdengar lagi dengan nada yang berbeda Tadende tersadar dan bisa menguasai diri. Astaga, ternyata kita’ Pua’,” jawab Tadende dengan nada yang lega. Orang tua itu adalah Pua’ Jonga, salah seorang kesatria di daerah itu. Ia masih paman dari Tadende dari garis keturunan ibunya yang berasal dari Mambi. “Darimana saja kau, kenapa terburu-buru,” Tanya Pua’ Jonga. “Kau terlihat panik, apa yang kau bawa?,” sambungnya dengan tatapan yang tajam.

“Kapal besar, kapal besar, kapal besar,” jawabnya dengan terbata-bata. Ia hanya menyebutkan Kapal Besar, Ada kapal, bawa pasukan,” tambahnya, Mendengar berita itu, sontak Pua’ Jonga kaget, “Siapa yang bawa pasukan?” . “Rambutnya kuning, ” Tadende menjelaskan. Mendengar ciri-ciri itu, terlintas di benak Pua’ Jonga, “Balanda,” bisiknya dalam hati. Kabar kedatangan Belanda sudah tersebar keseluruh penjuru Nusantara, namun saat itu Belanda hanya menduduki pulau Jawa dan Sumatera. “Cepat sampaikan pada Punggawa,” seru Pua’ Jonga. Mendengar perintah itu, Tadende langsung berlari kencang menjauh dari pohon angker itu, seketika itu ia hilang dari pandangan mata.
Begitupun Pua’ Jonga, ia langsung bergegas menghilang ke arah utara dan menghilang dibalik pepohonan.

****
Setelah hampir sehari ia berlari, akhirnya Tadenda tiba disebuah perkampungan yang dihuni oleh banyak penduduk. Kampung ini adalah kampong terakhir sebelum sampai di Bukit Kassa. “Kebetulan,” ucapnya dengan nada berbisik. Wajahnya ceria ketika tiba di perkampungan itu. “Kebetulan Punggawa ada disini,” masih dengan nada berbisik.

Tadende berlari menghampiri sesosok manusia yang tidak jauh dari tempatnya berpijak. Pria itu berbadan kekar, rambutnya panjang sebahu dan terurai rapi. Disamping kiri dan kanannya turut menyertai dua orang lelaki berbadan kekar pula. Setiap orang yang berpapasan dengannya memberi hormat pada pria itu. “Daeng, Daeng, Daeng,” teriak Tadende. Mendengar teriakan itu, pria berambut gondrong tadi tiba-tiba berhenti dan berbalik kearah suara. Tadende menghampiri dengan wajah cemas. “Kenapa Dende,? ” tanya pria itu dengan raut wajah kebingungan. “Anu Daeng,” balas Tadende. Sebelum melanjutkan jawabannya, pria itu langsung menyela, “Kenapa kau kebingungan, kabar apa yang kau bawa sehingga kau tak bisa berkata-kata,” tanya pria itu kembali. “Ada kapal yang berlabuh di Labuang, beserta pasukannya,” jawab Tadende dengan mantap. “Kapal apa itu?,” pria itu kembali bertanya. “Balanda Daeng, Balanda” kata Tadende. “Balanda,” nada tinggi terdengar dari pria itu. Tiba-tiba raut wajahnya memerah, dua orang pria yang mengiringinya pun menampakkan ekspresi yang sama. “Kurang ajar, berani-beraninya,” ucap pria itu dengan nada marah. Mendengar percakapan itu, sontak situasi di desa itu hening. Aktifitas terhenti sejenak. “Kalau begitu, Dende panggil Taunding kalian bersama-sama ke Labuang amati pergerakan mereka dan berikan laporan secepatnya,” perintah pria itu. Mendengar kata-kata pria itu Tadende bergegas meninggalkan tempat itu berlari kearah pesisir.

“Segera beritahu Maradika akan kabar ini,” pria itu memberi perintah pada salah seorang yang mengiringinya. “Kau, cepat kumpulkan para tetua dan kita bertemu di Kassa,” perintahnya lagi pada pria yang mengiringinya. Pria itu akhirnya bergegas menuju Bukit Kassa dengan iringan sekelompok pasukan.